PENDIDIKAN MULTIKULTURAL: Suatu Kajian Tentang Pendidikan Alternatif Di Indonesia Untuk Merekatkan Kembali Nilai-nilai Persatuan, Kesatuan Dan Berbangsa di Era Global

1

Oleh Yani Kusmarni

PENDAHULUAN
“Kekerasan terhadap etnis Cina di Jakarta pada Mei
1998. Perang Islam Kristen di Maluku Utara dan
Poso. Rangkaian konflik itu tidak hanya merengut
korban jiwa yang sangat besar, akan tetapi juga
telah menghancurkan ribuan harta benda penduduk
400 gereja dan 30 mesjid serta 3000 orang
meninggal. Perang etnis antara warga Dayak dan
Madura yang terjadi sejak tahun 1931 hingga tahun
2000 telah menyebabkan kurang lebih 2000 nyawa
manusia melayang sia-sia.”
Realitas konflik social yang seringkali terjadi dengan kekerasan seperti
contoh di atas, akan mengancam persatuan dan esistensi bangsa. Sekarang ini,
jumlah pulau di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berjumlah
17.667 pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah kira-kira 210 juta
jiwa, terdiri dari 350 kelompok etnis dan adat istiadat yang menggunakan hampir
200 bahasa dan dialek local yang berbeda. Dari sudut agama mereka memeluk
Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Konghu Cu serta berbagai macam aliran
kepercayaan lainnya. Dengan jumlah penduduk, etnis, suku, agama, adat,
bahasa daerah dan pulau yang banyak acapkali Indonesia dikatakan sebagai
negara yang multi etnis dan multi agama.
Keragaman ini, diakui atau tidak akan menimbulkan persoalaan apabila
tidak dikelola dengan baik. Apalagi dalam kehidupan manusia abad ke-21 yang
ditandai dengan perubahan (change) yang disebabkan oleh kemajuan teknologi
komunikasi serta kemajuan informasi telah mengubah dimensi waktu dan tempat
kehidupan manusia. Budaya masyarakat bergerak dan berubah dengan cepat
akibat adanya globalisasi di hampir semua aspek kehidupan. Dalam proses
globalisasi penetrasi budaya dapat terjadi secara nyata dan maya (virtual)
sehingga tidak akan pernah ada kekuatan yang mampu mencegahnya. Oleh
karena itu, dalam kehidupan global batas-batas negara secara geografis menjadi
tidak penting dan bahkan dapat dikatakan sudah tidak terlihat keluar masuknya
suatu informasi, pengetahuan dan teknologi yang mampu mempengaruhi
kehidupan global manusia secara individual maupun kelompok. Seperti yang
2
dikemukakan oleh Suyatno bahwa era global konsep negara menjadi tidak
penting lagi karena secara empiric suatu bangsa tidak akan mampu mengisolasi
negara dan pemerintahannya dari pengaruh-pengaruh kehidupan global1.
Rapuhnya konsep-konsep negara-bangsa dengan pengakuan akan
demokrasi serta hak asasi manusia memunculkan konsep multikulturalisme,
yakni gerakan pengakuan akan keragaman budaya serta pengakuan terhadap
eksistensi budaya yang beragam. Peran “budaya” merupakan salah satu
kekuatan di dalam mempersatukan kehidupan kelompok masyarakat. Kesadaran
multikulturalisme tersebut dapat berkembang dengan baik apabila dilatihkan dan
dididikkan pada generasi penerus melalui pendidikan. Dengan pendidikan, sikap
saling menghargai terhadap perbedaan akan berkembang bila generasi penerus
dilatih dan disadarkan akan pentingnya penghargaan pada orang lain dan
budaya lain. Oleh karena pendidikan multicultural sangat diperlukan untuk
mengatasi berbagai konflik horizontal, seperti keragaman suku dan ras serta
konflik vertical seperti tingkat pendidikan, ekonomi, social budaya bangsa
Indonesia. Berdasarkan fakta-fakta tersebut mendorong penulis memilih topic
“Pendidikan Multikultural: Sebuah Kajian Tentang Pendidikan Alternatif Di
Indonesia Untuk Merekatkan Kembali Nilai-nilai Persatuan, Kesatuan Dan
Berbangsa Di Era Global”.
APAKAH PENDIDIKAN MULTIKULTURAL ITU ?
Secara sederhana, multikulturalisme dapat dipahami sebagai sikap
bagaimana masing-masing kelompok bersedia untuk menyatu (integrate) tanpa
mempedulikan keragaman budaya yang dimiliki. Mereka semua melebur,
sehingga pada akhirnya ada proses “hidridisasi” yang meminta setiap individu
untuk tidak menonjolkan perbedaan masing-masing kultur.2 Secara historis,
pendidikan multicultural sejak lama telah berkembang di Eropa, Amerika dan
Negara-negara maju lainnya. Dalam perkembangannya, gerakan pendidikan
tentang budaya majemuk (multicultural education) mencapai puncaknya pada
decade 1970/1980-an, terutama di lembaga-lembaga pendidikan Amerika
Serikat.
1 Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional:Dalam Pencaturan Dunia Global (Jakarta:
PSAP Muhammadyah, 2006), hlm 11
2 Nadjamuddin Ramly, Membangun Pendidikan Yang Memberdayakan dan
Mencerahkan (Jakarta:Grafindo, 2005), hlm. xiv
3
Hampir di setiap lembaga pendidikan di Amerika Serikat baik di
Perguruan Tinggi maupun di lembaga persekolahan prinsip-prinsip kemajemukan
etnik dan budaya diusahakan agar diintegrasikan ke dalam kegiatan-kegiatan
pendidikan dalam rangka pembaharuan kurikulum yang menunjang gerakan
pendidikan multicultural. Konsep-konsep tentang etnisitas dan nasionalitas
dijabarkan kembali dengan tujuan agar gambaran keberadaan jati-diri “etnik
seseorang” jelas di mana tempatnya di dalam kebersamaan dan keseluruhan.
Seperti yang dikemukakan Rose bahwa kelompok yang anggota-anggotanya
memiliki kebersamaan secara unik dalam warisan social dan cultural serta
kemudian diwariskan dari generasi kepada generasi berikutnya, disebut
kelompok etnik. Biasanya mereka mudah diidentifikasi karena memiliki pola-pola
keluarga, bahasa, agama dan adapt istiadat yang berbeda dengan yang lainnya
serta memiliki kesadaran kelompok yang tinggi3. Oleh karena itu pendidikan
multicultural ditujukan untuk mempersiapkan peserta didik dengan sejumlah
sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam lingkungan budaya etnik mereka,
budaya nasional dan antar budaya etnik lainnya. Seorang peserta didik dari Irian
Jaya harus akrab dengan budaya kelompok etniknya sendiri, akan tetapi ia juga
harus mampu berbaur dan akrab dengan budaya etnik lain di luar kelompoknya.
Dari pemaparan di atas, dapat dikemukakan bahwa pendidikan
multicultural berperan membentuk pandangan peserta didik tentang kehidupan
dan meningkatkan penghargaan terhadap keragaman.4 Sedangkan Musa Asy’arie
mengemukakan bahwa pendidikan multicultural adalah proses penanaman cara
hidup menghormati, tulus dan toleran terhadap keragaman budaya yang hidup di
tengah-tengah masyarakat plural5. Dengan demikian, pendidikan mutikultural
menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif.
Seperti yang diungkapkan oleh Paul Suparno bahwa pendidikan multicultural
membantu peserta didik untuk mengerti, menerima dan menghargai orang dari
suku, budaya dan nilai yang berbeda6. Oleh karena itu peserta didik perlu diajak
untuk melihat budaya lain sehingga dapat mengerti dan akhirnya dapat
menghargai. Modelnya bukan dengan menyembunyikan budaya lain atau
menyeragamkan sebagai budaya nasional sehingga budaya local hilang. Dalam
pendidikan multicultural tiap budaya memiliki nilai sendiri dan kebenaran sendiri,
3 James A Banks, Teaching Strategis for Ethnic Studies (Boston: Allyn and Bacon
Inc, 1987), hlm. 9-10
4 Anita Lie, Mengembangkan Model Pendidikan Multicultural, dapat diakses secara
on-line di http://www.kompas.com/kompas-cetak/0609/01/opini/2921517.htm
5 Musa Asy’arie, Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa, dapat diakses secara
on-line di http://www.kompas.com/kompas-cetak/0301/07/opini/46742.htm
6 Paul Suparno, Pendidikan Multikultural, dapat diakses secara on-line di
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0409/03/opini/1246546.htm
4
untuk itu diperlukan pemahaman hubungan nilai budaya yang salah satu caranya
melalui pendidikan.
Pendapat yang lebih lengkap tentang pendidikan multicultural
dikemukakan oleh M. Ainul Yaqin bahwa pendidikan multicultural adalah strategi
pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara
menggunakan perbedaan-perbedaan cultural yang ada pada peserta didik,
seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas social, ras, kemampuan
dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah7. Lebih lanjut Ainul
mengungkapkan bahwa pendidikan multicultural juga untuk melatih dan
membangun karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis dan
pluralis dalam lingkungan mereka8. Dengan kata lain, melalui pendidikan
multicultural peserta didik diharapkan dapat dengan mudah memahami,
menguasai, memiliki kompetensi yang baik, bersikap dan menerapkan nilai-nilai
demokratis, humanisme dan pluralisme di sekolah dan di luar sekolah. Oleh
karena itu tujuan pokok dari pendidikan multicultural adalah untuk menerapkan
prinsip-prinsip keadilan, demokrasi dan sekaligus humanisme. Pendidikan di alam
demokrasi seperti Indonesia harus berorientasi pada kepentingan bangsa yang
berlatarbelakang multi-etnic, multi-religion, multi-language dan lain-lain. Hal ini
berarti bahwa penyelenggara pendidikan harus memperhatikan ragam kondisi
bangsa yang heterogen.
Wacana pendidikan multicultural sangat penting sebagai salah satu
agenda pendidikan masa depan di Indonesia, terutama dalam mengembangkan
manusia Indonesia yang cerdas. Manusia cerdas tidak hanya cerdik dan
berkemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan menyelesaikan
masalah, tetapi juga bermoral, bersikap demokrasi, keadilan dan humanisme.
Dengan kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan tanpa
mempedulikan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa ataupun agama. Oleh
karena itu sebagai upaya mewujudkan prinsip demokrasi, keadilan dan
humanisme dalam pendidikan multicultural di Indonesia perlu diperhatikan,
Pertama, perbedaan agama di Indonesia, yang merupakan fakta keragaman di
negeri ini; Kedua, multi-etnis dan corak bahasa yang dimiliki oleh tiap-tiap suku
bangsa. Keragaman ini dapat menjadi pemicu konflik dalam konteks nasional jika
tidak terakomodir dengan baik. Untuk itu peran pendidikan multicultural sangat
menentukan untuk meredam konflik antar etnis; Ketiga, perbedaan jenis kelamin
dan gender serta status sosial. Pendidikan multicultural dapat mengakomodir
7 M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk
Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta:Pilar Media, 2005), hlm 25
8 Ibid
5
perbedaan jenis kelamin dan latar belakang social; Keempat, perbedaan
kemampuan yang dimiliki oleh orang, baik dilihat secara fisik dan non-fisik.
BAGAIMANA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL ITU ?
Keempat keragaman yang dimiliki bangsa ini seperti yang dikemukakan
di atas dapat menjadi penggagas paradigma pendidikan nasional yang ber-visi
multicultural. Apalagi dengan perubahan-perubahan yang terjadi sekarang ini
sebagai dampak kemajuan ilmu dan teknologi serta masuknya arus globalisasi
yang membawa pengaruh multidimensional. Sehingga dibutuhkan penyajian
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan dan model multicultural dengan
perspektif global untuk memenuhi tuntutan kebutuhan peserta didik, masyarakat
dan lapangan kerja di era global.
Perspektif global adalah suatu cara pandang atau cara berpikir terhadap
suatu masalah, kejadian atau kegiatan dari sudut pandang global, yaitu dari sisi
kepentingan dunia atau internasional. Oleh karena itu sikap dan perbuatan kita
juga diarahkan untuk kepentingan global9. Dengan kata lain, kita memerlukan
suatu pendekatan yang akan membantu peserta didik untuk mengarahkannya ke
kehidupan yang “kompleks” dan menjauhi pengertian yang sempit tentang ras,
agama, suku, bahasa dan budaya. Untuk itu, Rochiati mengungkapkan bahwa
tantangan dunia pendidikan dalam perspektif global salah satunya adalah
pemahaman pendidikan multicultural yang tidak rasial untuk mempersiapkan
dan mendukung pembelajaran tentang proses antar budaya, pembangunan
kemasyarakatan dan kalau perlu aksi kelas.10
Dari pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa dunia pendidikan
dalam era global harus memahami isu-isu dan permasalahan global seperti
keanekaragaman budaya, politik, ekonomi, social, konflik dan perdamaian,
ketergantungan antar bangsa di dunia, masalah HAM, masalah lingkungan
seperti: degradasi lingkungan, penyakit dan migrasi penduduk dan lain-lain.
Untuk itu James Banks mengemukakan bahwa pendidikan multicultural memiliki
lima dimensi yang saling berkaitan satu sama lain11, yaitu :
9 Nursid Sumaatmadja dan Kuswaya Wihardit, Perspektif Global (Jakarta: UT,
1999), hlm. 1.4
10 Rochiati Wiriaatmadja, Pendidikan Sejarah Di Indonesia: Perspektif Lokal,
Nasional dan Global ( Bandung:Historia Utama Press,2002), hlm.278
11 James Banks, Op.Cit
6
1. Content integration, mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk
mengilustrasikan konsep dasar, generalisasi dan teori dalam mata
pelajaran/disiplin ilmu
2. The Knowledge Construction Process, membawa peserta didik untuk
memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran
3. An Equity Paedagogy, menyesuaikan metode pembelajaran dengan cara
belajar peserta didik, hal ini dilakukan dalam rangka memfasilitasi prestasi
akademik siswa yang beragam mulai dari ras, budaya maupun social
4. Prejudice Reduction, mengidentifikasi karateristik ras dan menentukan
metode pembelajaran peserta didik
5. Melatih peserta didik untuk berpartisipasi dalam kegiatan olah raga dan
berinteraksi dengan seluruh staff serta peserta didik yang berbeda etnik dan
ras dalam upaya menciptakan budaya akademik
Pernyataan di atas menyiratkan bahwa pendidikan multicultural dapat
membawa pendidikan yang mampu menciptakan tatanan masyarakat yang
terdidik dan berpendidikan, bukan suatu masyarakat yang menjauhi realitas
social dan budaya. Oleh karena itu, walaupun pendidikan multicultural di
Indonesia relative baru dikenal sebagai sebuah pendekatan yang dianggap lebih
sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi
dan desentralisasi yang baru dilakukan. Dengan kata lain pendidikan
multicultural sejalan dengan pengembangan demokrasi yang dijalankan. Apabila
hal tersebut dilaksanakan dengan “tidak hati-hati” justru akan menjerumuskan
kita ke dalam perpecahan nasional. Untuk itu penerapan pendidikan multicultural
dalam perspektif global harus dipersiapkan dengan baik.
Anita Lie menyatakan bahwa pendidikan mutikultural dalam era global di
Indonesia menghadapi tiga tantangan mendasar; Pertama, fenomena
hegemonisasi yang terjadi dalam dunia pendidikan akibat tarik ulur antara
keunggulan dan keterjangkauan. Peserta didik tersegregasi dalam sekolahsekolah
sesuai latar belakang sosio-ekonomi, agama dan etnisitas; Kedua,
kurikulum yang masih berdasarkan jender, status social-ekonomi, kultur local
dan geografi. Hal ini menunjukkan ketidakseimbangan dan bias yang membatasi
kesadaran multicultural peserta didik; Ketiga, guru, kelayakan dan kompetensi
guru di Indonesia pada umumnya masih di bawah standar apalagi untuk
mengelola pembelajaran multikulturalime12. Karena itu, agar pendidikan
multicultural dapat dilaksanakan dengan baik, kita harus memperhatikan
berbagai aspek seperti: kurikulum multicultural, tenaga pengajar/guru, proses
pembelajaran dan evaluasi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
multicultural.
12 Anita Lie, Op.Cit.
7
o Kurikulum Multikultural
Menurut Tilaar, model kurikulum yang dapat digunakan dalam
pendidikan multicultural mencakup kurikulum yang “resmi” dan “the hidden
curriculum”, yakni kurikulum tidak tertulis dan terencana tetapi proses
internalisasi nilai, pengetahuan dan keterampilan justru terjadi di kalangan
peserta didik. Lebih lanjut Tilaar mengemukakan bahwa dalam kurikulum
“resmi”, pendidikan multicultural sebaiknya diintegrasikan ke semua mata
pelajaran dan kegiatan lintas kurikulum. Sebaiknya wawasan
multikulturalisme tidak dimasukkan sebagai beban tambahan sebagai mata
pelajaran baru dalam kurikulum yang sudah dirasakan amat berat oleh guru
dan peserta didik.13 Oleh karena itu model kurikulum multicultural harus
dapat mengintegrasikan proses pembelajaran nilai, pengetahuan dan
keterampilan “hidup” dalam masyarakat yang multicultural, seperti: terampil
bernegosiasi, mengemukakan dan menghadapi perbedaan, resolusi konflik,
cooperative learning dan problem solving. Muatan nilai, pengetahuan dan
keterampilan ini dapat dirancang sesuai dengan tahapan perkembangan anak
dan jenjang pendidikan. Muatan-muatan nilai multicultural perlu dirancang
dalam suatu strategi proses pembelajaran yang mendorong terjadinya
internalisasi nilai-nilai.
Hamid Hasan mengungkapkan bahwa pengembangan kurikulum
dengan menggunakan pendekatan pengembangan multicultural harus
didasarkan pada prinsip: (1) keragaman budaya yang menjadi dasar dalam
menentukan filsafat; (2) keragaman budaya menjadi dasar dalam
mengembangkan berbagai komponen kurikulum seperti: tujuan, konten,
proses dan evaluasi; (3) budaya di lingkungan unit pendidikan adalah sumber
belajar dan objek studi yang harus dijadikan bagian dari kegiatan belajar
siswa; (4) kurikulum berperan sebagai media dalam mengembangkan
kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional.14 Selanjutnya Hamid
menyatakan bahwa pengembangan kurikulum untuk negara yang besar,
penuh ragam dan miskin seperti Indonesia bukanlah pekerjaan mudah, oleh
karena itu, keragaman social, budaya, ekonomi dan aspirasi politik harus
menjadi factor yang harus diperhitungkan dan dipertimbangkan dalam
penentuan filsafat, teori, visi, pengembangan dokumen, sosialisasi kurikulum
13 Ibid
14 S. Hamid Hasan, Pendekatan Multikultural Untuk Penyempuraan
Kurikulum Nasional dapat diakses secara on-line di
http://www.pdk.go.id/balitbang/Publikasi/Jurnal/No_026/pendekatan_hamid_hasan.htm
8
dan pelaksanaan kurikulum.15 Untuk itu dalam melaksanakan pendidikan
multicultural, sejumlah “pekerjaan rumah” harus digarap mulai dari
rancangan integrasi kurikulum, standarisasi buku dan materi, pengembangan
materi dan kurikulum, pengembangan professional dan pelatihan guru,
rancangan kegiatan hingga rancangan monitoring dan evaluasi.
o Tenaga Pengajar (guru)
Pengembangan kurikulum dengan pendekatan multicultural haruslah
didahului oleh sosialisasi yang baik, agar para guru/tenaga pengajar dapat
mengembangkan kurikulum dalam bentuk silabus dan rencana pelajaran,
proses belajar di kelas dan evaluasi yang sesuai dengan prinsip multicultural.
Hal ini disebabkan “penentu utama” keberhasilan pendidikan multicultural
adalah guru. Untuk itu, guru harus paham dengan karakteristik pendidikan
multicultural sehingga dapat mengembangkan kurikulum multikultural dalam
kegiatan belajar yang menjadi tanggungjawabnya.
Seorang guru yang mengajar melalui pendekatan multicultural harus
“fleksibel”, karena untuk mengajar dalam multikultur seperti di Indonesia,
pertimbangan “perbedaan budaya” adalah hal penting yang harus menjadi
perhatian guru. Faktor-faktor seperti: membangun paradigma keberagamaan
inklusif dan moderat di sekolah, menghargai keragaman bahasa, membangun
sikap sensitive gender, membangun pemahaman kritis terhadap ketidakadilan
dan perbedaan status social, membangun sikap anti diskriminasi etnis,
menghargai perbedaan kemampuan dan menghargai perbedaan umur harus
dikemas dalam ranah pembelajaran dan penyadaran di persekolahan,
sehingga tercipta suatu paham untuk memahami dan menerima segala
perbedaan yang ada pada setiap individu peserta didik dan pada akhirnya
peserta didik diharapkan mampu memiliki karakter kuat untuk selalu bersikap
demokratis, pluralis dan humanis.
o Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran yang dikembangkan harus menempatkan peserta
didik pada kenyataan social di sekitarnya. Artinya, proses belajar yang
mengandalkan peserta didik untuk belajar secara kelompok dan bersaing
secara kelompok dalam suatu situasi kompetitif yang positif. Dengan cara ini,
perbedaan antar individu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan
kelompok dan peserta didik terbiasa hidup dengan berbagai keragaman
budaya, social, ekonomi, intelektual dan aspirasi politik. Proses belajar yang
15 Ibid
9
dapat dikembangkan misalnya: cooperative learning, problem solving, inquiry
dan lain sebagainya.
o Evaliasi Pembelajaran
Evaluasi yang digunakan harus meliputi keseluruhan aspek
kemampuan dan kepribadian peserta didik sesuai dengan tujuan dan konten
yang dikembangkan. Alat evaluasi yang digunakan tidak hanya mengukur
hasil belajar (achievement), tetapi secara lengkap memberi informasi yang
lebih jelas tentang proses pembelajaran. Penggunaan asesmen alternatif
dianggap sebagai upaya untuk mengintegrasikan kegiatan pengukuran hasil
belajar dengan keseluruhan proses pembelajara, bahkan asesmen itu sendiri
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan proses
pembelajaran. Asesmen kinerja, asesmen portofolio, asesmen rubric,
pedoman obsevasi, pedoman wawancara, rating scale, skala sikap, cek-list,
kuesioner dan lain sebagai sebagai alat penilaian yang dapat digunakan untuk
mengevaluasi pembelajaran yang menggunakan pendekatan multicultural.
Bagaimana Peranan Guru dan Sekolah dalam Mengembangkan
Pendidikan Multikultural ?
Peran guru dan sekolah dalam mengembangkan pendidikan
multicultural sangat penting seperti yang dikemukakan di atas. Sekolah sebagai
salah satu lembaga pendidikan merupakan lembaga yang berfungsi
menanamkan kesadaran di kalangan generasi muda akan identitas dirinya,
identitas kolektifnya serta menumbuhkan calon warga negara yang baik dan
terpelajar di dalam masyarakat yang homogen ataupun yang majemuk.16
Sementara itu guru bertujuan untuk melatih dan mendisiplinkan pikiran peserta
didik, memberikan pendidikan moral dan agama, menanamkan kesadaran
nasionalisme dan patriotisme, menjadi warga negara yang baik, bahkan untuk
rekreasi.17 Dengan demikian guru memiliki peranan penting dalam pendidikan
multicultural karena ia merupakan salah satu target dari strategi pendidikan ini.
Kesulitan memprediksi karakteristik masyarakat yang akan datang, karena dalam
era global ini perkembangan masyarakat tidak linier lagi sehingga memerlukan
lembaga pendidikan dan guru yang memiliki kesadaran multicultural, yaitu
kesadaran untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada mereka yang
berbeda kebutuhannya. Oleh karena itu, guru dan pihak sekolah perlu
16 Rochiati Wiriaatmadja, Op.Cit, hlm.260
17 Ibid
10
memahami berbagai kebutuhan peserta didik seperti yang dikemukakan berikut
ini:
• Peran Guru dan Sekolah dalam Membangun Paradigma
Keberagamaan
Guru merupakan factor penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai
keberagamaan yang inklusif dan moderat di persekolahan, karena seorang
guru yang memiliki paradigma pemahaman keberagamaan yang moderat
akan mampu untuk mengajarkan dan mengimplementasikan nilai-nilai
keberagaman tersebut kepada peserta didik di sekolah. Peran guru dalam hal
ini meliputi: Pertama, seorang guru harus mampu bersikap demokratis,
artinya dalam segala tingkah lakunya, baik sikap maupun perkataannya tidak
diskriminatif (bersikap tidak adil atau menyingung) peserta didik yang
menganut agama yang berbeda dengannya. Kedua, guru seharusnya
memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-kejadian tertentu yang ada
hubungannya dengan agama.
Selain guru, peran sekolah juga sangat penting dalam membangun
lingkungan pendidikan yang pluralis dan toleran terhadap semua pemeluk
agama. Untuk itu, sekolah sebaiknya memperhatikan : Pertama, sekolah
sebaiknya membuat dan menerapkan undang-undang local, yaitu undangundang
sekolah yang diterapkan secara khusus di satu sekolah tertentu.
Dengan diterapkannya undang-undang ini diharapkan semua unsure yang
ada seperti guru, kepala sekolah, pegawai administrasi dan peserta didik
dapat belajar untuk selalu menghargai orang lain yang berbeda agama di
lingkungan mereka18 . Kedua, untuk membangun rasa saling pengertian
beragama antar peserta didik sekolah diharapkan berperan aktif dalam
menggalakkan dialog keagamaan dengan bimbingan guru-guru. Ketiga ,
buku-buku pelajaran yang dipakai dan diterapkan di sekolah, sebaiknya
adalah buku-buku yang dapat membangun wacana peserta didik tentang
pemahaman keberagamaan yang moderat.
• Peran Guru dan Sekolah dalam Menghargai Keragaman Bahasa
Seorang guru harus memiliki sikap menghargai “keragaman bahasa”
dan mempraktekkan nilai-nilai tersebut di sekolah, sehingga dapat
membangun sikap peserta didik agar mereka selalu menghargai orang lain
yang memiliki bahasa, aksen, dan dialek yang berbeda. Oleh karena itu,
seorang guru harus menunjukkan sikap dan tingkah laku yang selalu
18 Lihat buku Ainul Yaqin, Op.Cit, hlm. 62-63
11
menghargai perbedaan bahasa yang ada, dengan demikian diharapkan
lambat laun para peserta didik juga akan mempelajari dan mempraktekkan
sikap yang sama.
• Peran Guru dan Sekolah dalam Membangun Sensitivitas Gender
Dalam pendidikan multicultural, pendidikan memiliki peran yang
sangat strategis untuk membangun kesadaran peserta didik tentang
pentingnya menjunjung tinggi hak-hak perempuan dan membangun sikap
anti diskriminasi terhadap kaum perempuan19. Oleh karena itu, guru dituntut
untuk memiliki peran dalam membangun kesadaran peserta didik terhadap
nilai-nilai kesadaran gender dan sikap anti diskriminasi terhadap kaum
perempuan di sekolah dengan cara: Pertama , guru harus memiliki wawasan
yang cukup tentang kesetaraan gender. Wawasan ini penting karena guru
merupakan figur utama yang menjadi pusat perhatian peserta didik di kelas,
sehingga diharapkan mampu bersikap adil dan tidak diskriminatif terhadap
peserta didik perempuan maupun laki-laki. Kedua, seorang guru dituntut
untuk mampu mempraktekkan nilai-nilai keadilan gender secara langsung di
kelas atau di sekolah. Ketiga, sensitive terhadap permasalahan gender di
dalam maupun di luar kelas.
Sementara itu, sekolah juga memiliki peran yang sangat penting dalam
menanamkan nilai-nilai tentang kesetaraan dan keadilan gender dengan
cara: Pertama, sekolah harus memiliki dan sekaligus menerapkan undangundang
sekolah anti diskriminasi gender. Kedua, sekolah harus berperan aktif
untuk memberikan pelatihan gender terhadap seluruh staff termasuk guru
dan peserta didik agar penanaman nilai-nilai tentang persamaan hak dan
sikap anti diskriminasi gender dapat berjalan dengan efektif. Ketiga, untuk
memupuk dan menggugah kesadaran peserta didik tentang kesetaraan
gender dan sikap anti diskriminasi terhadap kaum perempuan, maka pihak
sekolah dapat mengadakan acara-acara seminar atau kegiatan social lainnya
yang berkaitan dengan pengembangan kesetaraan gender.20
19 Edi Hayat dan Miftahus Surur, Perempuan Multikultural: Negosiasi dan
Representasi, Jakarta:Desantara Utama, 2005, hlm.89
20 Edi Hayat dan Miftahus Surur, Ibid dan Ainul Yaqin, Op.Cit. hlm. 134-135
12
• Peran Guru dan Sekolah dalam Membangun Sikap Kepeduliaan
Sosial
Guru dan sekolah memiliki peran terhadap pengembangan sikap
peserta didik untuk peduli dan kritis terhadap segala bentuk ketidakadilan
social, ekonomi dan politik yang ada di dalam lingkungan sekitarnya maupun
di luar lingkungan sekitar. Seorang guru harus memiliki wawasan yang cukup
tentang berbagai macam fenomena social yang ada di lingkungan para
peserta didiknya, terutama yang berkaitan dengan masalah kemiskinan,
pengangguran, para siswa yang tidak dapat melanjutkan sekolah, korupsi,
pergusuran dan lain-lain. Di sekolah atau di kelas, guru dapat menerapkan
sikap tersebut dengan cara bersikap adil kepada seluruh siswa tanpa harus
mengistimewakan salah satu dari mereka meskipun latar belakang status
social mereka berbeda.
Di pihak sekolah, sebaiknya membuat dan menerapkan peraturan
fenomena ketidakadilan social, ekonomi dan politik yang ada di sekitar
mereka. Dengan diberlakukannya peraturan tersebut diharapkan dapat
membangun sikap siswa untuk percaya diri, menghargai orang lain dan
bertanggung jawab. Kegiatan lain yang dapat dilaksanakan oleh pihak
sekolah adalah menyelenggarakan acara bakti social atau aksi nyata lainnya
secara bulanan atau tahunan, sehingga peserta didik dapat merasakan
permasalahan masyarakat yang ada di sekitar lingkungannya atau di luar
lingkungannya.
• Peran Guru dan Sekolah dalam Membangun Sikap Anti Diskriminasi
Etnis
Guru berperan sangat penting dalam menumbuhkan sensitivitas anti
diskriminasi terhadap etnis lain di sekolah. Untuk itu, seorang guru dituntut
untuk memiliki pemahaman dan wawasan yang cukup tentang sikap anti
diskriminasi etnis, sehingga dapat memberikan contoh secara langsung
melalui sikap dan perilakunya yang tidak memihak atau tidak berlaku
diskriminatif terhadap peserta didik yang memiliki latar belakang etnis atau
ras tertentu. Dalam hal ini, guru harus memberikan perlakuan adil terhadap
seluruh peserta didik yang ada, dengan demikian diharapkan peserta didik
akan meniru dan berlatih untuk bersikap dan bertingkah-laku adil terhadap
teman-temannya yang berbeda etnis. Demikian pula dengan pihak sekolah,
sebaiknya berperan aktif dalam membangun pemahaman dan kesadaran
siswa tentang pentingnya sikap menghargai dan anti diskriminasi terhadap
13
etnis lain melalui cara membuat pusat kajian atau forum dialog untuk
menggagas hubungan yang harmonis antar etnis.
• Peran Guru dan Sekolah dalam Membangun Sikap Anti Diskriminasi
Terhadap Perbedaan Kemampuan
Pada aspek ini, guru sebagai penggerak utama kesadaran peserta didik
agar selalu menghindari sikap yang diskriminatif terhadap perbedaan
kemampuan peserta didik baik di dalam maupun di luar kelas, termasuk juga
di luar sekolah. Dengan memberi contoh secara langsung kepada peserta
didik diharapkan peserta didik dapat mencontoh, menerapkan dan
membangun kesadaran untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang
diskriminatif terhadap mereka yang memiliki perbedaan kemampuan, seperti
peserta didik yang bicara gagap atau memiliki daya ingat rendah dan lain
sebagainya sehingga mereka dapat saling memahami, menghormati dan
menghargai satu sama lain. Demikian pun dengan sekolah yang harus
mampu menjadi institusi yang membangun sikap peserta didik yang selalu
mengahargai orang lain yang memiliki kemampuan berbeda dengan cara:
Pertama, membuat dan menerapkan peraturan sekolah yang menekankan
bahwa sekolah menerima para peserta didik yang “normal” dan mereka yang
memiliki kemampuan berbeda.21 Kedua, sekolah menyediakan pelayanan
khusus seperti guru dengan keterampilan khusus untuk menangani peserta
didik yang memiliki perbedaan kemampuan dan menyediakan fasilitas khusus
seperti ruangan khusus, tempat duduk khusus atau fasilitas khusus lainnya.
Ketiga, sekolah sebaiknya memberikan pelatihan bagi guru-guru dan staff
tentang bagaimana cara bersikap dan cara menghadapi peserta didik yang
memiliki perbedaan kemampuan di sekolah tersebut.
• Peran Guru dan Sekolah dalam Membangun Sikap Anti Diskriminasi
Umur
Menurut Ainul sekolah seharusnya menerapkan peraturan yang intinya
menyatakan bahwa segala bentuk diskriminasi terhadap umur tertentu adalah
dilarang keras di sekolah dan mewajibkan kepada peserta didik untuk selalu
saling memahami dan menghormati perbedaan umur yang ada di sekitar
mereka. Selain itu, sekolah sebaiknya tidak memberikan batasan umur
tertentu bagi seseorang yang akan masuk dan belajar di sekolah tersebut,
apabila yang bersangkutan memiliki kemampuan dan kemauan seperti yang
telah diatur dalam undang-undang sekolah atau negara22
21 Lihat Ainul Yaqin, Op.Cit, hlm 253
22 Ibid, hlm.284
14
Demikian juga dengan guru yang harus memiliki pemahaman dan
wawasan yang cukup tentang pentingnya sikap yang tidak diskriminatif
terhadap orang lain yang berbeda umur diharapkan dapat mempermudah
guru untuk memberikan contoh dan bimbingan bagaimana seharusnya
bersikap pada orang lain umurnya berbeda. Misalnya, guru harus dapat
memberikan perhatian yang sama terhadap peserta didiknya tanpa harus
membedakan anak yang lebih tua dengan yang lebih muda.
KESIMPULAN
Indonesia adalah negara multi etnis, multi kultur dan multi agama.
Keanekaragaman ini, di satu sisi merupakan berkah, karena keberagaman itu
sesungguhnya merefleksikan kekayaan khasanah budaya. Tak heran jika Satjipto
Rahardjo berkesimpulan bahwa Indonesia adalah laboratorium yang sangat
lengkap dan menjanjikan untuk penelitian di bidang ilmu-ilmu sosial dan
humaniora. Namun di sisi lain, keberagaman juga berpotensi besar untuk
“tumbuh suburnya” konflik, terutama jika keberagaman tersebut tidak mampu
dikelola dengan baik.
Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan ilmu
dan teknologi serta masuknya arus globalisasi membawa pengaruh yang
multidimensional. Krisis multidimensi yang dialami Indonesia pada saat ini, diakui
atau tidak merupakan bagian dari permasalahan kultur yang salah satu
penyebabnya adalah keragaman kultur yang ada dalam masyarakat kita.
Keragaman ini dapat dilihat dari segi positif ataupun dari segi negatif, seperti:
diskriminasi, ketidakadilan, pelanggaran HAM yang terus terjadi hingga kini
dengan segala bentuknya, seperti kriminalitas, korupsi, politik uang, kekerasan
terhadap perempuan dan anak, pengesampingan hal-hal minoritas,
pengesampingan nilai-nilai budaya local sebagai wujud nyata dari globalisasi,
kekerasan antar pemeluk agama dan sebagainya adalah wujud nyata dari
permasalahan cultural yang ada.
Salah satu upaya untuk membangun kesadaran dan pemahaman
generasi yang akan datang adalah dengan penerapan pendidikan multicultural.
Hal ini dikarenakan pendidikan multicultural adalah proses penanaman cara
hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang
hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multicultural, kita
tidak sekedar merekatkan kembali nilai-nilai persatuan, kesatuan dan berbangsa
di era global seperti saat ini, tetapi juga mencoba untuk mendefinisikan kembali
15
rasa kebangsaan itu sendiri dalam menghadapi benturan berbagai konflik social
budaya, ekonomi dan politik dalam era global. Dengan kata lain, diterapkannya
pendidikan multicultural ini, diharapkan segala bentuk diskriminasi, kekerasan
dan ketidakadilan yang sebagian besar dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan
cultural seperti perbedaan agama, ras, etnis, bahasa, kemampuan, gender, umur
dan kelas social-ekonomi dapat diminimalkan.
Agar tujuan pendidikan multicultural ini dapat dicapai, maka diperlukan
adanya peran dan dukungan dari guru/tenaga pengajar, institusi pendidikan, dan
para pengambil kebijakan pendidikan lainnya, terutama dalam penerapan
kurikulum dengan pendekatan multicultural. Guru dan institusi pendidikan
(sekolah) perlu memahami konsep pendidikan multicultural dalam perspektif
global agar nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan ini dapat diajarkan
sekaligus dipraktekkan di hadapan para peserta didik, sehingga diharapkan
melalui pengembangan pendidikan multicultural ini para peserta didik akan lebih
mudah memahami pelajaran dan meningkatkan kesadaran mereka agar selalu
berperilaku humanis, pluralis dan demokratis. Pada akhirnya para peserta didik
diharapkan menjadi “generasi multicultural” di masa yang akan datang untuk
menghadapi kondisi masyarakat, negara dan dunia yang sukar diprediksi dengan
kedisiplinan, kepedulian humanisme, menjunjung tinggi moralitas, kejujuran
dalam berperilaku sehari-hari dan menerapkan nilai-nilai demokrasi, keadilan dan
kemanusiaan.
16
DAFTAR PUSTAKA
Ali Maksun & Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal Di Era
Modern dan Posmodern, Yogyakarta: IRCiSoD, 2004
Edgar Morin, Tujuh Materi Penting bagi Dunia Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius,
2005
Edi Hayat dan Miftahus Surur (Ed), Perempuan Multikultural:Negosiasi dan
Representasi, Jakarta: Desantara Utama, 2005
H.A.R Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional: Tinjauan Dari Perspektif
Postmodernisme dan Studi Kultural, Jakarta:Kompas, 2005
—————-, Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung: P.T Remaja
Rosdakarya, 2004
Banks, James A. Teaching Strategies for Ethnic Studies, Boston: Allyn and Bacon
Inc, 1987
Nadjamuddin Ramly, Membangun Pendidikan Yang Memberdayakan dan
Mencerahkan, Jakarta: Grafindo, 2005
Nursid Sumaatmadja dan Kuswaya Wihardit, Perspektif Global, Jakarta: UT, 1999
M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk
Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media, 2005
Rochiati Wiriaatmadja, Pendidikan Sejarah di Indonesia: Perspektif Lokal,
Nasional dan Global, Bandung: Historia Utama Press, 2002
17
Sayling Wen, Masa Depan Pendidikan, Batam Centre, 2003
Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional: Dalam Pencaturan Dunia Global,
Jakarta: PSAP Muhammadyah, 2006
Sumber Internet:
Anita Lie, Mengembangkan Model Pendidikan Multikultural, dapat diakses secara
on-line di http://www.kompas.com/kompascetak/
0609/01/opini/2921517.htm
Hamid Hasan, Pendekatan Multikultural Untuk Penyempurnaan Kurikulum
Nasional, dapat diakses secara on-line di X-URL:
http://www.pdk.go.id/balitbang/Publikasi/Jurnal/No_026/pendekatan_
hamid_hasan.htm
Muhaemin el-Ma’hady, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural, dapat
diakses secara on-line di http://artikel.VS/muhaemin6-04.htm
Musa Asy’arie, Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa, diakses secara online
di http://www.kompas.com/kompas-cetak/0409/03/opini/1246546
Paul Suparno, Pendidikan Multikultural , dapat diakses secara on-line di
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0301/07/opini/46742.htm
Pendidikan Multikultural Alternatf Reintegrasi Bangsa.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0108/21/dikbud/pend.09.htm
Suyatno, Pendidikan Multikultural, dapat diakses secara on-line di
http://www.kr.co.id/article.php?sid=102681
Wakhinuddin, Pembentukan Peradaban Bangsa Melalui Pengajaran Multi-Etnik
Dalam Era Reformasi, dapat diakses secara on-line di
http://www.depdiknas.go.id/jurnal/41/wakhnuddin.htm
18

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *