MENYINGKAP PERKEMBANGAN PENDIDIKAN SEJAK MASA KOLONIAL HINGGA SEKARANG: Perspektif Pendidikan Kritis

 

 

Oleh

Dadang Supardan

 

ABSTRAK

Tulisan ini bertolak dari suatu kerisauan penulis dalam meneliti asal-mula asumsi-asumsi dan komitmen-komitmen kita dalam sejarah pendidikan yang timpang jika tidak disertai  pemikiran kritis. Sebab banyak kasus terjadi di kalangan para sejarawan pendidikan itu  rentan untuk melakukan romantisasi pendidikan publik sebagai ”penyeimbang besar” (great equalizer) dalam masyarakat demokratis. Hal ini terbukti jika kita telusuri sejarah perkembangan pendidikan, para sejarawan pendidikan mudah sekali mengabaikan pengalaman yang tidak demokratis terutama adanya dominasi politik; eksploitasi ekonomi, penetrasi budaya, perburuhan, maupun jender. Selain itu juga penulis menolak cara penulisan sejarah pendidikan yang masih mengikuti model Mazhab Cubberly—yang lebih tepat disebut sebagai sejarah “domestik” (in-house) yang ditandai dengan pandangan romantik yang sempit tentang masa lalu persekolahan di Indonesia. Padahal sesungguhnya begitu luas dan kompleks permasalahannya; baik zaman VOC, Hindia Belanda, Politik Etis, Zaman Pendudukan Jepang, Zaman Kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, maupun Era Reformasi.

Dengan meminjam terminologi bentuk pendidikan yang diperkenalkan Collins—pendidikan keterampilan praktis, pendidikan untuk keanggotaan kelompok status, dan pendidikan birokrasi—satu hal yang selalu perlu ditonjolkan dalam kajian kenyingkap perekembangan sejarah pendidikan tersebut mengajak kepada kita untuk mengedepankan kekuatan-kekuatan pendidikan. Sebagaimana dijelaskan oleh Apple dalam bukunya Education and Power, pendidikan itu tidak sekedar memiliki kekuasaan (power) intelektual transmitif, tetapi juga transformatif. Dalam kekuasaan intelektual transmitif, mengacu pada upaya-upaya enkulturasi dan reproduksi kultural, yaitu melestarikan nilai-nilai yang tetap perlu dikembangkan, sedangkan sebagai kekuasaan intelektual transformatif  yaitu intelektual yang menanggap belajar dan mengajar sebagai aktivitas politik, yang menggugah kesadaran anak didik mampu meyingkap penindasan dan ketimpangan yang asimetris antara pelbagai kelompok dalam mewujudkan sistem demokrasi yang partisipatoris.

Bagi seorang pendidikan kritis radikal, pendidikan harus meretas batas-batas persekolahan, masuk dalam wilayah publik, dan bersifat politis. Tugas tersebut berarti membuat pedagogi menjadi lebih bersifat politis, dan membuat politis lebih bersifat pedagogis. Dalam pendidikan kritis begitu melekat pengaruh pemikiran mazhab Frankfurt, khususnya Horkheimer, Adorno, Marcuse dan Habermas. Bagi mereka dalam pendidikan kritis bukan sekedar persoalan metodologi pembelajaran di kelas, tetapi sebagaimana Freire maksudkan—melampaui sekolah dan menjadi bagian dari pembebasan masyarakat, yang selanjutnya menggantikan ketimpangan sistemik dengan komunitas dan anak didik yang lebih berdaya, dan karena itu fokusnya yang terpenting adalah bagaimana mewujudkan kesetaraan, demokrasi, politik kebudayaan, pendidikan kritis bagi masyarakat dan anak didik.

 Pendahuluan

Pendidikan memiliki suatu keunikan, di satu sisi merupakan bagian kebudayaan, namun di sisi lain merupakan bentuk proses pembudayaan (enculturation) yang sifatnya spesifik, berbeda antara satu masyarakat dengan yang lainnya. Apapun bentuk pendidikan seperti yang dimaksud Collins (1977)—pendidikan keterampilan praktis, pendidikan untuk keanggotaan kelompok status, dan pendidikan birokrasi—satu hal yang selalu perlu ditonjolkan dalam memaknai sejarah poerkembangan pendidikan, pernyataan tersebut mengajak kepada kita untuk mengedepankan kekekuatan-kekuatan pendidikan, di samping untuk melibatkan akademisi sejarah pendidikan yang lebih berbasis disiplin ilmu (disciplined-based field). Terutama untuk lebih mengokohkan kaitan sejarah pendidikan progresif dengan sejarah sosial dan intelektual. Sebagaimana dijelaskan oleh Apple dalam bukunya Education and Power, (1982), pendidikan itu tidak sekedar memiliki kekuasaan (power) intelektual transmitif, tepai juga kekuasaan intelektual transformatif.

Sebagai kekuasaan intelektual transmitif, mengacu pada upaya-upaya enkulturasi dan reproduksi kultural (Apple: 21) yaitu melestarikan nilai-nilai yang tetap perlu dikembangkan, sedangkan sebagai kekuasaan intelektual transformatif  yaitu intelektual yang menanggap belajar dan mengajar sebagai aktivitas politik, yang menggugah kesadaran anak didik mampu meyingkap penindasan dan ketimpangan yang asimetris antara pelbagai kelompok dalam mewujudkan sistem demokrasi yang partisipatoris. Oleh karena itu bagi seorang pemikir Giroux—tokoh pendidikan kritis yang radikal—pendidikan harus meretas batas-batas persekolahan, masuk dalam wilayah publik, dan bersifat politis. Tugas tersebut berarti membuat pedagogi menjadi lebih bersifat politis, dan membuat politis lebih bersifat pedagogis (Giroux, 1983: 242).

Pendidikan dari Zaman ke Zaman

Sejarah pendidikan zaman pemerintah kolonial Belanda dapat dibagi dalam tiga periode, yaitu; (1) periode VOC pada abad ke-17 dan ke-18; (2) periode pemerintah Hindia-Belanda pada abad  ke-19; dan (3) periode Politik Etis (Etische Politiek) pada awal abad ke-20 (Boone, 1996). Pada zaman VOC abad ke-17 dan ke-18, pendidikan untuk kaum ”inlanders” (penduduk tanah jajahan ditangani oleh Nederlands Zendelingen Genootschap  atau NZG), Gereja Kristen dari Belanda yang ikut dalam misi VOC. Makapai inilah yang ikut membiayai kegiatan pendidikan, dengan demikian bukan dari pemerintah Belanda. Motto mereka terkenal dengan 3 G (Gold, Gospel, Glory). Sealin itu kebanyakan kegiatan pendidikan termasuk pendirian sekolah-sekolah baru yang dikembangkan oleh VOC pada awalnya melekat berbasis agama dan dilakukan di daerah yang struktur politiknya lemah, misalnya di Ambon dan Banda (Supriadi, 2003: 6-7). Didirikan sejak tahun 1607, baru berikutnya juga didirikan sekolah di Batavia. Itu-pun hanya sekolah berbasis agama  Kristen yang pencapaiannya terbatas pada kemampuan memahami Bible, kitab suci agama agama Kristen, dan oleh karena itu kalaupun ada pendidikan lanjautan hanya untuk mendidik guru dan pastor (Supriadi, 2003: 7).

Perlu juga diketahui bahwa pada masa itu pendidikan tradisional sebenarnya sudah ada, terutama pendidikan berbasis agama Islam yang tidak tersentuh oleh VOC. Materi pelajaran lebih ditekankan pada kemampuan untuk menulis, berhitung, dan membaca dalam bahasa Melayu yang menjadi bahasa perdagangan sehari-hari masa itu (Supriadi, 2003: 7).

Sedikit berbeda dengan pendidikan periode abad ke-19 atau tepatnya setelah VOC bubar pada tahun 1799, yang ditandai pendidikan di Indonesia  ditangani langsung oleh Hindia Belanda. Dibubarkannya VOC di Indonesia mendorong berubahnya sistem pemerintahan dari Indirect Rulle ke Direct Rulle (Sistem pemerintahah Tidak Langsung ke Sistem Pemerintahan Langsung), membawa  perubahan di mana kebijakan pendidikan menjadi tanggungjawab pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kemudian pada masa pemerintahan Daendels pada 1808, ia mengarahkan beberapa bupati-bupati di Jawa untuk mengorganisir sekolah-sekolah untuk anak-anak yang berasal dari/pribumi dengan suatu kurikulum yang mencakup kultur Jawa dan agama sehingga anak-anak itu akan tumbuh hingga menjadi anak Jawa yang baik. Ironisnya kebijakan pemerintah kolonial Belanda saat itu untuk bidang pendidikan, hingga 3,5 dasawarsa pertama pemerintah tidak menunjukkan kesediaannya untuk mengeluarkan banyak uang bagi pendidikan masyarakat lokal. Sebaliknya, perhatian lebih banyak dicurahkan kepada pendidikan anak-anak Belanda dan bangsa Eropa lainnya yang orang tuanya bekerja di Hindia Belanda khususnya ELS atau Europeese Lagerschool (Supriadi dan Hoogenboom, 2003: 8). Didirikannya ELS seperti di Cirebon, Semarang, Surakarta, Surabaya, Gresik tersebut di samping didirikan oleh pemerintah, juga didirikan oleh pihak swasta swasta khususnya kelompok NZG yang sejak zaman VOC telah menunjukkan aktivitasnya yang tinggi dalam bidang pendidikan.

Sekalipun pada tahun 1818 pemerintah Belanda telah menetapkan Undang-undang bagi Hindia Belanda—antara lain menyatakan bahwa semua sekolah negeri Hindia-Belanda dapat dimasuki baik oleh orang Eropa maupun orang Indonesia—hanya sebagian kecil saja siswa di sekolah-sekolah Belanda tersebut yang berasal dari kalangan pribumi. Hingga tahun 1848 belum tampak usaha yang sungguh-sungguh dari pemerintah kolonial untuk menyediakan sekolah bagi anak-anak pribumi. Pada tahun 1849, hanya 37 orang pribumi yang berada di sekolah-sekolah Eropa di Pulau Jawa (Watson, 1975: 35).

Ketika Gubernur Jenderal Hindia Belanda dijabat oleh Rochussen, keluar Dekrit Kerajaan yang menetapkan komitmen Pemerintah Belanda untuk mendirikan sekolah-sekolah dasar bagi orang-orang pribumi yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Sekolah tersebut dinamakan Volkschool (Sekolah Rakyat) dengan pelajaran utamanya dalam menulis, membaca bahasa Jawa dan Melayu, serta berhitung tingkat rendah. Dengan demikian sebenarnya bukan maksud untuk mencerdaskan bangsa Indonesia yang sesungguhnya, melainkan tidak lepas dari kepentingan-kpentingan kolonial. Sekalipun sekolah ini menjelang Politik Etis banyak didirikan sampai ratusan sekolah, namun lulusan sekolah-sekolah tersebut hanya disiapkan untuk menjadi pegawai rendahan yang mampu membaca dan menulis yang sangat diperlukan dalam mendukung mesin birokrasi peemerintahan Belanda di Indonesia.

Kemunculan  artikel Een Eereschuld (Utang Kehormatan) yang dimuat dalam majalah De Gids tahun 1899 ditulis C. Th van Deventer, telah mendorong lahirnya Politik Etis atau Politik Balas Budi yang secara resmi dicanangkan oleh Ratu Belanda tahun 1901 (Leirissa, 1985: 21-23).  Pada zaman ini-pun pemerintah Hindia-Belanda bukan saja untuk mencerdaskan bangsa Indonesia yang sesungguhnya, melainkan juga lebih ditekankan pada upaya pemenuhan tenaga kerja yang murah tetapi terdidik khususnya untuk swasta (Zed, 1986). Di samping itu terdapat kontroversi antara pandangan populis dan elitis. Pandangan populis menghendaki penggunaan bahasa Daerah maupun Melayu. Selain itu mereka berusaha keras untuk memperbanyak jumlah pendirian sekolah-sekolah baru. Sedangkan kelompok elitis beranggapan bahwa pengajaran bahasa Belanda merupakan bahasa pengantar dan wajib termasuk di sekolah-sekolah guru.  Namun demikian yang jelas dengan adanya kelonggaran pemerintah Belanda di zaman Politi Etis tersebut telah memberikan ruang yang cukup bagi pengembangan tumbuhnya nasionalisme maupun patriotisme bangsa Indonesia.

Terdapat hal yang positif dari perkembangan pendidikan pada zaman ini sekalipun perkembangannya lambat. Sekolah Raja (Hoffdenschool) yang yang bertujuan menyiapkan calon pegawai negeri (ambtenaar) baru didirikan di Tondano, Sulut, kemudian di Bandung, Magelang, dan Probolinggo. Aspek positif lainnya adalah tingginya persyaratan untuk menjadi guru seperti tampak dari lamanya pendidikan di sekolah guru. Sebagai contoh untuk guru TK atau Froebelschool lamnay pendidikan 9-10 tahun; Untuk guru SR Sekolah rakyat atau VS (Volkschool) maupun HIS (Hollands-Inlandse School), OSVO (Opleiding School voor Volks Onderwyzers), NS (Nomalschools), KS (Kweekschool), HIK (Hollands-Inlandse Kweekschool), KCK, EKS, DARI 7 – 10 -14 tahun; Untuk guru SLTP/SLTA sekolah-sekolah Hoofdacte & Hogeracte Cursus lamaaaaya pendidikan dari 5 -17 tahun.

Suatu hal yang menarik dalam kebijakan pendidikan pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945) adalah meskipun waktunya singkat, terjadi perubahan yang sangat penting dalam kebijakan pendidikan di Indonesia. Pertama, nama-nama sekolah yang berbahasa Belanda diganti dengan nama sekolah Indonesia maupun Jepang, walaupun  dilihat dari sistem penjenjangan dan materi kurikulumnya relatif tetap, kecuali Bahasa Belanda. Kedua, bahasa Indonesia menjadi bahasa wajib atau pengantar di sekolah-sekolah. Ketiga, Kepala Sekolah yang semula disandang oleh orang-orang Belanda juga menjadi dijabat oleh guru Bangsa Indonesia yang dianggap senior di sekolah itu. Keempat,  mengingat saat itu dalam suasana perang melawan Sekutu, para siswa dan guru hampir setiap hari menjalani latihan baris berbaris model tentara Jepang (Supriadi dan Hogenboom, 2003: 15). Inilah yang oleh penulis bisa dikategorikan sebagai bentuk romantisasi pendidikan publik sebagai ”penyeimbang besar” atau great equalizer, terutama dikaitkan dengan kepentingan-kepentingan status-qou yang militeristik khususnya di zaman Orde Baru, di mana ”pembelajaran upacara bendera mingguan tiap senin  tidak pernah lekang ditelan zaman sekalipun terjadi perubahan kurikulum bahkan hingga sekarang”.

Begitu juga pada zaman kemerdekaan (1945-1949), periode tersebut adalah suasana yang masih diliputi oleh perang ataupun revolusi fisik. Baru sejak tahun 1950-an pemerintah Indonesia  mulai dapat membenahi pendidikannya dalam keadaan yang lebh tentram. Namun demikian keterbatasan sumber daya (dana, tenaga, dan sarana) membuat laju perkembangan pendidikan berjalan lamban. Antara kapasitas pemerintah dan potensi masyarakat yang menggebu-gebu yang semestinya dapat dimobilisasi untuk membangun pendidikan lebih baik, ternyata tidak seimbang. Salah satu akiabatnya adalah secara perlahan-lahan masyarakat mulai terbiasa dan dibiasakan dengan pendidikan yang ”serba asal”. Asal berjalan, asal ada guru, asal ada sekolah, dan tanpa disertai komitmen terhadap mutu. Hal ini terjadi bukan saja dalam pendidikan formal, melainkan juga pendidikan informal.

Kemudian pada zaman Demokrasi Terpimpin (Orde Lama), sebetulnya secara kuantitatif pendidikan di Indonesia mengalami perkembanagan yang berarti. Tetapi secara kualitattif pendidikan bangsa Indonesia saat itu mengalami kemandekan karena konflik-konflik /pertentangan ideologi, yang menempatkan persekolahan sebagai wahana ideologisasi dan proses internalisasi sosialis-komunisme. Kurikulum pendidikan tidak lepas dari bidikan politisi, terutama pendidikan agama dan pendidikan moral/budi pekerti menjadi ladang hegemoni sebagai dampak memanasnya Perang Dingin antara Blok Barat dengan Blok Timur. Di lingkungan Departemen P & K, pertentangan politik menjadi sedemikian meruncing yang mencapai klimaksnya terjadinya pemecatan 27 pejabat senior Departemen ini oleh Menteri P & K, Prof. Dr. Prijono, pada tahun 1964 (Supriadi, 2003: 17).

Kemudian apa yang terjadi dalam perkembangan pendidikan pada zaman Orde Baru?  Mulanya memang menggembirakan. Bagaimana tidak? Berkat  “rezeki nomplok” kenaikan harga minyak bumi mulai tahun 1973, pendidikan Indonesia memperoleh biaya yang cukup, bahkan berlebih (Beeby, 1981: 57), untuk membangun puluhan ribu gedung SD khususnya pada tahun 1970-an dan 1980-an termasuk juga didirikannya Universitas Terbuka. Pada saat itu Angka Partisipasi Kasar (APK) SD/MI—yaitu rasio antara jumlah seluruh siswa dengan jumlah penduduk usia 7-12 tahun—telah mencapai 80%. Hanya beberapa tahun kemudian, statistic pendidikan mencatat bahwa APK SD/MI melampaui 100% (Supriadi dan Hoogenboom, 2003: 17). Tetapi begitu terjadinya peristiwa “Lengser Keprabon” angka-angka yang prestisius tersebut serta julukan mitos-mitos tenang Indonesia sebagai The Asian Economic Tigers menjadi sirna dengan sendirinya.  Meminjam istilah Parakitri T. Simbolon “Selama krisis itu terihat jelas bahwa ternyata Indonesia adalah negeri serba “seolah-olah, a heap of delusions”. Tidak satupun citra, yang selama puluhan tahun ditojol-tonjolkan dan sudah telanjur dipercaya, mampu beahan (Simbolon,, 2000: 2). Walaupun berbagai publikasi badan-badan internasional seperti Bank Dunia (IBRD), Bank Pembangunan Asia (ADB), dan UNESCO pada kurun waktu tersebut cenderung memuji keberhasilan perkembangan pendidikan di Indonesia. Bahkan pada bulan juni 1993, UNESCO memberikan penghargaan “Medali Avicena” kepada Presiden Suharto karena dinilai telah berhasil mewujudkan pendidikan dasar universal (universal primary education).

Pada era reformasi, semangat serba anti Orde Baru begitu menggelora pada awal reformasi. Targetnya adalah sistem pemerintahan yang super-sentralistik diubah secara radikal menjadi sistem yang super-desentralistik sebagaimana tertuang dalam dalam UU No.2/1999 tentang Pemerintahan Daerah  serta perangkat PP, Kepres, dan Kepmen yang menyertainya. Selain kurikulum, reformmasi pendidikan meliputi hampir semua aspek dari sitem pendidikan nasional. Misalnya PP No 25/2000 menetapkan bahawa sekitar 80% dari jenis-jenis urusan pendidikan yang sebelumnya ditangani oleh pemerintah pusat dan provinsi menjadi diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota dalam kerangka otonomi daerah yang secara resmi mulai berlaku sejak tahun 2001. Bahkan tidak hanya itu, sekolah-pun diberdayakan melalui ”Manajemen Berbasis Sekolah” (School-Based Management). Ironisnya, menguatnya gerakan reformasi dan otonomi daerah tersebut juga semakin meningkatnya anak-anak putussekolah. Secara nasional dari tahun  1997-2000 saja untuk seluruh tingkatan, dari Sdke SLTP sampai SMA, rata-rata 5%. Pemerintah memang mengupayakan sektor pendidikan ini tidak ingin terbengkalai, namun tiap tahunya rata-rata 12% dalam masa krisis. Diadakan pula program nasional bernama JPS maupun BOS untuk mereka yang tidak mampu.

Kesimpulan

Sepintas dapat kita ketahui bahwa tokoh-tokoh pendidikan kita (Ki Hajar Dewantara, R.A Kartini, dan sebagainya)  pada umumnya adalah berasal dari kelompok priyayi. Dalam struktur masyarakat yang demikian feodal, biasanya berlaku sistem birokrasi patrimonial. Jelasnya terdapat lembaga perkawulaan bahwa patron (penguasa adalah gusti atau juragan) yang mempunyai partnernya adalah klien dan dianggap sebagai kawula yang terdiri dari kelompok priyayi demikian mengikat. Logikanya struktur masyarakat yang demikian feodal ini tidak akan banyak memberikan kemajuan masyarakat modern, karena tidak rasional dan tidak objektif. Namun ironisnya justru para pemuka pendidikan kita berkat memiliki ketajaman dan keterbukaan pribadi serta berfikirnya, mereka dapatmelihat fenomena ini untk berbuat/bertindak objektif serta tidak ”meng-iyakan” terhadap sistem pemerintahan yang berlaku saat itu. Di sinilah pendidikan di Indonesia pada zaman Kebangkitan Nasional kita tidak sekedar berperan memiliki kekuasaan   transmitif, yang mengacu pada upaya-upaya enkulturasi dan reproduksi kultural, tetapi meretas kepada kekuasaan intelektual transformatif yaitu intelektual yang menganggap belajar dan mengajar sebagai aktivitas politik, yang menggugah kesadaran anak didik mampu meyingkap penindasan dan ketimpangan yang asimetris antara pelbagai kelompok dalam mewujudkan sistem demokrasi yang partisipatoris. Benar kata Giroux—pendidikan harus meretas batas-batas persekolahan, masuk dalam wilayah publik, dan bersifat politis. Tugas tersebut berarti membuat pedagogis menjadi lebih bersifat politis, dan membuat politis lebih bersifat pedagogis

Kita cukup terperanjat, justru pendidikan zaman pendudukan Jepang,  meskipun waktunya singkat, banyak terjadi perubahan yang sangat penting dalam sejarah  pendidikan di Indonesia. Baik itu tentang nama-nama sekolah yang berbahasa Belanda yang diganti dengan nama sekolah Indonesia serta Jepang, maupun Bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah. Namun yang lebih menarik lagi mengenai tradisi militer Jepang yang saat itu dalam suasana perang melawan Sekutu, ternyata diwariskan sebagai bentuk romantisasi pendidikan publik sebagai ”penyeimbang besar” (great equalizer), baik di zaman Orde Baru maupun Era Reformasi sekarang ini dalam bentuk ”upaca bendera mingguan setiap hari seni di sekolah-sekolah”.

Dalam bidang sekolah keguruan, pada tahun-tahun awal setelah kemerdekaan, kurikulum mengalami perubahan dari keadaan sebelumnya yang beorientasi pada kepentingan kolonial, menjadi mengarah ke kepentingan bangsa yang baru merdeka. Apakah itu kurikulum 1950-1955 seperti pada Sekolah Guru B (SGB), ataukah Sekolah Guru A (SGA), maupun Kursus B1, Kemudian pada Kurikulum 1955-1960, maupun Kurikulum 1960-1976, dengan SGA diubah menjadi SPG dan SGPD menjadi SGO. Untuk SPG memiliki tiga jurusan, yaitu Jurusan A untuk guru SD, Jurusan B untuk Guru  TK, dan Jurusan C untuk Guru SLB. Kemudian dengan Kurikulum 1976-1984, lebih menekankan kemampuan, pengetahuan, sikap dan keterampilan siswa calon guru dirumuskan dalam bentuk tujuan pendidikan.

Suatu hal yang meneyedihkan dalam masa Orde Baru bahwa pendidikan lebih dititikberatkan pada pertumbuhun kuantitatif telah menimbulkan perkembangan aspek-aspek kualitatif terabaikan. Di Tingkat SD mengenai rendahnya mutu pendidikan sering merupakan sebagai ”musibah nasional” yang telah menjadi kultur sekolah.

Kemudian pada Era Reformasi, dengan dilandasi oleh semangat euforia anti Orde Baru serta krisis berkepanjangan, merupakan  kecemasan tersendiri walaupun ditinjau dari gagasan begitu agung dan mulia. Kehancuran Indonesia dalam masa krisis ibarat A Country in Despair—suatu negeri dan suatu bangsa bukan saja dilabrak oleh akan, tetapi tetapi sudah tenggelam dalam ketiadaan harapan yang mendalam. Dalam despair tidak ada lagi pembicaraan tentang krisis, akan tetapi tentang kedangkalan akal, keruntuhan moral, dan kehancuran semangat dari suatu negara dan bangsa yang rusak, a failed state.

Hal ini terbukti hingga sekarang ini berdasarkan berbagai penelitian yang sering dilakukan bahwa kemampuan mengembangkan berfikir kritis dan kreatif anak didik kita  masih jauh ketinggalan jika dibanding bangsa-bangsa lain sekalipun lebih muda usianya. Para guru dan anak didik kita lebih terbiasa dengan pola-pola pembelajaran yang mengembangkan berfikir convergence, dan sebaliknya mereka miskin berpikir divergence.  Salah satu pelajaran yang dapat diperoleh dari sekitar tiga atau lima tahun pelaksanaan otonomi daerah adalah sesuatu yang ideal dalam teori tidak dengan sendirinya memberikan jaminan dalam realitasnya. Seperti yang dikemukakan UNESCO bahwa persoalan desentralisasi pendidikan bukan terletak pada gagasan atau teorinya yang prospektif bagi perubahan, tetapi lebih penting lagi adalah implementasinya”. Tepat kiranya jika nasib desentralisasi pendidikan kita sebagai “the most elegant in design, comprehensive in coverage, noble in purpose, and complete in its failure”, dan semuanya ini merupakan tantangan bagi kita sekarang !

 

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Apple, M.W. (1982) Education and Power, New York: Routledge, edisi ke-2 diperbaiki 1995; edisi pertama diperbaiki, Boston 1992.

Anderson, James D. (2003) “Lawrence A. Cremin” dalam Joy A Palmer, 50 Pemikir Pendidikan, Dari Piaget Sampai Masa Sekarang, Alih Bahasa Farid Assifa, Yogyakarta: Jendela.

Balitbang Dikbud, (1997) Pendidikan di Indonesiadari Jaman ke Jaman, Jakarta: Depdikbud.

Bank, O. (1977) Sociology of Education, London: Bradford.

Boone, A. Th (1996) Onderwijs en opvoeding in de Nederlandse Koloninin Pedagogisch Tijdschrift. (21), Nr.2.

Brooks, Ron, (1998) King Alfred School and Progressive Movement, 1898-1998, Cardiff: University of Wales Press.

Collins, Randall (1977) “Some comparative principles of educational stratification”, Harvard Educational Review, 47: 1-27.

Cunningham, Peter, (1988) Curriculum Change in the Primary School Since 1945: Dissemination of Progressive Ideal, London dan New York: Falmer Press.

Giroux, H. (1992) Border Crossing: Cultral Workers and the Politics of Education, London: Routledge.

Giroux, M. (1981) Ideology, Culture and the Process of Schooling, London: Falmer Press.

Giroux, M. (1983) Theory and Resistance in Education, London: Heinamans.

Leirissa, R.Z.  (1985) Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950: Terwujudnya Suatu gagasan, Jakarta:PB. PGRI.

Ricklefs, M.C. (2005) Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Simbolon, Parakitri, T. (2000) “Indonesia Memasuki Milenium Ketiga” dalam 1000 Tahun Nusantara, Jakarta: Penerbit Kompas.

Supardan, Dadang (2003) “Turbulensi dan Bahaya Kekerasan dalam Pendidikan”, Dalam Helius Sjamsuddin & Andi Suwirta, Historia Magistra Vitae: Menyambut 70 Tahun Prof.Dr.Hj. Rochiati Wriaatmadja, M.A, Bandung: Historia Utama Press.

Supardan, Dadang (2008) Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Pelajaran Sejarah, Makalah Seminar Nasional, Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS, Bandung: UPI

Supardan, Dadang (2008) Peluang Pendidikan dan Hubungan Antar Etnik, Makalah Seminar Internasional, Gerbang Minda Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi: UKM.

Supriadi, Dedi, (Ed) (2003) Guru di Indonesia: Pendidikan, Pelatihan dan Perjuangannya Sejak Zaman Kolonial Hingga Era Reformasi, Jakarta: Depdikbud.

Watson,, G. (1975) ”Duts Educational Policy in Indonesia”, 1850-1900”, dalam Asia Profile. Vol. 3 (1).

Zed, M. (1986) “Pendidikan Kolonial dan Masalah Distribusi Ilmu Pengetahuan: Suatu Perspektif Sejarah”, dalam Forum Pendidikan, XIII (3).

 

 

Previous

Next

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *