MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN PENELITIAN  DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH*)

 

Oleh :

Agus Mulyana

 *) Disampaikan pada “Workshop Kesejarahan Mengembangkan Budaya Demoktasi Melalui Pembelajaran Sejarah”, yang diselenggarakan oleh Direktorat Nilai Sejarah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan Pariwisata, Denpasar, 16-20 Juni 2009.

 

Penelitian pada dasarnya merupakan cara kerja ilmiah yang ada dalam setiap disiplin ilmu. Begitu pi kisahula halnya, dalam disiplin ilmu sejarah. Sejarah sebagai ilmu, sudah barang tentu memiliki cara kerja dalam penelitian yang dilakukannya. Cara kerja ilmiah dalam disiplin ilmu berkaitan dengan metodologi. Dengan demikian sejarah sebagai ilmu memiliki metodologinya tersendiri yang digunakan dalam penelitian sejarah.

Cara kerja penelitian dapat diterapkan dalam pembelajaran sejarah. Walaupun metodolgi merupakan materi yang diberikan pada level pendidikan yang tinggi (khususnya di perguraun tinggi), akan tetapi dalam konteks pembelajaran sejarah di sekolah, cara penelitian yang digunakan dapat menjadi materi pelajaran. Sejarah yang diajarkan di sekolah tidak hanya sejarah sebagai kisah yaitu menceritakan apa yang terjadi di masa lalu, tetapi juga harus dipahami oleh siswa bagaimana kisah itu dikonstruksi dalam sebuah cerita. Cara mengkonstruksi inilah yang merupakan bagian dalam penelitian sejarah.

 

Penelitian sebagai keterampilan dalam belajar

Penelitian merupakan salah satu keterampilan berfikir yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran. Kemampuan siswa dalam melakukan penelitian merupakan bagian dari keterampilan berfikir (thinking skills). Keterampilan berfikir merupakan proses intelektual sebagai suatu yang esensial dalam pembelajaran (David T. Naylor/Richard Diem, 1987 : 247). Sebab dalam belajar terjadi proses mengolah informasi dalam otak siswa yang diterima dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Dalam pandangan teori belajar yang konstruktivistik proses pengolahan itu dilakukan dengan cara mengkonstruksi pengetahuan. Pembelajaran adalah suatu proses dimana individu-individu mengkonstruksi ide-ide atau konsep-konsep baru berdasarkan atas pengetahuan dan atau pengalaman yang telah ada (http://www.may-coach.com/idtimeline/learningtheory.html.08-02-2004, sebagaimana dikutip Helius Sjamsuddin).

Kemampuan siswa dalam melakukan penelitian merupakan bagian dari cara berpikir kritis siswa. Berfikir kritis merupakan metode ilmu pengetahuan yang diterapkan oleh manusia dalam memahami dunia yang sesungguhnya.Sebab dalam berfikir kritis menggunakan investigasi dengan tindakan-tindakan berupa pertanyaan yang diidentifikasi, merumuskan hipotesis, memperoleh data yang relevan, menguji dan mengevaluasi hipotesis secara logis, dan menarik kesimpulan yang terpercaya (http/www.freeinquiry.com/Critical-thinking.html, 08-06-09).

Berpikir kritis merupakan kajian suatu subjek atau masalah dengan menggunakan pemikiran yang terbuka. Artinya dalam pembelajaran yang membangun sikap berpikir kritis, siswa diberikan seluas-luasnya untuk membuka pemikirannya tentang sesuatu yang ia pertanyakan. Proses yang dilakukan dalam membangun berpikir kritis yaitu dimulai dengan suatu pernyataan yang dipelajari, kemudian dilanjutkan dengan menemukan dan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan  yang tidak terbatas, dan kemudian membuat kesimpulan dengan pola pemahaman yang didasarkan atas kejadian (http://www.studygr.net/crtthk.htm 08-06-09). Jadi dalam pembelajaran berpikir kritis harus berangkat dari masalah.

Masalah yang diangkat dalam pembelajaran hendaklah sesuatu yang menjadi pertanyaan siswa. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat bertitik tolak dari pengalaman dan pengetahuan siswa yang telah ia pelajari dan alami. Masalah tersebut harus dapat dipecahkan oleh siswa. Cara pemecahan yang dapat siswa lakukan yaitu melalui penelitian. Oleh sebab itu dalam proses pembelajaran yang dilakukan hendaknya pembelajaran yang lebih menekankan pada aktivitas siswa. Dasar yang dijadikan aktivitas siswa adalah masalah yang diajukan dalam pembelajaran.

Kemampuan siswa dalam menemukan masalah merupakan suatu keterampilan tersendiri sebagai proses dan hasil belajar. Sebagai proses yaitu masalah dapat ditemukan ketika proses pembelajaran itu sedang berlangsung. Misalnya dalam pembelajaran sejarah guru melontarkan isu-isu kontraversial dalam sejarah. Ketika guru melontarkan hal tersebut maka siswa akan menemukan apa yang dapat menjadi masalah yang menjadi pertanyaan pada diri siswa. Sedangkan hasil, dapat saja masalah itu ditemukan oleh siswa ketika pembelajaran telah berlangsung dan siswa ditugaskan oleh guru untuk mencari masalah berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya yang telah diperoleh.

Dalam pembelajaran di kelas mengembangkan keterampilan penelitian memiliki peran yang penting (http://www.bl.uk/learning/research/skills/planning1/planning.html .08-06-09).yaitu :

  1. Penelitian menyajikan suatu konteks yang membentuk siswa dalam menginterpretasi sumber-sumber (teks, dokumen asli, karya seni atau music.
  2. Penelitian untuk mencapai hasil kreatif yang lebih autentik dan bermankan (seperti membuat cerita sejarah).
  3. Penelitian dapat menjadi suatu percampuran penelitian eksperimen dan fakta yang membantu siswa dalam memecahkan suatu masalah, menguji suatu hipotesis atau suatu desain yang berguna.

Masalah Penelitian Sejarah

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa sebuah penelitian dilakukan berangkat dari masalah. Masalah yang dimaksud adalah pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari seorang peneliti yang kemudian menimbulkan kepanasaranan untuk menjawabnya. Cara menjawab masalah tersebut kemudian dilakukan melalui penelitian.

Setiap penelitian dan penulisan sejarah bermula dari keputusan setelah pertanyaan pokok diajukan (Taufik Abdullah, 2007 : 13). Pertanyaan ini muncul dapat persoalan metodologis maupun teoretis. Untuk menjawab masalah tersebut biasanya sejarawan akan mencari sumber-sumber sejarah. Sumber-sumber tersebut kemudian direkonstruksi dengan menggunakan teori dan metodologi yang akhirnya akan menghasilkan suatu karya sejarah.

Hal yang dapat menjadi masalah dalam penelitian sejarah akan berkaitan dengan tema penulisan sejarah. Sejarah adalah ilmu yang mempelajari manusia dalam konteks waktu dan ruang. Berbagai dimensi kehidupan manusia akan menjadi tema dalam penulisan sejarah. Sehingga timbul berbagai tema penulisan sejarah seperti sejarah politik, ekonomi, budaya, pendidikan, sosial dan sebagainya. Pada masing-masing tema penulisan sejarah tersebut memiliki metodologinya tersendiri.

Masalah dalam penelitian sejarah dapat pula berkaitan dengan interpretasi yang telah dilakukan. Sejarah sebagai kisah adalah sejarah yang penuh dengan interpretasi.Interpretasi dilakukan oleh seorang sejarawan atau penulis sejarah biasanya akan dipengaruhi oleh pandangan dan wawasan pengetahuan dirinya bahkan kepribadiannya pun dapat mempengaruhi. Apabila hal ini terjadi, maka subjektivitas akan muncul dalam penulisan sejarah. Subjektivitas interpretasi biasanya dapat menimbulkan kontraversi bagi pihak lain yang tidak setuju dengan hasil interpretasi tersebut. Hal ini biasanya terjadi, apabila penulisan sejarah yang menggunakan sumber-sumber dimana tokoh-tokohnya masih hidup.

Kontraversi hasil penulisan sejarah saat ini banyak muncul terutama dalam penulisan biografi para tokoh. Banyak sekali tokoh-tokoh penting yang dibuat biografinya. Dalam penulisan biografi tersebut bisanya, sang tokoh akan bercerita tentang perannya dalam suatu peristiwa. Sudah barang tentu peran yang ditampilkan oleh sang tokoh tersebut adalah peran yang baik, bahkan terkadang tokoh tersebutlah yang berparan penting dalam peristiwa tersebut. Kontraversi akan muncul apabila dalam penuturan peran tokoh tersebut menyangkut orang lain. Orang lain tersebut ditempatkan sebagai orang yang kurang berparan dalam peristiwa tersebut dan tokoh orang lain tersebut masih hidup ketika biografi tersebut ditulis. Dalam kasis seperti ini akan muncul kontraversi manakala tokoh orang lain tersebut merasa tersinggung dengan uraian tulisan biografi tersebut.

Untuk menghindari subjekktivitas interpretasi sejarah haruslah mengikuti kaidah-kaidah penelitian sejarah. Sejarah sebagai ilmu memiliki metodologi yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Objektivitas interpretasi didasarkan pada kaidah-kaidah ilmu pengetahuan. Bisanya interpretasi terhadap sumber sejarah dengan menggunakan teori-teori dari ilmu pengetahuan misalnya teori dari ilmu-ilmu sosial.

Dalam pembelajaran sejarah di sekolah,  penelitian sejarah yang dilakukan adalah penelitian yang mengikuti sebagaimana dalam kaidah-kaidah ilmiah. Penelitian sejarah adalah proses dimana siswa menguji topik-topik atau pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan studi sejarah dan atau isu-isu sekarang. Dengan menggunakan sumber-sumber primer dan sekunder yang efektif siswa dapat memperoleh informasi yang akurat dan relevan (http://www.ade.state.az.us. 8-6-2009). Dengan demikian dalam penelitian sejarah yang diterapkan kepada siswa diterapkan kemampuan menemukan pertanyaan-pertanyaan dan mencari sumber-sumber untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Keterampilan siswa dalam melakukan penelitian sejarah merupakan salah satu implementasi dari pembelajaran yang berfikir kritis. Hal ini dikarenakan metode pembelajaran yang dilakukan dengan cara membuka seluas-luasnya bagi siswa untuk mempertanyakan hal-hal yang berkaitan dengan kajian sejarah atau isu-isu sekarang. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tersebut merupakan masalah dalam penelitian. Kemampuan siswa untuk menemukan masalah dalam penelitian sejarah dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan implmentasi cara berfikir kritis siswa. Siswa diminta untuk mengkritisi terhadap pengetahuan yang sudah ia miliki atau pengalaman yang telah ia alami. Contoh pertanyaan kritis tersebut yaitu bagaimana terbentuknya kota tempat dimana siswa itu tinggal, bagaimana kota tersebut kemudian menjadi daerah yang macet lalu lintasnya, bagaimana proses perkembangan kota tersebut menjadi padat penduduknya, dan sebagainya. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, siswa dituntut untuk mencari sumber-sumber informasi yang berkaitan dengan pertanyaan tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tersebut berkaitan dengan tema penulisan sejarah. Dengan demikian masalah dalam penelitian sejarah yang diterapkan dalam pembelajaran berkaitan dengan tema penulisan dan penggunaan sumber.

Tema penulisan yang dikembangkan dalam pembelajaran sejarah sangatlah beragam. Ruang lingkup pembahasan bisa dilihat dari perspektif yang kecil hingga yang luas. Perspektif yang kecil, misalnya sejarah keluarga, sejarah tempat tinggal siswa, situs-situs sejarah yang ada di sekitar tempat tinggal siswa, dan sebagainya. Sedangkan perspektif yang luas bisa dilihat dari aspek kewilayahan atau tema yang luas misalnya masalah politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya. Hal terpenting tema yang hendak dibahas siswa hendaknya tema yang dapat dilihat dan dialami oleh siswa. Pendekatan tema penelitian yang dekat dengan lingkungan belajar siswa diharapkan agar pembelajaran sejarah menjadi lebih kontekstual. Siswa dapat belajar tentang kenyataan yang ia lihat atau alami atau yang ia ketahui. Sebab salah satu ciri dari pembelajaran yang kontekstual adalah materi yang dikembangkan adalah materi yang lebih dekat dengan lingkungan belajar siswa.

 

Pencarian dan Pengumpulan Sumber

Setelah menetapkan masalah yang menjadi tema penelitian sejarah, langkah berikutnya dalam penelitian sejarah adalah pencarian atau pengumpulan sejarah. Klasifikasi sumber sejarah yang dicari sangat tergantung pada tema penulisan sejarah. Sumber sejarah dalam konteks pembelajaran merupakan sumber informasi yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh siswa ketika dia akan melakukan penelitian sejarah.

Sumber sejarah dapat diklasifikasikan dengan beberapa cara : mutakhir atau kontemporer (contemporary) dan lama (remote); formal (resmi) dan informal (tidak resmi); juga pembagian menurut asal (dari mana asalnya), isi (mengenai apa), dan tujuan (untuk apa), yang masing-masing dibagi-bagi lebih lanjut menurut waktu, tempat, dan cara atau produknya (Helius Sjamsuddin, 2007 : 96).

Klasifikasi sumber sejarah bisa dilihat dari jenis fisiknya yaitu ada sumber tertulis, lisan dan benda atau artefak). Selain itu klasifikasi sumber dapat dilihat pula dari sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer atau sumber pertama atau “sumber asli” dari sumber pertama ialah evidensi (bukti) yang kontemporer (sezaman) dengan sesuatu peristiwa yang terjadi Helius Sjamsuddin, 2007 : 107). Sedangkan sumber sekunder adalah sumber kedua, sumber yang merupakan kutipan dari sumber kedua kalau itu merupakan sumber tertulis atau jika sumber lisan yaitu orang yang tidak menyaksikan langsung suatu peristiwa tetapi dia mengetahui cerita peristiwa tersebut dari orang lain. Jadi sumber sejarah baik sumber lisan maupun sumber tertulis ada yang merupakan sumber primer dan ada juga yang sumber sekunder.

Sumber tertulis adalah berbagai tulisan yang dibuat ketika peristiwa itu terjadi dan dibuat langsung oleh orang yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Beberapa contoh sumber tertulis misalnya arsip, surat-surat, catatan-catatan-pribadi, notulen rapat, laporan, dan sebagainya. Arsip misalnya catatan tentang data penduduk desa yang dibuat oleh RT/RW pada tahun tertentu. Surat-surat misalnya surat yang dibuat oleh seorang tokoh kepada temannya ketika suatu peristiwa terjadi. Catatan pribadi misalnya catatan harian yang dibuat oleh seseorang. Notulen rapat misalnya catatan sekretaris tentang materi pembicaraan yang dibahas dalam suatu rapat. Laporan misalnya laporan keuangan sebuah perusahaan. Pada dasarnya yang disebut dengan sumber tertulis adalah berbagai catatan yang dibuat ketika suatu peristiwa tersebut berlangsung.

Sumber lisan dapat dibedakan dalam dua katagori yaitu pertama sejarah lisan (oral history) atau ingatan lisan (oral reminiscence) dan tradisi lisan (oral tradition). Sejarah lisan atau ingatan lisan yaitu ingatan tangan pertama yang dituturkan secara lisan oleh orang-orang yang diwawancarai oleh sejarawan. Tradisi Lisan yaitu narasi dan deskripsi dari orang-orang dan peristiwa-peristiwa pada masa lalu yang disampaikan dari mulut ke mulut selama beberapa generasi (Helius Sjamsuddin, 2007 : 102-103).

Penerapan keterampilan meneliti dalam implementasi pembelajaran sejarah berbagai katagori sumber sejarah dapat digunakan, baik sumber tertulis maupun sumber lisan. Penggunaan sumber tersebut sebagaimana telah dikemukakan tergantung pada tema penulisan sejarah. Dalam konteks pembelajaran sejarah, akan lebih baik jika tema yang dijadikan penelitian sejarah adalah tema yang dekat dengan lingkungan belajar siswa atau mencari sumber-sumber sejarah yang dekat dengan tempat tinggal siswa. Misalnya siswa diminta untuk membuat tema-tema mengenai peristiwa-peristiwa penting dalam keluarga. Untuk menjawab masalah ini maka sumber yang dicari oleh siswa adalah sumber lisan dan sumber tertulis atau sumber fisik lainnya. Peristiwa keluarga misalnya perayaan-perayaan yang pernah dilakukan oleh keluarga tersebut. Perayaan-perayaan tersebut misalnya ulang tahun anggota keluarga, pesta pernikahan, khitanan anak dan sebagainya. Sumber lisan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan wawancara terhadap anggota keluarga yang ikut menyaksikan peristiwa tersebut. Sumber tertulis dapat berupa tulisan-tulisan yang berkaitan dengan perayaan tersebut misalnya surat undangan, buku tamu, ucapan-ucapan selamat yang ditulis dan sebagainya. Sedangkan sumber fisik lainnya dapat digunakan foto-foto. Berdasarkan pencarian sumber-sumber  tersebut akan diketahui bagaimana gambaran situasi ketika perayaan-perayaan tersebut dilaksanakan.

Dalam ruang lingkup yang lebih luas, penelitian sejarah dapat juga dilakukan dengan meneliti sejarah mengenai tema di luar keluarga misalnya siswa diminta untuk menulis mengenai situs-situs sejarah yang ada di tempat tinggalnya. Untuk menjelaskan situs tersebut siswa diminta untuk mencari sumber-sumber baik sumber tertulis maupun sumber lisan. Sumber tertulis kemungkinan besar merupakan sumber sekunder, misalnya siswa membaca literature, mencari di internet, koran, dan sebagainya. Sedangkan sumber lisan siswa dapat mewancarai orang yang mengetahui situs tersebut, bahkan siswa juga dapat mencari sumber melalui tradisi lisan. Ada perbedaan pokok antara sejarah lisan (hasil wawancara dengan tokoh) dan tradisi lisan. Sejarah lisan biasanya kita mewancarai terhadap tokoh yang menyaksikan langsung mengenai peristiwa tersebut, jadi yang kita cari adalah kebenaran fakta dari sumber sejarah tersebut. Sedangkan tradisi lisan biasanya berupa cerita yang berisi tentang mitos-mitos dari situs tersebut. Mitos tersebut dapat berupa legenda atau cerita rakyat yang diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi.Dalam khasanah sastra mitos tersebut dapat dikatagorikan sebagai folklore. folklor dapat didefinisikan yaitu sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu (James Danandjaya, 1986 : 2). Hal terpenting yang kita cari dari tradisi lisan tersebut bukan kebenaran fakta, tetapi bagaimana nilai-nilai yang terkandung dari cerita tersebut. Biasanya kita dapat menjadikan cerita tersebut sebagai pengajaran moral. Tradisi lisan yang demikian merupakan bagian dari kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat kita (Agus Mulyana, 2009 : 3). Dengan demikian pencarian sumber yang dilakukan siswa, tidak hanya sekedar siswa mengetahui fakta atau sumber sejarah, akan tetapi siswa akan mendapatkan pengajaran moral.

Kritik Sumber

Sumber-sumber yang digunakan dalam mencari informasi mengenai tema penelitian yang telah diajukan haruslah merupakan sumber yang valid dan memiliki relevansi dengan tema sejarah yang ditelitinya. Dalam metode sejarah terdapat dua metode kritik yaitu kritik interen dan kritik eksteren. Kritik interen adalah kritik terhadap isi yang ada dalam sumber tersebut. Misalnya, kita menemukan surat pribadi seorang tokoh, kritik intern yang kita lakukan adalah apakah isi surat tersebut benar-benar memuat cerita sejarah yang ia alami, apakah tokoh tersebut bercerita benar atau bohong. Sedangkan kritik eksteren adalah kritik terhadap aspek luar atau benda fisik dari sumber tersebut. Misalnya apakah kertas yang digunakan surat tersebut benar-benar jenis kertas yang sudah ada ketika surat tersebut ditulis. Apabila surat tersebut ditulis pada tahun 1966 dan menggunakan kertas computer, sudah barang tentu sumber tersebut tidak valid. Karena pada tahun 1966 di Indonesia belum ada computer.

Dalam mengembangkan keterampilan penelitian pada pembelajaran sejarah amatlah penting melakukan kritik terhadap sumber. Kemampuan siswa dalam melakukan kritik terhadap sumber sejarah merupakan kemampuan belajar pada level berfikir yang tinggi, karena dalam kegiatan ini siswa sudah mampu melakukan evaluasi terhadap suatu informasi yang ia terima. Dalam konteks penelitian kemampuan menguji sumber hamper mirip dengan kemampuan menguji hipotesis, walaupun dalam penelitian sejarah sebagai bentuk penelitian kwalitatif tidak ada hipotesis. Pernyataan-pernyataan yang menjadi anggapan umum dalam sejarah dapat merupakan semacam hipotesis.

Kritik sumber yang dapat diterapkan dalam penelitian sejarah di kelas sudah barang tentu tidak selevel sebagaimana layaknya para sejarawan professional. Hal ini sangat menuntut kemampuan berfikir pada ranah yang tinggi. Kritik sumber dalam implementasi pembelajaran sejarah dapat diarahkan pada bagaimana siswa memberikan penilaian terhadap isu-isu kontraversial dalam sejarah. Misalnya isu mengenai peristiwa Gerakan 30 September 1965. Banyak sekali versi penafsiran tentang peristiwa ini. Untuk mengkritisi sumber tersebut siswa dapat mencari berbagai sumber baik melalui media, buku-buku, artikel bahkan melalui internet yang bercerita tentang Gerakan 30 September. Siswa diminta untuk memberikan penilaian terhadap tulisan sumber-sumber tersebut, mana menurut siswa yang mendekati kebenaran peristiwa yang sesungguhnya dan apakah siswa setuju terhadap penafsiran dari berbagai sumber tersebut, apa yang menjadi alasan siswa tersebut bersikap setuju dan tidak setuju. Pendapat yang disampaikan oleh siswa mungkin akan beragam. Keragaman pendapat yang disampaikan oleh guru haruslah dihargai. Guru tinggal menilai bagaimana argument siswa dalam memberikan penilaian sumber tersebut. Bahkan guru harus memberikan arahan kepada siswa yang berbeda pendapat.

Kritik sumber tidak hanya diberikan pada suatu peristiwa yang kontraversial. Siswa dapat diminta pula untuk memberikan penilaian terhadap isi museum sejarah. Misalnya di kota tempat tinggal siswa terdapat museum. Siswa diminta penilaian terhadap sumber-sumber sejarah yang ada dalam museum tersebut. Di museum tersebut misalnya terdapat lukisan yang menceritakan peran seorang tokoh pejuang. Siswa kemudian dimintai komentar untuk memberikan penilaian terhadap isi cerita lukisan tersebut. Apakah siswa setuju terhadap peran tokoh tersebut sebagaimana yang diceritakan dalam lukisan. Kemudian diminta untuk memberikan alas an mengapa memberikan sikap setuju dan tidak setuju. Hal yang harus dilihat oleh guru bukanlah setuju atau tidak setuju akan tetapi bagaimana alasan logis siswa memberikan sikap tersebut.

Kemampuan siswa dalam memberikan kritik dapat pula dilakukan terhadap sumber-sumber lisan. Dalam implementasi pembelajaran sejarah dapat dilakukan dengan cara mendatangkan seorang tokoh pelaku sejarah untuk bercerita mengenai pengalamannya suatu peristiwa sejarah. Tokoh tersebut diundang ke kelas dan bercerita mengenai suatu peristiwa sejarah. Ketika peristiwa tersebut dikisahkan, siswa dimnta untuk mengajukan berbagai pertanyaan. Pertanyaan yang mengarah pada kritik sumber adalah benarkah cerita yang disampaikan oleh tokoh tersebut ?  Apakah benar tokoh tersebut berperan dalam peristiwa yang ia ceritakan ? Apakah tokoh tersebut hanya sekadar membesar-besarkan perannya sendiri dan mengesampingkan peran tokoh yang lainnya ?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut bersifat kritis dan menguji validitas sumber.

Keterampilan dalam memberikan kritik sumber tidak hanya mengukur kemampuan siswa pada aspek kognitif saja, akan tetapi aspek afektif pun bisa dinilai. Sejarah dalam konteks pendidikan memiliki misi untuk pengajaran moral. Pernyataan siswa yang bersikap setuju dan tidak setuju sebenarnya dapat pula memberikan ajaran moral tidak hanya alasan logika semata. Misalnya kita dapat bertanya mengapa tokoh tersebut harus kita teladani, ajaran moral apa saja yang diajarkan oleh tokoh tersebut, dan sebagainya.

Penulisan Sejarah

Dalam metode sejarah, penulisan sejarah atau historiografi adalah langkah terakhir yang dilakukan oleh seorang sejarawan. Dalam langkah penulisan akan mengandung interpretasi dari penulis. Sejarah sebagai kisah akan Nampak ketika sejarah tersebut ditulis. Biasanya kepribadian seorang penulis akan mempengaruhi terhadap interpretasi ketika sumber-sumber tersebut ditulis. Historiografi pada dasarnya merupakan gambaran struktur imaginasi dari penulis sejarah.

Ketika sejarah menjadi suatu tulisan (historiografi) dapat menimbulkan berbagai kontraversi. Kontraversi ini dapat muncul baik dari aspek metodologinya maupun sumber-sumber yang digunakan. Aspek metodologi akan berkaitan dengan penafsiran yang digunakan oleh penulis sejarah. Penulisan sejarah yang dilakukan oleh seorang sejarawan professional dengan sejarawan amatiran, sudah barang tentu akan berbeda hasilnya. Seorang sejarawan professional akan menggunakan kaidah-kaidah akademik, sedangkan seorang amatiran hanya mengkonstruksi sumber sejarah secara kasat saja bahkan interpretasi pun lebih bersifat pribadi belaka.

Dalam sejarah Indonesia sudah banyak produk dari historigrafi yang menimbulkan kritikan khususnya sejarah yang berkaitan dengan tema-tema politik yang ditulis oleh versi pemerintah. Historiografi tersebut kemudian menjadi buku pelajaran sejarah yang banyak diajarkan di sekolah-sekolah. Dalam penulisan buku sejarah yang dipakai di sekolah merupakan interpretasi pemerintah. Banyak kalangan yang memberikan kritik terhadap peristiwa-peristiwa tertentu yang dianggap kontraversial interpretasinya seperti peristiwa Gerakan 30 September 1965. Sehingga timbul pendapat perlunya “pelurusan sejarah” Indonesia (Bambang Purwanto, 2006 : xv).

Implementasi keterampilan menulis sejarah dalam konteks pembelajaran sejarah hendaknya dapat disederhanakan, disesuaikan dengan kemampuan berfikir siswa. Misalnya siswa diminta untuk membuat karangan sejarah mengenai peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di keluarganya. Untuk menunjukkan bahwa karangan tersebut merupakan suatu karya ilmiah yang menggunakan kaidah-kaidah penelitian sejarah maka diminta dalam tulisan tersebut berdasarkan hasil wawancara atau sumber-sumber tertulis lainnya. Hasil wawancara dapat ditranskripkan dan dilampirkan dalam tulisan tersebut. Kemampuan siswa dalam membuat karangan harus dilihat bukan hanya isi karangan saja bagaimana siswa mampu merekonstruksi sumber sejarah dalam sebuah karangan cerita. Prinsip penilaian yang digunakan sudah barang tentu berbeda dengan cara mengarang dalam pelajaran bahasa.

Selain menulis karangan keluarga, dalam konteks yang lebih luas, siswa pun dapat diminta untuk membuat sejarah mengenai situs-situs sejarah yang ada di dekat tempat tinggalnya. Uraian cerita siswa harus berdasarkan sumber-sumber yang ia gunakan, baik sumber tertulis maupun sumber lisan. Sumber tertulis, guru dapat melihat bagaimana siswa mengutip literature-literatur atau hasil download internet. Sumber lisan bagaimana siswa merekonstruksi cerita berdasarkan penuturan dari orang atau tokoh yang mengetahui situs tersebut. Rekonstruksi sumber sejarah menjadi sebuah cerita merupakan keterampilan penelitian sejarah yang dilakukan oleh siswa. Sejarah sebagai kisah dalam uraian siswa adalah uraian cerita yang didasarkan pada sumber-sumber yang terpercaya.

Kesimpulan

Keterampilan penelitian dalam pembelajaran sejarah dapat diajarkan kepada siswa di kelas. Dalam materi ini dituntut siswa untuk memiliki kemampuan kognitif pada level yang tinggi. Bahkan berbagai level kognitif siswa dapat diterapkan mulai dari level pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi. Mengembangkan ketampilan dalam penelitian sejarah merupakan bagian dari pengenalan kepada siswa sejarah sebagai ilmu. Sejarah di kelas tidak hanya sekedar diterapkan sebagai cerita belaka. Sejarah sebagai ilmu memiliki metodologi yang digunakan dalam penelitian. Implementasi penelitian sejarah dalam pembelajaran sejarah harus disesuaikan dengan tingkat berfikir siswa.

 

DAFTAR PUSTAKA

Agus Mulyana,” Mengembangkan Kearifan Lokal Dalam Pembelajaran Sejarah”, Makalah disajikan dalam Seminar Internasional “Mengembangkan Social Skills Dalam Pembelajaran IPS di Sekolah”, Kerjasama Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI dengan Universiti Kebangsaan  Malaysia, Bandung, 29 Januari 2009.

Bambang Purwanto, (2006), Gagalnya Historiografi Indonesiasentris ?!, Yogyakarta : Ombak.

David T. Naylor/Richard Diem, (1987), Elementary And Middle School Social Studies, New York : Random House.

Helius Sjamsuddin, (2007), Metodologi Sejarah, Yogyakarta : Ombak.

Taufik Abdullah,”Di Sekitar Penelitian Sejarah Lokal”, dalam Agus Mulyana & Restu Gunawan, Ed. (2007), Sejarah Lokal Penulisan dan Pembelajaran di Sekolah, Bandung : Salamina Press.

 

Sumber Internet :

http://www.may-coach.com/idtimeline/learningtheory.html.08-02-2004

http://www.studygr.net/crtthk.htm 08-06-09

http://www.bl.uk/learning/research/skills/planning1/planning.html .08-06-09

http://www.ade.state.az.us. 8-6-2009

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

 

 

 

.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *