MAJU DAN KOMPETITIF: Berbasis Budaya dan Kearifan Lokal

Dadang Supardan

Yth:

Ketua Yayasan STKIP Setiabudhi Bpk Tubagus Natasasmita

Pembantu Pimpinan Yayasan STKIP Setiabudhi Bpk. H. Maruli Sitorur, M.M.

Ketua STKIPSetiabudhi Drs. H. Suhardja, M.Pd.

Puket I Drs. Habib Cahyono, M.Si.

Para Tamu Undangan dan Wisudawan

 

Assalamu alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Illahi Robbi karena berkatNyalah kita dapat bersilaturahmi dalam acara ini, salam dan shalawat semoga tercurah pada Nabi Allah Muhammad SAW beserta keluarga dan para Sahabatnya Amin ya Rabal Alamin.

Sesuai dengan permintaan panitia, topik orasi ini adalah: ”MAJU DAN KOMPETITIF: Berbasis Budaya dan Kearifan Lokal”, merupakan suatu topik yang sesuai dengan Renstra Diknas 2005-2025 dan Renstra Dikti 2003-2010 menetapkan visi utama adalah menghasilkan Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif, yang sesuai pula dengan  perkembangan zaman dengan fenomena-fenomena, di mana di satu sisi betapa tingginya kompetisi untuk maju baik di bidang akademik maupun non akademik, sedangkan di sisi lain betapa petingnya basis budaya dan kearifan lokal sebagai upaya landasan kita berperadaban maupun sebagai penyeimbang dalam mengikuti perkembangan budaya global.

Hadirin yang yang saya hormati..!

Ada suatu pemeo; ”semakin tinggi kita mendirikan gedung, semakin dalam dan kokoh fondasi yang diperlukan”. Ibarat membangun suatu gedung, maka pembangunan suatu bangsa memerlukan suatu fondasi yang kokoh pula. Semakin jauh dan reflektif  menyikapi pengalaman sendiri dan bangsa lain, semakin bermaanfaat dalam membuat proyeksi kedepan pembangunan bangsanya. Mengapa demikian? Karena  kita selaku manusia, merupakan makhluk Tuhan yang teristimewa, manusia tidak sekedar memiliki masa lampau, melainkan berusaha memberi gambar masa kelampauannya itu untuk masa kini dan masa depan. Dan, sebagai makhluk Tuhan yang teristimewa, manusia tidak sekedar memiliki masa depan, melainkan berusaha membuat proyeksi tentang hari depannya itu. Itulah keunikan manusia memiliki tiga dimensi waktu, masa lampau, masa kini, dan masa depan.

Hadirin yang saya harmati…!

Kalau kita analisis dengan mengikuti pola Sejarawan Paul Kennedy dengan metode Large History atau Macro History, maka dari perjalanan sejarah berbagai negara-bangsa (Nation-State) mendemonstrasikan: adanya sekelompok negara bangsa yang muncul  sebagai pemenang (the winner) dan sekelompok lainnya yang tertinggal sebagai negara yang kalah (the loser), ketika proses perubahan global yang fundamental—yang bersifat revolusioner—melanda dunia. Analisis yang meliputi periode berjangka sangat lama (epochal), hingga mencapai ratusan tahun lamanya itu; dan yang menjangkau kejadian-kejadian di berbagai bidang sekaligus, memperlihatkan penyebab dari adanya the winners dan the losers tersebut, adalah tidak samanya persepsi dan respons setiap negara-bangsa terhadap perubahan revolusioner yang terjadi pada suatu kurun waktu tertentu.

Terdapat sejumlah negara bangsa yang mampu dengan cepat menyesuaikan diri dengan perubahan (fastadjusters), dan melakukan reforms yang berani sebagai layaknya yang bersikap optimis. Sedangkan di satu sisi ada sejumlah negara bangsa lainnya yang muncul sebagai slow adjusters, sebagai akibat respons yang didasarkan kepada cara pandang yang pesimistis—bahkan bersikap apocalyptic atau alrmists.  Kelompok yang terakhir ini memandang perubahan cepat yang terjadi sebagai ancaman; bahkan bahayanya terhadap eksistensi negara-bangsa, dan karena itu bersikap, perubahan itu harus ditentang dan bukannya disambut untuk dijadikan landasan bagi penyesuaian (Kennedy, 1995: 218).

Selanjutnya, keberanian atau keengganan untuk melalukan proses penyesuaian diri pada suatu negara-bangsa ditujukannya bukan sebagai suatu historical accident (kebetulan sejarah), melainkan hasil prakarsa dari sekelompok pemimpin pada negara bangsa tersebut untuk muncul dan menawarkan political leadership dari jenis tertentu. Dengan membahas perjalanan sejarah manusia berabad-abad; dan melayangkan pandangan jauh kedepan, kita melihat betapa pentingnya Manajemen Teknologi. Kita bisa bisa belajar bagaimana di masa lalu (Revolusi Industri) bahwa Manajemen Teknologi telah berhasil memberikan jawaban yang jitu kepada masalah-masalah ”Ledakan Penduduk (Demographic Explosion); dan di masa datang akan berperan penting dalam menghadapi masalah penyusutan sumber alam dan kerusakan lingkungan hidup (Kennedy, 1995: 12). Selanjutnya Kennedy mengemukakan bahwa power of technology adalah:

Kemampuan dari pikiran manusia (human mind) untuk menemukan cara-cara baru melakukan kegiatan, menciptakan perangkat-perangkat baru (new devices), mengorganisasikan produksi dalam bentuk-bentuk baru, mempercepat gerakan pemindahan barang-barang dan gagasan-gagasan dari satu tempat ke tempat lainnya, dan menstimulisasi cara-cara pendekatan baru untuk menyelesaikan masalah-masalah lama” (Kennedy, 1995: 331-332).

 

Pada gilirannya, upaya untuk meningkatkan power teknology bukan saja terletak pada kemampuan suatu negara-bangsa membangun pendidikan, melainkan juga menegakkan kepemimpinan  politik (political leadership) yang mampu menghadapi benturan pelbagai perubahan.

Lalu bagaimana cara kita (bangsa Indonesia) agar mampu menjadi bangsa the winners?  Secara jujur harus kita akui, sebenarnya, bagaimana pertanyaan-pertanyaan tersebut juga harus kita ajukan kepada hipotesis-hipotesis Pasca-Perang Dingin yang bersangkutan, seperti dikemukakan oleh John Nisbit tentang Global Paradox (1994), dan High Tech High Touch (1999); Alvin Toffler, Powershift: Knowledge, Wealth, and Violence at the Edge of the 21th Century; Samuel P. Huntington ; The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996); Francis Fukuyama, The End of History Last Man (1995); Kenichi Ohmae, The Borderless World (1991). Namun jauh sebelum berakhirnya Perang Dingin sebetulnya sudah banyak pula keluar hipotesis yang berhasil memberi interpretasi yang jitu kepada proses perubahan global yang terjadi—seperti hipotesis Marshall McLuhan tentang The Global Village. Semua hipotesis-hipotesis skala raksasa tersebut mencoba memberikan kerangka analisis, yang mereka yakini mampu memberikan secara objektif bentuk, sifat dan arah proses-proses perubahan global yang sedang terjadi.

Menurut Kenichi Ohmae dalam The Borderless World (1991) salah satu ciri dalam manusia global yang tanpa batas adalah

Semakin baik orang mendapat informasi, semakin baik mereka mengetahui apa yang sedang berlngsung di tempat lain di dunia, semakin mereka menginginkan untuk diri sendiri semua hal yang membuat kehidupan menyenangkan dan dapat dinikmati. Dan merekapun semakin ingin membuat pilihan sendiri (Ohmae, 1991: 205).

 

Dengan demikian otonomi untuk menjadikan dirinya lebih dewasa dan bertanggung jawab akan lebih nampak bagi orang yang banyak menerima informasi global. Mereka tidak begitu peduli lagi atas dari bangsa mana informasi itu berasal. Bahkan dalam ekonomi yang saling mengait, tidak begitu jadi soal, siapa yang membangun pabrik atau siapa yang memiliki gedung kantor atau uang yang ada di belakang pusat perbelanjaan atau ekuitas siapa yang memungkinkan operasi lokal. Yang penting adalah bahwa perusahaan global antara satu dengan yang lain melakukan bisnis dalam seperangkat perbatasan politik bertindak sebagai warga perusahaan yang bertanggung jawab (Ohmae, 1991: 206). Jika mereka demikian tidak peduli apa asal negara mereka, merekas akan memperlakukan dengan adil, memberi mereka pekerjaan yang baik dan memberi produk dan jasa yang berharga.

Pada bagian lain Ohmae (1991: 63) mengemukakan bahwa tekad yang terpenting dalam era global ini adalah tekad untuk melepaskan diri dari refleks. Hal ini berarti ”mengerjakan lebih banyak dan lebih baik” dan berespons terhadap kondisi yang berubah dengan melihat sistem perusahaan yang sudah mapan dengan mata yang segar. Artinya di era globalisasi semakin diperlukan profesi-profesi yang handal dan teruji.

Walaupun istilah ”profesi” pada awalnya berarti sejumlah pekerjaan terbatas, yaitu pekerjaan-pekerjaan yang hanya ada dalam era pra-industri di Eropa, yang membuat orang-orang berpenghasilan mampu hidup tanpa tergantung pada perdagangan atau pekerjaan manual. Hukum, kedokteran, dan keagamaan merupakan tiga profesi klasik, tetapi pejabat, angkatan perang (darat dan laut)  kemudian juga dimasukkan ke dalam profesi (Waddington, 2000: 844).

Berlant (1975) dan Friedson (1970) profesi diartikan sebagai proses monopolisasi dan mengontrol pekerjaan. Dalam pendekatan ”ciri atau daftar” atau check-list, Millerson (1964) setelah meneliti literatur dengan cermat, mendaftar tidak kurang dari dua puluh tiga unsur, yang dipisahkan dari karya duapuluh satu penulis, yang telah memasukkan berbagai definisi profesi. Tidak ada item tunggal yang dierima oleh penulis sebagai karakteristik profesi yang dibutuhkan, dan tidak ada dua penulis yang sepakat mengenai kombinasi elemen mana yang dapat diambil sebagai definisi. Tetapi ada enam karakteristik yang sering disebut-sebut yaitu; (1) memiliki keahlian  berdasrkan pengetahuan teoretis; (2) adanya pelatihan dan pendidikan; (3) uji kemampuan anggota; (4) adanya organisasi; (5) terikat dengan aturan pelaksanaan; (6) dan jasa altruistik. Hal ini sejalan dengan pendapat Abbott Abbott (1988; 1991) bahwa profesi sebagai kelompok pekerjaan eksklusif yang melakukan yuridiksi pada bidang pekerjaan tertentu—yuridiksi pekerjaan berdasarkan kontrol yang abstrak, esoterik, dan pengetahuan intelektual. Defenisi profesi akan lengkap jika kita ikuti selanjutnya di mana profesional adalah pekerjaan yang dilakukan sesorang dan menjadi sumber penghasilan  kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, kecakapan, memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (UU Guru dan Dosen No.14 Th 2005).

 

Hadirin yang saya hormati..!.

Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa harus berbasis budaya dan kearifan lokal?  Untuk menjawab pertanyaan tersebut  ada baiknya kita simak tulisan John Naisbit dan Douglas Philips dalam High Tech High Touch, (2001) di mana masyarakat sekarang ini terdapat kecenderungan ”Gejala Mabuk Teknologi Tinggi” yang jika diurai fenomenanya menjadi enam fenomena negatif, yakni;

(1) Masyarakat, pemuda, anak-anak lebih menyukai penyelesaian masalah secara kilat, dari masalah agama sampai masalah gizi;–ingin serba instan, pengobatan alternatif ke dukun;

(2) Kita takut sekaligus memuja teknologi;–anak-anak yang suka electronik game (PS) kekerasan dikhawatirkan kehilangan rasa sensitifnya terhadap bahaya kekerasan dengan tidak mengenal kasihan sama teman permainan (desensitisasi);

(3) Mengaburkan perbedaan antara yang nyata dan yang semu; Contohnya, anak-anak dan pemuda-pemuda kita sudah tergila-gila dengan elektronik game mereka. Apa yang ada dengan permainan-permainan elektronik mereka hampir tipis bedanya dengan dunia nyata. Mengapa? Karena semua permainan elektronik diimitasi oleh mereka, dari perkosaan, penculikan, pembunuhan, sampai mutilasi gaya Ryan Di Jombang Jawa Timur, itu bagian yang tidak bisa dipisahkan  dari implikasi mabuk teknologi.

(4) Kita sepertinya menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar: Kita bisa melihat sekarang ini sebagian besar anak-anak suka dengan Play Statition (PS) yang menyajikan adegan-adegan kekerasan. Walaupun itu hanya sebuah parodi, penelitian telah membuktikan bahwa anak-anak kita tumpul terhadap rasa belas kasihan terhadap orang lain yang teraniaya.

(5) Kita mencintai teknologi dalam wujud mainan.  Tanpa merasa malu, kita menikmati kenyamanan mainan orang dewasa karena teknologi konsumen telah berkembang dari kemewahan menuju kebutuhan menuju produk mainan (Naisbit dan Philips, 2001: 37). Dengan $8.000 kita bisa membeli go-cart yang mampu melaju lebih dari 160 km per jam. Di Nike, kita  kita bisa bermain bola basket bersama tiruan Michael Jordan . Kita bisa menyaksikan video real time di Sony  atau menikmati musik berskala penuh American Girl.

(6) Kita menjalani kehidupan yang  terenggut. Artinya kita sebagai manusia kadang tidak punya arti apa-apa karena ketergantungannya yang tinggi terhadap karya kita (manusia) sendiri yang tak bisa dielakan. Anda bisa coba, sehari saja Anda tidak bawa HP ke tempat kerja, seperti yang kehilangan segala-galanya, padahal HP buatan manusia. Atau sehari saja di tempat Anda tidak ada listrik, sepertinya kehidupan itu begitu asing dan tidak berdaya Anda di situ bukan?

Untuk bisa bebas dari ketergantungan atau mabuk teknologi tersebut, maka kita kita harus bisa menempatkan teknologi secara proporsional. Teknologi adalah bagian integral dari evolusi kebudayaan, produk kreatif  dari imajinasi kita, semua mimpi, dan aspirasi kita—dan bahwa hasrat untuk menciptakan teknologi baru pada dasarnya bersifat naluriah.  High Tech adalah mengungkapkan betapa bermaknanya menjadi manusia dan memanfaatkan teknologi dalam pengungkapan tersebut. High Tech approach adalah pengembangan SDM yang difokuskan pada pada pengembangan ilmu pengetahuan, keterampilan dan pengalaman untuk menguasai , mengendalikan dan mengembangkan berbagai aspek teknologi canggih. Artinya bila information technology merupakan teknologi canggih yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan orang banyak, maka SDM Indonesia harus didik dilatih agar ilmu pengetahuan, skils, dan pengalaman yang diperlukan untuk menguasai information technology dapat dikuasai dan dimiliki oleh SDM  Indonesia. Sebab High Tech juga di satu sisi teknologi mendukung dan membantu kehidupan manusia, sementara di sisi lain mengucilkan, memencilkan, mendistorsi, dan menghancurkannya.

Untuk itulah melalui High Touch approach adalah proses pengembangan SDM yang menitik beratkan pada pengembangan potensi-potensi kemanusiaan yang paling mendasar yang diperlukan oleh manusia untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabatkemanusiannya (Gaffar, 1996; 14). Dalam arus globalisasi dan information technology, berbagai pengaruh  dari luar menerpa nilai-nilai dasar, adat istiadat, dan budaya masyarakat tanpa mengenal kompromi, sehingga kerap kali terjadi benturan dan konflik nilai-nilai. High Touch adalah pengembangan kemampuan manusia untuk mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai kemanusian melalui pengembangan potensi kepribadian yang dapat di menangkal pengaruh-pengaruh negatif terhadap harkat dan martabat kemanusiaan yang paling mendasar. Pengembangan iman dan taqwa, kejujuran, kemandirian motivasi untuk berpresrasi, toleran, saling cinta-mencintai  sesama manusia adalah contoh cakupan dalam High Touch approach.

Di sinilah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi harus berbasis budaya dan kearifan lokal. Berbasis budaya karena budaya itu sendiri pada hakikatnya sebagai suatu sistem pengetahuan gagasan dan kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat. Budaya juga merupakan pedoman aktivitas sosial yang memberi pedoman bagi masyarakat dalam hal bersikap dan berperilaku atas kontaknya dengan lingkungan alam dan sosial dimana mereka berada. Dan, di satu sisi kebudayaan dipandang sebagai warisan sosial dengan segala yang tampak berupa  perilaku dan benda-benda produk, kegiatan penelitian terhadapnya tentunya ide yang terbentuk dalam kelompok etnik, seperti halnya yang diperhatikan adalah berupa benda-benda fisik yang suudah jadi. Masih berkisar pada pandangan ini, dikatakan bahwa setiap kebuadayaan merupakan susunan teknik-teknik adaptasi atau strategi terhadap ekosistem dan memperoleh input dari luar. Strategi adaptif tersebut lahir dari dalam masyarakat melalui lembaga yang berfungsi evaluasi, selektif dan dinamik mengembangkan semua aspek-aspek kebudayaan dan memproduksi output berupa perilaku memangku kebudayaan. Semua itu adalah hasil kearifan budaya atau semacam local  knowledge yang menjadi sumber perkembangan budaya secara luwes melalui tranformasi.

Manifestasi agama dalam berbagai bentuk budaya lokal di Indonesia dapat dilihat dalam keragaman budaya nasional.          Kita akan mendapatkan sejumlah ekspresi dan pola budaya yang berbeda-beda sesuai dengan kebaikan dan kekuarangan yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat. Dengan kata lain agama selalu dihadapkan dengan dialektika budaya setempat.  Yang terpenting adalah bagaimana agama yang universal berada dalam suatu wilayah dialog mutual dengan budaya-budaya lokal yang bersifat partikular.

Ironisnya tidak semua pemeluk agama memahami masalah ini dengan benar. Mereka agak phobia menghadapi budaya lokal. Budaya lokal dianggap sebagai hal yang tidak cocok dengan budaya agama. Kekuatan hegemoni agama formal yang didukung oleh otoritas ortodoksi mendudukkan budaya lokal—termasuk seni tradisi vis avis otoritas keagamaan. Agama telah menjadi buldoser kultural  atas pluralitas ekspresi kebudayaan. Dalam konteks Islam Indonesia, pemahaman keagamaan yang bercorak legal-formal –literal –ahistoris telah menghancurkan sendi-sendi kekayaan kultur lokal dengan dalih menyimpang dari doktrin akidah yang murni dan utuh.

Padahal sesungguhnya budaya dan tradisi lokal sarat akan pesan-pesan filosofis, baik dalam aspek spiritual, moral, dan mentalitas. Maupun pesan dan kritik sosial. Bahkan menurut sebagian pengamat , senilah satu-satunya wilayah yang sulit dikooptasi oleh institusi kenegaraan. Seni tradisi merupakan ekspresi hidup dan kehidupan  serta sumber inspirasi gerakan spiritual, moral, dan sosial dalam mencairkan ketegangan sosial. Di balik keterbatasan pranata lokalnya, seni tradisi juga mengandung makna universal—yang paralel dengan agama—bagi keluhuran budi manusia (Abdullah, 2000:  xiv).

 

DAFTAR PUSTAKA

Abbott, A. (1988) The System of Professions: An Essay on the Expert Division of Labor, Chicago.

Abdullah, Amin, (Ed) (2000) Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: Muhammadyah Universitas Press.

Abbott, A. (1991) “The Future of Professions: Occupation and Expertise in the Age of Organization”, Research in the Sociology of Organization,8.

Berlant, J.L. (1975) Profession and Monopoly: A Study of Medicine in the United States and Great Britain, Berkeley, CA.

Carter, Richard, (1958) The Doctor Business, Garden City, New York: Doubleday.

Edelstein, Ludwig, (1967) Ancient Medicine, terjemahan oleh C.Lilian Temkin, Baltimore: John Hopkins.

Faber, B.A. (1994) Crisis in education: stress and burnout in the American teacher, Sa Francisco, California: Jossey-Bass Inc.

Freidson, E. (1970) Profession of Medicine: A Study of the Sociology of Applied Knowledge, New York.

Goode, William, J. (1957) “Community Within a Community: The Professions” dalam American Sociological Review 22 (April 1957): 194.

Huntington, Samuel, P. (2000) Benturan AntarPeradaaban dan Masa Depan Politik Dunia, Penerjemah M. Sadat Ismail, Yogyakarta: Penerbit Qalam

Johnson, T.J. (1972) Professional and Power, London.

Kennedy, Paul, (1995) Menyiapkan Diri Menghadapi Abad Ke-21, Terjemahan S.Maimoen, Jakarta Yayasan Obor.

Koehn, Daryl, (2000) Landasan Etika Profesi, Diterjemashkan Oleh Agus M.Hardjana, Yogyakarta: Kanisius.

Larson, M.S. (1977) The Rise of Proffessionalism, Berkeley, CA.

Maslach, C & Jackson, S. (1981) “Measurement of experience burnout” Journal of Occupational Behavior, 2: 99-113.

Millerson, G. (1964) The Quality Associations: A Study in Professionalization, London.

Naisbit, John, dan Philips, Douglas, (2001) High Tech High Touch, Penerjemah: Dian R. Basuku, Bandung: Mizan Media Utama.

Ohmae, Kenichi, (1991) Dunia Tanpa Batas, Terjemahan FX. Budiyanto, Jakarta: Binarupa Aksara

Toha, Taniza, Siti (2002) “Masalah Burnout Di Kalangan Guru Serta hubungannya Dengan Keperluan Perhidmatan Kaunseling”, Prosiding Seminar Kebangsaan Profession Perguruan 2002”, Fakulti Pendidikan, Universiti Kebangsaan Malaysia.

Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Ttg Sistem Pendidikan Indonesia.

Undang-undang Republik Indonesia No.14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.

Waddington, Ivan, (2000) ”Profesi” dalam Adam Kuper & Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh haris Munandar dkk., Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *