Kontroversi Keberadaan Komando Teritorial TNI

Oleh: Farida Sarimaya

Abstract

Terrorism becomes the main reason of the Indonesian military elites to revitalize the territorial commando. As trans-national crime, terrorism is assumed having a large of network in some countries, and the threats can come dan occur from and at anywhere. Many civilian society view that revitalizing territorial commando as the conduct of coming back to the past and reinvolving TNI in practical politics and disturbing the democracy consolidation. This paper tries to  sinthesize the controvercy of existence, position and role the territorial commando; what institution should role the territorial function; and how does the ideal defence system for Indonesia.

Keywords: terrorism, dual function, territorial commando, reform, civil-military relation.     

Pendahuluan

Pasang surut sejarah militer Indonesia berjalan seiring dengan dinamika politik bangsa dari sejak awal kemerdekaan hingga sekarang. Bahkan, Salim Said menyebutkan bahwa keterlibatan miuliter dalam politik adalah sama tuanya dengan sejarah republik ini.[1] Sebelum gaung reformasi yang dimotori Amien Rais dan mahasiswa digulirkan, gagasan perlunya TNI melakukan reformasi telah banyak diserukan baik oleh kalangan masyarakat sipil maupun mantan petinggi militer. Dalam reformasi internal TNI, salah satu ganjalan utama yang dipandang akan menghambat pertumbuhan demokrasi dan reformasi nasional adalah masalah dwi fungsi ABRI yang didalamnya adalah menyangkut keberadaan koter. Koter selama ini diakui banyak kalangan lebih dijadikan sebagai insrumen militer terpenting dalam merealisasikan peran sosial politik tentara.

Bila menelusuri berbagai literatur di bidang kemiliteran modern, profil dan model kemiliteran di Indonesia memang memiliki keunikan dan kekhasannya tersendiri. Sementara dalam peran di masa lampau terutama di era pemerintahan  Presiden Soeharto, TNI pernah mengalami distorsi peran dengan menjadikan komando teritorialnya, sebagai kepanjangan tangan politik, bahkan untuk melakukan berbagai tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM.[2]

Koter, Dwi Fungsi ABRI dan Hegemoni Militer

Pembentukan koter merupakan upaya pelembagaan dari konsep dwi fungsi ABRI (peran sosial politik tentara). Kendati, dalam fakta historis keterlibatan tentara dalam urusan non-kemiliteran sebenarnya telah dimulai sejak awal kemerdekaan. Hal itu karena lebih didorong oleh situasi dan kondisi bangsa pada saat itu.[3]   Konstelasi politik yang kompleks dalam suasana revolusioner saat itu telah melahirkan sosok tentara yang otonom dari segala campur tangan pemerintahan sipil. Tentara menganggap dirinya tidak dilahirkan melalui ‘rahim’ sistem politik dan pemerintahan yang saat itu didominasi oleh para politisi, melainkan oleh kompleksitas suasana revolusioner tersebut.[4]  Namun demikian tentara hanya memiliki legitimasi sejarah yang belum terlembagakan secara lebih baku baik dalam bentuk doktrin maupun peraturan perundang-undangan karena hanya berbentuk pernyataan ataupun pidato petinggi tentara tentang perlunya keterlibatan tentara dalam urusan non-kemiliteran.[5] Setelah segala permasalahan internal berhasil diselesaikan dan kudeta PKI berhasil digagalkan serta kewibawaan politik Presiden Soekarno semakin merosot, tentara mulai memiliki kesempatan lebih baik untuk merekonseptualisasi jati dirinya, terutama dalam menentukan bagaimana posisi seharusnya dalam sistem politik dengan konsep ‘dwi fungsi’.[6]

Pada perkembangan selanjutnya, dengan mengatasnamakan dwifungsi, struktur teritorial ini melakukan pembinaaan teritorial yang memasukkan muatan sosial politik, karena ABRI adalah bagian dari eksekutif dan memiliki struktur yang paralel dengan struktur departemen dalam negeri. Muatan sosial politik dapat diterjemahkan dengan upaya memenangkan golongan, maupun permainan otoritas dalam memenangkan pemilihan lurah, camat, bupati, dan seterusnya dengan kata lain ABRI memperkokoh dirinya untuk menjadi alat kekuasaan.[7] Untuk tujuan manajemen daerah operasi militer, Indonesia dibagi dalam sepuluh daerah militer (Kodam atau Komando Daerah Militer) yang dipimpin oleh seorang panglima berpangkat mayor jenderal.[8] Masing-masing daerah militer dibagi lagi ke dalam resort-resort militer (Korem atau Komando Resort Militer), seluruhnya berjumlah 39, yang didirikan di tingkat bekas keresidenan dan dipimpin oleh seorang colonel. Masing-masing resort militer ini dibagi lagi menjadi distrik-distrik militer (Kodim atau Komando Distrik Militer) seluruhnya berjumlah 150 dan dipimpin oleh seorang letnan kolonel. Masing-masing Kodim ini kemudian dibagi lagi menajdi sub-distrik militer (Koramil atau Komando Rayon Militer). Kepada Koramil inilah para aparat yang tak berpangkat (Babinsa) yang disetiap desa memberikan laporan.[9]

Militer mempunyai perangkat untuk operasi-operasi teritorial yang dirancang untuk mengorganisir dan memobilisasi rakyat dan sumber daya untuk mendukung operasi-operasi gerilya dan keamanan internal. Semua tingkat komanda daerah (Kodam) mempunyai fungsi intelijen, dan semua tingkat di atas Koramil mempunyai staf intelijen yang menyiapkan dukungan operasional untuk komandan mereka dan melaporkan secara nasional kepada BIA.

Dengan postur militer Indonesia ini, maka membuka kemungkinan dominasi politik militer dari mulai tingkat pusat hingga daerah. Di sepanjang rezim kekuasaan Orde Baru, menteri dalam negeri selalu diduduki oleh militer. Struktur militer ini makin diperkuat oleh adanya hubungan organisasional dan historis antara ABRI dan Golkar sehingga maka struktur koter menjadi sarana potensial untuk mendominasi kekuasaan yang seharusnya berasa di tangan sipil.

Pro-Kontra Koter

Kontroversi seputar relevansi koter di era reformasi ini telah menjadi wacana publik. Setidaknya ada tiga pandangan yang mengemuka mengenai keberadaan koter tersebut. Pertama,  penghapusan koter sesegera mungkin karena tidak relevan dan menghambat proses reformasi dan demokratisasi. Kedua,  mempertahankan koter dengan berbagai pembenahan fungsi. Ketiga,  koter dihapus bertahap disesuaikan dengan spesifikasi daerah.

Seusai peringatan HUT TNI, 5 Oktober 2005 lalu, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto secara terbuka menyampaikan niatnya untuk menghidupkan kembali komando teritorial.[11] Pada Juli 2004, saat RUU TNI dibahas DPR, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto juga telah melemparkan arti pembinaan teritorial yang menurutnya adalah sebagai alat untuk mewujudkan  keberpihakan rakyat terhadap TNI dan sebagai kepanjangan tangan TNI dalam mendapatkan informasi.[12]

Penjelasan Endriartono mengingatkan kita pada pendapat Guy J Pauker[13], seorang peneliti peran politik militer Indonesia sekaligus konsultan pada Departemen Pertahanan AS, yang menyatakan doktrin perang teritorial dan pembinaan teritorial mencakup lebih dari sekedar kebijakan pertahanan dalam pengertian militer murni. Implikasinya adalah mengatur hubungan sipil-militer, bahkan merupakan filsafat politik yang mengarah pada memberi legitimasi makin pentingnya peran politik yang direncanakan akan dimainkan oleh perwira militer dalam segala sektor kehidupan publik di Indonesia.

Ide untuk menyegarkan atau menghidupkan kembali koter sudah banyak digemakan oleh petinggi militer baik yang masih aktif maupun purnawirawan. Selain Endriartono, pada saat masa-masa kampanye pencalonan sebagai Presiden, Jenderal TNI Susilo Bambang Yudoyono juga menyampaikan kesetujuannya untuk tetap mempertahankan koter dan menolak keras ide penghapusan komando teritorial TNI. Menurutnya, komando teritorial TNI merupakan bagian dari penjabaran sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta yang diterapkan TNI dalam rangka membangun sistem  pertahanan[14]. Dengan pernyataan ini, SBY berusaha menepis isu yang beredar dalam visi dan misinya sebagai calon presiden bahwa dia mengusulkan penghapusan komando teritorial. Calon presiden dari Partai Demokrat itu membantah tudingan yang menyebut dirinya akan membubarkan komando teritorial TNI jika ia terpilih menjadi presiden. Ia menyebut rumor itu sengaja dihembuskan pihak tertentu untuk menyudutkan dirinya. Bahkan, ia menyebutnya sebagai propaganda hitam (black propaganda) untuk membunuh karakter dirinya.[15]

Di hadapan sekitar seribu orang anggota tim suksesnya dari berbagai Kabupaten di Jawa Tengah dan DIY yang berkumpul di Gedung Ghraha Wisata Niaga, Solo, 11 Mei 2004, SBY juga menegaskan bahwa Partai Demokrat tidak punya platform partai yang akan membubarkan komando teritorial TNI mulai dari Kodim hingga Kodam. Jadi (tudingan) itu semua tidak benar. SBY kemudian menceritakan asal muasal masuknya program pembubaran komando teritorial TNI itu ke dalam platform Partai Demokrat karena ulah pihak-pihak tertentu. SBY mengaku munculnya tudingan tersebut membuat pimpinan Partai Demokrat dan dirinya cukup repot. Ia harus bertemu dengan Panglima TNI untuk menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya. Ia dan pimpinan Partai Demokrat sudah menjelaskan persoalan ini kepada Panglima TNI, KSAD baik tertulis dan lisan karena dirinya tidak ingin diadu domba.[16]

Terkait dengan koter ini pula, pada saat menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Ryamizard Ryacudu menegaskan hal yang sama. Menurut Ryamizard, struktur komando kewilayahan atau komando teritorial masih tetap relevan dengan tugas pokok TNI AD menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa Indonesia. Komando teritorial dibutuhkan sebagai penanggap awal terhadap ancaman, baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri.[17] Ryamizard menjelaskan, komando teritorial adalah suatu bentuk gelar pasukan TNI AD yang paling dibutuhkan untuk saat ini dan ke depan. Menurut saluran hierarkinya, komando teritorial dimulai dari Kodam, Korem (Komando Daerah Militer), Kodim (Komando Distrik Militer), Koramil (Komando Rayon Militer), hingga Babinsa (Bintara Pembina Desa).  Penggelaran kekuatan TNI AD di daerah-daerah dengan menganut pola kompartementasi itu disesuaikan dengan geografi wilayah Indonesia yang berpulau-pulau dan sangat luas.

Dalam pandangan Ryamizard[18], dengan bentuk kompartementasi itu, TNI AD dapat bertindak secara responsif menghadapi berbagai bentuk ancaman, dan dapat mengenal daerah operasi yang menjadi tanggung jawabnya. Komando teritorial berperan sebagai peringatan dini dengan ujung tombaknya babinsa dan koramil. Serta, menjadi sandaran komando operasi yang bertugas di daerah untuk menghadapi berbagai masalah keamanan nasional, dengan melaksanakan operasi militer maupun operasi bantuan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Kritik yang dilontarkan sejumlah kalangan terhadap komando teritorial (koter) yang tercantum dalam Rancangan Undang- Undang (RUU) tentang TNI jangan dikaitkan dengan trauma masa lalu. Mayoritas perwira TNI mengakui bahwa  di masa lalu, koter memang dimanfaatkan untuk kepentingan sosial politik. Tetapi, menurut Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Dephan, Sudrajat, sekarang sudah tidak bisa lagi.[19] Lingkup pembinaan teritorial adalah untuk membantu pemerintah mempersiapkan potensi pertahanan. Menurut Sudrajat, fungsi pembinaan teritorial dan komando teritorial jangan ditafsirkan secara gegabah. Fungsi tersebut harus dilihat dari kondisi natural bangsa Indonesia. Dalam RUU TNI, pembinaan teritorial merupakan bagian dari kegiatan militer berdasarkan perintah presiden. Tentang kekhawatiran TNI terlibat kembali dalam peran sosial politik, dia mengatakan bahwa TNI merupakan alat negara yang dibiayai oleh uang rakyat dan dimanfaatkan untuk kepentingan negara. Jadi, menurut dia, norma ideal dalam pengelolaan militer sebagai alat negara pada intinya adalah militer harus tunduk pada kekuatan sipil. Artinya, kebijakan penggunaan dan pembangunan militer ada di tangan otoritas sipil. Otoritas sipil itu adalah pemimpin yang dipilih rakyat, yakni presiden. Tetapi, kekuasaan presiden terhadap militer juga tidak mutlak karena harus dikontrol oleh kekuasaan rakyat melalui DPR. Berkaitan dengan peran sosial politik TNI, Sudrajat mengatakan, selama ini tentara mempunyai komitmen untuk tidak berpolitik.

Sementara di tubuh militer sendiri, ada sejumlah perwira tinggi yang memiliki pendapat berseberangan soal keberadaan koter. Kita bisa menyebut diantara mereka adalah Letjen Agus Widjojo (Mantan Kepala Staf Teritorial/Kaster TNI), Jenderal Agus Wirahadikusuma (Mantan Kepala Staf TNI AD), dan Mayjen Saurip Kadi (Mantan Asisten Teritorial KSAD di era KSAD Jenderal Tyasno Sudarto). Beberapa kali Agus Widjojo mengutarakan gagasannya untuk mempertimbangkan kembali keberadaan koter dalam sistem pertahananan semesta. Hal ini karena koter lebih dimanfaatkan sebagai kepanjang tangan tentara untuk menentukan kader-kader TNI untuk masuk ke posisi-posisi strategis baik di eksekutif, legislatif maupun di lapangan usaha.

Kepala Staf Teritorial (Kaster) Letjen Agus Widjojo dalam suatu kesempatan mengatakan tentang kemungkinan penghapusan komando teritorial sampai tingkat Korem. Namun, menurut Agus, hal ini masih dalam tingkat ide dan masih didiskusikan di Mabes TNI. Jika memang penghapusan komando teritorial itu disetujui, Agus setuju jika pelaksanaannya dilakukan secara bertahap.[20] Sebelumnya, Panglima TNI Laksamana Widodo AS[21] dalam  sambutan penutupan Semiloka Teritorial di Mabes TNI, 25 Januari 2001 menyimpulkan bahwa keberadaan wilayah komando teritorial masih perlu. Sambutan Panglima TNI yang dibacakan Kaster TNI Letjen Agus Widjojo mengatakan bahwa Kodam, bila diberi kewenangan  terbatas pada tugas pertahanan negara tanpa kewenangan yang bisa menjangkau secara langsung kepada masyarakat, kiranya masih bisa  dipahami keberadaannya dan bahkan eksistensinya masih diperlukan sebagai bagian dari sistem pertahanan nasional.

Hal senada juga disampaikan Pangdam Jaya Mayjen Bibit Waluyo menyatakan tidak setuju terhadap rencanapenghapusan komando teritorial itu. Menurut dia, penghapusan itu akan berdampak langsung pada proses
pengawasan wilayah Indonesia, terutama di daerah-daerah terpencil. Kondisi Indonesia yang tidak bagus jusru membutuhkan dikuatkannya organisasi yang sudah ada, seperti komando territorial. Ia bahkan meminta kepada semua pihak agar tidak tergesa-gesa mengambil keputusan. Karena boleh jadi menurutnya secara organisasi koter sudah benar hanya metodenya saja yang masih perlu penyempurnaan.[22]

Memperhatikan berbagai komentar dari para petinggi militer tersebut, mayoritas menyatakan bahwa keberadaan koter disetiap tingkatan masih relevan untuk dipertahankan.

Suara Masyarakat Sipil

Dalam praktiknya, menurut  Bhatara Ibnu Reza[23] dari  IMPARSIAL (The Indonesian Human Rights Monitor, koter merupakan bagian dari politik tentara untuk terlibat dalam politik pemerintahan sipil lokal. Sekalipun koter setingkat kodam tidak berada di semua provinsi, namun kehadiran korem-korem di wilayah provinsi juga berpengaruh terhadap kebijakan pemerintahan sipil lokal. Kehadirannya dalam konsep pertahanan negara lebih menunjukan kepentingan politik ketimbang sebagai strategi pertahanan dan gelar pasukan. Sifatnya yang permanen dan terstruktur menjadikan koter paralel dengan stuktur birokrasi politik pemerintahan sipil lokal. Hal lain dari segi ancaman, kehadiran koter memandang ancaman bukanlah datang dari luar negeri (external  threat) melainkan dari dalam negeri (internal threat). Sementara, keberadaan koter justru memboroskan anggaran militer yang pada dasarnya sudah sangat minim. Dengan kata lain, sebagian besar anggaran militer tersedot untuk mempertahankan eksistensi koter sehingga untuk melakukan pembaruan alat utama sistem senjata (alutsista) yang modern, menjadi terbengkalai.

Sementara itu, pengamat politik Dewi Fortuna Anwar menilai bahwa Komando Teritorial TNI Angkatan Darat (AD) hanya relevan bila ditempatkan di wilayah-wilayah yang rawan dan tinggi potensi konfliknya. [24]  Pandangan ini mengingat luasnya spektrum wilayah Indonesia dan ancaman yang dihadapi, justru lebih tepat dibangun Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) yang terpadu di daerah-daerah yang memang sangat memerlukan. Alasan pembentukan komando teritorial di seluruh wilayah Indonesia supaya ada kedekatan fisik antara TNI AD dan rakyat juga dinilai tidak benar. Sebab yang diperlukan bukanlah kedekatan fisik, tetapi bagaimana performance dari tentara itu sebagai patriot bangsa.  Kedekatan fisik yang berlebihan antara tentara dan masyarakat sipil malah justru bisa berdampak negatif terhadap integritas dan profesionalisme TNI. Sebab, nilai-nilai dari rakyat tidak selalu sama dengan nilai-nilai yang harus dikembangkan dalam satu organisasi militer yang hierarkis dan disiplin.

Penolakan keras terhadap eksistensi koter juga didasarkan pada pandangan bahwa koter selama masa orde baru hanya  berfungsi sebagai tempat penggodokan dan penentuan anggota TNI untuk duduk di legislatif atau eksekutif. Di tingkat propinsi peran TNI justru mendistorsikan tugas-tugas sipil. Akibatnya banyak ketimpangan yang dilakukan TNI serta menimbulkan trauma dan beban psikologis besar bagi masyarakat sipil. Penghapusan ‘alat militer’ itu bahkan dilakukan secara serentak, baik ditingkat propinsi, kabupaten/kodya maupun ditingkat kecamatan, bahkan sampai likuidasi Babinsa. Setelah seluruh perangkat koter itu dihapuskan, maka fungsi dialihkan ke pemerintah daerah. [25]

Berbagai penentangan terhadap ide menghidupkan kembali koter tersebut diatas hanya mewakili sebagian saja dari kalangan sipil yang galau dan traumatik dengan peran koter di masa lalu. Karena itu, ide menghidupkan kembali koter dikhawatirkan akan menorehkan luka yang mendalam bagi sejarah hubungan sipil-militer di Indonesia. Terlebih, alasan menghidupkan kembali koter dengan alasan untuk membantu pemerintah mendeteksi dini ancaman terorisme yang kerap terjadi di beberapa daerah di Indonesia: yang sebenarnya bisa diberikan kewenangannya pada aparat kepolisian dan pemerintah daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI memang menyebutkan bahwa militer dapat melakukan operasi militer selain perang, antara lain untuk menghadapi terorisme. Namun, dalam kondisi negara normal, fungsi teritorial adalah tugas pemerintah sipil. Militer hanya menjalankan tugas ini pada saat keadaan darurat militer. Karena Indonesia tidak berada dalam kondisi darurat, militer tak diperkenankan menjalankan fungsi teritorialnya secara mandiri, tapi di bawah koordinasi pemerintah dan DPR.

Penutup

Pro-kontra soal revitalisasi komando teritorial TNI menunjukkan belum tuntasnya hubungan sipil-militer di Indonesia. Padahal secara ideal, ciri utama bagi sebuah bangsa yang terpelihara integritas teritorial dan demokrasi adalah  mempunyai angkatan bersenjata yang menjunjung tinggi azas supremasi masyarakat sipil.   TNI sebagai alat negara dan bukan alat penguasa dan kekuasaan sehingga tidak diperkenankan merambah perannya dalam politik praktis. Sejarah telah memberikan pelajaran pada kita semua ketika distorsi peran TNI terjadi, maka pada saat itu pula stabilitas dan marwah bangsa menjadi terganggu. TNI memegang fungsi pertahanan untuk menjaga kedaulatan negara dan dalam menjalankan tugasnya tetap berada dalam koridor hukum yang telah ditetapkan pemerintah dan DPR. Sementara masalah keamanan sepenuhnya diserahkan kepada aparat kepolisian.

Kesimpulan

Berbagai aksi terorisme  tidak menjadi alasan bagi pihak-pihak tertentu terutama TNI untuk mengaktifkan kembali fungsi komando teritorial. Apalagi, aksi-aksi terorisme yang terjadi di dalam negeri  sepenuhnya berada dalam kewenangan   Polri. Aparat kepolisian  yang berwenang melakukan penyelidikan, pengusutan, penangkapan, dan seterusnya yang telah  diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Polisi yang bertanggung jawab mencegah terjadinya aksi teror, dibantu oleh aparat intelijen. Menangkal kegiatan teroris harus dilakukan, tapi tidak perlu sampai membuat TNI memiliki aparat intelijen hingga ke desa-desa. Pengaktifkan kembali komando teritorial dengan menanam aparat (planted agent) di tingkat desa berpeluang bagi TNI  terjerumus kembali dalam kesalahan masa lalu. Efektivitas fungsi koter dalam menangkal ancaman terorisme juga bisa dipertanyakan. Sudah terbukti bahwa aksi terorisme tetap berlangsung, bahkan di tempat-tempat yang dijaga ketat oleh aparat keamanan, baik di dalam negeri maupun di negara maju seperti AS. Belum lagi, peran koter termasuk babinsa selama ini lebih berperan politis seperti penggalangan massa untuk memenangkan partai tertentu dan alat penguasa.

Saran

Aktifitas terorisme tidak berdiri sendiri dan terjadi lebih merupakan akibat atau reaksi dari berbagai ketimpangan sosial, ekonomi dan politik yang dilakukan negara adidaya AS terhadap negara-negara berkembang. Karena itu, akar masalah terorisme harus menjadi dicarikan solusinya dan menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan kebijakan pemerintah.

Kendati koter tidak perlu dihidupkan kembali, namun upaya  pencegahan dini terhadap segala aktifitas terorisme harus tetap dilakukan dengan mengoptimalkan kinerja aparat kepolisian dan aparat intelijen negara. Selain itu untuk di tingkat desa, perangkat desa juga bisa mengoptimalkan fungsi pertahanan sipil (HANSIP).

Pustaka

Anwar, Dewi Fortuna. 2003. Komando Teritorial Sebaiknya Hanya Ada Di Wilayah Rawan Konflik. Kompas. 11 Juli.

Heriyadi. 2002. Reformasi TNI Berjalan Lamban? dalam Suara Merdeka, 12 Maret.

Kadi, Saurip. 2000. TNI-AD: Dahulu, Sekarang dan Masa Depan, Jakarta: Grafiti,

Said, Salim. 1987. The Political Role of the Indonesian Military: Past, Present  and Future,  Southeast Asian Journal of Social Science, Vol. 15, No.1,

—————. 1991. The Genesis of Power: General Soedirman and Indonesian Military in Politics 1945-1949.  Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

————–, 2002. Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi. Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia 1958-2000, Jakarta: Aksara Karuni,  2002.

Shiraishi, Takashi. Militer Indonesia dalam Politik dalam Jurnal UNISIA No. 38/ XXII/II/1999.

Sundhaussen, Ulf. Politik Militer di Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI”, terj.Hasan Basri, LP3ES, Jakarta, 1988.

Yulianto, Dwi Pratomo, Militer dan Kekuasaan, Puncak-Puncak Krisis Hubungan Sipil-Militer di Indonesia. Yogyakarta: Narasi

Reza, Bhatara Ibnu. 2005. Sesat Pikir, Penambahan 22 Koter TNI AD. Tempo Interaktif. 31 Maret.

Ryacudu, Ryamizard. 2004. Komando Teritorial Masih Relevan. Kompas, 11 Juli.

Susilo Bambang, Yudoyono. 2004. SBY Tolak Penghapusan Komando Teritorial TNI. Tempo Interaktif, 1 Agustus.

———————————. 2004. Bantah Akan Bubarkan Komando Teritorial TNI. 12 Mei.

Waluyo, Bibit. 2003. Pangdam IV: Komando Teritorial Layak Dipertahankan. Kompas. 21 Januari

[1] Lihat, Salim Said, The Genesis of Power: General Soedirman and Indonesian Military in Politics 1945-1949  Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991.

[2] Lihat Saurip Kadi, TNI-AD: Dahulu, Sekarang dan Masa Depan, Jakarta: Grafiti, 2000. Dalam catatan mantan Aster KSAD itu, dalam rentang waktu delapan tahun (1990-1998) terjadi kurang lebih 20 aksi kekerasan yang melibatkan elit militer (TNI AD) baik secara langsung maupun tidak terhadap massa, baik mahasiswa, buruh maupun masyarakat sipil lainnya. Dua puluh kasus ini hanya  yang terekspos secara nasional, sementara kasus-kasus lain yang tidak terekspos bisa melebihi jumlah tersebut. Persoalannya menurut Saurip Kadi, bukan pada jumlah, tetapi lebih pada dampak dari aksi kekerasan yang melahirkan luka dan menempatkan manusia secara deskriminatif; yang kuasa dan yang lemah.

[3] Dwi Pratomo Yulianto, Militer dan Kekuasaan, Puncak-Puncak Krisis Hubungan Sipil-Militer di Indonesia. Yogyakarta: Narasi

[4] Sundhaussen, Ulf., Politik Militer di Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI, terj.Hasan Basri, LP3ES, Jakarta, 1988.

[5] Misalnya saja pidato KSAD Mayor Jenderal AH Nasution yang memperkenalkan ‘jalan tengah’ pada paruh akhir dekade 1950-an.

[6] Dwi Yulianto Yulianto, ibid.

[7] lihat pendapat Mayjen Umar Wirahadikusumah dalam “Tentara Menjadi Alat Kekuasaan” Harian Kompas, 14 Desember 1999.

[8] Sepuluh Kodam itu antara lain: Kodam I Bukit Barisan (Sumatra Utara), Kodam II Sriwijaya (Palembang), Kodam III Siliwangi (Jawa Barat), Kodam IV Diponegoro (Jawa Tengah), Kodam V Brawijaya (Jawa Timur), Kodam VI Tanjung Pura (Kalimantan), Kodam VII Wirabhuana (Sulawesi), Kodam VIII Trikora (Maluku dan Irian Jaya), Kodam IX Udayana (Bali dan Nusa Tenggara), Kodam  Jaya (Jakarta Raya), dan Kodam Iskandar Muda Aceh. Masing-masing Kodam membawahi beberapa Korem (Komando Resort Militer), dan masing-masing Korem membawahi beberapa Kodim (Komando Distrik Militer), dan setiap Kodim membawahi beberapa Koramil (Komando Rayon Militer).

[9]Takashi Shiraishi, Militer Indonesia dalam Politik dalam Jurnal UNISIA No 38XXII/II/1999.  Menurut Shiraishi, Angkatan Bersenjata Indonesia dengan demikian mempunyai  orang-orangnya di tingkat desa sebagai mata-mata dan telinga-telinganya, sementara menteri dalam negeri dan polisi masing-masing  hanya mencapai tingkat kecamatan. Pendeknya, menurut Shiraishi, militer dan Angkatan Darat sebagai tulang punggungnya memiliki monopoliti terhadap kekuatan pemaksa negara, mempunyai peran terlembagakan dalam proses politik, aparatnya merambah hingga ke tingkat desa serta mendominasii komunitas intelijen Indonesia.

[10] Salim Said, “ The Political Role of the Indonesian Military: Past, Present and Future” Southeast Asian Journal of Social Science, Vol. 15, No.1, 1987, hlm.27.

[11] Kompas, 6 Oktober 2005.

[12] Kompas, 29 Juli 2004.

[13] Seperti dikutip Salim Said dalam Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi. Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia 1958-2000, Jakarta: Aksara Karuni,  2002, hal. 19.

               [14] Didepan para pengurus daerah Gerakan Muda Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan Indonesia (GM FKPPI) di Hotel Regent Jakarta, 1 Agustus 2004, SBY menegaskan bahwa  komando teritorial itu sah dan legal sebagai bagian dari sishankamrata.  Yang menjadi masalah, menurut Presiden RI ke-6 ini bukan terletak pada keberadaan komando teritorial melainkan fungsi politik yang dijalankan TNI/Polri selama Orde Baru. Sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan, TNI/Polri harus netral dan independen. Oleh karena itu tidak boleh ada fungsi politik yang melekat pada dua institusi ini. TEMPO Interaktif, 1 Agustus 2004.

[15]Ia menyebut langkah-langkah tersebut sebagai sebuah propaganda hitam yang diarahkan kepadanya. “Saya melihat itu bagian dari black propaganda. Saya mengingatkan janganlah kita semua menggunakan black propaganda karena itu mengarah pada character assasination (pembunuhan karakter),” ungkapnya.  TEMPO Interaktif, 12 Mei 2004

[16] Ibid.

[17] “Selama masalah kebangsaan kita belum final, komando teritorial masih tetap dibutuhkan,” kata Ryamizard kepada wartawan usai upacara serah terima jabatan Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) VII/Wirabuana, dari Mayjen Achmad Yahya yang kini menjabat sebagai Panglima Kodam Jaya digantikan oleh Mayjen Amirul Isnaini, yang sebelumnya adalah Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dari di Makassar, Kompas, 11 Juli 2004.

[18] Ibid..

[19] Hal itu dikemukakan Sudrajat kepada wartawan sebelum mengikuti rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR di Jakarta, 4 Agustus 2004. Dalam RDP itu Sudrajat diundang dalam kapasitas pribadi. Untuk membahas RUU TNI, Komisi I juga meminta masukan dari Gubernur Lemhannas Ermaya, Sayidiman Suryohadiprojo, Awaloedin Jamin, dan Salim Said. Suara Pembaharuan, 5 Agustus 2004.

[20] Lihat Duta Masyarakat, 29 Agustus 2004

[21] Lihat Kompas, 26 Januari 2001

[22] Bibit Waluyo mengatakan: ”Jangan kemrungsung ikut eforia yang tidak jelas”. Bahkan kepada wartawan yang sedang mewawancarainya ia mengatakan: “Saya mau tanya pada Anda, kalau dihapuskan siapa nanti yang mengawasi pulau-pulau di dekat Lautan Teduh sana. Apa LSM yang ada di sana?” lihat Duta Masyarakat, 29 Agustus 2004.

[23] Lihat Kompas, 31 Maret 2005

[24] Hal ini dikemukakan Dewi Fortuna Anwar pada diskusi peluncuran “Buku Putih” Departemen Pertahanan berjudul Indonesia Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21 di Jakarta seperti bias kita baca  di Kompas 1 April 2003. Ia  juga mempertanyakan, jika memang komando teritorial sebuah kebutuhan mengapa ketika muncul kerusuhan di satu wilayah, pasukan organik tidak dapat mengatasinya dan tetap harus di-deploy dari Jakarta. Oleh karena itu, menurut Dewi Fortuna, perlu dipikirkan bagaimana agar komando teritorial hanya berada di wilayah-wilayah rawan saja. Misalnya, di perbatasan dan wilayah yang tinggi potensi konfliknya, mengingat Indonesia memiliki keterbatasan.

[25] Lihat Muhammad Asfar dalam  Duta Masyarakat, 29 Agustus 2004. Menurut Asfar, untuk mengurangi beban psikis masyarakat, beberapa waktu lalu, kelompok intelektual dari kalangan kampus dan beberapa LSM mengadakan penelitian di beberapa wilayah Kodam. Sebagai sampel yakni Kodam Jaya (Jakarta), Kodam III Siliwangi (Jabar), Kodam V Brawijaya
(Jatim), Kodam IX Udayana (Bali dan Nusa Tenggara) dan Kodam XI
Mulawarman (Kaltim). Berdasarkan polling yang diedarkan, masyakarat rata-rata menginginkan
komando teritorial ini dihapus. Di daerah lain juga demikian, sehingga
tim itu membentuk sebuah aliansi dan memberikan masukan ke Mabes TNI, Menhan dan DPR RI  agar sesegera mungkin komando teritorial itu dihapus.

Comments are closed.