Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Indramayu (Tinjauan Historis Tahun 1970-2007)

Oleh: Wawan Darmawan dan Ayi Budi Santosa

Latarbelakang Masalah Penelitian

Pada dasawarsa tahun 1970 dan 1980, Indonesia mengalami proses perubahan sosial yang relatif tinggi sehingga mempunyai akibat yang luas serta dalam. Keadaan ini ditandai dengan masuknya ekonomi dunia ke tengah ekonomi nasional, yang diikuti oleh usaha-usaha besar lewat penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negri. Perubahan itu juga memberikan dampak baik positif maupun negatif bagi ligkungan sekitar meliputi kehidupan manusia (penduduk) serta lingkungan alam (pencemaran, kerusaan lingkungan). Selanjutnya keadaan seperti tersebut di atas akhirnya membawa dinamika tersendiri di beberapa tempat di Kabupaten Indramayu seperti di Kecamatan Kroya, Indramayu, Balongan dan Kecamatan Losarang. dimana dengan leluasa membentuk masyarakat ekonomi baru baik di perkotaan maupun pedesaan. Selain itu persaingan antara sektor ekonomi yang bercorak tradisional dengan ekonomi modern menjadi semakin tajam. Akibat sosial dari gejala ekonomi ini antara lain dislokasi sosial, pengangguran, kriminalitas yang semakin meningkat, dan sebagainya.

Fenomena di atas tergambar pula di kabupaten Indramayu, sebagai salah satu kabupaten di Jawa barat yang memiliki sumber daya alam beragam: laut, dengan hasil ikan dan garam, maupun hasil pertanian serta tambang minyak. Sayang untuk beberapa hal belum banyak memberi kesejahteraan secara merata kepada sebagian besar penduduk di kabupaten ini. Ada sesuatu yang berkenaan dengan perasaan tidak berdaya, tidak bermakna, terpencil dari situasi atau lingkungan sekitar kehidupannya yang sedang berubah, yang dapat dikatakan semacam keterasingan (Kuntowijoyo, 1987: 81). Oleh sebab itu dinamika kehidupun sosial-ekonomi kurang memperlihatkan kearah perbaikan yang progress selama tahun kajian penelitian. Dalam beberapa hal malah dapat dikatakan mundur yang nampak pada masalah industri petasan dan tenaga kerja wanita, sedangkan keajegan ada pada industri garam rakyat. Sementara untuk masalah Balongan (minyak bumi), dapat disebutkan menjadi salah satu hal yang memiliki respon positif menuju kearah perbaikan dari perubahan lingkungan setempat, meski belum dapat dikatakan optimal memberikan kesejahteraan.

Masalah industri petasan dan garam rakyat yang telah berkembang sejak lama di Kabupaten Indramayu, tampak bahwa masih belum ada perubahan yang berarti, kecuali secara terbatas telah memberikan kesempatan kerja bagi penduduk sekitar mendapatkan tambahan penghasilan. Jika dilihat kegiatan ekonomi ini berpotensi dalam memberikan jalan bagi seluruh penduduk Indramayu kearah perubahan soial-ekonomi yang signifikan. Di Kecamatan Indramayu, dimana industri petasan berada terdapat permasalahan serius yang belum juga selesai, yakni tentang hasil produksi legal atau illegal. Kehati-hatian pemerintah daerah perlu dilihat sebagai bentuk preventif dari ekses buruk yang mungkin terjadi, sedangkan ‘kenekatan” penduduk setempat untuk terus memproduksi petasan juga harus dilihat sebagai salah satu usaha mendapatkan penghasilan tambahan guna mencukupi kehidupan keluarganya. Apa lagi mereka memiliki ketrampilan teknis meracik serbuk petasan sehingga mendapatkan hasil/ jenis petasan yang dapat meletus atau meledak dengan berbagai variasinya.

Sementara itu pada industri garam rakyat belum menampakkan adanya perubahan atas kehidupan petani garam, yang justru paling bekerja keras sepanjang musim kemarau dalam mengolah air penggaraman/ air laut. Disatu pihak kelompok pengumpul malah mendapatkan kesempatan dalam mengambil keuntungan dari situasi yang kurang ‘bersahabat’ dari petani garam. Ketidakberdayaan para petani perlu dibantu oleh pemerintah setempat, karena dari mereka dihasilkan butiran garam yang mempunyai nilai jual untuk membantu kehidupan ketika sawah di Losarang tidak memberikan hasil dimusim kemarau.

Untuk masalah yang berhubungan dengan tenaga kerja wanita lebih memprihatinkan, karena dari tahun ke tahun menunjukkan adanya peningkatan secara kuantitas yang pergi ke luar negeri. Sebaliknya dapat dikatakan tidak atau kurang dalam meningkatkan kualitas sumber manusianya di Kecamatan Kroya. sebagai salah satu wilayah yang banyak mengirimkan tenaga kerja wanita tersebut. Seperti diketahui bahwa uang yang masuk ke kecamatan ini tiap tahun relatif banyak, sayang tidak dimanfaatkan untuk upaya membangun atau meningkatkan sumber daya manusia setempat, tetapi lebih kepada pemenuhan kebutuhan material (rumah, kendaraan, tanah, dll), kearah gaya hidup modern. Selain daripada itu para TKW sering mendapat perlakuan tidak manusiawi baik ketika sedang bekerja di luar negeri maupun di dalam negeri, ketika mereka pulang kampung.. Pihak pemerintah daerah tampaknya juga kurang memberikan pelayanan, bahkan untuk tingkat RT/RW juga memperlihatkan ketidak pedulian,  sehingga kalau terjadi kasus-kasus kekerasan, penganiayaan, meninggal dunia akan mengalami kesulitan informasi/ melacaknya dari mana keluarga mereka berasal.

Terakhir untuk masalah yang terjadi di Balongan justru menunjukkan adanya kepedulian terhadap mereka (petani Balongan) yang kehilangan tanah/ sawah akibat proyek pertamina. Meskipun sudah mendapatkan ganti rugi dari pihak pertamina, penduduk sekitar juga dilibatkan dalam proyek-proyek sebagai tenaga kerja kasar. Mereka tidak memiliki keahlian untuk masuk dalam industri minyak Balongan yang memang membutuhkan keahlian tertentu. Keadaan ini tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah setempat untuk menyiapkan penduduknya menjadi pemain aktif dalam pembangunan, bukan  menjadi penonton di rumah sendiri.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah metode historis dengan menggunakan studi literature dan wawancara sebagai teknik penelitiannya. Metode historis adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis terhadap terhadap rekaman serta peninggalan masa lampau dan menuliskan hasilnya berdasarkan fakta yang telah diperoleh yang disebutkan historiografi (Gottschalk, 1975: 32). Pendapat yang lain mengatakan bahwa metode historis adalah suatu proses pengkajian, penjelasan dan analisis secara kritis terhadap rekaman serta peninggalan masa lampau (Syamsuddin, 1996: 63). Adapun langkah-langkah penelitian dalam metode historis ini meliputi: pertama heuristik; yaitu suatu kegiatan mencari, menemukan, dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah; kedua kritik sumber, yaitu meneliti secara kritis baik ekstern maupun intern terhadap semua sumber sejarah yang berhasil dikumpulkan sehingga mendapatkan sejumlah fakta tentang fenomena sosial-ekonomi di Kabupaten Indramayu sejak tahun 1970-2007; ketiga adalah interpretasi yang merupakan tahapan  menafsirkan sederet fakta yang telah diperoleh dengan menggunakan pendekatan interdisipliner, selanjutnya adalah historiografi yang merupakan tahapan terakhir yakni proses rekonstruksi kembali peristiwa penting terkait kehidupan sosial-ekonomi penduduk di Kabupaten Indramayu.

Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Indramayu

Kabupaten Indramayu secara geografis terletak antara 10751′-10836′ Bujur Timur dan 615′ – 640′ Lintang Selatan dengan luas wilayah 2.040,11 Km2. Wilayah Kabupaten Indramayu di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa dan Kabupaten Cirebon, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Subang sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Majalengka, Sumedang, dan Cirebon.

Letak Kabupaten Indramayu yang membentang sepanjang pesisir pantai utara P. Jawa membuat suhu udara di Kabupaten ini cukup tinggi yaitu berkisar antara 18° Celcius-28° Celcius. Sementara rata-rata hujan yang terjadi di Kabupaten Indramayu adalah 1.061,25 mm/tahun. Adapun curah hujan tertinggi terjadi di Kecamatan Indramayu kurang lebih sebesar 1.552 mm dengan jumlah hari hujan tercatat 59 hari, sedang curah hujan terendah terjadi di Kecamatan Cikedung kurang lebih sebesar 616 mm dengan jumlah hari hujan tercatat 54 hari (BPS, 2003 : 1).

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kabupaten Indramayu memiliki luas wilayah yang tercatat seluas 204.011 Ha yang terdiri atas 115.029 Ha tanah sawah (56,38%) dengan irigasi teknis sebesar 65.743 Ha, 19.229 Ha setengah teknis 2.769 Ha irigasi sederhana PU dan 2.563 Ha irigasi non PU sedang 23.258 Ha di antaranya adalah sawah tadah hujan. Adapun luas tanah kering Kabupaten Indramayu tercatat seluas 88.982 Ha atau sebesar 43,62% merupakan tanah kering.

Kabupaten Indramayu terdiri atas 31 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah 313 desa dan kelurahan. Pusat pemerintahannya terletak di Kecamatan Indramayu, yang berada di pesisir Laut Jawa. Kabupaten Indramayu saat ini memiliki desa sebanyak 302 desa dan 11 kelurahan. Desa/Kelurahan tersebut tersebar di 31 kecamatan, di mana pada tahun 2005 telah terjadi pemekaran wilayah yang menghasilkan 3 kecamatan baru, yaitu Kecamatan Tukdana, Pasekan dan Patrol.

Seperti kabupaten lainnya di Jawa Barat, Kabupaten Indramayu merupakan daerah yang cukup subur. Dari wilayah seluas 204.011 hektar, 41,90 persen merupakan tanah sawah. Sebagai lumbung beras di Jawa Barat, enam tahun terakhir (2001), Indramayu masih nomor satu dalam produksi padi se-Provinsi Jawa Barat. Produksi padi selama kurun waktu tersebut mencapai lebih dari satu juta ton per tahun. Produksi gabah dapat mencapai 1,2 juta ton per tahun. Dari jumlah itu yang dikonsumsi sendiri di Indramayu sekitar 400.000 ton, sisanya 800.000 ton dipasarkan ke luar daerah atau sektor pertanian menyumbang 16,02 persen dari total Produk Dometik Regional Bruto Kabupaten Indramayu, penyumbang kedua terbesar setelah Sektor Industri (Migas). Selain itu data penduduk Indramayu berdasarkan sektor usaha utama menunjukkan 52,71 persen penduduk yang berusia diatas 10 tahun bekerja di sektor pertanian (BPS, SAKERNAS 2003).

Selain tanaman padi, bumi Indramayu kaya akan sumber bahan tambang, yaitu minyak dan gas bumi (migas). Sejak tahun 1970 migas mulai dieksploitasi oleh Pertamina melalui penggalian sejumlah sumur. Dari ratusan sumur yang dibor, daerah-daerah yang berhasil memproduksi adalah Jatibarang, Cemara, Kandanghaur Barat dan Timur, Tugu Barat, dan Lepas Pantai. Pada tahun 1980 Pertamina mendirikan terminal Balongan untuk menyalurkan bahan bakar minyak (BBM). Kilang yang dibangun tahun 1990 tersebut mulai beroperasi pada tahun 1994. Dikelola oleh Pertamina Unit Pengolahan (UP) VI Balongan. Produksi kilang BBM berkapasitas 125.000 BPSD (barrel per stream day) boleh dibilang seratus persen disalurkan untuk DKI Jakarta. Sedangkan produksi gas atau LPG yang dikelola Kilang LPG Mundu VI dengan kapasitas 37,3 MMSCFD (juta kaki kubik per hari) di Kecamatan Karangampel, disalurkan untuk Jawa Barat dan DKI Jakarta.

Dari sisi statistik, migas jelas-jelas dominan dalam kegiatan ekonomi Indramayu, khususnya sektor pertambangan dan penggalian. Tahun 1996 subsektor minyak dan gas mencapai 53,82 persen, sementara empat tahun kemudian 55,16 persen. Di satu sisi migas memberi kontribusi bagi kegiatan ekonomi kabupaten, tapi di sisi lain migas memicu ‘pertarungan’ antara Pertamina, Pemerintah Kabupaten Indramayu dan pemerintah pusat.

Persoalan utamanya adalah jumlah dana bagian daerah-sesuai UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah-dianggap tidak adil oleh pemerintah daerah (pemda). Selama ini kontribusi migas yang diterima pemda hanyalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Untuk lima tahun terakhir realisasi penerimaan PBB di sektor pertambangan terus meningkat, antara lain Rp 8,3 milyar (1996) dan Rp 11,2 milyar (2001). Pertamina UP VI beralasan, karena sebagian besar kegiatannya bersifat hilir-seperti pengolahan, pengapalan dan pemasaran, serta niaga-maka kontribusinya adalah pajak. Hal ini berbeda dengan unit lain yang kegiatannya adalah eksplorasi dan eksploitasi. Walaupun begitu, di Indramayu hingga kini terdapat 77 sumur minyak dan 40 sumur gas yang dikategorikan menghasilkan. Seluruh sumur tersebut berada dalam wilayah Aset I yang dikelola Pertamina Daerah Operasi Hulu (DOH) Cirebon.

Dari beberapa keunggulan di atas, Kabupaten Indramayu juga merupakan gudang tambak. Seperti di Kecamatan Balongan, terhampar ratusan hektar tambak udang, tambak bandeng, dan tambak garam . Potensi alam lainnya di Indramayu adalah mangga. Itu sesuai dengan julukannya sebagai Kota Mangga sehubungan di sana banyak tanaman mangga. Mangga daerah ini dikenal manis. Selain itu sarang burung walet juga merupakan kekuatan Indramayu. Sektor komoditi lainnya yang menjadi unggulan adalah sebagai berikut.

Julukan populer bagi Kabupaten Indramayu adalah sebagai Kota Mangga dan Lumbung Beras utama di Provinsi Jawa Barat. Itulah cap yang masih populer bagi Indramayu. Kini ada cap lain yang khas untuk kabupaten tersebut: tawuran, miras, TKW, petasan, dan PSK. Perkelahian antarwarga desa di beberapa kecamatan menjadi hal yang lumrah namun memusingkan pihak keamanan dan masyarakat. Contohnya adalah, biasa kalau di tengah jalan penumpang ‘Elp’ -angkutan umum antarkecamatan dan kabupaten- tiba-tiba dioper paksa ke kendaraan lain dengan alasan untuk menghindari ‘demo’ alias tawuran. Baru-baru ini muncul juga korban miras yang banyak memakan jiwa, terutama para pemuda Indramayu.

Kehidupan Sosial-Ekonomi di Kabupaten Indramayu

Kecamatan Indramayu

Keberadaan industri petasan di Kecamatan Indramayu dan khususnya di Desa Teluk Agung dapat dikatakan tetap bertahan, meskipun mengalami pasang-surut yang berkaitan erat dengan kebijakan politik. Industri ini telah lama berkembang dan dijalankan secara turun-temurun dalam lingkungan keluarga masing-masing. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa kehidupan sosial-ekonomi penduduk setempat tidak pernah lepas dari usaha ini, meskipun berbagai tantangan terus saja mengiringi. Hal ini menunjukkan jika kegiatan ekonomi berupa industri petasan secara langsung telah memberikan kesempatan dan menjadi salah satu alternatif bagi mereka mendapatkan penghasilan tambahan di bulan-bulan tertentu (menjelang puasa/ lebaran dan natal/ tahun baru).

Seperti sudah disinggung sebelumnya meskipun ada larangan dari pemerintah yang mengatur tentang pembuatan bahan peledak yang merupakan bahan utama membuat petasan, tetap terus berlangsung meski secara sembunyi diproduksi. Permintaan pasar yang masih cukup banyak ditambah industri ini mampu menyerap tenaga kerja setempat, tampaknya menjadi alasan kuat mengapa mereka terus mempertahankannya atau menggantungkan kehidupan keluarganya pada industri tersebut.. Secara langsung memberikan konstribusi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat pendukungnya seperti pengusaha maupun pekerjanya.  Sebagai contohnya, seorang pengusaha besar rata-rata memperoleh  keuntungan antara Rp. 3.500,000,- sampai Rp. 4.300.000,-/ bulan  dengan modal  sekitar Rp. 7.500.000,- sampai Rp. 10.000.000,- ;untuk kelompok pengusaha menengah keuntungan berkisar Rp. 2.300.000,- sampai Rp. 3.500.000,-/ bulan, sedangkan industri skala kecil memperolah Rp. 750.000,- sampai 2.300.000,-/ bulan dari modal yang harus dikeluarkan yakni sekitar Rp 1.000.000, sampai Rp. 5.000.000,-  (Hasil wawancara dengan Supandi 7 November 2009).

Tidak hanya para pengusaha saja yang menikmati pendapatan dari industri petasan, tetapi juga pekerjanya yang dapat dilihat dari upah yang diterima. Perbedaan tingkat upah yang diterima pekerja tergantung dari jenis pekerjaan yang ditekuni. Mencampur bahan peledak dan mengisi bahan peledak ke dalam selongsong/ congkong mendapatkan Rp. 150.000,-/ bulan., dan ini merupakan pendapatan tertinggi diantara yang lainnya di tahun 1985 yang mengalami kenaikan hampir dua kalipat di awal tahun 2000-an (Hasil wawancara dengan Slamet, tgl 18 November 2009).

Dari kegiatan ini pula hampir 350 keluarga/ rumah tangga di kecamatan Indramayu, yang artinya ada sekitar 1.400 orang terserap sebagai pengrajin petasan (pengusaha maupun para pekerja) di tahun 1980-an. Keadaan ini bertambah atau meningkat di tahun 2000-an menjadi 450 kepala keluarga yang juga berarti menyerap lebih banyak tenaga kerja. Bisa dihitung beberapa bulan dalam satu tahun mereka mendapat kesempatan ‘menikmati’ hasil yang relatif lebih besar di luar sektor pertanian. Dengan berbagai alasan, keberadaan industri petasan ikut memberikan kontribusi riil atas kesejahteraan ekonomi penduduk sekitar dan secara tidak langsung ikut melestarikan ketrampilan maupun kepandaian meramu bahan peledak. Apa lagi sejak anak-anaak mereka sudah terbiasa melihat proses ketrampilan lewat orang tua masing-masing/ rumah tangga lain dilingkungannya. Kecintan membuat petasan secara turun temurun telah diperkenalkan sejak mereka usia dini, sehingga tidak mengherankan bila anak-anak juga menjadi bagian dari cara memproduksi petasan meskipun masih terbatas yakni memberi krim petasan pada selongsong di waktu senggangnya. Berapapun hasilnya ini telah membantu ekonomi keluarga, dan yang terpenting bahwa ketrampilan membuat petasan telah mereka ajarkan kepada generasi muda setempat. Inilah modal penting yang tidak dapat diperoleh disekolah formal, mereka langsung melihat, mengamati, dan mempraktekkan sendiri dalam jangka waktu lama.dibawah pengawasan keluarganya.

Kecamatan Losarang

Salah satu sentra produksi garam rakyat di Jawa Barat adalah Kecamatan Losarang – Indramayu, yang terlihat sibuk di musim kemarau antara setiap pertengahan bulan Juni-Oktober. Pada musin kemarau para petani garam, kami sebut seperti itu mudah memproduksinya, karena mereka betul-betul mengandalkan pada faktor cuaca selain tentunya lahan di dekat pantai dimana air laut sebagai bahan utamanya berada. Umumnya petani garam di Losarang Indramayu termasuk dalam petani yang menyewa tanah/ lahan penggaraman atau yang menggarap tambak milik orang lain melalui sistem maro. Berturut-turut adalah petani garam yng hanya bermodalkan tenaga alias buruh dan terakhir adalah petani garam yang mengolah tanahnya sendiri.

Setiap satu lahan garapan dengan luas 1 ha, produksinya berkisar antara 3-4 ton, dan selama musim kemarau mereka dapat panen hingga 3 kali. Bila dihitung berarti satu kali musim kemarau dihasilkan sekitar 9-12 ton garam untuk lahan penggaraman seluas 1 ha. Berdasarkan data, lahan di Kecamatan Losarang dapat mencapai sekitar 30.000 ton/ tahun   (http://www.pelita.or.id/baca.php). Produksi yang melimpah ternyata tidak sebanding dengan jumlah keuntungan yang diperoleh petani garam. Ketika hasil berlimpah tepatnya saat panen raya, para pedagang yang disebut pengumpul berusaha membeli dengan harga murah, tidak langsung dijual ke konsumen tetapi ditimbun/ disimpan dahulu. Baru dilempar kepasaran pada saat harga tinggi, sehinga keuntungannya pasti berlipat dari harga belinya dahulu. Sebagai contoh, pada tahun 1979 dimana harga garam dari petani sekitar Rp. 7,-/ kg, dijual kemudian di Jakarta seharga Rp. 25,-/ kg, petani hanya mendapatkan Rp. 84.000/ ton/ ha/tahun sedangkan pedagang pengumpul memperoleh Rp. 300.000,-. Sebagai perbandingannya di tahun 2007 harga garam naik menjadi Rp. 350,-/ kg, yang menurun ketika panen raya diangka Rp. 220,- -Rp. 240,-/ kg. Dari tahun ketahun memang ada peningkatan harga jual garam setiap kilogramnya, tetapi tetap saja tiak dapat dinikmati petani karna tuntutan hidup juga meningkat, dimana harga-harga kebuuhan pokok juga secara otomatis naik. Tampaknya naiknya harga jual bukan berarti bahwa petani akan mendapatkan keuntungan lebih besar. Kehidupannya tetap tidak beranjak, masih belum ada perubahan kualitas hidup meski cara kerja mereka tidak pernah berubah menjadi ringan, tetap harus bekerja keras dari tahun ketahun.

Betapa jauh perolehan petani dibandingkan pedagang yang nota benenya tidak mengeluarkan tenaga guna mengolah air penggaraman selama 3-4 bulan, diwaktu kemarau. Jatuhnya harga garam selalu terjadi setiap memasuki masa panen raya, sementara petani harus berhadapan dengan kekuatan ekonomi pemilik modal, sehingga tidak punya daya tawar. Disamping itu mereka tidak punya prasarana menyimpan garam, kebutuhan hidup harus segera dipenuhi, sedangkan mereka tidak punya pekerjaan lain kecuali mengolah garam. Dari keadaan ini memperlihatkan bahwa posisi petani garam rentan tehadap permainan harga, apalagi tidak ada harga pembelian pemerintah (HPP), sehingga pedagang yang ‘berkuasa’ menentukan harga dasar garam ditiap sentra garam. Dengan posisi tawar yang rendah para petani sulit menolak ketentuan harga yang ditentukan pedagang, bila mereka mencoba mempertaankan harga secara wajar sering berakibat garam sulit dijual. Akibat selanjutnya terjadi penumpukan, sementara mereka tidak mempunyai gudang penampungan, sehingga tidak mengherankan jika garam yang telah dipanen berjajar dipinggir jalan karena tidak laku.

Pada umumnya setiap ha dikerjakan oleh 4-6 orang, berarti di wilayah penelitian, tepatnya Desa Santing dan Muntur kecamatan Losarang yang memiliki luas penggaraman 250 ha, melibatkan sekitar 1.000 – 6.000 orang tenaga kerja, sedangkan untuk Kecamatan Losarang bahkan mencapai kurang lebih 1.000 ha yang berarti mampu menampung/ memberi kesempatan kerja sekitar 4.000-6.000 orang.   Suatu jumlah yang cukup besar disaat mereka tidak bekerja di lahan persawahan (padi), yang artinya dapat menghidupi keluarga pada waktu kesulitan melanda wilayah ini. Potensi ini harus menjadi pehatian semua fihak, bahwa ada perjuangan tanpa lelah dari sebagian penduduk golongan bawah di Losarang Indramayu yang berjuang mendapatkan penghasilan secara mandiri. Pendapatan utama di musim kemarau, bukan sebagai tambahan bagi para buruh dan mereka yang mengolah sendiri lahannya sedangkan bagi mereka yang hanya menyewakan mungkin merupakan  pendapatan tambahan atau sampingan.

Kecamatan Kroya

Keterlibatan wanita kroya dalam meningkatkan perekonomian keluarga dengan jalan bekerja keluar negeri bukanlah hal baru. Kondisi tersebut tidak terlepas dari factor ekonomi dan social-budaya yang berkembang di wilayah ini. Kewajiban mencari nafkah secara kultur memang ada pada pundak kaum laki-laki, namun ketika dianggap tidak mencukupi telah mendorong wanita kroya untuk bekerja. Muncul pertanyaan kenapa harus ke luar negeri, yang tentunya meninggalkan keluarganya seperti anak, suami serta orang tuanya.

Kesempatan yang ada pada pada awalnya mencari pekerjaan dengan penghasilan yang dianggap besar awaktu itu yakni menjadi tenaga kerja wanita diluar negeri.  Apa lagi yang diperlukan adalah mereka yang mau bekerja sebagai pembantu rumah tangga, pekerja di reatoran sebagai tukang cuci dan pekerjaan lain yang tidak menuntut kualifikasi pendidikan tertentu ataupun keahlian khusus. Sebagian besar lowongan yang ada memang erat dengan pekerjaan wanita sehari-hari. Inilah tampaknya yang menjadi daya tarik, sehingga tanpa fikir panjang umumnya mereka siap untuk berangkat.  Bukan lagi menjadi hal yang dilarang atau menjadi perbincangan diantara tetangganya jika salah satu anggota keluarganya. Apa lagi mereka memberikan konstribusi secara ekonomi melalui kiraman uang yang dapat mencapai  juta rupiah bagi keluarganya, berarti ada uang berkisar  ratusan juta yang beredar di desanya. Andai dimanfaatkan secara bijak kemungkinan aka nada perubahan yang lebih baik, selanjutnya pengiriman TKW tidak perlu lagi.

Bagi masyarakat Kroya wanita ibarat harta berharga, lebih mengutamakan anak perempuan dikarenakan dapat secara cepat menghasilkan uang dengan cepat karena ketika dewasa akan memberangkatkan anaknya menjadi TKW. Bekerja di luar negeri telah menjadi suatu alternatif menarik bagi sebagian orang,  di Indramayu dan khususnya dari Kroya. Terdorong oleh kebutuhan hidup dan impian mendapatkan penghasilan yang layak maka banyak orang yang mencoba peruntungannya menjadi TKW. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan terjadinya peningkatan jumlah tenaga kerja Indonesia, dimana jumlah wanita lebih banyak dibandingkan laki-laki.  Tidak adanya data yang rinci tentang jumlah TKW yang diberangkatkan dari wilayah ini, diperkirakan di tahun 2006 mendekati seribu orang. Pada kenyataannya  jumlah mereka di Kabupaten Indramayu telah mencapai lebih dari 45.000 orang.  Hal ini disebabkan banyak yang pergi tanpa terdaftar di Dinas Sosial Tenaga Kerja setempat atau dengan kata lain statusnya illegal. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengontrol tenaga kerja illegal diantaranya dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan cara menyebarkan leaflet dan brosur yang berisi himbauan agar mereka mempersiapkan semua persyaratan administratif juka hendak bekerja ke luar negeri. Selain itu harus melibatkan aparat desa dan ketua RT/RW yang ada dimasing-masing desa, agar mendapatkan data secara riil berapa jumlah yang berangkat dan alamat keluarganya dengan jelas.

Kecamatan Balonangan:

Sejak  didirikannya industri minyak dan gas alam, tepatnya Pertamina UP VI Balongan secara langsung telah memberikan dampak terjadinya perubahan di wilayah ini. Perubahan tersebut menyangkut tidak saja perubahan lingkungan tetapi juga perubahan social. Adanya kegiatan pertamina UP VI telah menggeser kepemilikan tanah disekitarnya, yang mau tidak mau harus bersedia menjualnya. Dari hasil ganti rugi/ ganti untung tersebut, sebagian ada yang membeli kembali tanah dan rumah di desa lain, tetapi ada yang terpaksa hidup lebih tidak pasti ketika hasil ganti rugi tanah tidak mencukupi. Seperti dipahami bahwa sebagian besar penduduk Balongan bermatapencaharian sebagai petani, berarti bahwa tanah/ sawah menjadi aset penting di sini.

Untungnya pihak pertamina Balongan dalam beberapa hal memberikan kesempatan atau peluang kerja dengan mengikutsertakan penduduk setempat dalam proyek-proyeknya, disamping juga memberi fasilitas sosial, seperti memberi beasiswa kepada anak-anak Balongan yang berprestasi dari tingkat SD sampai SMA, bahkan untuk beberapa kasus sampai keperguruan tinggi. Selain hal tersebut setiap bulan ada kegiatan pemeriksaan kesehatan gratis khususnya di desa Kesambi dan Balongan serta bantuan bahan pokok dan bantuan susu untuk para balita setempat.

Khusus untuk para petani yang tidak memiliki lahan dan ini merupakan jumlah terbesar di Balongan, Pertamina menjediakan lahan penyanggah berupa sawah dan kebun untuk dimanfaatkan yang diatur oleh masing-masing kepala desa dibawah pengawasan pihak kecamatan. Sayangnya akses mereka untuk menjadi pegawai tetap di pertamina tidak begitu terjadi secara otomatis karena ada seleksi. Dalam kegiatan industri teknologi tinggi diperlukan tenaga kerja yang memiliki kualifikasi tertentu, oleh sebab itu sebagian besar dari mereka baru dapat kesempatan menjadi pegawai “rendah”. Dibutuhkan waktu yang relative lama ntuk mendapatkan sumber daya manusia dari wilayah ini yang siap ditempatkan di pertamina. Lewat pendidikan bukanlah suatu hal yang mustahil, tentu saja harus ada perhatian dan campurtangan dari Pemda dan Pertamina sendiri, yang diharapkan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya/ pendidikan bagi generasi mudanya. Berikutnya akan diperoleh sumber daya manusia yang tangguh dan siap untuk menghadapi tantangan bagi kelangsungan pembangunan di wilayahnya.

Kesimpulan   

Masalah kerja keras tidak perlu lagi dipertanyakan untuk melihat fenomena di keempat wilayah kajian di Kabupaten Indramayu yang menitik beratkan pada dinamika yang terjadi di industri petasan, garam rakyat, tenaga kerja wanita dan petani Balongan. Berbagai kendala, tantangan, kesempatan dan perubahan yang terjadi mereka coba sikapi dengan cara pandang mereka, meski sering bersinggungan dengan aturan ataupun fihak lain bahkan kultur yang ada. Semua itu tampaknya bermuara pada apa yang namanya  memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Campur tangan dari pihak pemerintah perlu lebih intensif baik memberikan kenudahan, fasilitas, aturan pelayanan sehingga masyarakat bisa bekerja lebih nyaman, berkarya lebih baik  dan terlindungi haknya  Jika dilihat potensi geografis menyangkut keragaman sumber alam setempat, Indramayu bukan termasuk daerah miskin, begitu pula dengan orang/ penduduk yang tinggal di wilayah ini mau bekerja keras. Tetapi hingga awal abad 21 memang belum ada peubahan yang berarti dalam mencapai taraf kehidupan yang lebih baik, merebaknya pengumpul/ tengkulak, calo tenaga kerja, dan kesadaran terbatas akan pendidikan perlu digarisbawahi untuk lebih diperhatikan oleh pemerintah setempat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, T. 1974. Pemuda dan Perubahan Sosial. Jakarta : Pustaka LP3S Indonesia.

Alma, B. (2001). Kewirausahaan. Bandung : Alfabeta.

Amir. (2000). Wiraswasta Manusia Unggul-Berbudi Luhur. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.

Basri, F. (2002). Perekonomian Indonesia Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Dasuki dkk. 2003. Sejarah Indramayu (cetakan ketiga). Indramayu : Depdikbud.

Esten, M. 2001. Kajian Transformasi Budaya. Bandung : Angkasa Bandung.

Gottschalk, L. 1969. Mengerti Sejarah. Jakarta : Universitas Indonesia Perss.

Husken, F. dkk. (1997). Pembangunan dan Kesejahteraan Sosial: Indonesia di Bawah Orde Baru. Jakarta: Grasindo dan Perwakilan KNLV.

Ichimura, S. (1989). Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta: UI Press.

Kariawan, H. (2003). Perekonomian Indonesia dari Bangkrut Menuju Makmur. Jakarta: Teplok Press.

Koentjaraningrat. 1985. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia.

Kuncoro, M. (1997). Ekonomi Pembangunan, Teori, Masalah dan Kebijakan. Bulaksumur: UPP AMP YKPN.

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya

Mubyarto. (1997). Ekonomi Rakyat, Program IDT dan Demokrasi Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media.

Rintuh, C. (2003). Kelembagaan dan Ekonomi Rakyat. Yogyakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi UGM.

Sajogyo, P. (1985). Sosiologi Pembangunan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sajogyo, P. 1985. Sosiologi Pembangunan. Jakarta.: Fakultas Pasca Sarjana IKIP Jakarta.

Saripudin, D. (2005). Mobilitas dan Perubahan Sosial. Bandung : Masagi Foundation.

Sjamsuddin, H. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta : Depdikbud.

Soekanto, S. (1990). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Susanto, P.A.S. 1985. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung : Bina Cipta.

Suwarsono & Alvin, Y. (2000). Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: LP3ES.

Suwarsono. 1998. Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta :  LP3S

Syani, A. 1995. Sosiologi dan Perubahan Masyarakat. Jakarta : Dunia Pustaka Jaya.

Tambunan, T. (2002). Usaha Kecil dan Menegah di Indonesia Beberapa Isu Penting. Jakarta: Salemba Empat.

Tim Litbang. (2003). Profil Daerah Dan Kabupaten Kota. Jakarta : Penerbit Buku Kompas

Wahyudiarto, D. 2005. Kapita Selekta Budaya. Surakarta : STSI Surakarta

Wulansari. (1984). Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1984: tentang Perindustrian. Jakarta : Departemen Perindustrian.

Dokumen

Arsip Desa Kecamatan Balongan tahun 2000

Badan Pusat Statistik. 1993. Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Indramayu Tahun 1993. Bandung : BPS Jawa Barat.

_________________. 1994. Indramayu Dalam angka Tahun 2004. Bandung: BPS Jawa Barat

_________________. 2008. Indramayu Dalam Angka Tahun 2007. Bandung : BPS Jawa Barat.

BPS, BAPEDA. (1985). Indramayu dalam Angka 1985. Indramayu : BAPEDA-BPS

____________. (1986). Indramayu dalam angka 1986. Indramayu : BAPEDA-BPS

_____________. (1991). Indramayu dalam angka 1991. Indramayu : BAPEDA-BPS

_____________. (1993). Indramayu dalam angka 1993. Indramayu : BAPEDA-BPS

_____________. (1997). Kecamatan Balongan dalam Angka Tahun 2000. Indramayu : BAPEDA-BPS

____________. (1998). Indramayu dalam angka 1991. Indramayu : BAPEDA-BPS

_____________. (2000). Indramayu dalam angka 1993. Indramayu : BAPEDA-BPS

_____________. (2003). Kecamatan Balongan dalam Angka Tahun 2000. Indramayu : BAPEDA-BPS

_____________. (2007). Indramayu dalam angka 2007. Indramayu : BAPEDA-BPS

Kantor Cabang Dinas (KCD). (2000). Pertanian Kecamatan Balongan Tahun 2000

Internet

Ant. T. (2002). Pembuat Petasan Indramayu Bikin Bunker. [Online]. Tersedia : http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0705/24/Jabar/22263.htm. [28 Desember 2008]

Antonio, D. (2002). Petasan, Home Industri Turun Temurun Di Indramayu. [Online]. Tersedia : http://www.gatra.com/2002-09 02/artikel.php?id=20223. [13 Desember 2008].

Benu, F. (2002). Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat: Suatu Kajian Konseptual.[Online]. Tersedia: http://www.ekonomirakyat.org/edisi_10/artikel_3.htm [26 Juni 2009].

http://www.anjjabar.go.id/profil.htm undang  [5 Agustus 2009]

Maulana, I. (2002). Pemberdayaan Masyarakat Desa Melalui Penyadaran Alokasi Dana Desa (ADD). [Online]. Tersedia : http : //formala.multiply.com/journal/item/3.  [10 Agustus 2009]

Octalia, P. (2008). Dinamika Industri di Indonesia. [Online]. Tersedia: http://geocorida.blogspot.com/2008/02/industri.html  [2 Februari 2009 ].

Selawati, Suzan Dwi. (2007). Home Industri dan Koperasi; Mutualisme Dua Kegiatan Ekonomi Sebagai Langkah Awal Untuk Mengentaskan Kemiskinan. [Online]. Tersedia: http://missanetalentist.wordpress.com/2007/08/18/home-industri-dan-koperasi-mutualisme-dua-kegiatan-ekonomi-sebagai-langkah-awal-untuk-mengentaskan-kemiskinan/ [2 Februari 2009].

Sofa. (2008). Manajemen Produksi dan Indsustri Kecil. [Online]. Tersedia: http://massofa.wordpress.com/2008/02/02/manajemen-produksi-dan-industri-kecil/  [2 Februari 2009].

Tanpa Nama. (2003). Polisi Indramayu Sesalkan Rancangan Perda Petasan. [Online]. Tersedia : http://m.infoanda.com/readnewsasia.php.   [28 Desember 2008]

  1. 2009. Balai Pengelolaan Anjungan Jawa Barat Dinas Priwisata dan Kebudayaan Proponsi Jawa Barat. [Online]. Tersedia:

Wibisono, A. (2002). Mercon, Tetap Ada Meski Dilarang. [Online]. Tersedia :  http://www.liputan6.com/mobile/?c_id=2&id=165454. [13 Desember 2008]

Wibisono, A dan Setiawan, Y. (2007). Ketika Musim Mercon Tiba. [Online].(http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib =beritadetail&id=89862

Comments are closed.