KARAKTER TAK TERLUPAKAN: SOEKARNO PEMIMPI, PENGGAGAS, DAN PELAKSANA *)

 

 

 

Oleh: Bambang Hidayat **)

HISTORIA: No.7, Vol.IV (Juni 2003)

ABSTRAKSI:

Soekarno adalah tokoh yang terlalu penting untuk diabaikan dalam sejarah Indonesia modern. Betapapun namanya pernah tenggelam pada masa-masa awal Orde Baru – akibat proses De-Soekarnoisasi yang sistematis – namun aura kharisma Presiden pertama Republik Indonesia ini tetap konstan. Tulisan ini ingin memberikan sisi lain dari warna-warni pribadi Soekarno dengan melihatnya dari perspektif sejarah pembentukan intelektual dan kualitas pribadinya yang matang. Soekarno adalah seorang tokoh yang telah menjadikan dirinya Uomo Universale, yakni teknikus, teknokrat, sarjana politik, diplomat dan lain atribut modern ketatanegaraan. Dia juga nampaknya seorang polyglot yang menguasai bahasa ibu, beberapa bahasa etnik Nusantara, dan beberapa bahasa Barat untuk pergaulan internasional.

 

Pengantar

Sudah banyak ditulis sketsa biografi ”anak fajar” kelahiran 6 Juni 1901 yang bernama Soekarno ini. Epitome kehidupannya terdini yang tercetak, kalau tidak salah, terbit pada tahun 1933 oleh wartawan Im Yang Tjoe.[1] Setelah itu pada masa awal kepresidenannya, M. Nasoetion pada tahun 1945 menerbitkan Penghidoepan dan Perdjoeangan Ir. Soekarno.[2] Dan menjelang akhir masa jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia, jadi 20 tahun setelah M. Nasoetion menggoreskan kalamnya, Cindy Adams mengemukakan sangkakala An Autobiography as Told to Cindy Adams.[3] Mantan fotomodel yang kemudian menjadi wartawati ABC (American Broadcasting Corporation) ini telah menarik perhatian Soekarno karena perilaku dan tampangnya yang charmant dan menteteskan hagiographi Soekarno hampir seluruhnya berdasar bentuk-aku, dalam arti aku-nya Soekarno. Namun setelah Soekarno wafat pada tahun 1970-an terbit buku kedua Cindy Adams, My Friend the Dictator.[4] Buku terakhir ini memberi kesan pembelaan diri dan pencerahan bahwa bobot bukunya yang pertama adalah Soekarno seperti yang beliau lihat sendiri. Jadi merupakan sebuah ego dokumen.

 

Historiografi tentang Soekarno

Pada masa keluruhan Soekarno antara 1965-1970, dengan demikian, penulisan tentang presiden kita yang pertama ini tampak tidak objektif karena sudah berselubung aura kebencian yang sangat mengarah kepada penjerumusan dan pengkucilan. Orang tidak usah mempelajari teori penjalaran disinformasi, tetapi tampak bahwa berita tentang Soekarno dalam episode fajarnya Orde Baru yang lahir di kala itu, di bangkitkan oleh mesin propaganda yang sangat mengenal fenomena permukaan subjeknya, yakni Soekarno. Dengan selubung indah, tetapi tak tembus pandang, proses demistifikasi dan demitosisasi sering berlanggam nada vulgar, yang hanya mengungkap sisi kurang cerah pribadi Soekarno. Sinyal dari sisi tersebut diamplifikasi, didistorsi (istilah sekarang: dipelintir) dan diloloskan melalui penapis-selektif-satu-pita sehingga subjek itu tinggal tampak, terutama, sebagai petualang politik yang dungu dan penyanjung wanita.

Wawasan politik Soekarno, jerit dan pekik perjuangannya untuk rakyat Dunia III menentang ketidakadilan, usahanya melepaskan diri dari genggaman oligarki internasional dan gagasan to build the world a new-nya, tenggelam dalam ktitik yang dilandasi sandungan kerikil langkah Soekarno dalam kehidupan yang mendunia. Bahkan pada suatu saat timbul rasa canggung melihat dan membaca pemberitaan di harian yang biasanya tidak kuning mempermainkan impian dengan kenyataan. Rangkaian berita tersebut kadangkala, walaupun dalam kebisuan, mengecambahkan tanda tanya besar: “Beginikah cara kita manusia Indonesia, yang terkenal atau memperkenalkan dirinya sebagai warga sopan dunia, menjatuhkan palu keputusan kepada salah seorang founding father negaranya?”

Tindak perorangan yang dapat terjadi secara alami dalam keadaan normal nir kebencian sering diletakkan di bawah lensa pembesar untuk mencari indikasi keterlibatan Soekarno dengan kemelut yang baru saja terjadi pada akhir bulan September 1965. Kepergiannya ke lapangan Halim Perdana Kusuma, umpamanya, pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965 atas nasehat para pengawal militernya dapat diotak-atik, seperti memainkan potongan teka-teki mozaik dengan pola dasar suatu konsensus yang sudah disepakati. Hasil pemetaan potongan kardus itu pada teka-teki menghasilkan citra di mana Soekarno tampak sebagai salah seorang yang mengetahui, atau setidaknya mempunyai praduga, akan terjadinya proses penting dalam ketatanegaraan yang sudah terpolarisasi oleh kekuatan kiri dan kekuatan lainnya.[5] Sementara itu pidato “Nawaksara” dan “Pelengkap Nawaksara” pun yang diucapkannya sebagai pembelaan tidak membantu menjernihkan disput ini.

Tetapi tulisan ini tidak bermaksud untuk tinggal dan tenggelam ke dalam disput peristiwa kontroversial yang melibatkan dua orang (baca: dua orang) Presiden kita. Sesuai dengan dekorum hari ini, yakni memperingati 100 tahun lahirnya pendiri Republik, menurut hemat saya akan jauh lebih mengena jika kita mengungkap sikap Soekarno dari suatu keadaan yang bermakna dalam kehidupannya dan bagi penapak tilas. Tentu saja tulisan ini juga tidak harus merupakan laudatio saja, karena Soekarno sendiri pernah meninggalkan pesan agar epitap pada makamnya sederhana saja: “Soekarno Penyambung Lidah Rakyat”. Kedisiplinan ilmu yang saya runut hampir tidak memungkinkan saya melihat manusia berkapasitas mega pemikiran itu secara keseluruhan. Penilaian historis politik jelas di luar kemampuan saya, namun ada wilayah minat saya yang bersinggungan dengan kandungan perkembangan sejarah intelektual.

Hendaknya juga dicatat bahwa membatasi tema itupun sebenarnya merugi karena sifatnya yang myopik tidak dapat menjangkau seluruh pesan dan kesan yang ada. Sebabnya adalah karena denyut dan pancaran frekuensi cerebral cortek Soekarno, yang polyglot itu, sering menerobos berbatasan geografis Negara dan budaya. Ungkapan bersayap “go to hell with your aids”,[6] sebagai contoh, menimbulkan riak gelombang kejut ketidaksenangan para senator di Amerika Serikat dan maecena lain, yakni para penderma bagi kehidupan waraga Dunia III. Mereka tersentak dan merasakan “misi suci”-nya terusik. Tetapi teriakan lantang itu juga sekaligus membangkitkan ingatan bahwa bantuan yang mencencang dan mengikat adalah manifestasi pemikiran ekspansionistik gaya baru. Teriakan itu menggema ke panggung politik 30 tahun kemudian, bahkan sekarang menjadi kredo pencari bantuan luar negeri agar waspada menerima bantuan asing. Pidato kenegaraan 17 Agustus 1964 yang berjudul “Vivere Pericoloso” demikian juga,[7] selain dilahirkan oleh desakan beban keadaan di dalam negeri yang pembendaharaan ekonominya sudah menurun mendekati alas-dasar pundi-pundi simpanan, mengandung peringatan agar berhati-hati meniti perjalanan globalisasi (waktu itu istilah ini belum lahir). Pidato itu disulut oleh situasi internasional yang sudah diidentifikasi dengan rasa “bersama aku atau lawan”. Dan dia ingin agar Indonesia yang berkemanusiaan tetap mandiri. Keprihatinan dan wawasan profetik yang tertuang ke dalam pidato 17 Agustus itu, oleh Soekarno biasanya disebut dialog antara Soekarno manusia dengan rakyatnya, merupakan dokumen intelektual.

Sayang bahwa setelah tahun 1965 archivalia mengenai Soekarno sangat langka ditemui dalam perbendaharaan perpustakaan di Indonesia. Menurut Giebels, banyak memorabilia, catatan Soekarno (termasuk Surat Perintah 11 Maret 1966 yang asli) tidak terbuka untuk umum karena terselubung bungkus kategori “rahasia negara”.[8] Bahkan putri Bung Karno, Sukmawati, pada tanggal 6 Desember 1966 menyatakan kepada Giebels bahwa foto Soekarno terakhir ketika wafat di pembaringannya, yakni sampai 30 tahun postdato, masih termasuk “rahasia negara”.[9] Demikian ketatnya pengawasan terhadap Soekarno sehingga timbul suatu perasaan bahwa segala yang berbau Soekarno adalah “corpus alieneum” bagi masyarakat di awal Orde Baru yang berkembang di kala itu. Guntur, putera Soekarno, dengan terpaksa harus meninggalkan ITB (Institut Teknologi Bandung); dan Megawati, puteri Soekarno pula, harus meninggalkan UNPAD (Universitas Padjadjaran) Bandung bak penderita sampar di zaman dahulu yang harus disingkirkan agar tidak mencemari masyarakat Romawi yang agung. Buku koleksi lukisan Soekarno, yang menyimpan cita rasa seninya, pun hilang dari peredaran.

Wertheim dalam buku karangannya yang berjudul Indonesia: Van Vorstenrijk tot Neo-Kolonie (Indonesia: Dari Negara Kerajaan Menjadi Koloni Baru) mempertanyakan hakikat surat 13 maret 1966 (bukan 11 Maret) yang ditulis Soekarno untuk penguasa Orde Baru.[10] Ungkapan ini sudah hampir terhapus dari ingatan saya karena memang tidak ada wacana tentangnya, apalagi tahu substansinya, kalau saja Wertheim tidak menggugatnya lagi di majalah Vrij Nederland (8 Mei 1998).[11] Tidak diketahui seberapa besar makna surat itu kepada penulisan sejarah seandainya memang ada dan pernah dilahirkan dalam masa transisi tahun 1960-an. Hal seperti ini hanya menunjukkan bahwa sebenarnya embargo terhadap memorabilia tentang Soekarno, dan juga tentang berbagai masalah di Indonesia lainnya, harus segera disingkap.

 

Kualitas Pribadi dan Pemikiran Soekarno

Dalam keadaan tuna sumber seperti itu saya beruntung pada tahun 1999 memperoleh dari Ny. Jeff Last (istri Jeff Last, wartawan Koran Nieuwsgier, sahabat Soekarno di tahun 1946) catatan pribadi tentang Soekarno pada awal kehidupan bernegara Indonesia ini. Di situ Last memperlihatkan Soekarno, yang tidak hanya kaya dengan imago masa depan dan impian lainnya, juga sebagai manusia biasa yang harus menimang anak sebagai bagian dari kehidupan keluarga. Dia melihat Soekarno sebagai ayah dari keluarga dan bapak bangsanya. Buat saya, catatan yang merupakan “petit histoire” seperti itu merupakan sumber yang penting karena dalam merekonstruksi sejarah sering kita tidak dapat lepas dari status psikologik subjeknya.

Kenyataan sejarah adalah esensi kenyataan psikologis, kata Peter Lowenberg dalam Decoding the Past.[12] Soekarno yang dalam masa pertumbuhannya tinggal di Gang Paneleh, Surabaya, rumah pondokan yang diselenggarakan oleh keluarga Tjokroaminoto, terimbas oleh berbagai denyut kehidupan dan aneka aliran nasionalisme. Moeso yang tiga tahun lebih tua pernah tinggal di situ. Tidak mengherankan kalau Soekarno mencicipi citarasa Marxisme darinya. Kartosoewirjo juga bukan orang asing di antara pemuda di sana; dan tentu saja, Tjokroaminoto mentor politik ke-Islaman tangguh yang sudah berada jauh di tingkat atas dunia pergerakan. Adonan seperti itu mengisi karakter Soekarno muda.

Kepala sekolah HBS (Hooger Burger School) Surabaya mengakui bahwa Soekarno termasuk orang yang cerdas; dan menurut Hermen Kartowisastro, kecerdasan intelektual dan kemampuan berbahasa Soekarno sangat menonjol.[13] Memorinya yang fotografik dengan cepat menangkap pesan dan secara oratorik dapat menyajikan kembali dengan imbuhan konsep pemikiran kerakyatan yang dinamik. Sejak awal itulah dia menuliskan pandangannya mengenai “kiesrecht” (hak memilih), tentang “zelfbestuur” (pemerintahan sendiri), bahkan embrio prinsip bernegara. Soekarno bahkan memilih tema yang berat sewaktu menyusun skripsi (ya: skripsi) pada akhir masa HBS tentang “Het Recht van de Sterkte” di antara tema pilihan lain yang lebih ringan umpama “Een Moeilijk Afscheid” (Perpisahan yang Sulit) dan lain tema keremajaan. Dalam tulisan itu tampak bahwa dia mulai menggugat mereka yang mempunyai hak lebih.

Soekarno dapat cepat sekali menyelesaikan tugas sekolah dengan akibat mempunyai kelebihan waktu untuk mencari “mangsa” guna lawan berbicara. Pintu kamar teman sepondokan banyak yang selalu harus tertutup karena dalam belajar itu mereka takut oleh invasi Soekarno yang sewaktu-waktu datang untuk mengajak berdebat. Di Surabaya itulah Soekarno mulai mengenal dunia pemikiran Barat, literaturnya, dan sentuhan teknologi yang memanjakan kehidupan bagian dunia tersebut. Tetapi juga di situlah dia mulai merasakan problema bangsanya, nasionalisme, kehidupan buruh di kota Surabaya yang mulai membengkak dan tidak adil, dan juga tegangan-tegangan antara santri dan abangan. Tetapi dia tetap mengenal Barat dari jauh, berbeda dengan calon pemimpin bangsa Indonesia lainnya yang mengecap pendidikan liberal di Barat sana.

Soekarno mulai bersentuhan dengan Barat dalam dunia lamunan yang tumbuh dalam pemikirannya. Pada suatu ketika dia menyatu dengan Danton, Mazzini, atau Garibaldi sebagai penentang tindihan penguasa asing. Pada ketika lainnya dia merasakan dalam dirinya seorang Washington atau Lincoln sebagai demokrat. Dan ini mengecambah sewaktu usianya masih muda sekali ketika orang sebayanya memikirkan acara dansa di akhir minggu. Sisi ekstrim dari keinginannya mengenal Barat lebih jauh pernah muncul dalam bentuknya yang sederhana, yakni di masa pertumbuhan cinta monyetnya dia sempat mencium gadis Belanda, Rita Meelhuysen. Rasa Machochistik biasa dari seorang anak manusia, dan Soekarno bangga dengan kejadian itu.[14]

Soekarno menikmati kehidupan Surabaya, yang berbeda dengan kota-kota seperti Yogyakarta dan Solo di kala itu, karena progresif dan tercampurbaurnya aneka suku bangsa, bahkan ras, membuat kota Surabaya itu berdenyut. Di sini dia menemui  selapis “neo-priyayi”, suatu kelompok pebisnis-intelektualis-religius dengan siapa dia dapat beradu argumen politis, kebudayaan, dan aspirasi kebangsaan.[15] Mereka pada umumnya tidak merasakan diskriminasi intelektual, walaupun masih mengalami diskriminasi ras dalam kehidupan sosial. Di salah satu acara debat-hari-Rebo klub HBS itu Soekarno memperlihatkan keluhannya dalam naskah mengenai pengaruh pendidikan Barat kepada anak bumiputera dan memperoleh perhatian kritik-akademis dari direktur sekolahnya. Seperti halnya Los Illustrados di Filipina (pada awal abad yang lalu) “neo-priayi” ini yang kemudian membawakan pekik perjuangan  kaumnya. HBS Surabaya ikut andil ke dalam gejolak jiwa pemuda itu karena kebetulan di sana juga terdapat guru-guru yang mempunyai jiwa anti kolonial, atau setidaknya sangat “etis”. Ironi sejarah adalah bahwa salah seorang guru bahasa Belanda di sana adalah Van Mook, ayah Gubernur Jendral Huib Van Mook yang kelak dalam periode 1945-1950 menjadi lawan politik Soekarno dan Indonesia. Tetapi juga perkenalan Huib Van Mook dengan Soekarno harus dibayar mahal. Keberaniannya berunding dengan Soekarno atas dasar kepercayaan bahwa dengan Soekarno dia akan dapat menyelesaikan masalah, ditegur keras oleh Ratu Wilhelmina.[16]

Membicarakan archivalia rasanya perlu dikemukakan bahwa setelah tahun 1965 sampai 10 tahun kemudian, yakni saat Presiden Soeharto mencabut tabu membicarakan presiden pendahulunya, dunia penerbitan di Indonesia tuna sumber mengenai Soekarno. Menonjol di antara karya bangsa Indonesia adalah Tales of a Revolution.[17] Karya ilmiah ini secara parabolik menyinggung perilaku Soekarno pada saat-saat pra-, pada-, atau pasca- 30 September 1965. Di sisi lain dengan pisau diagnostik yang tajam, Abu Hanifah (yang memang seorang dokter) membedah banyak masalah pribadi Soekarno. Demikian kritisnya sehingga dia melihat nama Fatimah, yang ke-Islaman, diubah oleh Soekarno menjadi Fatmawati yang ke-Hinduan. Soekarno memang pengagum berat Mahabharata dan pantheism. Baginya, “God is Omnipresent in Cognito” dan harus selalu hadir bersama kemanusiaan dalam suasana religiositas.[18]

Dalam seri “Political Leader of the 20th Century”, Legge mengkisahkan Soekarno dengan subtitle A Political Biography, mengungkap keseimbangan antara politik Soekarno dalam kerangka kepentingan dalam negeri menghadapi desakan dari luar.[19] Buku dan naskah lain yang muncul dalam masa embargo itu kebanyakan ditulis oleh peneliti dari Cornell University di Amerika Serikat dan dari Monash University di Australia, serta Leiden University di Belanda. Karya Peter Polomka, misalnya, mengetengahkan ubahan paradigma ekonomi pra- dan pasca- 1965.[20] Tidak tahu apa yang dia akan tuliskan pada tahun 1998, tetapi pada tahun 1972 Polomka sempat mengutip petuah Presiden Soeharto mengenai kepemimpinan, yakni: “[…] The essence of leadership is really the ability to solve problems which community confronts and to point out ways of overcoming them, to point out the way to a future together […] And to awaken the people’s spirit and to stimulate the community to action. A leader must give good example”.[21] Saya senang sekali dan penuh harap pada waktu itu membaca adagium ini!

Berbeda dengan peneliti asing, penulis Indonesia tampak terbelenggu kebebasan analitiknya. Dalam kurun waktu itu terbit naskah tematik yang mencencang Soekarno, umpama, The Coup Attempts of the September 30 Movement in Indonesia;[22]  serta jauh hari kemudian Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai[23] yang merupakan acuan jurnalistik. Masih dalam pemikiran linier, Sekretariat Negara (1994) memberi keputusan tentang Peristiwa 30 September 1965: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya,[24] dan secara tidak langsung, hiperbolik, menyangkut kesalahan Soekarno.

Ungkapan pribadi yang ingin mendudukan Soekarno dalam perspektif sebenarnya datang dari Mangil Martowidjoyo di harian Merdeka (Jakarta: 1 Oktober 1992). Mangil Martowidjojo adalah seorang anggota kepolisian negara yang fotonya pertama kali muncul pada tanggal 18 September 1945, ketika beliau mengawal Presiden RI ke Lapangan Ikada (sekarang lapangan Monas [Monumen Nasional]). Seterusnya Mangil Martowidjoyo menjadi protĕgĕ Soekarno. Peristiwa di Lapangan Ikada itu tercatatat sebagai tonggak sejarah penting yang memperlihatkan wibawa Soekarno sebagai manusia, dan sebagai Presiden, terhadap subjeknya. Rakyat yang darahnya panas mendidih dan ingin mendengarkan wejangan, dapat ditenangkan dan diminta pulang ke rumahnya demi tugas hari esok yang lebih berat. Dengan itu tidak hanya pertumpahan darah yang dapat dihindarkan, tetapi sekaligus memperlihatkan kepada dunia luar bahwa negeri yang baru satu bulan lahir itu mempunyai hierarki dan, lebih penting, wibawa.[25] Di hari-hari berikutnya sering kita lihat slogan “Kita cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan”. Soekarno memang pandai memilih kata, bahkan jargon, baik yang menyatukan semangat ataupun yang mengarahkan tujuan. Di zaman pendudukan Jepang semboyan yang hidup di masyarakat, tetapi kemudian membuat dia dicap sebagai antek Jepang, adalah “Amerika kita seterika, Inggris kita Linggis”. Demikian pula bait lagu “hancurkanlah musuh kita, itulah Inggris-Amerika”. Dari anak kecil sampai orang dewasa termakan oleh ajakan bersemangat itu.

Di akhir tahun 1945, di lapanngan Kewedanaan Salatiga, saya sebagai anak kecil (11 tahun) ingat bagaimana Soekarno menggalang semangat rakyat di tengah hujan lebat dengan pertanyaan: “Takutkah engkau kepada Divisi 7 Desember (Belanda), yang akan didaratkan untuk menghancurkan Republik?” Rakyat serempak, seperti yang diharapkan, menjawab “tidak!”. Kalau begitu, Soekarno melanjutkan, “Hei Belanda, kau kopatkapito koyo manuk brajangan, kekejero koyo menjangan mati … kami orang Indonesia tidak takut menghadapi musuh dari luar”. Itulah saat “tatap-muka” pertama kali saya dengan pemimpin Republik. Dan suara itu mengiang terus di telinga.

Analisa kejiwaan Soekarno yang haus bacaan dan cerita wayang, sebagai layaknya orang Jawa, sering mencampuradukkan mitos pewayangan. Dan karena itu, pada usia lanjutnya, Soekarno sering tidak sadar melihat kedudukan raja yang dikelilingi dayang cantik dalam fantasi menjadi kebenaran. Lepas dari itu, sebaiknya saya serahkan kepada ahli kejiwaan untuk menganalisanya. Soekarno adalah orator yang hebat, visioner yang diperkaya oleh pandangan kenegaraan, dan rangkaian kalimat hidup, merakyat, dan selalu mengikat. Karya Guntur Soekarno Putra, Soekarno: Ayah, Kawan, dan Guruku merupakan catatan pribadi yang merekam kejadian sesaat menggambarkan hubungan alami antara anak dan bapak.[26] Biasanya buku semacam itu mempunyai kredibilitas tinggi dan merupakan dokumen ego yang baik.

Ir. Soetoto (mantan mahasiswa THS Angkatan 1923) pernah pada tahun 1970, atas pertanyaan saya ini, menceritakan kesannya tentang Soekarno semasa sama-sama belajar di THS. Soekarno adalah pesolek, selalu tampil rapih, walaupun masih berstatus mahasiswa. Merupakan satu-satunya dari 12-15 mahasiswa bangsa Indonesia yang memakai jas “gabardine wol” (ini sudah top quality di zamannya), yang mempunyai vulpen (ball point belum ada), dan menaiki sepeda Fongers ber-persneling. Bandung di kala itu masih dingin, sehingga menggenjot sepeda menaiki jalan Dago (sekarang jalan Ir. Juanda) ke THS (sekarang ITB) bukan merupakan masalah. Selain itu, demikian Ir. Soetoto, dia mengagumi kecepatan membaca dan banyaknya buku perpustakaan THS yang sering dipinjam Soekarno. Dengan keingin tahu kolegialitet Sutoto, yang kala itu tentu saja masih sama-sama mahasiswa, mencoba mengetahui jenis buku yang dipinjam Soekarno. Bukan buku Mekanika, bukan buku tentang Struktur atau tentang Jembatan, tetapi tentang sastra, politik dan humaniora. Garis pinggir dan coretan pada buku (perpustakaan) itu memperlihatkan Soekarno sebagai “the man of letters”. Karena itu pasase, frasa, yang indah dan bermakna literer tidak luput dari coretan Soekarno.[27]

Sutoto secara pribadi menyaksikan memori fotografik Soekarno bekerja ketika duduk bersamanya, di suatu pagi di tahun 1925, Soekarno sedang menulis naskah, atas permintaan wartawan AID-Preanger Bode. Redaksi itu menunggui Soekarno menulis tentang implikasi kemenangan Jepang atas Rusia tahun 1905 terhadap pertumbuhan kebangsaan Asia. Dari semenjak meneteskan tinta untuk titel sampai titik terakhir di halaman terakhir Soekarno tidak berhenti menulis, bahkan tidak melihat literatur. Tulisan berbahasa Belanda itu sudah “persklaar”, siap cetak tanpa koreksi atau coretan sedikitpun.[28]

Hal yang sama dilihat juga oleh Asisten Residen di Bengkulu L.G.M Jaquet.[29] Kala itu Soekarno baru saja dipindahtempatkan dari tempat pembuangannya di Flores ke Bengkulu. Tentu saja sebagai seorang Asisten Residen, Jaquet sudah memperoleh peringatan dari PID (Polisie Inland Dienst), polisi rahasia Belanda, agar hati-hati terhadap “orang merah” Soekarno. Karena itu ketika Soekarno ingin  bertemu, Jaquet sangat hati-hati menerimanya. Soekarno datang setelah sembahyang Maghrib dan tinggal di rumah Jaquet sampai lewat tengah malam. Itu cara Soekarno bertamu seterusnya dengan dalih meminjam buku dari seorang “Indolog” terkenal itu, terbuka jalan bagi Soekarno untuk sering bertamu dan mengobrol. Dan dari kontak itu tumbuh dalam pengertian Jaquet terhadap nasionalisme dan penilaian tinggi terhadap Soekarno. Gagasan Soekarno untuk memodernisasi kehidupan umat Islam memperoleh perhatian dari Jaquet. Dalam beberapa hal mengenai adapt, Soekarno jauh lebih Barat pandangannya daripada seorang Indolog yang sudah bergelar Dr. itu.

Sekaitan dengan itu Giebels menyatakan tentang Soekarno sebagai “Een Nederlandsch Onderdaan”, rasanya tidak berlebihan.[30] Namun sebenarnya kita harus kritis memandang nuansa seperti itu. Dalam diri Soekarno memang telah berkembang aspirasi kebangsaan yang menggejolak. Tetapi mungkin tanpa kaitan dan pengaruh Barat pun Soekarno mempunyai pandangan yang kongruen dan suara yang konsonan dengan nurani dan pemikiran Barat, karena yang dikembangkan adalah wawasan universal. Itu dapat tumbuh di mana saja asal ada tanah subur untuk berkembang.

Jauh sebelum krisis moneter Indonesia di tahun 1997, Soekarno menyatakan keinginannya mendirikan citra keunggulan domestik dengan kata bersayap “BERDIKARI”. “Berdiri di atas kaki sendiri” yang intinya ingin mengajak rakyat Indonesia menggali warisan kulturalnya dan menerjemahkan kepada ketahanan hidup berbangsa dan bernegara. Bahkan sudah semenjak tahun 1932 Soekarno menggagas tentang Swadesi (dari Mahatma Gandhi, di India) untuk aksi massa Indonesia.[31] Dengan tepat dia mensitir pikiran salah seorang idolanya, Banerjee, bahwa: “[…] Swadeshi is gebaseerd op vaderlandsch-liefde en niet op haat voor de vreemdeling … Ons doel is het gebruik van inheemse goederen algameen te maken, de groei en ontwikkeling van inheemse kunsten en industrieen […]”.[32] (Terjemahan bebas: … swadeshi didasarkan kepada kecintaan tanah air dan tidak kepada kebencian terhadap orang asing … Tujuan kita adalah mendayagunakan sumber dalam negeri, mempertinggi pertumbuhan serta pengembangan seni dan industri anak negeri …).

Jelas ide itu bukan chauvinistik, dan sengaja saya paparkan diktum itu karena tampak erat mengkait dengan keadaan dewasa ini, tatkala ekonomi makro sedang menuruni lereng terjal. Sebaliknya ekonomi mikro memperlihatkan ketahanannya. Keinginan meningkatkan sumber daya endogenik itu diulangi lagi dalam pidato di depan kongres Amerika Serikat pada tanggal 17 Mei 1956. Soekarno disamping mengagumi pemikiran intelektual dan kemajuan teknologi serta sains Barat, tidak lupa tujuan akhir perjuangan. Hal itu ditulisnya dalam bab “Disproportionate Economic Ratio and Its Effects on the Growth of Economy and Democracy”. Di situ, dia mengakui, bahwa harus dirawat keseimbangan antara produksi dan kebebasan menyatakan pendapat agar kemajuan Indonesia dapat diraih. Ini adalah parabel yang mencerminkan kehendak untuk memecahkan masalah dalam negeri atas dasar kekuatan dan perhitungan internal. Tidak harus didikte.

Di bagian lain pidatonya, Soekarno berbicara mengenai “The Survival of the New Born State” (ingat: itu dikemukakan tahun 1956) di mana dia mengemukakan proposisi “[…] democracy is the introduction of equal opportunity of human activities amongst the indigenous people them selves and, to some degrees, of opportunity for foreign competitors to ensure the best performances”. Jadi, tegurnya, demokrasi hendaknya tidak melahirkan anakronisme. Dalam kerangka melajunya ekonomi yang mendunia seperti sekarang ini, pernyataan itu tetap relevan. Soekarno meyakini bahwa dirinya adalah “master of choosing words” dan dia mengemban misi suci, seperti yang dia dengar ketika di pangkuan ibunya sambil menatap terbitnya sang bagaskoro.[33] Dia akan menjadi pemimpin, dan memimpin rakyatnya. Baik Giebels maupun Van den Doel melihat Soekarno mempunyai obsesi itu dan menyerahkan dirinya untuk tugas beratnya.[34]

Pendidikan yang diperoleh di THS (Tekniek Hooges School) Bandung memberikan bobot wawasan Barat dan diplomasi, serta kematangan untuk memulai pekerjaan besar sebagai “full fledged political fighter”. Kedua titelnya, yang satu “Raden” dan satunya lagi “Insinyur” di buangnya dan tinggal “Bung” saja pada tahun 1926, setelah dia menamatkan pendidikan ke-insinyurannya. Tetapi menjadi “master of choosing words” bukannya tanpa risiko kalau ucapannya terpelintir. Di tahun 1964 dia, dalam dalam keadaan sulit ekonomi dan saat harus mengembangkan diversifikasi pangan, berpidato. Pendengarnya, pers Barat, menangkap ”eat less rice, more mice”. Karuan saja ungkapan ini menjadi cemoohan karena dengan senang mereka mengira Indonesia sudah bangkrut dan Soekarno sudah bermata gelap.[35] Ternyata teks aslinya berbunyi “eat less rice, more maize”. Berbeda tulisan, berlafal sama.

 

Penutup

Sejarah adalah sejarah manusia dan, kadangkala, dibuat oleh manusia. Oleh karena itu dokumen resmi, statistik negara, clipping surat kabar, bahkan notulen rapat hanya akan dapat sedikit menambah bobot pembentukan kerangka suatu proses sejarah. Untuk melapisi kerangka yang mungkin berdebu itu agar berdaging, berdarah dan berjiwa sejarah, ahli sejarah perlu memantau dan memperoleh catatan dan wawasan pribadi, memoir psikologik para pelaku utama dan anti-pelaku. Koleksi surat pribadi atau karya literer yang ditinggalkan oleh aktor intelektual juga mungkin menyimpan prima causa penting suatu peristiwa sejarah.

Kita tahu Soekarno sebagai orang Jawa yang telah terpoles dengan nilai-nilai intelektual Barat dan, jangan dilupakan, juga intelektual Timur melalui pendidikan teknologik formal dan informal, dapat mendekati Barat tanpa menyentuhnya. Falsafah (intelektual) ke-Baratannya sangat kental sehingga sukar meletakkan karakter Soekarno secara singuler ke dalam tata-koordinat ke Jawa-an (atau ke-Indonesiaan sekalipun). Dia telah menjadikan dirinya Uomo Universale yakni teknikus, teknokrat, sarjana politik, diplomat dan lain atribut medern ketatanegaraan. Dia seorang polyglot yang menguasai bahasa ibu, beberapa bahasa etnik Nusantara, dan beberapa bahasa Barat untuk pergaulan internasional. Dengan bahasa Jerman yang fasih, Soekarno mempesona Senat Guru Besar Universitatum Karl Ruprecht di Heidelberg, benteng pengetahuan tertua di sebelah utara Alpen. Prof. Fricke kepada saya pada tahun 1970 menyatakan terbukanya matahati kepada Pancasila dan Weltanschaung Indonesia karena mendengar pidato Soekarno.[36]

Bahasa pewayangan juga Soekarno kuasai, demikian pula bahasa Belandanya selancar dan secermat filolog Belanda. Dia mendapat julukan pemain catur simultan, orator yang dalam keadaan kontroversial atau situasi kontradiksional sekalipun masih dapat menghasilkan simpati. Kedatangan Khruschov di Indonesia, dan urung ke Yogyakarta untuk memperoleh gelar Dr. H.C. (Doctor Honoris Causa) pada tahun 1960, menjadi contoh bagaimana Soekarno memanifulasi keadaan untuk kepentingan negara (dan mungkin glorifikasi untuk dirinya). Seorang diplomat Yugoslavia menyatakan bahwa di negerinya orang sudah riuh bertepuk tangan kalau melihat badut sirkus mengendalikan dua ekor kuda. Dalam halk ini Soekarno adalah negarawan hebat yang dapat mengendalikan temperamen 6 ekor kuda: Timur dan Barat, komunis dan militer di negaranya, bahkan Peking (sekarang Beijing) dengan Moskow.[37] Saya tidak tahu apakah diplomat itu menyaksikan drama politik pasca 1965?

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Adams, Cindy. (Tahun?). Soekarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams. (Tempat?: Penerbit?).

Adams, Cindy. (Tahun?). My Friend the Dictator.

Dake, Anthonie C.A.. 1973. In the Spirit of the Red Banteng: Indonesian Communists Between Moscow and Peking, 1959-1965. The Hague, Paris: Mouton & Co..

de Jong, (1991).

Frederick, William H..

Giebels. 2000.

Hanifah, Abu. 1972. Tales of a Revolution (Tempat?: Penerbit?).

Im Yang Tjoe. 1933. Judul buku? (Tempat?: Penerbit?).

Jaquet, L.G.M.. 1972. Aflossing van de Wacht: Bestuurlijke en Politieke Ervaringen in de Nadagen van Ned. Indie (Tempat?: Penerbit?).

Jones, Howard Palfrey. 1980. Indonesia: The Possible Dream. Singapore: Gunung Agung [s] PTE Ltd..

Legge, John D. (1972). Soekarno: A Political Biography

Lowenberg, Peter. 1969. Decoding the Past (Tempat?: Penerbit?).

Nasoetion, M.. 1945. Penghidoepan dan Perdjoeangan Ir. Soekarno. Djakarta: penerbit?.

Notosusanto, Nugroho dan Ismail Saleh. 1968. The Coup Attempts of the September 30 Movement in Indonesia ().

Oltmans, William. 1995. Soekarno Mijn Vriend.

Oltmans, (1999).

Polomka, Peter. 1971. Indonesia since Soekarno ().

Sekretariat Negara, Pemberontakan G-30-S/PKI:

Soekarno, …

Soekarno, …

Soekarno,

Soekarno Putra, Guntur. 1986. Soekarno: Ayah, Kawan, dan Guruku (Jakarta?:: Penerbit?).

Soerojo, Soegiarso. 1989. Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai ().

Van Den Doel, Afscheid van Indie (2001).

Wertheim, W.F.. 1979. Indonesia: Van Vorstenrijk tot Neo-Kolonie (Tempat?: Penerbit?.

Wertheim, W.F.. 1998.  “…” dalam Vrij Nederland (8 Mei).

 

Surat Kabar:

Merdeka. Jakarta: 1 Oktober 1992.

Soeloeh Indonesia Moeda. Bandung: 1932.

The New York Times. New York: 19 Januari 1964.

 

 

Wawancara:

Fricke, Prof.. Guru Besar di Jerman. (Dimana?: Tanggal/bulan?, 1970).

Soetoto, Ir.. Mantan mahasiswa THS Angkatan 1923. Bandung: Tgl/bln?, 1970.

 

 

*)Tulisan ini pernah disampaikan dan didiskusikan pada “Peringatan 100 Tahun Hari Lahir Soekarno” di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tanggal 1 Juni 2001.

**)Prof.Dr. Bambang Hidayat adalah Guru Besar di Jurusan Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB) dan mantan Direktur Observatorium Bosscha Lembang, Bandung. Lahir di … pada tanggal … bulan … tahun … Menyelesaikan pendidikan sarjana di mana … lulus tahun …; menyelesaikan pendidikan S-2 di mana … lulus tahun …; dan menyelesaikan pendidikan S-3 di mana … dan lulus tahun … dengan menulis disertasi tentang … Untuk kepentingan akademis, Prof.Dr. Bambang Hidayat dapat dihubungi dengan alamat …

[1]Lihat Im Yang Tjoe, Judul buku? (Tempat?: Penerbit?, 1933).

[2]M. Nasoetion, Penghidoepan dan Perdjoeangan Ir. Soekarno (Djakarta: penerbit?, 1945).

[3] Cindy Adams,

[4] Cindy Adams, My Friend the Dictator

[5]Dalam hal ini lihat, misalnya, karya Anthonie C.A. Dake, In the Spirit of the Red Banteng: Indonesian Communists Between Moscow and Peking, 1959-1965 (The Hague, Paris: Mouton & Co., 1973).

[6]Soekarno, …

[7]Soekarno,

[8]Giebels, (2000),

[9]Ibid..

[10]Lihat W.F. Wertheim, Indonesia: Van Vorstenrijk tot Neo-Kolonie (Tempat?: Penerbit?, 1979).

[11]W.F. Wertheim, “…” dalam Vrij Nederland (8 Mei 1998).

[12]Peter Lowenberg, Decoding the Past (Tempat?: Penerbit?, 1969).

[13]Lihat Giebels, (2000); dan John D. Legge, (1972).

[14]Oltmans, (1999).

[15]Tentang suasana kota Surabaya yang seperti ini, lihat William H. Frederick,

[16]de Jong, (1991).

[17]Lihat Abu Hanifah, Tales of a Revolution (Tempat?: Penerbit?, 1972).

[18]Ibid..

[19]Lihat John D. Legge, Soekarno: A Political Biography (1972).

[20]Peter Polomka, Indonesia since Soekarno (1971).

[21]Ibid..

[22]Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, The Coup Attempts of the September 30 Movement in Indonesia (1968).

[23]Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai (1989).

[24]Sekretariat Negara, Pemberontakan G-30-S/PKI:

[25]Lihat Merdeka (Jakarta: 1 Oktober 1992).

[26]Guntur Soekarno Putra, Soekarno: Ayah, Kawan, dan Guruku (Jakarta?:: Penerbit?, 1986).

[27]Wawancara dengan Ir. Soetoto, mantan mahasiswa THS Angkatan 1923 (Bandung: Tgl/bln?, 1970).

[28]Ibid..

[29]Lihat L.G.M Jaquet, Aflossing van de Wacht: Bestuurlijke en Politieke Ervaringen in de Nadagen van Ned. Indie (Tempat?: Penerbit?, 1972).

[30]Giebels (2000).

[31]Lihat Soeloeh Indonesia Moeda (Bandung: 1932).

[32]Soekarno, …

[33]Lihat Howard Palfrey Jones, Indonesia: The Possible Dream (Singapore: Gunung Agung [s] PTE Ltd., 1980); dan William Oltmans, Soekarno Mijn Vriend (1995).

[34]Lihat Giebels (2000); dan Van Den Doel, Afscheid van Indie (2001).

[35]Lihat Howard Palfrey Jones, Indonesia: The Possible Dream (Singapore: Gunung Agung [s] PTE Ltd., 1980), hlm.351.

[36]Wawancara dengan Prof. Fricke (Dimana?: Tanggal/bulan?, 1970).

[37]Sebagaimana dikutip oleh The New York Times (New York: 19 Januari 1964).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *