CATATAN POJOK DAN KRITIK SOSIAL PERS INDONESIA

 

Oleh: Dadang S. Anshori *)

 

ABSTRAKSI

Tulisan ini mencoba memberikan gambaran tentang penggunaan bahasa kritik dan makna kritik yang dipakai pers Indonesia dalam menjalankan fungsi kontrol sosialnya melalui rubrik cacatan “pojok”. Data tulisan diambil dari tiga surat kabar: Kompas dan Republika di Jakarta, serta Pikiran Rakyat di Bandung selama 6 bulan tentang cacatan “pojok” PEMILU (Pemilihan Umum) tahun 1997. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, metode penelitian kritis, dan linguistik (struktural) diperoleh beberapa hasil penelitian. Pertama, setiap surat kabar memiliki gaya tersendiri dalam melakukan kritik. Kedua, kualifikasi kritik “pojok” sangat ditentukan oleh visi dan keberanian pers dalam menyampaikan kritik sosialnya, di samping oleh kualitas para jurnalisnya dalam mengolah bahasa. Ketiga, berdasarkan kajian komparasi, Republika lebih banyak menggunakan pola komentar kritik yang “baik” dibandingkan dengan Kompas dan Pikiran Rakyat. Dan keempat, catatan “pojok” adalah cara paling aman yang dilakukan pers Indonesia dalam melakukan kritik sosialnya. Walaupun begitu, studi yang komprehensif tentang catatan pojok dan kritik sosial pers di Indonesia nampaknya masih perlu dilakukan.

 

Pengantar

Pers sebagai sebuah realitas komunikasi dan realitas bahasa merupakan dua hal menarik untuk dikaji. Namun sebagaimana paradigma Linguistik Fungsional, metode kritis lebih memberikan warna kualitatif dan pada gilirannya akan menampilkan sisi dan kedalaman subjektivitas dalam menganalisis fakta. “Pojok” yang menjadi korpus data tulisan ini sulit (bahkan hampir tidak mungkin) didekati secara Linguistik Formal. Sebagai sebuah bentuk tanggapan (baca: kritik) redaksi, penggalan kalimat pendek yang bernama “pojok” telah menampilkan sisi yang khas dalam sistem jurnalistik Indonesia. Oleh karena itu, dalam tulisan ini hanya akan dikaji dua hal pokok, yakni: (1) bagaimana kualitas catatan “pojok” menampilkan diri sebagai media kritik sosial?; dan (2) bagaimana warna (ragam) bahasa catatan “pojok” sebagai simbol dari penyampaian kritik sosial tersebut? Pada gilirannya nanti, jawaban dari kedua pertanyaan di atas akan dikomparasikan di antara ketiga pers (surat kabar) yang menjadi korpus data tulisan ini.

Masalah Kritik: Pengertian, Sikap, Bentuk, dan Teknik Penyampaian

Kritik lebih berkonotasi negatif. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) disebutkan arti kritik sebagai kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik-buruk suatu hasil karya.[1] Kritik, dalam tradisi pers sering dilontarkan terhadap masalah sosial. Istilah sosial, dalam KBBI, disebutkan dalam dua pengertian, yaitu: (1) berkenaan dengan masyarakat; dan (2) suka memperhatikan kepentingan umum.[2] Dengan demikian, tidak heran apabila kritik sosial pers sering dianggap sebagai ancaman atau perlawanan pers terhadap berbagai pihak. Kritik secara praksis bahkan mengalahkan uraian atau pertimbangan baik-buruk. Orang yang dikritik sangat jarang memperhatikan penjelasan (argumentasi) dari sebuah kritik.

Susetiawan menyebutkan bahwa kritik sosial atau konflik tidak perlu dipahami sebagai tindakan yang akan membuat proses disintegrasi tetapi dapat memberi kontribusi terhadap harmonisasi sosial.[3] Dalam hal ini stabilitas atau harmoni adalah keseimbangan dari kehidupan konflik yang semua pihak mendapatkan imbalan yang sama. Pada tingkat ini kritik sosial harus dilakukan secara transfaran dan jelas yang berfungsi sebagai kontrol sosial.

Pendapat sejenis disampaikan Astrid S. Susanto bahwa suatu kritik adalah penilaian ilmiah ataupun pengujian terhadap situasi masyarakat pada suatu saat.[4] Kritik sosial akan mengedepankan bukti-bukti objektif dan bobot ilmiah terhadap masalah yang terjadi. Saat ini kritik sosial semakin diperlukan mengingat bahwa masyarakat Indonesia sudah semakin maju dan memerlukan data-data yang akuratif terhadap sebuah masalah.

Demikian pula Faruk menuliskan pengertian kritik dalam beberapa perspektif seperti di bawah ini:

Dalam pengertian Kantian, kritik berarti kemampuan subjek untuk melepaskan diri dan mengambil jarak dari objek. Dalam pengertian Hegel, kritik berarti kemampuan subjek untuk membangun sintesis dengan menyatakan dirinya dalam objek. Dalam pengertian Marx, hal ini dipahami sebagai kemampuan manusia merealisasikan dirinya dalam objek dengan mengubah objek itu. Dalam pengertian teori mazhab Frankfurt, kritik berarti kemampuan penyadaran diri manusia dari kekuatan tertentu sehingga pada gilirannya manusia itu mampu melakukan perlawanan dan pengubahan atasnya.[5]

Dalam kritik, hal yang dianggap penting adalah proses berpikir ilmiah yang harus dilakukan seorang kritikus. Demikian pula pendekatan (metode) ilmiah yang pergunakan. Pada hakekatnya sebuah kritik sosial menggunakan metode berpikir ilmiah, yakni menemukan masalah, mencari data, membuat hipotesis, mengolah data untuk pembuktian masalah, analisis dan membuat kesimpulan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh.

Kritik dalam pikiran Naomi adalah pengujian terhadap situasi masyarakat dengan tolok ukur suatu situasi dan perilaku ideal. Menurutnya, kritik atau kontrol sosial menitikberatkan pada apa yang oleh kritikus dianggap benar sedangkan kontrol sosial membenarkan pendapat kolektif.[6] Selanjutnya Naomi menyebutkan:

Setiap kritik adalah pisau, dan pandangan tentang pisau berbeda-beda. Pisau mencacah daging dan menggorok sayur-sayuran. Ini “merusak”. Tetapi pisau memungkinkan piring-piring dipenuhi makanan, yang tanpa itu manusia punah. Ini “membangun”. Tergantung cara memandang dan apa tujuan kritiknya. Bahkan orang yang paling “subversif” pun harus mengakui bahwa kritik bisa salah bahan, bisa salah sasaran, bisa “jahat”, bisa “haus darah”. [7]

Dengan demikian, kritik bukan didasarkan atas sikap suka atau tidak suka terhadap masalah atau objek. Kritik justru hadir sebagai evaluasi untuk kepentingan perbaikan di masa mendatang. Masyarakat yang dinamis akan melahirkan persoalan-persoalan yang harus disikapi secara kritis. Maka dengan segala kearifannya setiap orang harus menyelesaikan setiap persoalan. Preposisi ini tidak sama dengan istilah “kritik membangun” yang didominasi oleh kepentingan kekuasaan. Kritis tentu lahir dari sikap masyarakat yang objektif, bertanggung jawab, dan demokratis.

Oleh karena itu, kritik menurut Alwi Dahlan sangat erat kaitannya dengan sistem komunikasi yang berlaku di suatu negara.[8] Sistem timbal-balik akan memungkinkan seseorang menerima kritik dari orang lain dengan lapang dada. Kritik bukan semata-mata untuk memojokkan orang lain. Kritik yang baik akan menggunakan prosedur yang benar. Kritik akan tetap berhadapan dengan realitas budaya sebuah masyarakat. Barat menganggap kritik sebagai hal yang biasa, namun pejabat kita memandang kritik sebagai masalah yang negatif. Maka cara mengkritik tetap harus diperhatikan oleh seorang kritikus.

Masyarakat yang berbudaya feodal relatif tertutup terhadap kritik. Bagi mereka, kritik adalah ancaman. Masyarakat yang seperti ini cenderung menempatkan struktur sosial dalam masyarakatnya. Pandangan negatif terhadap kritik disebabkan oleh sikap apriori terhadap pikiran orang lain sehingga merasa benar sendiri. Demikian pula sikap tidak menerima perbedaan akan menyebabkan seseorang tertutup pada pikiran dan pendapat orang lain.

Sebaliknya, masyarakat moden adalah masyarakat yang terbuka. Sekat-sekat feodal hilang oleh kemajuan dan pergesekan budaya. Setiap orang berkompetisi untuk maju dan kemajuan itu diraih bukannya tanpa kritik. Masyarakat modern harus mengembangkan sistem komunikasi multi arah. Negara bukan lagi komponen yang mendominasi setiap bentuk komunikasi. Saat ini hampir setiap kebijakan harus melewati proses kritik masyarakat. Kritik tersebut bukan berarti menentang pemerintah, namun menguji sisi baik dan sisi buruk setiap kebijakan.

Demikian pula dalam dunia pers dan akademik. Kritik adalah makanan sehari-hari. Komunikasi akademik adalah komunikasi yang objektif dan ilmiah. Kritik dilakukan dalam rangka membuktikan kebenaran hipotesis. Pers yang secara tersurat berperan melakukan kritik sosial akan melakukannya terhadap setiap persoalan dan fenomena sosial yang merugikan masyarakat. Sebaliknya, pers yang mementingkan aspek bisnis akan kehilangan “daya sengat” kritiknya. Pers bisnis hanya akan menjadi wakil kepentingan para kapitalis. Oleh karena itu, hanya pers yang netral dan menjaga objektivitas yang akan mampu melakukan kritik secara baik dan objektif.

Dalam kritik, teknik penyampaian merupakan hal penting yang tidak bisa dikesampingkan bahkan menentukan keberterimaan kritik tersebut. Banyak orang yang beralasan bahwa dirinya bukan tidak senang dikritik, namun keberatan dengan cara mengkritik yang dianggap kurang etis. Kritik media tentu ada yang langsung ada yang tidak langsung. Media massa bisa melakukan kritik secara langsung melalui pemberitaan atau tulisan di tajuk (editorial). Masyarakat yang berkeberatan dengan kritik bisa mengajukan hak jawab, somasi, atau mengajukan media tersebut ke pengadilan. Pada zaman Orde Baru, hanya media yang SIUUP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers)-nya siap dicabut, yang melakukan kritik secara tajam dan keras. Pada umumnya, para jurnalis menahan diri atau mencari jalan lain untuk melakukan kritik tanpa harus mengorbankan korannya. Oleh karena itu, berkembanglah istilah kritik yang membangun atau kritik yang sehat. Istilah ini sesungguhnya lebih mengacu pada model kritik yang disesuaikan dengan selera penguasa, yang sesungguhnya bukan termasuk kritik.

Urgensi Kritik dalam Pers

Kritik sosial akan lebih efektif apabila disampaikan melalui lembaga penyalur kritik. Saat ini banyak lembaga yang menampung aspirasi masyarakat dan perorangan. Pers adalah salah satu lembaga yang ikut andil dalam menyampaikan kritik sosial kepada masyarakat dan penguasa.

Menurut Ahmad Zaini Abar, bagi pers menyampaikan kritik adalah salah satu cara menjalankan salah satu fungsi normatifnya, yakni sebagai alat kontrol sosial. Selain itu bermakna sebagai cara bagaimana pers menyalurkan aspirasi sosial, aspirasi masyarakat. Demikian pula kritik sosial, bagi pers merupakan satu cara bagaimana pers memposisikan diri sebagai wahana katarsis sosial, sarana penglepasan kegelisahan, keprihatinan, dan kemarahan rakyat.[9]

Gaya kritik surat kabar Indonesia menurut James L. Peacock, sebagaimana dikutip Aly, adalah mirip pewayangan, yaitu hanya bayangan yang menjadi kenyataan.[10] Melontarkan kritik memerlukan bakat tersendiri, bagaimana mengangkat sesuatu kasus ke permukaan sehingga dia muncul menjadi isu masyarakat tanpa melukai hati yang dikritik. Seolah-olah yang dikritik bagian dari si pengkritik, ia tidak ditunjuk hidungnya, tetapi sang indra dibuat kembang kempis.

Menurut Rosihan Anwar, dalam melakukan kritik, banyak media yang melakukan “kritik kepiting”. Ada saatnya tiarap dan ada saatnya menembak. Memang nasib pers pada zaman Orde Baru, nasib pers tidak lebih dari bagaimana menyiasati diri agar selamat dalam berbagai jepitan.[11] Di saat kran keterbukaan dibuka lebar-lebar, pers berhamburan dengan agenda-agenda yang diarsipkannya. Namun, di saat keterbukaan ini menyempit, dia pun harus hati-hati dari sasaran kekuasaan.

Dalam media massa, kritik yang paling aman rupanya disampaikan dalam bentuk humor. Dalam pojok dan karikatur, gaya humor sangat kentara. Humor terbagai menjadi tiga macam, yakni ironi, sinisme, dan sarkasme.[12] Kritik di masa Orde Baru tidak keluar dari tiga gaya tersebut. Menurut James Dananjaya, humor bisa menjadi semacam katup pelepas. Humor tidak lagi sekadar “memproduksi” tertawa, tetapi membawa pemikiran tertentu yang lebih serius.[13] Dalam tataran filosofis, humor merupakan media protes sosial yang paling sesuai dengan kepribadian bangsa kita. Di samping itu, kritik humor lebih dapat menjamin keamanan kritikus sendiri.

Pers sebagai lembaga normatif kritik akan berhadapan dengan dua persoalan mendasar. Pertama, secara internal dia akan menghadapi dilema antara idealisme atau bisnis media. Pers industri akan lebih mengembangkan bisnis daripada idealisme sehingga pers tidak lagi memposisikan diri sebagai katarsis sosial. Pers tidak lebih dari lembaga-lembaga bisnis lainnya di bidang informasi. Kedua, faktor eksternal, kekuasaan negara dan masyarakat sebagai objek kritik. Pers yang kritis acapkali mendapat hambatan bahkan serangan dari kekuasaan negara. Beberapa kasus pembreidelan sepanjang sejarah pers Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah belum mampu memberikan suasana yang kondusif bagi terciptanya sistem demokrasi dan jaminan bagi hak-hak pribadi warga negara. Dengan alibi harmoni atau stabilitas negara, kepentingan-kepentingan di luar negara dengan mudah dipangkas dan tidak diberi tempat untuk tumbuh.

Pers juga harus menuai badai yang disebabkan oleh kritik yang dilakukannya. Berbagai kasus seperti penyerbuan, pendudukan, bahkan pembunuhan para wartawan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia jurnalistik. Beberapa tindak kekerasan yang dilakukan terhadap wartawan Indonesia, kiranya bisa dilihat sebagai berikut:[14]

 

KASUS

TINDAKAN
1. Asisten Tatapraja memaki-maki wartawan Republika, Guntoro. Kejadian di ruang bawah Pemda Bekasi (Jum’at, 2/2/96). Dilaporkan ke polisi.
2. Wartawan Terbit, Alfian, dianiaya oknum Satpam PO Sinar jaya. Satpam keberatan dengan liputan yang membuka terminal illegal. PWI Jaya protes.
3. Muhammad Sidiq (Wawasan), Budi Sardjono (Yogya Post), dan Agus Tjitrodirdjo (Busines News) dipukul oknum ABRI di Solo. Wartawan protes dan akhirnya didamaikan.
4. Bupati Polmas, Saad Pasilong, Sulsel mengusir empat wartawan yang hendak meminta penjelasan soal pembangunan pasar. (Kamis, 23/5/96). Mereka yang diusir adalah wartawan Kompas, RCTI, Suara Karya, dan Tiras. Gubernur ZB Palaguna menyesalkan. Bupati kemudian minta maaf.
5. Wartawan Bernas, M. Fuad Syafrudin dianiaya orang tak dikenal di kediamannya hingga tewas. Penyelidikan masih terus dilakukan.

Catatan “Pojok” sebagai Jendela Kritik Pers Indonesia

Pojok adalah salah satu rubrik yang ditempatkan atau diletakkan pada sudut kanan atas atau sudut kanan bawah, tetapi ada pula yang berposisi di bawah kiri atau kanan. Pojok ditulis oleh implikator surat kabar senior. Pojok diberi nama khusus, misalnya “Rehat” (Republika), “Mang Usil” (Kompas), “Mat Cawang” (Sinar Harapan), “Si Kabayan” (Pikiran Rakyat) dan sebagainya.[15]

Menurut Naomi, pojok merupakan jendelanya sebuah penerbitan. Pojok memiliki dua karakteristik. Pertama, umumnya tidak punya kesan serius. Hal ini ditandai dengan simbol nama penulisnya. Dan kedua, pojok bisa menjadi siapa saja di  antara kita. Pojok memiliki kesan sebagai suara pinggiran atau arus bawah sebuah koran sebab ruangannya yang kecil, kebiasaan guyonnya, dan tema-tema tidak penting yang kadang diangkatnya. Bahkan di beberapa koran, ia benar-benar “kaum pinggiran” karena diletakkan persis di tepi bawah halaman dan tidak ada satu orang pun yang membeli koran hanya karena pojoknya – kecuali orang yang mempunyai tujuan tertentu, misalnya penelitian.[16]

Menurut Makkah, penamaan “pojok” tampaknya disebabkan oleh penempatan rubrik ini di halaman surat kabar. Ruangan yang diberikan untuknya jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang diberikan pada tajuk rencana, berita, ataupun artikel lainnya.[17] Pojok dengan tokohnya, seakan-akan seorang “tukang gong” yang suka “nyeletuk” dalam suatu pembicaraan ramai. Ia “nyeletuk” dari sudut ruangan, memancing perhatian. Omongannya sering nyelekit. Pojok berfungsi untuk menyentil sebuah peristiwa, kejadian atau kebijakan yang dijalankan oleh orang-orang penting. Cara penyampaiannya dalam bahasa humor, ulasan, tanggapan, dan kritikan.

Secara historis, perkembangan pers di Indonesia mengikuti periodisasi perjuangan bangsa Indonesia. Periode pertama, pers Indonesia antara tahun 1900-1950. Masa itu pers kita disebut dengan pers perjuangan. Bangsa kita saat itu sedang memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan dari tangan-tangan penjajah. Periode kedua (1950-1965) disebut pers politik. Penamaan tersebut berkait erat dengan kondisi politik saat itu yang liberal. Kita digusarkan dengan peristiwa-peristiwa politik dengan jatuh bangunnya kabinet. Pers saat itu pers menjadi alat perjuangan oleh kelompok-kelompok politik sesuai dengan ideologi partainya. Ketiga (1965-1998), dinamai pers Ode Baru. Pers memulai babak baru dan diarahkan untuk kepentingan pembangunan yang dipelopori oleh Orde Baru. Pada tahun 1970-an, masa Orde Baru, kita juga mengenal istilah “pers pembangunan” atau “jurnalistik pembangunan”. Konsep pers yang terakhir ini lebih mengembangkan sistem bisnis dan perusahaan. Pers menjadi alat hidup dan profesi, laiknya perusahanan. Dalam dunia pers pembangunan sangat sulit ditemukan idealisme wartawan atau fungsi kontrol sosial secara memadai. Pada saat itu pula, pers mengalami persaingan ketat dengan teknologi informasi lainnya.

Dalam konteks kesejarahan pers Indonesia, pojok telah hadir menghiasi koran Indonesia sejak zaman Belanda. Pojok merupakan khas pers Indonesia. Kehadiran rubrik ini merupakan sarana untuk melakukan kritik. Pojok dalam posisi ini relatif lebih aman dibandingkan dengan rubrik-rubrik lain dalam sebuah koran. Pojok mencapai “puncak kejayaannya” pada masa Orde Lama. Edward Smith menyebut pojok sebagai cerminan liberalisme pers yang sempurna. Penyebutan itu lebih disebabkan oleh kebebasan kritik yang disampaikan pojok. Bahkan pojok  menjadi “medan perang” yang ampuh antara berbagai kekuatan partai politik di masa Orde Lama. Pada tahun 1964 pernah terjadi “perang pojok” antara Merdeka, Suluh Indonesia, dan Bintang Timur. Masing-masing berperang sesuai dengan aliansi politiknya.[18]

Pada awal Orde Lama, pojok sempat diberangus karena berbagai kritik tajam yang disampaikannya. Demikian pula pojok sering bernada mengadu domba dan menghantam kelompok lain. Hal ini terjadi karena selama ini nyaris tidak ada aturan “yang baik dan sopan” dalam penulisan pojok.       Dalam hal ini kembali Makkah menulis:

Pada saat kita memulai melengkapi kultur bangsa dengan mengenal media massa sebagai sarana komunikasi, surat kabar-surat kabar berbahasa Indonesia terbit di zaman Belanda, senantiasa memuat tulisan pendek di satu sudut halamannya yang selamanya mendapat perhatian pembaca. Rubrik kecil di sudut yang mengandung kritik ini –- yang boleh jadi tercipta untuk melawan kolonial—diteruskan pada zaman pendudukan Jepang, dan berlanjut hingga sekarang. Isinya senantiasa kritik. Kadang-kadang pedas, tempo-tempo halus tetapi menusuk. Rubrik dengan ciri sinis dan lucu ini, akhirnya lebih populer dengan sebutan “pojok”. Ia dianggap khas pers Indonesia. Bahwa ia mendapat perhatian pembaca, terbukti dengan lahirnya “memojoki” beberapa tahun yang silam, yang berarti “menuliskan di ruangan pojok”.[19]

Dengan demikian, pojok dapat dikatakan sebagai perwujudan idealisme pers. Pers Indonesia, menurut Herawati Diah, bukan dunia kepanduan dengan nyanyian “di sini senang di sana senang”. Melainkan jurnalisme yang walaupun “diayun ke sini dan ke sana masih tetap senang”. Itulah jurnalisme industrial yang berorientasi pada profit dan tidak peduli pada idealisme dan komitmen jurnalisme itu sendiri: pers bebas, masyarakat demokratis, dan penegakkan hak azasi manusia.[20] Pendapat senada disampaikan oleh Barita Siregar bahwa bisnis pers akan semakin meningkat tetapi secara institusi sama sekali tidak, sebab jurnalisme kita ternyata tidak mampu menangkap secara total fakta yang ada dan tidak semua realitas menjadi informasi. Yang menjadi realitas justru diubah menjadi komoditi. Banyak informasi hanya menyentuh secara psikologis, tetapi tidak mengungkap realitas dalam berbagai dimensi.[21]

Berkaitan dengan kritik pojok, penelitian Naomi yang membandingkan antara kritik pojok Kompas dengan pojok Suara Karya menarik untuk disimak seperti berikut ini:[22]

 

VARIABEL PENELITIAN KOMPAS SUARA KARYA
Fungsi pojok Kritik Kritik
Bidang yang dikritik Sosial-budaya Sosial-budaya
Nada kritik politik Netral Kritis
Sasaran kritik Masyarakat Negara
Cara menyamarkan kritik Ironi dan humor Humor

 

Catatan “Pojok”: Perspektif Ragam Bahasa Jurnalistik

Menurut penggolongan variasi bahasa Chaer dan Agustina, dari sudut pemakaian bahasa, ragam bahasa jurnalistik termasuk ragam sosiolek, yakni ragam bahasa yang dipakai pada suatu kelompok masyarakat dan profesi tertentu.[23] Ragam jurnalistik juga bisa dikelompokkan ke dalam ragam berdasarkan aspek pemakaian bahasa secara fungsional atau profesi.[24] Ragam bahasa jurnalistik memiliki ciri-ciri yaitu bersifat sederhana, komunikatif, dan ringkas. “Sederhana” karena harus dipahami secara mudah; “komunikatif” karena jurnalistik harus menyampaikan berita yang tepat; dan “ringkas” karena keterbatasan ruang (dalam media cetak) dan keterbatasan waktu (dalam media elektronik). Dalam ragam bahasa jurnalistik awalan me- dan di- sering ditanggalkan, yang dalam penulisan berbahasa baku harus digunakan.[25]

Menurut Hassanudin, ragam bahasa jurnalistik memiliki ciri-ciri: (1) lugas, tidak ambigu; (2) sederhana, lazim dan umum; (3) singkat dan padat; (4) sistematik dalam penyajian; (5) berbahasa netral dan tidak memihak; (6) menarik; (7) kalimatnya pendek; (8) bentuk kalimatnya aktif; dan (9) penggunaan kalimat positif.[26] Sementara itu ragam bahasa pojok, menurut Natawidjaja, ditandai oleh sifat-sifat: (1) santai; (2) baku; (3) campuran bahasa baku dengan bahasa dialek atau bahasa daerah; dan (4) bahasa Betawi umumnya dipakai sebagai bahasa pojok dengan ciri dialek: lho, rikuh, dong, cihuy, gimane, dan sebagainya. Pojok dibentuk melalui empat pola, yakni: kejadian-kritik, komentar-kritik, komentar-ulasan, dan kejadian-komentar.[27]

Pojok sebagai karikatur yang melulu berisi kata-kata, pada hakikatnya lahir dengan sifat kritisnya, melalui gaya penyampaian yang menusuk, tetapi tak perlu mengundang orang naik darah. Inilah yang membuat pojok tidak mungkin ditulis sembarang orang, kecuali dia memiliki kemampuan bermain kata yang sinis dan humoris. Pojok dengan sifat lucunya, jelas tidak sama dengan tajuk rencana yang serius, baik yang informatif maupun yang argumentatif. Untuk memberikan informasi maupun atas pertanyaan “apa artinya itu?”, tajuk rencana ditulis panjang-lebar. Bahasa yang dipakai untuk berargumentasi membuat penulisan tajuk rencana lebih meluas. Pojok tidak demikian halnya.[28]

Cara penulisan yang tepo saliro yang kadangkala mengambang itu ternyata lebih disukai atau lebih mengena dengan selera pejabat kita. Kritik gamblang dan blak-blakan sering ditafsirkan provokatif dan menghasut ketimbang apa yang disebut kritik konstruktif. Fenomena menarik bahwa bahasa yang bernada tenggang rasa sering kali lebih mengenai sasaran. Ini mungkin disebabkan budaya yang sangat alergi terhadap kritik terbuka, meskipun sangat diutamakan kejujuran dan lebih bisa menghayati bahasa madu yang beracun itu.[29]

Temuan Data dan Pembahasan

Dalam kurun waktu 6 bulan (Januari-Juni 1997) pojok bertemakan Pemilu 1997 yang dimuat oleh ketiga koran memiliki frekuensi yang berbeda-beda. HU Kompas memuat sebanyak 49 buah, HU Republika memuat sebanyak 26 buah, dan HU Pikiran Rakyat memuat sebanyak 74 buah pojok. Dari jumlah pojok tersebut, untuk kepentingan penelitian ini diambil 30 pojok (masing-masing koran 10 buah) berdasarkan pertimbangan frekuensi pemuatan pojok, ragam bahasa, sasaran pojok, jenis tema pojok, serta pola pembentukannya (purposif sampling). Dari analisis data ditemukan beberapa temuan sebagai berikut.

Kritik pojok dengan tema Pemilu memiliki sasaran kritik yang berbeda-beda. Perbedaan sasaran kritik berhubungan dengan headline berita koran tersebut. Oleh karena itu, pojok hanya mengangkat masalah-masalah besar dan aktual di samping memiliki daya tarik untuk dikritik (dikomentari). Sasaran kritik pojok sebagian besar (63,33%) diarahkan kepada partai politik (PPP, Golkar, dan PDI); sebanyak 20% diarahkan kepada kalangan birokrasi (pemerintah dan panitia LPU); dan sebanyak 16,67% diarahkan kepada masyarakat luas, termasuk di dalamnya pengamat politik yang banyak berkomentar tentang Pemilu.

Dilihat dari perbandingan data ketiga koran, sasaran kritik dalam pojok HU Kompas lebih banyak (60%) kepada Parpol, kalangan birokrasi (20%), dan masyarakat luas (20%). Dalam pojok HU Republika, sasaran kritik terarah kepada Parpol (50%), kalangan birokrasi (20%), dan masyarakat luas (30%). Angka yang mencolok terdapat dalam pojok HU Pikiran Rakyat, sebanyak 80% (Parpol) dan kalangan birokrasi (20%).

 

Tabel 1

SASARAN KRITIK POJOK
KORAN SASARAN KRITIK
PARPOL BIROKRASI MASYARAKAT
KOMPAS
60% (6) 20% (2) 20% (2)
REPUBLIKA 50% (5) 20% (2) 30% (3)
PIKIRAN RAKYAT 80% (8) 20% (2)
f (x) 63,33% (19) 20% (6) 16,67% (5)

 

Berdasarkan data di atas, pers lebih banyak melakukan kritik sebagai wujud kontrol sosial kepada Parpol. Hal ini menurut penulis sangat tepat, karena parpol adalah unsur terpenting dalam pelaksanaan Pemilu. Namun demikian, sasaran kritik sangat bervariasi mengingat sistem Pemilu 1997 masih belum demokratis. Pemilu 1997 banyak dimonopoli oleh pihak birokrasi (kekuasaan eksekutif), terbukti dengan posisi ketua LPU (Lembaga Pemilihan Umum) yang dijabat Mendagri. Kritik yang paling menarik dari pers tentang “perang warna” antara parpol yang satu dengan yang lainnya. Fakta menunjukkan, sebagaimana Pemilu Orde Baru sebelumnya, birokrasi mulai Pusat hingga Daerah diformat untuk kemenangan Golkar. Bahkan para bupati menginstruksikan agar pagar-pagar rumah dicat kuning sebagai bagian dari dukungannya kepada Golkar.

Contoh pojok yang melakukan kritik kepada birokrasi sebagai berikut:

Pemda DIY beri bantuan dana buat Parpol dan Golkar

Jangan buat beli cat lho, ya…. [30]

Kritik pojok Pemilu memuat berbagai persoalan yang berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu, baik sebelum maupun sesudah Pemilu. Setiap hari, koran memuat pojok sesuai dengan bobot pemberitaan  media tersebut. Secara umum materi pojok setiap hari berubah-ubah dan ditentukan oleh dinamika pemberitaan. Namun demikian, berdasarkan persoalan yang diangkat dalam pojok yang diteliti ditemukan bahwa materi penyimpangan dan kerusuhan Pemilu yang hampir menghentikan pelaksanaan Pemilu 1997 tampil dominan (26,67%).  Penyimpangan dan kerusuhan tersebut berkaitan dengan “perang warna”, bentrokan fisik antar pengikut partai dan berbagai kegiatan politik yang tidak mengindahkan etika politik. Materi pojok lainnya yang dominan adalah kampanye Pemilu (23,33%). Isu yang paling mencolok adalah sekitar KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang oleh banyak pihak sudah dianggap mendarah-daging dalam perpolitikan Indonesia. Di samping itu terdapat materi tentang calon legislatif, PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang menjadi juru kampanye Pemilu, hadirnya pengamat asing, bahkan kasus PDI yang hingga kini sering disebut “Sabtu Kelabu”, 27 Oktober 1997. Contoh pojok tentang kampanye anti korupsi:

Jurkam: Golkar tak pernah ajari kadernya korupsi.

Soal itu mah sudah bisa sendiri.[31]  

“Selain tak ada konglomerat yang menyumbang, kan bagi PPP tiada yang bisa dikorupsi.” Ujar Sekjen PPP Tosari Wijaya soal PPP mungkin tak penuh ikut kampanye karena kekurangan dana.

Emangnya yang lain bakal korupsi, Pak? [32] 

 

Berdasarkan klasifikasi kualitas kritik yang dicerminkan melalui bahasa kritik, ditemukan sebanyak 43% pojok memiliki kualitas kritik yang baik; 36,67% klasifikasi sedang; dan 20% berkualifikasi kurang baik. Apabila dilakukan komparasi di antara ketiga media, ditemukan data bahwa pojok HU Kompas sebanyak 30% baik (tajam) dan 70% dikategorikan sedang (biasa). Dalam HU Republika sebanyak 90% pojoknya berkategori baik (tajam) dan hanya 10% yang berkualitas sedang. HU Pikiran Rakyat menunjukkan bahwa pojoknya hanya 10% yang berkategori baik (tajam), 30% berkualitas sedang, dan 60% kurang baik. Kualitas ini ditentukan oleh ketajaman visi media dam keberanian redaktur dalam menyampaikan kritik.  Media yang terlalu berhati-hati, pojoknya akan terasa kurang menarik dan kurang tajam.

Tabel 2

KATEGORI POJOK

KORAN KATEGORI
BAIK (TAJAM) SEDANG KURANG BAIK

(TIDAK TAJAM)

KOMPAS
30% (3) 70%(7)
REPUBLIKA 90% (9) 10% (1)
PIKIRAN RAKYAT 10% (1) 30% (3) 60% (6)
f (x) 43,33% (13) 36,67% (11) 20% (6)

Pojok-pojok berikut dapat dibandingkan tingkat ketajamannya:

 

Kampanye ketiga OPP (PPP, Golkar, PDI) menyepakati jadwal pelaksanaan kampanye Pemilu 1997.

Kita tunggu ketaatan pada kesepakatan itu. [33]

Ketua PWI: Insan pers tak perlu digiring masuk OPP tertentu.

Tanpa digiring sudah masuk sendiri-sendiri.[34]  

 

Ketua MPR/DPR Wahono menyatakan, penyampaian aspirasi rakyat ke DPR cukup diwakilkan kepada beberapa orang saja.

Setuju Pak, tapi kalau datang dengan sedikit orang jangan disebut “oknum yang mengatasnamakan”. [35]

Kritik pojok dibentuk dalam empat pola, yakni: kejadian-kritik, komentar-kritik, komentar-ulasan, kejadian-komentar. Berdasarkan empat pola tersebut ditemukan data bahwa 46,67% pojok dibentuk dengan pola komentar-kritik; sebanyak 16,67% berpola komentar-ulasan; dan 10% berpola kejadian-komentar.

Dalam menyampaikan kritik-kritiknya, pojok HU Kompas menggunakan pola kejadian-kritik (50%) dan komentar-kritik (50%). HU Republika lebih banyak menggnakan pola komentar-kritik (70%) dan sisanya kejadian-kritik (30%). Angka yang agak berlainan ditemukan dalam pola pojok HU Pikiran Rakyat, yakni kejadian-ulasan (30%); komentar-ulasan (50%); serta komentar-kritik (20%).

 

Tabel 3

POLA PEMBENTUKAN

KORAN POLA PEMBENTUKAN
KEJADIAN-

KRITIK

KOMENTAR-

KRITIK

KOMEN-TAR-ULASAN KEJADIAN-KOMEN-TAR
KOMPAS
50% (5) 50% (5)
REPUBLIKA 30% (3) 70% (7)
PIKIRAN RAKYAT 20% (2) 50% (5) 30% (3)
f (x) 26,66% (8) 46,67%(14) 16,67%(5) 10% (3)

Pojok yang baik yang memiliki nilai humor yang tinggi. Namun demikian, data menunjukkan bahwa 60% pojok yang diteliti nilai humornya rendah (serius) dan hanya 40% yang memiliki nilai humor. Di antara ketiga koran, pojok HU Republika mengandung humor yang tinggi (80%), sementara kedua koran lainnya memiliki angka terbalik dengan HU Republika.

Setiap pojok memiliki kebakuan yang bervariasi. Sebanyak 60% pojok ditulis dengan bahasa baku; 6,67% ditulis dengan bahasa tidak baku; dan 33,33% ditulis dengan bahasa campuran. Di antara 3 koran yang diteliti, HU Pikiran Rakyat memiliki tingkat kebakuan yang tinggi, sementara HU Republika memiliki tingkat kebakuan yang rendah. Berdasarkan komparasi antara kebakuan dan ketajaman kritik dapat disimpulkan bahwa pojok yang ditulis baku cenderung kurang kritis, sebaliknya pojok yang kritis cenderung ditulis dalam kalimat yang tidak baku atau campuran.

Tabel 4

NILAI HUMOR DAN KEBAKUAN

KORAN NILAI HUMOR KEBAKUAN KALIMAT
HUMOR TIDAK BAKU TIDAK CAMPURAN
KOMPAS
20% (2) 80% (8) 70% (7) 30% (3)
REPUBLIKA 80% (8) 20% (2) 30% (3) 10% (1) 60% (6)
PIKIRAN RAKYAT 20% (2) 80% (8) 80% (8) 10% (1) 10% (1)
f (x) 40% (12) 60% (18) 60% (18) 6,67% (2) 33,33% (10)

 

Perhatikan pojok humor sebagaimana di bawah ini:

Waka DPW PPP Jateng: Kampanye satu meja di Jateng belum memungkinkan.

Hayooo… taplaknya warna apa…?!! [36] 

Pojok yang ditulis dengan kalimat baku seperti di bawah ini:

Mendagri: Ketua Umum Lembaga Pemilihan Umum meminta agar semua orsospol tidak menggunakan kendaraan dinas untuk melakukan kampanye.

Kecuali… bila plat nomor diganti dengan hitam?  [37]

Penutup

Pojok sebagai jendela pers dan simbol liberalisasi pers mempunyai peran sebagai wahana kritik sosial yang sangat penting dalam menunjukkan keberpihakan dan sikap sebuah media. Krtiik pojok disampaikan dalam ragam bahasa yang bervariasi. Ragam bahasa ini bahkan menentukan tingkat kekritisan sebuah pojok. Pojok yang kritis biasanya disampaikan dalam bahasa yang cenderung tidak baku, penuh gaya humor, dan menggunakan kosakata campuran. Sebaliknya, pojok yang baku cenderung tidak menarik dan tidak kritis.

Tingkat kekritisan pojok ditentukan oleh visi dan keberanian media untuk mengungkapkan realitas sosial. Dalam konteks ini HU Republika memiliki pojok yang lebih kritis dibandingkan pojok HU Kompas dan HU Pikiran Rakyat. HU Kompas cenderung lebih berhati-hati dalam memberikan kritik, sedangkan HU Pikiran Rakyat pojoknya di samping tidak tajam juga lebih terkesan Asal Bapak Senang (ABS). Secara umum tidak kritisnya media massa, termasuk dalam penulisan pojok, lebih disebabkan “ketakutan” pers terhadap badai yang akan diterima dari kritiknya tersebut, terutama pencabutan SIUUP. Sebagai sebuah koran nasional, HU Kompas lebih memperhatikan keselamatan masa depan korannya dibandingkan melakukan kontrol sosial secara ketat. HU Pikiran Rakyat lebih banyak berlindung dibalik “tradisi kesantunan” masyarakat Sunda yang berpola caina herang laukna beunang (kena ikannya, tidak keruh airnya).

Sekalipun humor sesuai dengan karakter bangsa Indonesia, dalam konteks kritik yang disajikan dalam pojok, para jurnalis pada umumnya masih belum mampu mengaktualisasikan humor dalam bahasa pojok. Masalahnya, humor yang menarik harus juga memiliki tingkat kritis yang tinggi. Menulis pojok yang penuh humor tetap membutuhkan keberanian dan daya kritis yang tinggi.

Secara umum, pers Indonesia masih menggunakan “jurus kepiting” dalam melakukan kritiknya. Para insan pers selalu mencari saat yang tepat kapan harus mengkritik dan kapan harus tiarap. Orde Baru telah melahirkan pers yang terkekang dan tak sanggup memerankan fungsi kontrol sosialnya. Bahkan bahasa kritik yang ada pun teralienasi oleh kekuasaan negara yang masuk melalui regimentasi linguistik. Bahasa-bahasa kritik kemudian harus distandarisasikan melalui sebuah sangkar “kritik membangun, kritik konstruktif, dan kritik yang sehat”, yang sebenarnya lebih mencerminkan sikap dominasi kekuasaan terhadap rakyatnya.

Pojok dalam konteks pers yang terkekang ini sedikit bisa bernafas karena posisinya yang “terpojok” dan tidak mendapatkan perhatian banyak orang. Pojok telah menjelma menjadi “rubrik hiburan” bagi para pembaca koran. Oleh karena itu, pojok di zaman Orde Baru hampir tidak pernah mendapatkan hambatan sekeras apapun isinya. Hampir seluruh pemberangusan koran di zaman Orde Baru bukan disebabkan kritik yang disampaikan melalui pojok. Pojok masih dianggap “olok-olok” media terhadap berbagai pihak yang dikritiknya dan posisinya tetap aman. Namun demikian, pojok merupakan model jurnalisme sisa-sisa pemberangusan penguasa otoritarian. Sekalipun sisa pemberangusan, pojok masih memberikan nuansa dan warna khas jurnalisme Indonesia.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abar, Akhmad Zaini. 1997. “Kritik Sosial, Pers, dan Politik Indonesia” dalam Mahfud et.al. (Ed.). Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan Bangsa. Yogyakarta: UII Press.

Aly, Bachtiar. 1986. “Mencari Perspektif Baru Isi Surat Kabar Indonesia” dalam Persuratkabaran Indonesia dalam Era Informasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Anonim. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Anshori, Dadang S.. 1996. “Menggagas Masyarakat Melek Baca” dalam Suara Pembaruan. Jakarta: 6 Oktober.

Anwar, Rosihan. 1991. Bahasa Jurnalistik dan Komposisi. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Bawa, I Wayan. 1996. “Perkembangan Ragam-ragam Bahasa Indonesia” dalam Djajakusuma & Nadaek (Ed.). Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: HPBI dan Pustaka Wina.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.

Dahlan, M. Alwi. 1977. “Sikap Pejabat Terhadap Kritik” dalam Prisma, No.10, Th.IV. Jakarta: LP3ES.

Faruk. 1997. “Kritik Terbuka: Sebuah Imperatif Budaya” dalam Mahfud et.al. (Ed.). Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan Bangsa. Yogyakarta: UII Press.

Makkah, Masmimar. 1977. “Pojok sebagai Penyalur Kritik” dalam Prisma, No.10, Th.VI. Jakarta: LP3ES, Oktober.

Naomi, Omi Intan. 1996. Anjing Penjaga: Pers di Rumah Orde Baru. Jakarta: Gorong-gorong Budaya.

Natawidjaja. 1986. Teras Komposisi. Jakarta: PT Intermasa.

Pusat Informasi Kompas. 1997. Jakarta: 2 Januari.

Siregar, Barita. 1994. “Kebebasan Pers dalam Demokrasi Pancasila” dalam Pikiran Rakyat. Bandung: 19 Maret.

Smith, Edward C.. 1983. Pembredelan Pers di Indonesia. Terjemahan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Susanto, Astrid S.. 1977. “Makna dan Fungsi Kritik Sosial dalam Masyarakat dan Negara” dalam Prisma, No.10, Th.VI. Jakarta: LP3ES.

Susetiawan. 1997. “Harmoni, Stabilitas Politik dan Kritik Sosial” dalam Mahfud et.al. (Ed.). Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan Bangsa. Yogyakarta: UII Press.

 

Surat Kabar:

Kompas. Jakarta: 5 Januari dan 19 April 1997;

Pikiran Rakyat. Bandung: 3 Januari 1997 dan 5 April 1997;

Republika. Jakarta: 18 Januari; 20 Maret; 16 April; dan 17 Mei 1997;

 

*)Dadang S. Anshori  adalah Staf Pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Bandung. Lahir di Garut, Jawa Barat, pada tanggal 3 April 1972. Menyelesaikan pendidikan sarjana (S.Pd.) di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI tahun 1999 dengan menulis skripsi “Analisis Kritik Sosial dan Ragam Bahasa Pojok pada Surat Kabar di Indonesia: Kontribusi Pemilihan Bahan Ajar Sosiologi Bahasa di Perguruan Tinggi”. Tulisan ini, dengan demikian, merupakan ringkasan dari skripsi sarjananya. Menulis beberapa buku, di antaranya adalah Menggagas Pendidikan Rakyat (Bandung: Alqaprint, 2000). Untuk kepentingan akademis, Dadang S. Anshori, S.Pd. dapat dihubungi dengan alamat kantor: Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI, Jl.Dr. Setiabudhi No.229 Bandung, Jawa Barat 40154. Tlp.(022) 2008132.

[1]Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1989), hlm.466.

[2]Ibid., hlm.855.

[3]Susetiawan, “Harmoni, Stabilitas Politik dan Kritik Sosial” dalam Mahfud et.al. (Ed.), Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan Bangsa (Yogyakarta: UII Press, 1997), hlm.27.

[4]Astrid S. Susanto, “Makna dan Fungsi Kritik Sosial dalam Masyarakat dan Negara” dalam Prisma, No.10, Th.VI (Jakarta: LP3ES, 1977).

[5]Faruk, “Kritik Terbuka: Sebuah Imperatif Budaya” dalam Mahfud et.al. (Ed.), 1997, Op.Cit., hlm.32.

[6]Omi Intan Naomi, Anjing Penjaga: Pers di Rumah Orde Baru (Jakarta: Gorong-gorong Budaya, 1996), hlm.211.

[7]Ibid., hlm.213.

[8]Lihat M. Alwi Dahlan, “Sikap Pejabat Terhadap Kritik” dalam Prisma, No.10, Th.IV (Jakarta: LP3ES, 1977).

[9]Akhmad Zaini Abar, “Kritik Sosial, Pers, dan Politik Indonesia” dalam Mahfud et.al. (Ed.), 1997, Op.Cit., hlm.50.

[10]Bachtiar Aly, “Mencari Perspektif Baru Isi Surat Kabar Indonesia” dalam Persuratkabaran Indonesia dalam Era Informasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1986), hlm.8.

[11]Rosihan Anwar, Bahasa Jurnalistik dan Komposisi (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1991).

[12]Omi Intan Naomi, 1996, Op.Cit., hlm.245.

[13]Sebagaimana dikutip oleh Omi Intan Naomi, Ibid..

[14]Sumber: Pusat Informasi Kompas (Jakarta: 2 Januari 1997).

[15]Natawidjaja, Teras Komposisi (Jakarta: PT Intermasa, 1986), hlm.126.

[16]Omi Intan Naomi, 1996, Op.Cit., hlm.287.

[17]Masmimar Makkah, “Pojok sebagai Penyalur Kritik” dalam Prisma, No.10, Th.VI (Jakarta: LP3ES, Oktober 1977), hlm.34.

[18]Lihat Edward C. Smith, Pembredelan Pers di Indonesia, Terjemahan (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1983).

[19]Makkah, 1977, Op.Cit., hlm.33.

[20]Sebagaimana dikutip oleh Akhmad Zaini Abar, 1997, Loc.Cit..

[21]Barita Siregar, “Kebebasan Pers dalam Demokrasi Pancasila” dalam Pikiran Rakyat (Bandung: 19 Maret 1994), hlm.8.

[22]Diolah dari Omi Intan Naomi, 1996, Op.Cit., hlm.229.

[23]Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik: Perkenalan Awal (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), hlm.84.

[24]Lihat I Wayan Bawa, “Perkembangan Ragam-ragam Bahasa Indonesia” dalam Djajakusuma & Nadaek (Ed.), Bahasa dan Sastra Indonesia (Bandung: HPBI dan Pustaka Wina, 1996), hlm.128.

[25]Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 1995, Op.Cit., hlm.90-1.

[26]Sebagaimana dikutip oleh Dadang S. Anshori, “Menggagas Masyarakat Melek Baca” dalam Suara Pembaruan (Jakarta: 6 Oktober 1996).

[27]Natawidjaja, 1986, Op.Cit., hlm.126.

[28]Masmimar Makkah, 1977, Op.Cit., hlm.35.

[29]Bachtiar Aly, 1986, Op.Cit., hlm.8.

[30]Republika (Jakarta: 18 Januari 1997), hlm.1.

[31]Republika (Jakarta: 17 Mei 1997), hlm.1.

[32]Kompas (Jakarta: 5 Januari 1997), hlm.4.

[33]Pikiran Rakyat (Bandung: 5 April 1997), hlm.8.

[34]Republika (Jakarta: 20 Maret 1997), hlm.1.

[35]Kompas (Jakarta: 19 April 1997), hlm.4.

[36]Republika (Jakarta: 16 April 1997), hlm.1.

[37]Pikiran Rakyat  (Bandung: 3 Januari 1997), hlm.8.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *