SEJARAH BERPIKIR KRITIS DAN SEJARAH KRITIS, DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN

 

 

Oleh: Dadang Supardan

 

 

Tampaknya tidak ada suatu konsep yang menjadi karakteristik esensial serta memperoleh begitu banyak perhatian walaupun agak jarang dibahas (di Indonesia) secara mendalam adalah konsep “berpikir kritis”. Mengapa demikian? Karena berfikir kritis itu pada dasarnya adalah berfikir secara reflektif untuk memutuskan apakah hal itu perlu diyakini maupun dilakukan, sebagaimana Enis kemukakan critical thinking is reasonable reflective thinking that focused on deciding what to believe or do” (Ennis, 1985: 54; 1996: 396), Selain itu juga kita memahami bahwa berpikir kritis itu pada dasarnya bermakna jamak, seperti halnya untuk; memberikan pertimbangan maupun interpretasi, analisis, evaluasi, menuntut penjelasan dengan rinci, konseptual-teoretik, metodologis, kriterialogikal, ataupun kesimpulan dan pertimbangan tergantung atas mana pertimbangan itu didasarkan. Karena berfikir kritis juga meliputi hampir semua jenis pemikiran logis. Hal itu  berkombinasi pula dengan pemeliharaan disposisi itu di mana secara konsisten menghasilkan pengertian yang mendalam dan bermanfaat, merupakan basis suatu masyarakat  rasional dan demokratis (Paul & Elder, 2001: 25).

Untuk menyingkap bagaimana sejarah berpikir kritis itu muncul, memang agak susah, sejak kapan mulai dikembangkannya berfikir kritis. Namun paling tidak, akar intelektual tentang berpikir kritis secara etimologis dapat dilacak yang terakhir dari visi praktik Socrates dalam mengajarnya tahun 2500 sebelum Masehi. Ia telah menemukan suatu metode pembelajaran yang dikenal sebagai “Socratic Questioning” Dalam metode tersebut,  ia menetapkan pentingnya mencari bukti yang teliti untuk menguji pemikiran dan asumsi-asumsi, analisis konsep-konsep dasar, dan menyampaikan implikasi ke luar yang tidak hanya dari apa yang dikatakan, tetapi apa yang dilaksanakan (Foundation for Critical Thinking, 1998). Selain itu, ia juga menyoroti kebutuhan dalam pemikiran untuk menjelaskan dan konsistensi logika, bahwa orang-orang tidak dapat secara rasional membenarkan klaim yang mereka yakni terhadap suatu pengetahuan, dari sesuatu belum terujikan, fakta yang tidak mencukupi, atau keyakinan diri yang bertentangan walaupun tersembunyi di bawah ke halusan dan kepandaian retorika semata-mata. Socrates menetapkan fakta bahwa seseorang tidak bisa tergantung pada mereka yang memiliki “otoritas” untuk menyuarakan wawasan dan pengetahuan yang mendalam. Ia mempertunjukkan bahwa kebanyakan orang mungkin punya power dan posisi tinggi, sekalipun pemikirannya ia sangat kacau dan tidak logis. Ia menetapkan pentingnya menyampaikan pertanyaan-pertanyaan secara mendalam, sebelum kita menerima gagasan-gagasan yang berguna ataupun pantas untuk diyakininya adalah mutlak diperlukan (Lechte, 2001; Ludtke, 1982).

Praktik Socrates tersebut telah diikuti oleh Plato, Aristoteles, dan pemikir skeptisisme Yunani klasik lainnya. Semuanya menekankan bahwa dalam berbagai hal sering berbeda dari apa yang mereka tampakkan hanya ada di permukaan belaka, jika dibanding dengan cara mereka yang berfikir menyangkut kenyataan hidup yang lebih mendalam. Dari tradisi Yunani klasik tersebut, muncul kebutuhan itu. Hal ini bisa difahami karena seseorang yang sangat ingin memahami kenyataan lebih mendalam, ia akan berfikir secara sistematis, serta melacak implikasi yang luas dan mendalam. Mengapa demikian, karena hanya dengan berfikir komprehensif, dengan rasional yang baik dan responsif terhadap keberatan-keberatan, kita dapat berfikir secara mendalam melebihi yang tampak di permukaan (Lechte, 2001).

Pada Abad Pertengahan, tradisi berfikir kritis yang sistematis telah tumbuh dalam tulisan dan pengajaran seperti yang dikembangkan pemikir Thomas Aquinas (Sumna Theologica) pemikirannya memastikan memenuhi pengujian berfikir kritis, selalu berfikir sistematis, selalu berusaha memberikan pertimbangan, dan menjawab semua kritisisme tentang gagasannya sebagai langkah yang perlu untuk mengembangkan pemikiran mereka (Titus, 1964). Thomas Aquinas juga mempertinggi kesadaran kita serta memberi alasan dan tidak hanya kekuasaan yang potensial untuk memberi alasan, tetapi juga kebutuhan akan pemikiran agar menjadi terlatih sistematis dan diuji silang (cross-examined) validitasnya. Tentu saja pemikiran Aquinas juga menggambarkan bahwa mereka yang berpikir dengan kritis itu tidak selalu menolak kepercayaan yang mapan, melainkan juga terhadap kepercayaan yang dasar-dasarnya kurang dapat difahami.

Dalam masa  Renaissance (abad 15-6), banyak sarjana di Eropa yang memulai berpikir kritis di sekitar agama, seni, sifat-sifat sosial dan bawaan manusia, hukum, dan kebebasan. Mereka meneruskan asumsi itu yang kebanyakan dari domain kehidupan manusia dalam kebutuhan mencari analisis dan kritik. Di antaranya adalah; Bacon, Colet, Erasmus, dan Moore dari Inggris.

Francis Bacon, secara eksplisit menghubungkan berfikir kritis dengan cara kita dalam ”menyalahgunakan” pikiran untuk menggali pengetahuan. Ia menegaskan bahwa pikiran tidak bisa secara alamiah membiarkan kekurangbergunaan dalam  kecenderungan-kecenderungan sifat alaminya. Dalam bukunya berjudul The Advancement of Learning, ia menegaskan tentang pentingnya belajar secara empirik. Ia meletakkan fondasi ilmu pengetahuan modern dengan penekanannya information-gathering processes. Ia juga oleh banyak orang disebut pemerhati fakta, jika tidak memanfaatkan kemampuan mengembangkan sendiri, atau kebiasaan berfikir jelek (ia menyebutnya sebagai “berhala”)  yang berperan penting untuk percaya bahwa hal itu adalah palsu dan menyesatkan. Bacon lebih tegas lagi menyebutnya “Idols of the Tribe” atau ”Berhala-berhala Suku Bangsa”—tata pikiran kita secara alami cenderung untuk memperdaya dirinya sendiri. Kemudian Idols of the Market-Place atau “Berhala-berhala Tempat-Pasar”—tatacara kita menyalahgunakan kata-kata. Idols of the Theater atau “Berhala-berhala Teater”—tendensi kita untuk menjadi terjerat pada sistem pikiran konvensional. Yang terakhir Idols of the Schools “Berhala-berhala Sekolah” –permasalahan-permasalahan dalam berpikir ketika didasarkan pada aturan buta dan miskin dalam pembelajaran. Tulisan-tulisan Bacon tersebut bisa dinilai sebagai salah satu teks rinci yang paling awal dalam berpikir kritis (Facione, 1998).

Sekitar lima puluh tahun kemudian, di Perancis, Descartes menulis yang disebut kekuatan teks kedua dalam berfikir kritis, Rules for the Direction of the Mind. Pada buku tersebut, Descartes berasumsi bahwa untuk kebutuhan akan sesuatu yang khusus dan sistematis, perlu adanya penertiban pikiran untuk memandunya dalam berfikir. Ia mengartikulasikan dan mempertahankan kebutuhan itu dalam pemikiran untuk kejelasan dan ketepatan. Ia mengembangkan suatu metode pemikiran kritis berdasarkan pada prinsip-prisip kesangsian. Descartes menekankan kebutuhan pemikiran kritis atas pemahaman melalui asumsi-asumsi mendasar. Tiap-tiap bagian dari pemikirannya, ia berargumentasi bahwa hal itu harus ditanyakan, diragukan, dan diuji kebenarannya.

Dalam periode waktu yang sama, Sir Thomas Moore mengembangkan suatu model tatanan sosial baru, Utopia, di mana tiap-tiap wilayah telah menyajikan kritik utama terhadap tatanan dunia. Baginya bahwa sistem sosial yang mapan sedang memerlukan kritik dan analisis yang radikal. Berfikir kritis di sini pada masa Renaissance dan Post-Renaissance, telah membuka jalan untuk kemunculan ilmu pengetahuan serta untuk pengembangan demokrasi, hak azasi manusia, dan kebebasan untuk berfikir. Kemudian, pada masa Renaissance di Italia, Niccolo Machiavelli dalam tulisannya Il Principe atau The Prince secara kritis menilai politik sehari-hari, dan meletakkan fondasi pemikirasn politis kritik modern. Ia menolak asumsi bahwa pemerintah hanya berfungsi dalam kekuasaan untuk ”menerima” atau berkata ”ya”. Melainkan, ia dengan kritis menganalisis bagaimana ia berfungsi dan meletakkan fondasi untuk pemikiran politis yang menyingkapkan keduanya itu. Sebagaimana kita ketahui, yang satu menyampaikan agenda politikus yang riil dan, pada sisi lain banyak pertentangan dan inkonsistensi yang keras, kejam dunia politik pada masanya (Losco dan William, 2005: 249, 251).

Hobbes dan Locke (di Inggris Abad 16 dan 17) menunjukkan  keyakinan yang sama dalam berfikir kritis, bahwa pemikir kritis telah kita temukan dalam pribadi Machiavelli. Walaupun tidak sepenuhnya diterima dalam gambaran tradisional, karena  pemikiran-pemikirannya begitu melekat dengan kekuasaan yan otoritarian. Dalam hal ini Hobbes mengadopsi suatu pandangan naturalistik dunia di mana segalanya telah diterangkan oleh evidensi-evidensi dan pemikiran serta penalaran. Begitu juga Locke mempertahankan suatu analisis common sense tentang hidup sehari-hari dan kekutan fikiran. Ia meletakkan pondasi teoretik berpikir kritis tentang kebenaran dasar-dasar hak asasi manusia dan tanggung-jawab pemerintahan untuk mengalahkan kritisisme yang beralasan dari warganegara yang bijaksana (Losco dan William, 2005: 282). Itulah spirit kebebasan intelektual dan pemikiran kritis di mana orang-orang seperti Robert Boyle (Abad ke 17) dan Sir Isaac Newton (Abad ke-17 dan 18 itu) telah menulis tentang berfikir kritis tersebut. Dalam Sceptical Chymist, Boyle telah mengkritik teori kimia, bahwa ia telah didahuluinya. Newton, pada gilirannya, mengembangkan suatu kerangka pemikiran yang berjangkauan luas, di mana seca tegas mengkritik pandangan dunia yang berdasar dengan kebiasaan masyarakat, ternyata telah diterima. Ia memperluas pemikiran kritis seperti pemikiran; Copernicus, Galileo, dan Kepler. Setelah Boyle dan Newton, selanjutnya ia dengan serius untuk menegasikan pandangan geosentris-nya, menuju pandangan barunya yang heliosentris.

Kontribusi penting lainnya untuk berfikir kritis adalah yang munculnya pemikir-pemikir barui Abad Pencerahan (Enlightenment) di Perancis: Bayle, Montesquieu, Voltaire, dan Diderot. Mereka semuanya memulai dengan premis bahwa pikiran manusia  ketika ditertibkan oleh penalaran ternyata menjadi lebih baik dan mampu menggambarkan melebihi sfat alami sosial dan dunia politisnya. Mereka menghargai pertukaran disiplin intelektual, di mana semua pandangan harus disampaikan ke analisis dan kritik yang serius. Mereka percaya bahwa semua otoritas harus disampaikan dengan cara apapun kepada penelitian yang cermat melalui pengembangan pertanyaan kritis yang realistik.

Pemikir abad ke-18 yang memperluas konsepsi kita dalam berfikir kritis lebih lanjut dengan mengembangkan wawasan persoalan bidang ekonomi, adalah Adam Smith dalam bukunya yang berjudul The Wealth of Nations. Di sisi lain Immanuel Kant juga menulis Critique of Pure Reason. Kemudian pada abad ke-19, pemikiran kritis telah diperluas bahkan lebih lanjut dikembangkan ke wilayah kehidupan sosial seperti yang digagas Agust Comte dan Herbert Spencer. Sedangkan untuk persoalan-persoalan sekitar kapitalisme, hal ini ditulis oleh Karl Marx. Lain lagi dengan kajian biologis tentang insan berbudaya yang berbasis biologis, mendorong Charles Darwin menulis bukunya Descent of Man. Sedeangkan untuk hal yang berbeda lainnya khususnya dengan kajian-kajian ”pikiran di bawah sadar” dikupas dalam pemikiran kritis yang ditulis oleh Sigmund Freud dalam aliran Psikoanalitisnya.

Pada abad ke-20, kita memahami kekuatan dan sifat alami tentang pemikiran kritis telah muncul dan terus meningkat lebih eksplisit. Dalam tahun 1906, William Graham Sumner menerbitkan suatu land-breaking studi dasar sosiologi dan ilmu antropologi, melalui kajian Folkways. Bidang ini telah mendokumentasikan kecenderungan manusia untuk berpikir kekolotan sekolah dalam pemusatan sosial (sociocentrically) dan tendensi paralel untuk sekolah dengan tanpa kritik berfungsi dalam indoktrinasi sosial:

Schools make persons all on one pattern, orthodoxy. School education, unless it is regulated by the best knowledge and good sense, will produce men and women who are all of one pattern, as if turned in a lathe. An orthodoxy is produced in regard to all the great doctrines of life. It consists of the most worn and commonplace opinions which are common in the masses. The popular opinions always contain broad fallacies, half-truths, and glib generalizations (Sumner, 1906: 630).

Pada waktu yang sama, Sumner yang dikenal sebagai pemikir kritis dalam pendidikan, mengemukakan pentingnya sikap kritis, bahwa:

Sikap kritis adalah pengujian ataupun test terhadap anggapan-anggapan tentang segala hal yang ditawarkan untuk penerimaan, dalam rangka menemukan apakah mereka sesuai dengan kenyataan atau tidak. Kemampuan yang kritis adalah suatu produk pendidikan dan pelatihan. Hal ini merupakan suatu kebiasaan mental dan kekuasaan. Hal itu adalah hanya jika kita menjamin melawan terhadap khayalan, penipuan, takhyul, dan salah pengertian diri kita.  Pendidikan merupakan hal yang sesuai sekali untuk menghasilkan kemampuan kritis yang dibangun dengan baik. Pendidikan yang menekankan kemampuan  berfikir kritis adalah satu-satunya pendidikan di mana hal itu dapat sungguh-sungguh berhasil melatih menjadi warganegara yang baik (Sumner, 1906:. 632, 633)

John Dewey menyetujuinya pendapat tersebut. Dari tulisannya, kita mengetahui bahwa sebagai manusia lebih cenderung berbasis berfikir pragmatis, dan terutama dengan mengedepankan tujuan-tujuan manusia secara nyata dan objektif. Kemudian dari tulisan Ludwig Wittgenstein meningkatkan kesadaran kita tidak hanya menekankan pentingnya dalam konsep berfikir kritis, tetapi juga kebutuhan untuk meneliti konsep dan menilai pembatasan dan kekuatan mereka. Sedangkan dari tulisan Piaget, kita dapat meningkat kesadaran tentang egosentris dan kecenderungan manusia yang berfikir sociocentris, tentang kebutuhan khusus untuk mengembangkan pikiran kritis. Dengan demikian kita  mampu memberi alasan dalam berbagai sudut pandang, dan untuk diangkat kepada tingkatan “realisasi kesadaran.” Dari kontribusi yang masif dari semua dengan upaya keras ilmu pengetahuan, kita mempelajari kekuatan informasi dan pentingnya mengumpulkan informasi dengan ketepatan dan kepedulian besar, dengan kepekaan ke ketidaktepatan potensinya, penyimpangan, atau menyalahgunakan. Dari kontribusi psikologi secara mendalam, kita sudah mempelajari bagaimana dengan mudah pikiran manusia menentukan sendiri.

Untuk meringkas, alat-alat dan sumber daya pemikiran yang kritis telah sangat meningkat dalam catatan sejarah tentang berfikir. Beratus-ratus pemikir sudah mendukung pengembangannya. Masing-masing disiplin iilmu telah membuat kontribusi beberapa ke pemikiran kritis yang berharga. Namun untuk tujuan yang paling besar bidang pendidikan, adalah bagaimana mengembangkan dan membelajarkan pemikiran kritis adalah hal yang utama kalau bukan yang pertama walaupun hal itu akan dibahas dalam kesempatan lain (Facione, 2000)..

Sejarah ”Kritis-Ilmiah”  dan Peranan Ranke sebagai “Bapak Sejarah Modern”

Menurut Immanuel Wallerstein (1997: 22) yang pertama dari disiplin-disiplin ilmu sosial yang mencapai eksistensi institusional otonom adalah ilmu sejarah.  Walaupun banyak sejarawan secara antusias menolak sejarah dalam label ilmu sosial, dan beberapa di antaranya masih tetap begitu sampai saat ini. Tetapi hal ini bisa dianggap berbagai perselisihan antara para sejarawan dengan disiplin-disiplin ilmu sosial lainnya hanyalah sebagai perselisihan internal ilmu sosial.

Ilmu sejarah memang suatu praktik yang sudah berlangsung lama, dan terminologi sejarah itu sendiri-pun sudah amat kuno. Catatan-catatan mengenai masa lalu, khususnya masa lalu tentang bangsanya sendiri dan negaranya sendiri, memang merupakan suatu aktivitas yang sudah lazim dalam dunia pengetahuan; dan hagiografi (lagenda orang-orang besar atau suci) senantiasa didorong oleh mereka yang berkuasa. Namun yang membuat ”disiplin” baru ilmu sejarah ini berbeda, sebagaimana dikembangkan dalam abad-19, meminjam ungkapan Ranke, adalah penekanannya pada penelusuran untuk menghasilkan ”wie es eigentlich gewesen ist” (apa yang nyata-nyata terjadi). Dipertentangkan dengan apa? Kebanyakan dipertentangkan dengan penciptaan kisah-kisah yang dibayangkan atau dilebih-lebihkan, karena kisah-kisah semacam itu menyanjung-nyanjung atau melayani tujuan-tujuan yang mendesak bagi kelompok-kelompok para penguasa (Wallerstein, 1997: 23).

Betapa sukar mengabaikan kata-kata Ranke yang kuat pengaruhnya itu, sebagaimana tercermin dalam tema-tema yang digunakan ”ilmu” dalam perjuangan melawan ”filsafat”—penekanannya atas eksistensi dunia nyata yang objektif dan dapat diketahui, penekanannya  terhadap upaya pembuktian empirik, dan netralitas pengkaji. Sejarawan, seperti ilmuwan ilmu alam, tidak harus terlebih dahulu menemukan datanya di dalam tulisan-tulisannya (perpustakaan, locus membaca), atau di dalam proses-proses berfikirnya sendiri (studi, locus refleksi), tetapi lebih baik di suatu tempat di mana data eksternal objektif dapat dikumpulkan, disimpan, dikontrol dan ditafsirkan.

Penolakan bersama terhadap filsafat spekulatif inilah yang menggambarkan ilmu sejarah dan sains sebagai modus ilmu pengetahuan ”modern” (yang dipertentangkan dengan modus ilmu pengetahuan di abad pertengahan). Tetapi karena para sejarawan juga menolak filsafat, sebab filsafat bisa menyeret mereka pada pencarian skema umum yang mengijinkan siapapun menjelaskan data empiris, mereka memandang suatu pencarian ”hukum-hukum” ilmuah tentang dunia sosial hanya akan mendorong mereka kembali ke dalam kesalahan. Inilah makna ganda para sejarawan terhadap filsafat. Penolakan ini sudah menjelaskan cara kerja mereka, bukan hanya mencerminkan  dominasi baru dalam pemikiran Eropa mengenai keunggulan ilmu, tetapi juga menjadi bentara dan pendukung kuat sejarah yang ideografis, dalam posisinya yang ”antiteorisasi”. Memang karena alasan inilah, sepanjang abad kesembilan belas, sebagian besar sejarawan bersikeras bahwa mereka mestinya berada di dalam fakultas satera. Selain itu mereka cenderung waspada terhadap setiap identifikasi dengan kategori baru, yakni ilmu-ilmu sosial, yang berangsur-angsur kini menjadi mode.

Pionirnya adalah Leopold von Ranke (lā’ōpôlt fun räng’ku) 1795-1886. Ranke adalah sebagai pendiri sejarah ‘ilmiah’, dan telah menjadi ‘bapak penulisan sejarah kritis yang objektif’. Beliau adalah putra dari seorang pengacara, dan seorang keturunan beragama Protestan konservatif. Ia dilahirkan di Wiehe, Thuringia, pada bulan Desember 1795 dan kemudian ia menjadi seorang yang terkenal sebagai sejarawan dan pendidik Jerman. Thuringia adalah bagian dari Kerajaan Saxony tetapi telah diberikan kepada Prussia dalam perdamaian tahun 1815 berdekatan dengan terjadinya perang Napoleon. Ranke memasuki Pforta, sekolah swasta yang terkenal dan setelah itu ia studi lebih lanjut di Universitas Leipzig dan Halle, ia bekerja sebagai seorang yang menguasai pelajaran tentang Yunani dan Romawi Kuno di Gymnasium Frankfurt, dan pekerjaan ini dipegang di dalam Sistem seorang Prusia. Metode pembelajaran sejarah yang ia terapkan pada mulanya hanya sebagai pelajaran sekolah di Frankfurt yang ia mulai dengan mempertimbangkan mencoba untuk menjadi serius dengan dilibatkannya studi historis yang pada awalnya hanya dilatarbekangi pandangan untuk meningkatkan pengetahuannya berbagai zaman  klasik untuk seorang guru yang lebih baik (Iggers dan Powell, 1990). Oleh karena itu, sukar untuk dikatakan apakah Ranke menjadi lebih berpengaruh melalui penulisan sejarahnya ataukah melalui pengajarannya?

Sebagai seorang profesor di Universitas Berlin (1825-1871), ia yang mulai pertama mengajar dengan sistem seminar sejarah dan membentuk suatu keseluruhan generasi sejarawan, yang pada gilirannya menyebarkan metodenya ke seluruh dunia. Di luar Jerman, gagasannya terutama sekali berpengaruh di Inggris dan Amerika Serikat. Akumulasi fakta-fakta dan detil-detail, melayani tujuan persiapan riset dan pelatihan praktik, adalah suatu corak yang terkemuka dari metoda Ranke. Di dalam seminar-seminarnya dimulai dengan Jahrbücher (buku tahunan), yang tumbuh ke suatu tempat penyimpanan informasi yang luar biasa di abad pertengahan Jerman (Boldt, 2007: 211).

Ia menerapkan dan mengelaborasi metode ilmiah Barthold Niebuhr dalam penyelidikan historis. Tujuan Ranke adalah untuk merekonstruksi periode-periode yang unik masa lalu sebagai mana mereka benar-benar terjadi dan untuk menghindari pengaruh sejarah yang dibentuk masa dengan semangat kontemporer; pendekatan historiografi ini dikenal sebagai sebagai historisisme. Untuk mencapai tujuannya, Ranke meminta dengan tegas bahwa hanya cerita atau laporan kontemporer dan material yang terkait digunakan sebagai sumber-sumber sejarah. Tekniknya tergantung pada sebagian besar atas penelitian arsip-arsip yang menyeluruh dan pada kritik sumber-sumber atas filologis (Boldt, 2007: 212).

Beliau adalah putra dari seorang pengacara, dan seorang keturunan beragama Protestan konservatif. Ia dilahirkan di Wiehe, Thuringia, pada bulan Desember 1795 dan kemudian ia menjadi seorang yang terkenal sebagai sejarawan dan pendidik Jerman. Thuringia adalah bagian dari Kerajaan Saxony tetapi telah diberikan kepada Prussia dalam perdamaian tahun 1815 berdekatan dengan perang Napoleon. Ranke memasuki Pforta, sekolah swasta yang terkenal dan setelah itu ia studi lebih lanjut di Universitas Leipzig dan Halle, ia bekerja sebagai seorang yang menguasai pelajaran tentang Yunani dan Romawi Kuno di Gymnasium Frankfurt-On-The-Oder; pekerjaan ini menjadi seseorang dipegang di dalam Sistem Prusia. Hal itu hanya selagi dipekerjakan sebagai pelajaran sekolah (schoolmaster) di Frankfurt yang ia mulai untuk mempertimbangkan mencoba untuk menjadi dengan serius dilibatkan studi historis yang pada awalnya dengan pandangan untuk meningkatkan pengetahuannya berbagai masa klasik untuk seorang guru yang lebih baik.

Hal yang tersembunyi dalam tulisan Ranke ia menghormati sejarah sebagai hasil kehendak ilahi. Karena itu ia melihat kekuasaan sebagai ekspresi yang menyangkut itu. Tulisan Ranke berkonsentrasi pada politik, dan terutama pada perkembangan-perkembangan diplomatik. Ia mencari untuk menerapkan metoda-metodanya terhadap sejarah dari semua bangsa Eropa, dan penyelidikannya bergerak pada suatu bidang yang luas. Salah satu dari tulisannya yang paling awal adalah Zur Kritik neuerer Geschichtschreiber (Kritik Penulisan Sejarah Modern) ditulis tahun 1824, yang seterusnya kumpulan metodenya; puncak dari tulisan selama hidupnya adalah Weltgeschichte (Sejarah Universal) (9 vol., 1881-1888).

Buku pertamanya tersebut memperkenalkan suatu kritisisme yang meyakinkan tentang historiografi sejarah modern yang menyalahkan keyakinannya pada tradisi dan mengusulkan metodenya sebagai gantinya. Ranke sendiri lebih mengedepankan metoda objektif. Tujuan Ranke adalah untuk merekonstruksi periode yang unik masa lalu seperti yang mereka sesungguhnya terjadi dan untuk menghindari memasukkan sejarah pembentuk zaman terdahulu dengan spirit masa kini; pendekatan  untuk historiografi ini dikenal sebagai historisisme. Ranke mengharapkan bahwa metodenya akan dapat diterapkan untuk sejarah modern-Barthold Niebuhr telah memelopori suatu metode ilmiah dalam penelitian sejarah untuk diterapkan dalam sejarah kuno. Sebagai seorang siswa, Ranke telah mempelajarinya, dan sangat terkesan oleh Sejarah Roma (Roman History) karya Niebuhr, ia mengakui sesuatu yang telah berhutang budi ke Niebuhr dengan pendekatan yang tadinya hanya merupakan suatu sumber backround sebagai inspirasinya.

Ranke berharap agar buku teks sejarah itu pada tiap-tiap kesempatan dapat menyenangkan, terhadap studi yang sumber-sumbernya lebih orijinal. Metoda Ranke ini kemudian dikembangkan untuk menonjolkan terutama terhadap “cerita para saksi-mata dan dokumen yang paling orisinal.” Ia menilai bahwa ”the strict presentation of the facts, contingent and unattractive though they may be, is undoubtedly the supreme law.””presentasi fakta-fakta  keras, dan pada tahun 1825, ia telah dianugerahi suatu jabatan guru besar di Universitas Berlin dan di universitas tersebut ia bekerja lebih dari lima puluh tahun di sana.

Studi lebih lanjut menghasilkan yang kedua oleh Ranke membukukan atas Ottomans and the Spanish Monarchy (Kerajaan Ottomans dan Spanyol) dan kualitas tulisannya itu mengundang kejutan yang dilanjutkan oleh pemerintah Prusia yang menyetujui memudahkan Studi Ranke menjadi lebih lanjut dikerjakan di arsip bersejarah di Vienna. Dari masa ini (1827) Ranke telah dimungkinkan, dengan dukungan Gentz untuk memperoleh perlindungan yang kuat dan penuh dari Menteri Austria  Metternich dan hal ini adalah untuk mengijinkan dia memiliki akses sangat luas ke dokumen-dokumen material dan dengan demikian untuk memperoleh informasi sangat bernilai dari sumber-sumber di  Venesia dan di Vienna. Antara tahun 1828-1831 Ranke di Italia dilanda kesepian, dan ia memutuskan jalur studi di semenanjung Italia di mana pengaruh Metternich mempunyai kekuatan luar biasa untuk kembali kenegerinya. Kebanyakan sumber yang diarsipkan belum begitu serius diakses oleh sarjana sejarawan siapapun di masa lalu dan riset Ranke di Vienna itu.

Pemerintah Prusia segera mencari untuk mempekerjakan talenta Ranke, untuk sementara waktu ia diberi jabatan jabatan redaktur Historische-Politische-Zeitschrift, sebuah tulisan secara berkala dimaksudkan untuk membantu ke arah mempertahankan Pemerintah Prusia melawan arus pasang naik opini demokratis dan liberal. Di dalam peran ini, ia  bertahan sekitar empat tahun, Ranke menulis beberapa pikiran politis yang terbaik yang telah perlihatkan di Germanies dalam jangka waktu lama. Dua esei terkenal The Great Powers, yang mensurvei persaingan kekuatan besar, dan A Political Conversation, yang mengkaji bagaimana hubungan negara dengan warganegaranya secara politis. Suatu bakat untuk ilmu pengetahuan politis dan historis dibuktikan Ranke dalam ungkapan aspirasi demokratis. Ranke dengan begitu piawai kembali ke penulisan dan studi historis.

Tulisan dia pertama yang utama adalah, History of the Latin and Teutonic nations, 1494-1535, telah diterbitkan di akhir tahun 1824. Mencakup History of the Popes During the 16th and 17th Centuries (1834-36),  History of the Reformation in Germany (1839-47), Civil Wars and Monarchy in France in the 16th and 17th Centuries (1852). Hal ini telah didasarkan penelitian dokumen-dokumen, yang dipandang oleh Ranke sebagai fondasi bagi semua kajian historis, dan menetapkan reputasinya sebagai seorang sejarawan. Yang paling berpengaruh bagian dari tulisan catatan tambahan di mana ia menilai literatur sebelumnya atas dasar analisis kritis sumber-sumber. Karena dia ini adalah sejarah ilmiah. Hal itu ada dalam kata pengantar dalam tulisannya yang ia nyatakannya sering mengutip ucapan, bahwa ia sedang menulis history as it had actually occurred (sejarah sebagai yang telah benar-benar terjadi), ‘wie e eigentlich gewesen’. Seorang sejarawan yang sukses dalam kajian-kajiannya, Ranke telah dianugerahi sebagai Profesor Sejarah di Universitas Berlin pada tahun 1837 dan telah ditetapkan sebagai historiografer Prusia oleh Raja Frederick William IV di tahun 1841. Ranke pergi luar negeri akhir tahun 1827 dan tinggal pergi untuk lebih tiga tahun, meneliti Vienna, Florence, Roma dan Venice. Ia mempunyai beberapa koneksi pribadi yang ia menyimpan untuk penggunaan baik untuk keamanan akses untuk sebelumnya menutup arsip bersejarah. Tahun berikutnya telah ditandai dengan penerbitan sebagian besar  atas sejarah negara-negara sekitar Laut Tengah dan Negara Jerman. Ia meninggal pada bulan Mei 1886 pada usia 91 tahun. Sepuluh tahun yang terakhir hidupnya telah diabdikan pada penulisan Weltgeschichte (Sejarah Universal) bahwa Ranke ternyata mampu memberikan sembilan volume, pada ujung abad ke 15 pada waktu kematiannya (Iggers dan Powell, 1990, 115).

Terutama sekali tulisan yang penting lainnya adalah The Conspiracy Against Venice (1831), History of the popes (1834-36), History of Germany during the Reformation (1839-47) dan History of Prussia (1847-8) (Iggers and Powell, 1990). Ranke melatih generasi pertama ‘sejarawan profesional modern’ di Berlin, mencakup Georg Waitz dan Jakob Burckhardt. Raja Maximilan II Bavaria adalah diilhami oleh dia untuk menetapkan suatu Komisi Pengawas Sejarah di Akademi Ilmu pengetahuan Bavarian bagi Ranke yang mana  telah ditetapkan sebagai ketua di tahun 1858. Selama beberapa tahun akhirnya Ranke menulis sejarah nasional untuk masing-masing negara Eropa terutama ia, History of France”, History of England (1859-68) dan The German powers and the Princes’ League (1871). Sebagaimana kita ketahui reputasi Ranke tetap tumbuh, ia telah dihadiahi banyak kehormatan; ia telah diberikan gelar kebangsawanan yang turun temurun, dengan menambahkan ‘von’ kepada nama panggilannya di tahun 1865 dan ia memperoleh suatu warganegara Berlin yang terhormat di tahun 1885. Karier di Universitas, Ranke mengakhirinya  tahun 1871 ketika ia mengundurkan diri dari kursinya di Berlin. Meskipun begitu pada saat itu kematiannya di Berlin di tahun 1886, ia telah menyelesaikan sembilan volume tentang Universal history (Iggers dan Powell, 1990: 117). Leopold von Ranke mencoba untuk memahami tatanan politis di dalam konteks historis sendiri. Untuk memahami sifat alami fenomena historis, seperti suatu institusi atau suatu gagasan, seseorang harus lebih dulu mempertimbangkan pengembangan historisnya dan mengalami perubahan setelah jangka waktu tertentu. Jangka waktu historis, Ranke berargumentasi, harus tidak dinilai/dihakimi menurut terhadap predeterminan  nilai-nilai masa kini atau gagasan-gagasan. Melainkan, mereka harus telah dipahami atas terminologi mereka sendiri oleh secara empirik menetapkan sejarah ”sebagai sesuatu  kenyataan kita” Ranke menekankan kedua-duanya individualitas dan perkembangan dalam sejarah. Masing-masing fenomenon historis, jaman dan peristiwa memiliki ciri khas individualitas dan hal itu adalah tugas sejarawan untuk menetapkan inti sarinya. Untuk melakukan ini, sejarawan harus lebih dulu membenamkan diri mereka dalam jangka waktu dan menilai hal itu dalam suatu cara yang sesuai dengan  waktu yang ada.

Mereka mempunyai, di dalam Kata-kata Ranke ‘untuk memadamkan’ kepribadian mereka sendiri. Ia telah diyakinkan dalam semua tulisannya yang ada maksud/arti dan lekat dalam sejarah dan bahwa institusi politis yang mapan memiliki kekuatan moral, namun ia menolak pengurangan sejarah bagi suatu rencana besar. Dalam pandangan Ranke sejarawan harus memiliki untuk meneruskan dari kekhusussan atau individual terhadap yang umum, bukan kebalikannya, dan hal itu adalah kekhususan yang membuka alur kepada suatu kekuatan pemahaman moral yang besar menunjukkan dalam sejarah. Dengan program acara seminarnya di Universitas Berlin, Ranke menetapkan suatu model untuk pelatihan sejarawan dalam metoda riset kritis sistematis, yang telah dicopy seluruh dunia sebagai sejarah menjadi suatu disiplin yang profesional. Ranke membuat kontribusi penting kepada kemunculan sejarah modern dan biasanya dikenal sebagai bapak ‘scientific historical’ di sekolah abad ke sembilan belas dan ke duapuluh. Dalam kaitan dengan itu, prinsip-prinsip metodik penelitian arsip-arsip dan kritisisme sumber-sumber menjadi hal yang biasa dalam institusi akademis (Iggers dan Powell, 1990). Tetapi apa artinya ini sekitar penulisan praktisnya?

Bagaimana cara Ranke benar-benar melakukan risetnya atas manapun topik yang dipilihnya? Mulai dengan pekerjaan pertamanya, Ranke menyelenggarakan penelitian dokumen-dokumen seluruh hidupnya. Di mana saja ia lakukan, Ranke membuat salinan, mencatat atau dokumen-dokumen-pun diperoleh orsinal. Selama hidupnya, ia mengumpulkan di atas 50,000 dokumen, yang hari ini bertahan Perpustakaan Berlin Negara Jerman, dan di Perpustakaan Syracuse University Library, USA (Staatsbibliothek zu Berlin; Syracuse Perpustakaan Universitas). Hal ini Ini tidak berarti bahwa Ranke tidak menggunakan sumber sekunder. Perpustakaan pribadinya berjumlah 24,000 buku, yang hari ini berpegang kepada Syracuse Perpustakaan Universitas. Metoda risetnya muncul sebagai jawaban atas masalah yang sebelumnya sejarawan baru saja mengcopy buku lebih awal tanpa melaksanakan riset arsip atau melakukan suatu analisis sumber kritis. Ranke melihat jaman ini dan pernyataan saksi mata sebagai gantinya.

Ini didorong terhadap Ranke untuk menerbitkan buku, seperti The conspiracy against Venice 1618 (1831), di mana ia menganalisis suatu momen Sejarah Eropa dan menyelenggarakan suatu analisis sumber kritis. Walaupun berhadapan dengan kritik sumber primer dan sumber-sumber sekunder dari tulisan/pekerjaan sangat awalnya, terutama buku ini menghadirkan contoh yang terbaik tentang analisis sumber kritisnya. Di dalamnya, Ranke menguji laporan saksi mata kontemporer, dokumen dan buku-buku berhadapan dengan konspirasi itu. Di sini tulisannya, History of the Latin and Teutonic nations (1824) “Sejarah buku Latin dan bangsa-bangsa Jerman (1824) dan artikel nya atas History of Don Carlos (1829b) “Sejarah Don Carlos (1829b) adalah contoh tentang mempraktekkan dan menerapkan teorinya, walaupun di dalam tulisannya kemudiannya ia jarang menyebutnya untuk sebanyak perhatian itu, metodanya tidak berubah. Melalui risetku atas Ranke dan hubungannya ke Irlandia- isteri nya adalah Anglo-Irish- Aku juga telah menguji History of England (1859-68; 1875) Sejarah Inggrisnya (1859-68; 1875) dan bagaimana Ranke menyajikan Irlandia di dalam tulisan itu. Tidak sama dengan kebanyakan sejarawan berbahasa Inggris, yang tidak menggunakan sumber-sumber Gaelic, Ranke mencoba untuk meliputi sebanyak mungkin. Ia secara konstan memintanya untuk mencari arsip bersejarah dan bahkan yang mempunyai Sumber Gaelic yang diterjemahkan untuk dia (Boldt, 2007).

Sebagai seorang sejarawan, Ranke mencoba untuk menerapakan teori-teori  umum serta penggunaan yang cermat terhadap sumber-sumber utama untuk menyajikan suatu gambaran yang tidak direkayasa fakta-fakta itu. Meskipun demikian, ia memandang kekuatan politis sebagai agen yang prinsip dalam sejarah, ia cenderung untuk menekankan sejarah politis, kediaman atas perbuatan-perbuatan para raja dan para pemimpin, dan mengabaikan aspek ekonomi dan kekuatan sosial. Sebagai seorang pendidik terkenal, ia memperkenalkan seminar sebagai metode mengajar sejarah dan melatih suatu generasi kesarjanaan yang berpengaruh. Sejak itu, Ranke mencoba  mengajar sejarah dengan metode seminar telah menjadi sangat luas diadopsi. Pada ketika kematiannya Ranke telah dihormati sebagai sejarawan yang terkemuka di dunia. Metode historisisme Ranke telah secara luas telah memelopori desakan modern atas ketelitian mengasnalisis dokumentasi sumber pertama. Ia telah mendapat gelar kehormatan dengan berbagai ragam sebutan sebagai; “The greatest German historian”, The father of the objective writing of history”, dan The founder of the science of history.”

Ranke kadang-kadang mengadopsi suatu pendekatan berkaitan dengan kesusasteraan di dalam penulisan sejarahnya yang cenderung untuk membangun suatu presentasi tingkat historis yang tertinggi. Selain itu ia juga membangun figur historis tertentu yang dinilai berkontribusi terutama sekali yang berarti penting. Hal ini  menambah untuk dapat dibaca, dan drama tulisan Ranke tetapi hal itu mungkin dikerjakan dengan tidak hati-hati benar seperti efektivitas kesusasteraan berkaitan secara penuh, sejalan dengan sejarah “sebagai yang telah benar-benar terjadi”. Ranke mengarah pada sesuatu yang universal atau pandangan dunia sejarah, tetapi suasana hati dasarnya adalah nasionalistik dan konservatif, menerima kerajaan dan dengan sungguh-sungguh ia religius. Sebaliknya tentang perubahan masif setelah Revolusi Perancis, hampir tidak didiskusikan.

Ranke nampaknya untuk telah melihat peranan liberalisme sebagai hal yang barangkali terbatas pada penyebutan perhatian pada negarawan yang bersalah, bahwa koreksi itu diperlukan. Bukunya yang berjudul Sejarah Prusia, dimaksudkan bukan untuk digunakan maksud propaganda, tetapi merupakan benih untuk suatu gambaran nasional bangsa Prusia sebagai sejarah Jerman. Warisan ini mendorong ke satu refleksi kritis, tetapi pada waktu yang sama menunjuk kepada sebuah saat kemajauan dalam riset historis di Universitas Berlin, yang dimulai oleh Ranke, di atas semuanya kemudian dilanjutkan oleh Max Lenz  dan Friedrich Meinecke.

Perjalanan Riset ke Inggris dan Irlandia dikerjakan tahun1865 adalah contoh lain dari pencarian Ranke untuk ‘kebenaran historis’. Hal itu benar-benar menunda pencetakan volume catatan tambahan Ranke dalam Sejarah Inggris selama tiga tahun sebab ia menemukan naskah baru di dalam koleksi Sir Thomas Philipps (Boldt, 2007). Kutipan/petikan naskah seperti The Jacobite Diary’ atau ‘Jacobite Buku Harian’ ditemukan cara mereka ke dalam catatan tambahan itu. Di sini dan dokumen lain, seperti laporan Count Lauzun Menghitung Lauzun, sisa yang penting sebagai sumber utama dicetak untuk sejarah orang Irlandia dan Ranke patut mendapat kredit untuk pemilihan dan penerbitan seperti sumber-sumber itu. Hal itu juga menunjukkan bahwa sumber-sumber utama itu penting untuk  tulisan Ranke dan sumber-sumber yang ia bongkar adalah sering berarti penting bernilai historis besar. Tetapi contoh History of England ”Sejarah Inggris” tidaklah sebuah bentuk tunggal. Seluruh semua tulisannya Ranke menggunakan suatu variasi sumber secara luas, berkisar antara sumber primer dan sekunder, literatur dan bahkan sumber lisan. Bukunya History of Serbia (1829a) Sejarah  Serbia (1829a) adalah suatu contoh yang sempurna tentang Oral History atau ”Sejarah Lisan”, untuk mana Sejarawan bangsa Serbia yakni ketika mewawancarai Wuk dapat dirunya dalam pemanfaatan sumber-sumbernya

Ranke menghormati Wuk wawancara dengannya sebagai sumber dapat dipercaya dan sama yang akuratnya seperti  menulis laporan tradisional. Ranke menggunakan Wuk sebagai sumber, hak untuk mendiami pembatasan kekuatan sejarah di Serbia yang pada awal abad ke sembilan belas bisa saja dipelajari dengan lisan. Dalam versi berikutnya, Ranke also used poetry and songs as sources for the history of the Serbian Revolution. Ranke juga menggunakan puisi dan nyanyian sebagai sumber untuk sejarah Revolusi Serbia itu. Terjemahan Bahasa Inggris dari buku ini tinggal sampai awal 1990an satu-satunya pekerjaan pada Sejarah Serbia di Dunia yang berbahasa Inggris (Geiss, komunikasi pribadi, 8 Maret 2002). Di samping diuraikan oleh banyak sarjana abad ke duapuluh, seperti Mommsen (1954) dan Vierhaus (1957), sebagai sejarawan hanya berhadapan dengan sejarah politis dan sejarah para penguasa besar, Ranke benar-benar berhadapan dengan sejarah budaya juga. Di banyak dari pekerjaannya sejarah budaya mungkin hanya dengan dengan singkat, tetapi dalam beberapa hal Ranke mempersembahkan suatu bab penuh kepada sejarah literatur atau kesusasteraan. Sebagai contoh dalam Sejarah Inggris, seseorang dapat menemukan suatu bab penuh atas literatur (kesusasteraan) sepanjang pemerintahan Ratu Elizabeth I. Hal itu mencakup hampir 20 halaman (1859, I: 588-606; 1875, I: 450-64). Dalam suatu artikel, delapan puluh lima halaman dari 1835 tulisan Ranke berhubungan dengan sejarah Literatur Italia.

Walaupun ia membuat suatu dampak sangat besar pada penulisan sejarah abad 19 dan 20 dan banyak buku-bukunya menjadi standar pekerjaan sejarawan, dan metoda Ranke teori-teorinya sudah membuktikan untuk gemar berdebat. Sebagai contoh, di tahun 1980 A.G. Dickens menyelidiki Ranke sebagai seorang sejarawan Reformasi. Ia meneliti koneksi pribadi Ranke dengan agama sebelum mendiskusikan sejarah tulisan Ranke tentang Reformasi di Negara Jerman dan Pemberontakan Petani 1524-25. Dickens membandingkan Ranke dengan sejumlah lain sejarawan dan menunjukkan bahwa Ranke hanya menyalin pekerjaan lebih awal atas reformasi itu. Pada karier Ranke sendiri, Dickens menulis bahwa ”arah umum tentang kemajuan awalnya adalah dari airy-fairy (dongeng atau cerita yang dibuat-buat) terhadap kebenaran yang betul atau intisari’ (1980: 3). Dickens menyimpulkan bahwa ‘a good deal has been written concerning Ranke’s philosophy of history, but personally I cannot see that he possessed any mental contraption which deserved so grandiose a title’ (1980: 3).  Hoeft dan Fuchs menerbitkan sejumlah tulisan-tulisan Ranke pada tahun 1949 (1949a dan b), dan penerbitan yang diterbitkan telah dipuji untuk pemahaman yang mendalam terhadap Ranke sebagai seorang pribadi. Banyak tulisan,  bagaimanapun, telah dipendekkan, dan Fuchs—seorang mantan anggota NSDAP—yang  dicoba untuk memberi kesan Ranke seorang ‘religius’, Yang telah diabadikan dalam banyak penerbitan setelah perang Jerman. Satu contoh ‘Ranke yang religius ‘menasfsirkan telah ditetapkan/diberikan /dilengkapi oleh Hans Liebeschütz di tahun 1954, yang tidak mencoba ‘untuk mempertahankan maupun untuk menyerang Ranke tetapi untuk menjelaskan dia’ (1954:.2), sebagian besar dari sudut pandang yang religius yang mempengaruhi pemikiran politis Ranke dan penulisan sejarahnya.

Emil Michael (1980), pada sisi lain, yang telah membuktikan di atas enampuluh tahun lebih awal analisis kritisnya tulisan Universal history “Sejarah universal” Ranke, bahwa Ranke tidaklah religius sama sekali. Meskipun demikian, dongeng seorang ‘Ranke religius’ telah bertahan sampai hari ini. Banyak sarjana percaya bahwa seorang ‘religius’ sejarawan minded tidak akan bisa menulis sejarah penuh warna tapi akan pucat dan akan mengambil sisi suatu pengakuan yang spesifik. Di tahun 1975 Hayden White menguji metoda Ranke dan menemukan bahwa Dorongan/Gerakan hati romantis hadir dalam historiographikanya yang ia tulis. White (1975) percaya bahwa dalam sejarah umum pada kenyataannya suatu format menulis novel (roman). Ia menemukan di  Jerman sejumlah para pengikut postmodern penulisan sejarah yang percaya bahwa penyair Schiller adalah pertama sejarawan modern Jerman dan bukan Ranke. Suatu pendekatan yang berbeda telah dicoba oleh Wilhelm Mommsen. Ia mencatat bagaimana begitu sering Ranke menggunakan kata-kata tertentu di dalam bukunya, sebagai contoh kata ‘bangsa’ telah digunakan seratus sembilanpuluh kali dalam Sejarah Perancis. Mommsen mencoba untuk menjelaskan penulisan sejarah Ranke dengan  penggunaannya kata-kata spesifik dan pemeliharaan kelas sosialnya (1954: 95-111).

Kedua sejarawan Mommsen dan White percaya bahwa Ranke adalah seorang  sejarawan Romantis: White dari sebuah perspektif postmodern, sedangkan Mommsen menguji Ranke sebagai seorang sejarawan sosial. Hasil baru yang diperkenalkan oleh Baur Siegfried di tahun 1998, menunjukkan pengembangan metoda historis Ranke di  tahun-tahun awalnya. Baur menghancurkan dongeng bahwa Ranke sebagai seorang sejarawan yang telah dilahirkan: Ranke harus lebih dulu belajar seperti semua orang  selain itu. Tulisan lain atas Ranke telah diproduksi di Amerika tahun 1980an dan 90-an khususnya oleh Iggers dan Powell. Kontribusi yang paling besar mereka adalah suatu penerbitan atas Ranke dan membentuk disiplin historis (Iggers dan Powell, 1990). Iggers menempatkan Ranke dalam konteks tradisi Jerman penulisan historis dan membuat  kontribusi utama dengan mendefinisikan kembali Ranke empirisisme dan meneliti konsepsi sejarah idealistisnya. Iggers menunjukkan bahwa kebenaran itu sangat utama suatu konsensus dari apa yang diterima oleh ‘masyarakat ilmiah’ dan berargumentasi bahwa ‘’sejarah objektif” telah harus dipahami sebagai  ‘sejarah yang bebas dari tujuan politisnya’ (1990, p.173). Di samping diskusi beberapa di atas, arti historis Ranke, ia adalah terlalu berputar dilihat sebagai seorang nasionalis Jerman dan sejarawan Protestan konservatif, yang menulis hanya pendukung kekuasaan raja dan sejarah politis.

Tulisannya atas negara Prussia, Negara Jerman, Perancis dan Inggris terdaftar  sebagai  contoh. Tetapi bagaimana jauh adalah kebenaran di sini? Di dalam sejarah tulisannya Sejarah Inggris, Sejarah Irlandia telah diperlakukan dengan cara yang berbeda dari Sotlandia atau Sejarah Bahasa Inggris. Pada beberapa kesempatan, Ranke mempertunjukkan pendukungan untuk Orang Irlandia Agama Katholik, terutama mengenai perawatan orang-orang yang ribut-ribut di Drogheda di tahun 1649. Di sini adalah terbentur ketika membandingkan kepada fakta bahwa sarjana sebelumnya menekankan dengan taat ‘Protestan’ sifat alami Ranke dan pengenalan jiwa orang lain yang simpatik dengan Penyebab Protestan (Mommsen, 1954; Vierhaus, 1957). Walaupun dalam beberapa hal Sejarah Inggris Protestan ini ‘ dukungan’ bersinar melalui untuk seketika dalam kemenangan Ratu Elizabeth I di atas Armada Spanyol (Ranke, 1859, I, :433; Ranke, 1875, I: 327), di dalam tulisan Sejarah Orang Irlandia, Ranke menunjukkan sebab-sebab dukungan terbuka untuk Orang Irlandia dan Agama Katholik mereka. Hal ini juga mendukung pandangan Ranke yang menyatakan dalam Sejarah Serbianya: ‘Orang-Orang yang ditindas juga mempunyai sejarah mereka sendiri’ (1829a: 11). Barangkali simpati Ranke’s ke arah tidak diunggulkan telah salah mengira untuk dukungan tentang penyebab religius tertentu, Ranke tidak menggunakan pendekatan  Sejarah Inggris dan Sejarah Orang Irlandia dengan cara yang sama, maupun melakukan ia perlakukan mereka ‘secara obyektif’, untuk menggunakan kata bahwa para muridnya menerapkan untuknya. Ia pasti bukan objektif ketika ia dengan kasar mengutuk tindakan Cromwell’s di badai Drogheda:

 

Scenes like this are hardly to be explained even by fanaticism. Did Cromwell really imagine that he was executing the justice of God on these people, whose hands were imbrued with innocent blood? Did he believe that he was […] urged on by a higher divine spirit? (Ranke, 1859, III: 347-8; Ranke, 1875, III, :33).

 

Ranke mencoba, bagaimanapun, untuk menulis dengan sikap yang tidak terpengaruh. Hal ini dipimpinnya untuk mencoba dan menjelaskan mengapa hal itu adalah bahwa abad ke-19 Irlandia adalah mengkarakterkan oleh suatu Mayoritas Agama Katholik besar yang dikuasai oleh suatu Protestan minoritas kecil. Tidak sama dengan sejarawan Inggris, seperti Macaulay dan Froude, Ranke tidak menggunakan masa lalu dalam rangka membenarkan situasi ini; sebagai gantinya ia menggunakan masa lalu untuk memahami itu. Ketika menulis sejarah bagsa Irlandia, Ranke menulis tidak hanya sejarah Irlandianya sendiri, tetapi juga sejarah Irlandia di dalam suatu konteks Eropa dan Britania. Ranke telah dikritisi oleh banyak sejarawan Jerman, yang lebih menyukai penulisan sejarah nasional dibanding pendekatan tulisan transnational sejarah. [Yang] pada umumnya Ranke adalah dikritisi untuk menulis yang disebut ‘sejarah pemenang’, tetapi contoh Irlandia menunjukkan bahwa walaupun Irlandia mungkin telah hilang pertempuran yang utama pada abad ketujuhbelas, hal yang positif Orang Irlandia membuat terawatnya sanak keluarga peristiwa itu.

Hal itu diusulkan bahwa laporannya ‘bagaimana berbagai hal benar-benar terjadi’ juga meliputi ruang untuk pikiran yang tiap-tiap pecundang dapat menjadi seorang pemenang pada waktunya dan hanya waktu akan menjadi pemenang yang permanen. Pendapat ini adalah juga dinyatakan Sejarah Jermannya sepanjang Reformasi ketika ia menulis tentang pertempuran yang tetap antara pengakuan: ‘kemenangan dengan cepat dimenangkan: untuk menetapkan sukses mereka, bagaimanapun, adalah tugas yang sulit’ (1843: 3). Pemahaman Ranke’s tentang orang Irlandia ‘bangsa’ adalah menarik. Sarjana sebelumnya mengusulkan bahwa kata tidak berarti kesatuan negara tetapi populasi dirinya sendiri (Mommsen, 1954; Vierhaus, 1957). Dalam kasus Irlandia, Ranke membuatnya bersih bahwa ‘bangsa’  tidak berarti hanya populasinya, tetapi juga kesatuan negara dan Gereja Agama Katholik.

Ranke tidak mengikuti pemahaman Hegelian ‘satu bangsa- satu daratan- satu bahasa’ tetapi, di dalam kasus Irlandia, ia memandang kesatuan orang-orang, tradisi dan Agama Agama Katholik bersama mereka, dan pulau sebagai batas alami, sebagai bangsa. Definisi yang berbeda ini suatu bangsa dicerminkan beberapa sejarah nasional yang dirtulis oleh Ranke. Dalam suatu buku pada yang Thirty Years’ War in Germany, “Tigapuluh Peperangan Tahun di Jerman”, yang diterbitkan 1874, Ranke berhadapan secara kritis dengan definisi yang baru saja Kaiserreich Jerman di bawah Bismarck: ‘Hal itu bukanlah bahwa dengan mudah yang dilaksanakan, yang suatu bangsa dapat berbicara bahasa yang sama dan mempunyai tradisi serupa’ (1874: 3). Ranke menulis tidak hanya pada Sejarah Jerman, tetapi pada sejarah sejumlah negara Eropa di abad ke-19. Penulisan historisnya menciptakan suatu kesadaran tentang sejarah mereka sendiri di dalam sejumlah negara, seperti Irlandia, Serbia dan Jerman, dan suatu pengembangan jaringan sejarawan internasional. Jaringan itu berisi pada  banyak orang sarjana mengenai Eropa, Masyarakat dan Asosiasi-asosiasi dan mencakup koneksi pribadi, presentasi dan pertukaran jurnal.

Jaringan ini adalah juga bukti untuk pertukaran informasi di antara sarjana di. Sepanjang sumber telah ditandai, Ranke lebih menyukai pertukaran informasi yang bebas sebab hal itu hanya dalam cara sejarah bisa berlanjut untuk berkembang. Suatu penyelidikan tentang hidup pribadi Ranke mengungkapkan suatu kepribadian yang sangat kompleks. Tumbuh dewasa dengan tradisi kaum tua tatanan ia adalah sebanyak suatu konservatif sebagai suatu akademis ‘revolusioner’. Ia tidak akan mendukung revolusi kejam sebab ia percaya akan sifat alaminya yang ditahbiskan struktur ‘Pemberian Tuhan’. Dalam hal ini telah sedikit ia melakukan atasnama agama, tetapi lebih dari itu menunjukkan bahwa Ranke lebih menyukai, dalam kaitan dengan pendidikan masa kanak-kanaknya, negara dan yang tertata meningkatkan ‘secara alami’ dari waktu ke waktu dan menemukan situasi organik mereka di dalam suatu negara masyarakat  (Boldt, 2007). Bahwa hal itu adalah salah satu dari pertimbangan mengapa Ranke telah muncul apa yang  untuk;menjadi pandangan berlawanan dengan kecenderungan konservatif atas beberapa isu, sebagai contoh oposisinya ke revolusioner, sedangkan pada orang yang lain ia lebih memegang orang-orang revolusioner, seperti ciptaan negara-negara seperti Irlandia dan Serbia atau suatu pendekatan baik ke pembebasan wanita. Ranke selalu tertarik akan pendididika wanita dan isterinya datang dari suatu pendidikan tinggi dan membebaskan latar belakang. Bagaimanapun, ia bergerak di dalam suatu masyarakat patriarkal, yang tidak menyetujui pembebasan wanita (Boldt, 2007).

Hal itu juga menjelaskan mengapa Ranke berdiri dalam kebaikan yang sedemikian dengan dinasti Prusia Hohenzollern, yang digambarkan oleh fakta bahwa Raja Prusia mengundang Ranke kepada Universitas Berlin pada tahun  1824 dan buat arsip bersejarah banyak orang tersedia untuk dia di (dalam) tahun yang berikutnya. Suatu tingkat derajat yang besar tentang Sukses Ranke adalah dalam kaitan dengan bantuan Para raja Prusia. Bagaimanapun jika mereka tidak pernah meminta beberapa kali bahwa ia menulis atas Jerman dan Sejarah Prusia, Ranke mungkin telah menghabiskan waktu lebih bekerja pada nasional lain, sebagai contoh Rusia, yang ia kenal untuk mengetahui ketertarikannya (Boldt, 2007). Banyak sarjana sudah menulis pada Ranke dan meneliti pemahaman sejarah. Satu contoh bagaimana Ranke adalah scrutinised adalah diskusi arti dari ungkapan wie yang terkenal kata ’wie es eigentlich gewesen‘. Buku Sejarah Latin dan bangsa Jerman, adalah berkenaan dengan bahasa Jerman dikenal terutama untuk pernyataan bahwa: Man hat der Historie  das Amt, die  Vergangenheit zu richten, die Mitwelt zum Nutzen zukünftiger Jahre zu belehren beygemessen: so hoher Aemter sich unterwindet gegenwärtiger Versuch nicht: er will bloß sagen, wie e eigentlich gewesen. (Ranke, 1824: v-vi).

Untuk sejarah telah ditugaskan suatu lembaga menilai masa lalu, menginstruksikan saat ini demi kepentingan berbagai zaman masa depan. Bagi seperti lembaga tinggi pekerjaan ini tidak bercita-cita:  Hal itu hanya ingin menunjukkan yang terjadi itu apa. (Stern, 1973: 57, terjemahan oleh Fritz Stern). Maksud dari Ranke untuk mempelajari masa lalu ‘wie es eigentlich gewesen’ menjadi pokok banyak perdebatan antara sejarawan. Sejumlah para penulis sudah menterjemahkan ungkapan itu sebagai ‘apa yang telah terjadi’ atau ‘seperti benar-benar bagaimana diceritakan’ dan telah dipahami hal itu bagaimana  adalah’ dan sudah memahaminya sebagai suatu pengesahan sejarah ‘tidak berwarna’. Sejarawan Ranke mengklaim, diperlukan pegangan kepada fakta-fakta dan di sana harus tidak ada evidensi komitmen dan pandangan mereka dalam penulisan mereka. Lebih dari tu itu hanyalah ketika mereka memindahkan semua jejak diri mereka bahwa mereka dapat hidup kembali masa lalu. Komentator terakhir, seperti Iggers, sudah berargumentasi bahwa terjemahan seperti itu tidaklah akurat sebab hal itu tidak mengungkapkan tulisan Ranke yang historis idealistis. Ia menunjukkan bahwa istilah ‘eigentlich’ tidak hanya berarti ‘benar-benar’, tetapi juga ‘sangat utama’ atau ‘characteristically‘.

Oleh karena itu Iggers lebih menyukai untuk menterjemahkan ungkapan  sebagai  sejarah yang hanya ingin menunjukkan bagaimana, hal utma atau penting itu terjadi (Iggers, 1988: 67). Terjemahan kutipan tulisan Ranke ke dalam Bahasa Inggris mempunyai permasalahan. Satu hal yang diyakini, bagaimanapun, kalimat yang terkenal tulisan Ranke adalah suatu rumusan sadar yang berisi suatu maksuda yang  sangat kompleks. Kata ‘bloß’ menunjukkan kesederhanaan tulisan Ranke, sedangkan kata ‘eigentlich’ menyinggung isu seperti ‘kebenaran’ dan ‘kebaikan terbesar’. Terjemahan ‘yang terjadi’ menguraikan suatu peristiwa atau kondisi; tidak menguraikan suatu pengembangan. Terjemahan yang umum ‘bagaimana hal itu benar-benar terjadi’ adalah terlalu pendek dan tidak menguraikan Ranke apa yang diharapkan yang ia katakan. Sebagai sesuatu melebihi terjemahan yang benar, di sini akan menyarankan ‘bagaimana berbagai hal benar-benar ada’. Ranke lebih menyukai menulis sejarah nasional dalam suatu konteks Eropa. Di samping menulis kritik sejarah ‘membosankan’, Ranke menguraikan rinci visi suatu Eropa yang dipersatukan, mencontoh Kerajaan Romawi Yang Kudus. Visi ini diwakili dalam semua bukunya yang tidak hanya meliputi kekuatan-kekuatan yang lebih besar, Inggris, Spanyol, Rusia, Perancis dan Jerman, tetapi juga institusi dan negara lebih kecil seperti Belgia, Serbia atau Gereja Agama Katholik.

Sejarah nasional selalu menempel ke dalam konteks Eropa itu. Dengan pendekatan ini Ranke bisa meneliti sistem religius dan politis Eropa yang kompleks. Di dalam sejarahnya para Gerejani berkomentar bahwa: Hal itu tidak mungkin pernah Eropa kita, dalam suatu kekuatan maupun suatu konsep ideologis, namun paling sedikit satu kesatuan politis bisa dikembangkan terhadap kekuasaan absulut (dalam Boldt, 2007, .Ranke, 1836, II: 190). Ketika berhadapan dengan sejarah Perancis ia menghadirkan suatu kesimpulan bahwa: Hal itu bisa mungkin terwujud mengenai peristiwa Eropa yang suatu naik berkuasa, godaan untuk menjadi superior, akan selalu menciptakan suatu kekuatan ”counter-power” (dalam Bolgt, 2007, Ranke, 1856, I: 94). Jika demikian; apakah metoda Ranke masih sah? Dalam hal ini bahwa metode Ranke bukanlah seperti sering diterapkan sesuatu untuk berbagai keinginan. Dari pengalaman kita sendiri  menyatakan bahwa seseorang perlu melihat sumber-sumber yang tersedia. Kadang-kadang sumber baru dan pengetahuan baru dapat ditemukan dengan cara ini dan seseorang harus mengikuti suatu instink sebagai peneliti.

Dalam hal ini seseorang perlu untuk terbuka bagi segala hal yang berhubungan dengan sumber-sumbernya dan tidak melalaikan apapun karena alasan mereka yang  dapat ”merepotkan”. Sebagai contoh, seorang profesor di Jerman menasehatkan untuk mengabaikan suatu arsip kecil ketika ada ‘hanya surat dari seorang perempuan’. Sejak itu koleksi 600 surat berikutnya tidak dipublikasikan dari Isteri Ranke Clarissa, untuk membuktikan sebagai sesuatu yang sangat berharga dan paling besar penemuan riset tersebut (Wiehe, Ranke-Museum). Di sini dapat kita sampaikan pertanyaan bahwa: apa yang merupakan tempat penyimpangan atau persepsi pribadi dalam penulisan historis? Jawaban yang utama akan sangat pendek: tidak ada tempat atau ruang untuk milik pendapat sejarawan dalam penulisan historis. Jika kita ingin menetapkan, ‘bagaimana berbagai hal benar-benar terjadi’, kita harus memandang dan meneliti periode dan bagaimana isu itu telah dipandang pada waktu itu. Hal itu adalah benar dan berlanjut; ‘sejarah akan selalu ditulis ulang,’  dan sejarah harus tidak pernah ada dipandang dari satu sisi.

Baur yang meneliti pemikiran Rangke, apakah itu kritik yang melenceng maupun tepat pada sasarannya, yang berhadapan dengan Ranke dan ia mengambil suatu kesimpulan bahwa ‘siapapun yang menyalahgunakan sejarah untuk memenuhi kebutuhan ideologisnya, tidak akan pernah dapat menerima ajaran sejarah Ranke, ilmu pengetahuan berbasis sumber-kritis kritis, dan pergerakan otonominya’ (Baur, 2001: 14). Sedapat mungkin, kita tidak perlu mencoba untuk membiarkan diri kita menjadikan terpesona; terharu terhadap pandangan masa kini atau gagasan ideologis. Betapapun, jika kita percaya apa yang dikatakan Rank, kita tentu saja suatu produk momen historis di mana kita tinggal. Pendekatan historis Ranke, berbeda secara luas dari kecenderungan masa itu yang sedang terjadi. Ia tidak mengikuti pergerakan yang romantis, maupun melakukan penyusunan sejarah seolah ”sudah ditakdirkan Tuhan”. Ia mengikuti tradisi kontinental realisme dan rasionalisme. Hal ini adalah memungkinkan alasan mengapa Ranke pada satu sisi sangat terhormat, pada sisi lain sangat banyak dikritik. Dalam hal ini tidak sedikit para sejarawan secara penuh memufakati metode risetnya, sekalipun Ranke tidak bisa memperlihatkan tujuan objektifitas seluruh tulisannya. Yang pasti metodenya masih sah sampai hari ini, dan apapun juga macam sejarah yang kita pelajarinya.

 

 

 

Daftar Kepustakaan

 

Baur, S. 1998. Versuch über die Historik des jungen Ranke. Berlin: Duncker und Humblot.

Baur, S. 2001. Franz Leopold Ranke, the Ranke Library at Syracuse, and the open future of scientific history. Syracuse University Library Associates Courier 33. Syracuse. Benchmarks for Professional Development in Teaching of History as a Discipline; http://www.historians.org/perspectives/issues/2003/0305/0305not.

Boldt, A. 2007. The role of Ireland in the life of Leopold von Ranke (1795-1886): The historian and historical truth. Lampeter: The Edwin Mellen Press.

Bradley Commission on History in Schools, (1988) Building a History Curriculum: Guidelines for Teaching History in Schools, National Council for History Education,1988.

Brookfield, Stephen D. (1987) Developing Critical Thinkers: Challenging Adults to Explore Alternative Ways of Thinking and Acting, England: Milton Keynes.

Dickens, A.G. 1980. Ranke as Reformation historian. Reading: University of Reading.

Ennis, R. H. (1992). The degree to which critical thinking is subject specific: Clarification and needed research”, dalam S. P. Norris (ed.), The Generalizability of Critical Thinking: Multiple Perspectives on an Educational Ideal, pp. 21-37. New York: Teachers College Press, Columbia University.

Ennis, R. H. (1996). Critical Thinking. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.

Facione, N. (2000). Critical Thinking and Clinical Judgment. Available on-line from California Academic Press: http://www.calpress.com/resource.html.

Facione, P. (1998). Critical Thinking: What It Is And Why It Counts. Available on-line from California Academic Press: http://www.calpress.com/resource.html.

Foundation for Critical Thinking. (1998). Critical Thinking Workshop Handbook. Santa Rosa, CA: Author.

Foundation for Critical Thinking http://www.criticalthinking.org/

Geiss, I. 2002. Personal Communication, 8 March. Iggers, G.G. 1988. The German conception of history. Hanover: Wesleyan University Press.

Iggers, G.G. and J.M. Powell. 1990. Leopold von Ranke and the shaping of the historical discipline. Syracuse: Syracuse University Press.

Kartodirdjo, Sartono (1992) Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT Gramedia.

Kuntowijoyo, (1999) Pengantar Ilmu Sejarah, Edisi Ketiga, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Lechte, John (2001) 50 Filsuf Kontemporer: dari Strukturalisme sampai Post Modernisme, Penerjemah A. Gunawan Admiranto, Yogyakarta: Kanisius.

 

Liebeschütz, H. 1954. Ranke. London: George Philip & Son.

Losco, Joseph dan William, Leonard (2005) Political Theory: Kajian Klasik dan Kontemporer, Volume I dan II, Edisi Kedua, Penerjemah Haris Munandar, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

Ludtke, A. (1982) “The Historiographi of Evryday Life” dalam R. Samuel dan Stedman Jones (eds) Culture, Ideology, and Politics, London.

Michael Bentley, (1999) Modern Historiography: An Introduction (London: Routledge).

Michael, E. 1980. Rankes Weltgeschichte. Paderborn.

Mommsen, W. 1954. Stein, Ranke, Bismarck. Munich: Bruckmann Verlag. Paul, R. (1985). “Dialectical reasoning”, dalam Costa, A., ed. Developing Minds. Roseville, CA: ASCD.

Paul, R. & Elder, L. (2000). The Miniature Guide to Critical Thinking. Concepts & Tools. The Foundation for Critical Thinking.

Paul, R. & Elder, L. (2001). Critical Thinking. Tools for Taking Charge of Your Learning and Your Life. Upper Saddle River: NJ: Prentice Hall.

Stern, F. 1973. The varieties of history from Voltaire to the Present. New York: Vintage.

Supardan, Dadang (2008) “Bagaimana Mengajarkan Berfikir Kritis Kepada Para Siswa?”, makalah Seminar Internasional 15 April 2008 di Universiti Kebangsaan Malaysia.

Titus, Harold. H. (1964) Living Issues in Philosophy: An Introductory Texbook, (4th ed) New York: American Book.

Tsui, Lisa (1998, November). A review of research on critical thinking. Paper presented at the Annual Meeting of the Association for the Study of Higher Education, Miami, FL. (ERIC Document Reproduction Service No. ED 427 572)

Tsui, Lisa (1999). Courses and instruction affecting critcal thinking. Research in Higher Education 40(2), 185-200.

Vierhaus, R. 1957. Ranke und die soziale Welt. Munster: Aschendorff Verlag.

Wallerstein, Immanuel, (1997) Lintas Batas Ilmu Sosial, Alih Bahasa: Oscar, Yogyakarta: LkiS.

White, H. 1975. Metahistory. Baltimore: Johns Hopkins University Press.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *