PENDIDIKAN SEJARAH DAN PENDIDIKAN PROFESI GURU SEJARAH[1]

 

Hamid Hasan[2]

 

[1] Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan Sejarah, APPS di Bandung tanggal 18-20 Maret 2011

[2] Guru Besar Pendidikan Sejarah; Ketua Umum Asosiasi Pendidik dan Peneliti Sejarah (APPS) ; Ketua Umum Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia (HIPKIN).

 

PENDAHULUAN

Sekarang sudah saatnya dilakukan peninjauan ulang mengenai fungsi dan tujuan pendidikan sejarah. Peninjauan ulang akan memberikan pemikiran yang mungkin baru dan belum dikembangkan tetapi dapat pula berupa pendidikan lama yang perlu diperkenalkan dan dikembangkan kembali dalam pendidikan sejarah masa kini. Kedua kelompok pemikiran tersebut tidak perlu dibuat dalam satu dikotomi atau pun dikembangkan secara berbeda dalam pendidikan sejarah. Pada hakekatnya, pemikiran dalam pendidikan dan khususnya pendidikan sejarah tidak mengenal keusangan yang dikarenakan unsur waktu. Keusangan hanya terjadi ketika apa yang sudah dilakukan atau pernah dilakukan tidak lagi relevan dan menjawab permasalahan pendidikan masa sekarang dalam mempersiapkan generasi masa depan.

Pemikiran ulang tersebut sudah waktunya dilakukan karena kondisi masyarakat yang menghadapi berbagai tantangan luar biasa serta belum terjadi pada masa sebelumnya. Pada saat sekarang masyarakat harus berhadapan dengan dua tantangan besar yang datangnya dari dalam dan dari luar. Kedua tantangan ini sangat besar dan baik sendiri-sendiri apalagi secara bersama-sama memiliki potensi untuk menghancurkan keutuhan bangsa tetapi juga dapat membuat bangsa ini mengalami kembali penjajahan dalam bentuk yang ultra modern dan global. Kedua tantangan itu dapat pula merontokkan sendi-sendi kehidupan kebangsaan sehingga bangsa ini hidup dalam sikap memandang rendah nilai dan prestasi bangsa.

Tantangan pertama adalah rapuhnya kehidupan kebangsaan ini ditandai oleh berbagai fenomena dalam kehidupan politik, sosial, budaya, ekonomi dan moral baik dari lapis kehidupan kelompok atas sampai lapis kelompok bawah. Reformasi yang diawali dengan berbagai amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah menyebabkan perubahan sistem ketatanegaraan Indonesia dengan hilangnya lembaga tinggi negara seperti Dewan Pertimbangan Agung, adanya lembaga tinggi baru yaitu DPD sehingga terjadi ada 2 kamar dalam parlemen, perubahan fungsi lembaga tertinggi negara seperti MPR, pemilihan presiden dan wakil secara langsung bukan lagi dalam permusyawaratan perwakilan, pemilihan gubernur/wakil gubernur dan walikota/wakil serta bupati/wakil melalui pemilihan langsung. Perubahan-perubahan itu telah mengubah bentuk negara dari yang telah diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta dilihat dari berbagai aspek ketatanegaraan yang telah dikemukakan. Perubahan-perubahan yang terjadi berbeda pula dari apa yang dialami bangsa Indonesia pada masa demokrasi liberal 1950 – 1959 dengan sistem parlementer yang sepenuhnya berasal dari konsep pemerintahan luar. Dalam kurun waktu tidak sampai 60 tahun bangsa Indonesia telah mengalami perubahan 3 bentuk negara republik: republik pertama berdasarkan UUD 1945 (presiden pertama Ir Soekarno dan presiden terakhir Megawati Soekarno), republik kedua berdasarkan UUD 1950 (Presiden Ir Soekarno), dan republik ketiga berdasarkan UUD yang telah diamandemen (presiden pertama dan kedua Jenderal Dr Susilo Bambang Yudhoyono). Republik ketiga menganut sistem multi partai sebagaimana republik kedua tetapi bentuk pemerintahan berbeda karena republik kedua berbentuk parlementer sedangkan republik ketiga berbentuk presidensiil. Republik pertama terpotong oleh republik kedua tetapi kemudian kembali ke republik pertama ketika Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 untuk menggunakan kembali UUD 1945. Perubahan ke republik ketiga menghendaki tanggapan kritis dan konseptual pendidikan sejarah dalam mempersiapkan generasi muda bangsa.

 

 

KEHIDUPAN KEBANGSAAN DAN PENDIDIKAN YANG DIHADAPI PENDIDIKAN SEJARAH

Reformasi telah memberikan kebebasan kepada para politisi, masyarakat, dan media untuk bersuara, mengeluarkan pendapat dalam bentuk tulisan, ungkapan lisan mau pun tindakan-tindakan. Demonstrasi yang menjadi bentuk nyata tindakan terjadi di mana-mana dan hampir setiap saat, sering pula diikuti oleh tindakan brutal dan cenderung kepada perusakan-perusakan. Perbenturan antara pemerintah dan DPR terjadi setiap ada isu yang secara politis membuka peluang pada perubahan kekuasaan (tidak harus perubahan pemerintahan) memperlihatkan orang-orang yang saling beradu dengan suara keras seolah-olah yang keras suaranya yang akan atau harus menang. Kebebasan yang berlebihan menyebabkan terjadi perusakan, penyerangan, dan berbagai tindakan yang mengarah kepada tindakan kriminalitas. Media massa cetak dan elektronik yang memiliki kebebasan hampir tak terbatas asal atas nama kepentingan umum dan kebebasan pers, setiap hari memberitakan perbenturan, demonstrasi, perusakan, tindakan brutal, dan wajah buruk lainnya dari bangsa ini tanpa khawatir apalagi memikirkan dampaknya bagi masyarakat dan kehidupan kebangsaan. Kebebasan telah pula menyebabkan berkembangnya pemikiran-pemikiran bernas, positif, produktif, dan kreatif dikemukakan dalam berbagai forum ilmiah, akademik, dan media massa. Sayangnya, perbenturan antara berbagai unsur kekusaan (eksekutif, legislatif, yudikatif), bentuk-bentuk manifestasi kebebasan yang berlebihan telah mengalihkan fokus besar usaha pembenahan dan pengembangan kehidupan bangsa yaitu dunia pendidikan, terkecuali dalam hal anggaran pendidikan yang 20%.  Padahal pendidikan adalah investasi bangsa yang utama dalam mempersiapkan generasi berkualitas sebagai warganegara yang bertanggungjawab, produktif, dan berbagai kemampuan untuk hidup dalam alam reformasi.

Pada saat sekarang pemerintah belum berhasil menyediakan pendidikan bermutu selama 9 tahun untuk seluruh anak bangsa walau pun program Wajar 9 Tahun telah berusia lebih dari 20 tahun dan telah menepuk bahu tanggungjawab 5 orang presiden (Presiden Suharto, B.J. Habibi, Abdurakhman Wahid, Megawati Sukarno Putri, dan Susilo Bambang Yudhoyono). Pada masa  pemerintahan pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Mendiknas Bambang Sudibyo merancang Wajar 9 Tahun tuntas dalam tahun 2009 tetapi sayang kenyataan menunjukkan bahwa Bappenas merencanakan Wajar 9 Tahun bahkan belum wajar jika dituntaskan pada tahun 2014. Padahal Wajar 9 Tahun adalah pendidikan dasar yang membangun kualitas minimal seluruh bangsa Indonesia baik dalam menjalani kehidupan kebangsaan yang sehat, produktif, dan penuh kedamaian mau pun dalam menghadapi gelombang pasar bebas yang dinamakan WTO dan APEC (mulai berlaku penuh tahun 2020).

Kerusakan dalam kehidupan kebangsaan telah pula disebabkan oleh berbagai faktor dalam yang berkembang dalam masa yang cukup panjang. Korupsi, dekadensi moral, penipuan, pencurian, mental menerabas, feodalisme dalam birokrasi,  label-oriented behaviour, mau menang sendiri, dan banyak lagi perilaku negatif lainnya telah bertahan lama dalam kehidupan bangsa tanpa tersentuh oleh pemikiran dan rancangan pendidikan yang berarti. Kurikulum berupaya keras mengembangkan manusia Indonesia yang dinyatakan terpelajar dan berhasil berdasarkan indikasi banyaknya pengetahuan yang mereka miliki. Konsep pendidikan esensialis dan perenialis yang bervisi bahwa pendidikan adalah untuk mengembangkan kemampuan rasional dan intelektual dikerdilkan dengan menyamakan kemampuan rasional dan intelektual sama dengan penguasaan sejumlah pengetahuan dan pengetahuan disamakan pula secara salah dengan kognitif. Setiap pembicaraan dan ungkapan tentang kognitif selalu dimaksudkan hanya kemampuan mengingat dan memahami. Kemampuan kognitif yang terdiri atas enam jenjang kemampuan yaitu mengingat, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mengevaluasi, menciptakan/menghasilkan (Anderson, dkk., 2001) telah direduksi menjadi kemampuan mengingat dan memahami sedangkan jenjang kemampuan kognitif tinggi di atasnya diabaikan. Empat jenjang kemampuan kognitif yang dinamakan “intellectual skills” tidak dikembangkan dan dijadikan kemampuan dasar bangsa Indonesia sebagaimana seharusnya.

Upaya untuk mengenal banyaknya pengetahuan yang dimiliki peserta didik didasarkan kepada kemampuan peserta didik mengingat dan memahami diukur dengan  “pencil and paper test” sebagai  alat utama untuk mengukur. Ukuran-ukuran keberhasilan pendidikan yang utama adalah skor yang dicapai peserta didik dari “pencil and paper test” tersebut.  Dengan demikian, potensi kemanusiaan peserta didik sebagai manusia telah pula dikerdilkan menjadi potensi mengingat dan memahami saja. Upaya mengelektikkan kedua filsafat ini dengan humanisme dan rekonstruksi sosial kandas ketika kebijakan tentang Ujian Nasional (UN) telah menjadi primadona pendidikan. Ujian Nasional adalah sublimasi tertinggi pengunaan “pencil and paper test”. Lebih parah lagi ketika  hasil dari UN dijadikan indikator kualitas pendidikan nasional dan upaya menaikkan kualitas pendidikan nasional diukur dari peningkatan angka untuk menentukan kelulusan. Pemikiran tentang kualitas lain di luar jumlah pengetahuan yang dimiliki peserta didik sangat sulit kalau tidak dapat dikatakan tidak mungkin karena pemikiran tersebut berhadapan dengan tebing cadas pengetahuan yang sudah membeku puluhan tahun dan kebal peluru.

Kenyataan dalam kehidupan berkebangsaan dan pendidikan di atas adalah kenyataan yang harus dihadapi pendidikan sejarah. Pendidikan sejarah harus  memberikan sumbangan untuk membangun kehidupan kebangsaan yang lebih baik. Pendidikan sejarah perlu mengubah berbagai tradisi pendidikan yang sudah tidak lagi sesuai dengan tuntutan masyarakat. Pendidikan yang hanya menghasilkan manusia intelek semata dan mengabaikan pendidikan karakter hanya akan menjadi penyebab timbulnya berbagai kerusakan dalam masyarakat (Theodore Rosevelt). Perbaikan tersebut harus dimulai dari pendidikan sejarah terutama berkenaan dengan kebijakan pendidikan sejarah dan pelaksanaan pendidikan sejarah di jenjang pendidikan dasar (untuk membangun memori kolektif bangsa).

 

KEBIJAKAN PENDIDIKAN SEJARAH: KONTRADIKSI DALAM KONSEP   

Dalam konteks yang dimana keberhasilan belajar diukur dari banyaknya pengetahuan sejarah dan alat ukurnya terbatas pada “pencil and paper test”, pendidikan sejarah mengerucutkan diri menjadi pendidikan untuk pengetahuan sejarah. Kemampuan lain dalam belajar sejarah yang tercermin dalam adagium “historia vitae magistra” menjadi tidak memiliki daya tembus tebing cadas pengetahuan walau pun sejarah bukan mata pelajaran UN tetapi mata pelajaran ujian sekolah dan tes yang digunakan UN menjadi patokan. Fungsi sejarah sebagai media pendidikan untuk anak bangsa dalam membangun jatidiri dan mengenal bangsanya menjadi suatu pertanyaan besar dan masih merupakan mimpi indah, apalagi mengembangkan fungsi pendidikan sejarah sebagai “bank of examples for solving present problems and chartering future action” (Wineburg, 2001) terkikis oleh suasana batin bangsa dan keterbatasan kebijakan pendidikan yang menempatkan pengetahuan di atas segalanya. Pendidikan sejarah menjadi pendidikan yang melahirkan peserta didik sebagai  “bank of historical facts” semata. Dalam keadaan yang demikian maka hasil pendidikan sejarah menjadi sulit untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari sehingga terjadilah “teaching of history is a teaching of historical relics and old buildings will make history education never be the teaching of the past for the present and future lives”. Tentu ini adalah suatu keadaan yang harus dipikirkan ulang untuk dikembangkan menjadi suatu pendidikan sejarah yang lebih baik. Fungsi pendidikan sejarah sebagai media pendidikan untuk mengembangkan memori kolektif bangsa, inisiatif dan aspirasi, kemampuan berpikir, menjadi sumber inspirasi, toleransi dan kerjasama yang lebih baik perlu dikaji dan dikembangkan kembali.

Orientasi dan kepedulian yang sangat tinggi terhadap kemampuan mengingat dan memahami pengetahuan telah juga menyebabkan pelaksanaan pendidikan sejarah mereduksi prinsip dan tujuan pendidikan sejarah sebagaimana dinyatakan dalam Standar Isi. Standar Isi merumuskan lima tujuan pendidikan sejarah sebagai berikut:

  1. Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan
  2. Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan metodologi keilmuan
  3. Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau
  4. Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang
  5. Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional.

 

Tampak dari rumusan tersebut tujuan membangun daya kritis, apresiasi, wawasan kebangsaan, bangga dan cinta tanah air adalah tujuan pendidikan sejarah yang sangat penting. Sayangnya, dalam pelaksanaan pendidikan, kebijakan yang memberi kepedulian utama kepada ingatan dan pemahaman telah mengalahkan kedudukan tujuan-tujuan yang penting tersebut.  Tidak ada yang menyangkal arti penting pengetahuan, ingatan dan pemahaman sebagai dasar untuk mengembangkan kemampuan kognitif tinggi, proses, komunikasi, belajar  dan berbagai kualitas afektif yang bermuara kepada pembiasaan (habit). Kepedulian utama mengenai pengetahuan, ingatan dan pemahaman sebagai “primadona” tidak seharusnya menjadikannya sebagai “single turn at hand” atau “trump” terhadap kemampuan lain yaitu kognitif tinggi, afektif, dan psikomotor.

Permasalahan pendidikan sejarah yang juga muncul adalah ketidakjelasan posisi dan fungsi pendidikan sejarah dalam kurikulum sebagai pendidikan untuk seluruh anak bangsa dan pendidikan sejarah untuk pendidikan akademik. Pendidikan umum mengandung makna sebagai pendidikan yang diterima dan dikembangkan bagi seluruh anak bangsa tanpa pengecualian yang disebabkan oleh keterbatasan intelektual, ekonomi, sosial, dan keterasingan dalam aspek spasial. Pendidikan umum mengandung makna bahwa pendidikan sejarah adalah salah satu konten kurikulum yang berfungsi mengembangkan pengetahuan dasar, ketrampilan dasar, nilai/moral/sikap dasar untuk menjadi kualitas dasar manusia Indonesia. Kualitas dasar manusia Indonesia adalah kualitas yang dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional. Pendidikan sejarah sebagai pendidikan akademik mengandung makna bahwa pendidikan sejarah adalah pendidikan untuk sekelompok peserta didik yang akan mengembangkan minat mereka kepada ilmu sejarah dan bercita-cita menjadi sejarawan. Pendidikan sejarah dalam fungsi sebagai pendidikan akademik memberikan wawasan keilmuan disiplin sejarah, mengembangkan kemampuan spesifik yang diperlukan sebagai alat dalam mempelajari sumber-sumber sejarah, kemampuan analisis untuk menemukan makna dan konstruksi peristiwa sejarah sampai menjadi cerita sejarah.

Tentu saja pendidikan terutama pengembangan kurikulum perlu memperhatikan fungsi pendidikan sejarah sebagai pendidikan umum dan pendidikan akademik, mencari persamaan dan perbedaan antara keduanya, merencanakan dan mengembangkan tujuan, materi, proses, dan asesmen  yang sesuai dengan persamaan dan perbedaan antara keduanya. Kondisinya pada saat sekarang belum dapat dikatakan memperhatikan fungsi tersebut. Rumusan tujuan pendidikan sejarah yang menyamakan antara pendidikan sejarah sebagai bagian IPS untuk pendidikan dasar dan artinya untuk pendidikan umum menunjukkan pemahaman yang belum membedakan antara pendidikan sejarah sebagai pendidikan umum dengan pendidikan sejarah sebagai pendidikan akademik. Pemilihan materi untuk pendidikan sejarah sebagai pendidikan umum dan sejarah sebagai pendidikan akademik menunjukkan perlunya upaya keras para guru sejarah harus melakukan penajaman yang sesuai untuk suatu pendidikan akademik di jenjang pendidikan menengah. Meski pun demikian, adanya materi yang berkenaan dengan pengenalan dasar konsep ilmu dan ketrampilan sejarah di semester pertama untuk dikembangkan pada semester berikutnya (Hasan, 2011) merupakan modal utama dalam mengembangkan pendidikan sejarah sebagai pendidikan akademik di SMA.

Pendidikan sejarah dalam bentuk realita proses pendidikan atau “observed curriculum” atau “taught curriculum” dan “assessed curriculum” ditentukan oleh pemeran utama yaitu guru. Guru yang mengajar materi kurikulum sejarah di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK serta sekolah lain yang namanya berbeda pada setiap jenjang menjadi pemegang kunci yang menentukan dalam mengembangkan “written curriculum” menjadi “taught curriculum” dan “assessed curriculum” (International Baccalaureates, 2009). Apakah konstrak “written curriculum” isomorphic atau tidak dengan “taught curriculum” dan juga “assessed curriculum” sebagian terbesar varian yang terjadi ditentukan oleh guru sejarah dalam merealisasikan “written curriculum” menjadi “taught curriculum” dan “assessed curriculum”. Permasalahan yang ada ialah bukan apakah guru mampu menerapkan strategi pendidikan sejarah sebagai pendidikan akademik dalam “written curriculum” menjadi “taught curriculum” dan “assessed curriculum” tetapi apakah guru yang akan melaksanakan kurikulum tersebut sudah terlatih. Jika sudah mengalami pelatihan guru tersebut terjadi ketika seseorang menjalami proses pendidikan sebagai calon guru sejarah (pendidikan prajabatan = preservice) atau setelah seseorang telah menjadi guru sejarah (pendidikan dalam jabatan = inservice)?. Dalam banyak kasus pelatihan guru sejarah, apa yang terjadi adalah pelatihan dalam materi suatu peristiwa sejarah dan sangat jarang berkenaan dengan materi strategi dan ketrampilan pembelajaran sejarah. Keduanya penting tetapi fokus utama materi pelatihan pada materi peristiwa sejarah menunjukkan kuatnya kebijakan yang berfokus pada pengetahuan, ingatan, dan pemahaman. Sedangkan dalam pendidikan prajabatan perkuliahan mengenai penelitian sejarah terfokus pada hal-hal yang bersifat umum sehingga pembenahan pada pendidikan prajabatan tentang hal ini masih sangat diperlukan. Pendidikan prajabatan memang bertugas  mengembangkan kemampuan awal yang diperlukan seseorang untuk memasuki profesi guru sejarah tetapi dengan pendekatan kompetensi maka pendidikan prajabatan guru sejarah sudah perlu mengubah dan menyesuaikan materi pendidikan dengan kebutuhan lapangan guru sejarah sebagai suatu profesi.

 

PENDIDIKAN SEJARAH SEBAGAI PENDIDIKAN UMUM DAN AKADEMIK

Kurikulum pendidikan sejarah dikembangkan melalui dua filsafat yang berbeda tetapi memiliki tujuan yang tak jauh berbeda. Untuk jenjang pendidikan dasar digunakan filsafat perenialisme dan diorganisasikan dalam mata pelajaran IPS. Untuk SMA digunakan filsafat esensialisme dan diorganisasikan dalam nama mata pelajaran yang sesuai dengan nama disiplin ilmunya yaitu sejarah, sesuai dengan kaedah yang ditetapkan dalam pandangan filsafat esensialisme. Keduanya didasarkan pada pemikiran filsafat bahwa pendidikan adalah pendidikan disiplin ilmu yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan rasional.

Sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian awal tulisan ini, pendidikan sejarah untuk jenjang pendidikan dasar berstatus sebagai pendidikan umum sedangkan untuk SMA adalah pendidikan khusus. Lebih lanjut telah pula dikemukakan bahwa pendidikan umum adalah pendidikan untuk seluruh anak bangsa dan ini menempatkan pendidikan sejarah, bersama materi pendidikan lain yang dikemas dalam mata pelajaran IPS dan mata pelajaran lain, menjadi pendidikan yang amat penting dalam membangun dan mengembangkan kualitas dasar manusia Indonesia di masa depan. Kualitas dasar tersebut adalah kualitas utama yang perlu dimiliki oleh setiap warganegara Indonesia tanpa pengecualian selama seseorang itu dikategorikan sebagai orang yang “educable”. Pendidikan khusus hanya untuk sebagian anak bangsa yang memiliki kesempatan, yang berminat untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi, dan yang memiliki minat khusus untuk belajar sejarah di perguruan tinggi dan bahkan berkeinginan menjadi sejarawan.

Sebagai pendidikan umum, pendidikan sejarah di jenjang pendidikan dasar diorganisasikan dalam mata pelajaran IPS. Organisasi konten kurikulum ini sudah dikenal sejak tahun 1975 sedangkan sebelumnya mata pelajaran sejarah adalah bagian dari kelompok pendidikan kewargaan negara (kurikulum 1947, 1958, 1964, 1968). Nama kelompok pendidikan kewargaan negara memberikan indikasi kuat fungsi pendidikan sejarah sebagai pendidikan umum. Dalam posisi pendidikan umum maka pendidikan sejarah memiliki fungsi memperkenalkan bangsa dan perjuangan dalam menegakkan dan membangun bangsa ini sehingga generasi muda mengenal siapa dirinya (Kartodirjo, 1997; Wineburg, 2001; Hasan, 2008). Oleh karena itu pendidikan sejarah perlu mengembangkan memori kolektif sebagai bangsa melalui pengembangan kesadaran kebangsaan, wawasan kebangsaan,  rasa cinta tanah air dan berbagai kualitas yang perlu dimiliki seorang warganegara seperti semangat persatuan, toleransi, demokratis, jujur, kerjakeras, peduli sosial dan lingkungan, mampu hidup produktif dalam perbedaan-perbedaan (agama, budaya, sosial, ekonomi, politik, lingkungan fisik), komunikasi dan kerjasama. Perjuangan, inisiatif dan kepeloporan, kepemimpinan, kepahlawanan,  ketabahan, kesetiaan pada cita-cita, dan semangat pantang menyerah yang tercermin dalam banyak cerita sejarah menjadi bahan kajian dan sumber yang tak ternilai untuk membangun dan mengembangkan kualitas warganegara yang diinginkan (berdasarkan tujuan pendidikan nasional).

Dalam membangun memori kolektif bangsa perlu pemikiran yang lebih mendalam mengenai materi pendidikan sejarah. Materi pendidikan sejarah akan mampu membangun memori kolektif sebagai bangsa hasil belajar apabila ada proses identifikasi yang kuat dari peserta didik terhadap peristiwa sejarah yang dipelajari. Untuk itu ada beberapa kriteria dalam memilih materi pendidikan sejarah:

  • Identifikasi yang kuat terjadi apabila setiap peserta didik merasakan adanya keterwakilan nenek moyang dalam perjuangan membangun bangsa ini sejak zaman yang paling tua yang dapat diketahui dari sumber sejarah yang tersedia. Secara sederhana hal ini tercermin dari peristiwa sejarah dari suatu unit pemerintahan atau budaya. Unit pemerintahan mungkin saja pada satuan propinsi atau jika mungkin pada satuan di bawahnya (kabupaten/ kota atau bahkan kecamatan). Unit budaya diwakili oleh suku. Tentu saja kedua kriteria ini tidak harus digunakan secara terpisah atau pun keduanya harus terpenuhi. Apabila salah satu dari kriteria ini terpenuhi terutama unit pemerintahan maka hal tersebut dapat dianggap cukup.
  • Periode yang penting dalam perwakilan itu adalah sejak kebangkitan nasional. Periode ini penting karena perjuangan pada masa ini lebih merakyat, pemimpin perjuangan tidak terpilih karena keturunan/darah tetapi lebih pada kemampuan, arah perjuangan lebih jelas dan tegas pada pembentukan negara dan bangsa Indonesia.
  • Perlu keseimbangan peristiwa sejarah yang dipelajari peserta didik antara peristiwa yang terjadi di wilayah tempat tinggalnya (dalam unit propinsi atau di bawahnya) dengan peristiwa yang terjadi di daerah lain. Pengkajian dan pemilihan tersebut harus berani dalam menentukan berupa penambahan atau penghapusan peristiwa-peristiwa sejarah yang secara tradisional ada pada kurikulum.
  • Peristiwa sejarah yang terjadi di lingkungan propinsi, kabupaten/ kota atau di bawahnya yang dinytakan/dianggap sebagai peristiwa sejarah nasional memiliki prioritas untuk dipilih tetapi peristiwa sejarah yang dinyatakan/dianggap sebagai peristiwa sejarah lokal dapat dipilih untuk dijadikan pokok bahasan tambahan apabila peristiwa sejarah tingkat nasional tidak/belum diketahui.
  • Organisasi materi pendidikan sejarah di mulai dari peristiwa yang terjadi di lingkungan terdekat pada diri peserta didik sampai ke tingkat nasional dan internasional. Materi pendidikan sejarah harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengenal masyarakat terdekatnya (dari tinjauan historis) sampai kepada bangsanya dan ummat manusia (sejarah kota/kabupaten, sejarah propinsi, sejarah nasional).

Berdasarkan kriteria yang dikemukakan di atas dirasakan perlu ada peninjauan ulang untuk pokok bahasan/materi pokok pendidikan sejarah untuk SD/MI dan SMP/MTs. Peninjauan ulang itu harus menjawab pertanyaan apa kaitan kesinambungan antara peristiwa sejarah yang dipelajarri di SD dengan yang di SMP: apakah merupakan perluasan wilayah, penambahan peristiwa ataukah pendalaman? Pertanyaan ini harus dijawab dengan penuh kehati-hatian karena tingkat kemampuan peserta didik SD kelas 1-4 berbeda dibandingkan dengan tingkat kemampuan peserta didik SD kelas 5-6, dan dapat dikatakan peserta didik kelas 5-6 SD   memiliki jenjang kemampuan berpikir operasional yang sama dengan anak SMP.

 

Peninjauan ulang pokok bahasan/materi pokok perlu memperhatikan keterwakilan peristiwa sejarah di setiap wilayah (propinsi) Indonesia. Prinsip ini sesuai dengan prinsip pengembangan kurikulum yang ditetapkan BSNP yang menyatakan perlu ada keseimbangan antara kepentingan daerah dan kepentingan nasional. Hasil dari peninjauan ulang tersebut mungkin saja menyebabkan terhapusnya/hilangnya beberapa peristiwa sejarah (nasional) yang terjadi di suatu wilayah tertentu dan selama ini tercantum dalam materi pendidikan sejarah.  Untuk itu memang setiap daerah perlu memiliki tim pengembang kurikulum yang menjadi pendamping bagi sekolah dalam menetapkan pokok bahasan/materi pokok.

Sesuai dengan fungsinya sebagai pendidikan akademik, kurikulum sejarah di SMA mengakomodasi kebutuhan kelompok yang berminat kepada sejarah. Di semester pertama peserta didik belajar tentang ilmu sejarah dan metodologi sejarah (Permen Diknas nomor 22 tahun 2005). Pemahaman tentang ilmu sejarah dan kemampuan sejarah ini selanjutkan dikembangkan melalui kajian terhadap berbagai peristiwa sejarah yang terdapat di semester berikutnya. Sebagai pendidikan akademik, guru sejarah dapat menempuh dua cara proses belajar dalam menerapkan pemahaman dan ketrampilan sejarah yang sudah dikembangkan di semester pertama  yaitu mengkaji setiap peristiwa tersebut bersama seluruh anak di kelas (pendekatan kelas/kelompok) atau menugaskan kepada setiap peserta didik untuk memilih satu peristiwa sejarah tertentu yang menarik perhatian dirinya (pendekatan individual). Kedua pendektan itu dapat digambarkan sebagai berikut:

 

Sem 2 Sem 3 Sem 4 Sem 5 Sem 6

Pendekatan Kelas/Kelompok

SEM 1

Pendekatan individual

Sem 2

.KD1

.KD2

.KDn

Sem 3

KD1

.KD2

.KDn

Sem 4

KD1

.KD2

.KDn

Sem 5

KD1

.KD2

.KDn

Sem 6

KD1

.KD2

.KDn

 

Gambar 1: Pendekatan Pembelajaran Sejarah SMA

Pendekatan pertama dapat dilakukan di kelas atau kelompok. Pendekatan ini memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik mempelajari setiap KD dan peristiwa sejarah yang terkait. Dalam setiap pertemuan diperlukan bimbingan guru secara terarah terhadap permasalahan dalam mengerjakan tugas di kelas atau kelompok. Kelemahannya adalah dalam waktu karena pendekatan ini memerlukan waktu banyak. Kelemahan pendekatan kelas tidak saja waktu tetapi peserta didik yang tidak mengalami masalah harus mendengarkan penjelasan cara menyelesaikan masalah yang dialami oleh seorang atau beberapa peserta didik lain. Sebagai anggota kelas peserta didik tersebut harus mengikuti kecepatan dan dinamika kelas dan penyelesaian tugas baru dapat dilakukan setelah itu. Peserta didik tidak perlu menyajikan hasil kerjanya di kelas tetapi guru harus membaca makalah yang berisikan tugas tentang peristiwa sejarah yang sama.

Dalam pendekatan kelompok, bimbingan diberikan kepada kelompok tertentu yang memiliki masalah tertentu dan kelompok lain yang tidak punya masalah tersebut tidak perlu memberikan perhatiannya terhadap penjelasan guru untuk masalah yang dihadapi kelompok tertentu tadi. Kelemahannya adalah guru harus menguras banyak tenaga dan pikiran untuk memberikan bantuan terhadap kesulitan yang sama yang dialami oleh kelompok yang berbeda dan diungkapkan dalam waktu yang berbeda.

Pendekatan kedua dilakukan dengan penugasan kelompok. Setiap peserta didik memilih KD dan peristiwa sejarah terkait untuk menjadi tugasnya. Pada semeter 2 masih diperlukan bimbingan yang banyak dari guru dan oleh karenanya beberapa minggu perlu dialokasikan dalam membimbing peserta didik dalam merumuskan pertanyaan, menentukan sumber, memahami sumber, menganalisis, sampai kepada rekonstruksi dan penulisan. Pendekatan ini memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik menyusun cerita sejarah dalam versi dirinya (her/his own history). Setiap peserta didik menyajikan makalahnya dan peserta didik lain di kelas mendapatkan pengetahuan peristiwa tersebut dari temannya.

Baik dalam pendekatan kelas/kelompok mau pun individual tidak perlu dilakukan untuk setiap KD atau peristiwa sejarah. Guru dapat memilih KD dan pokok bahasan mana yang dijadikan tugas bagi peserta didik dan pokok bahasan mana yang akan dikaji dalam cara penyempaian yang biasa dilakukan guru. Variasi dalam cara belajar perlu dikembangkan guru dalam mengembangkan pemahaman, wawasan, ketrampilan berpikir sejarah, dan ketrampilan belajar sejarah.

 

PROBLEMA PADA MATERI DAN SUMBER PENDIDIKAN SEJARAH    

Sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2005 tentang Standar Isi, landasan pendidikan sejarah adalah sebagai berikut:

Terkait dengan pendidikan di sekolah dasar hingga sekolah menengah, pengetahuan masa lampau tersebut mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan,  membentuk sikap, watak dan kepribadian peserta didik.

Mata pelajaran Sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

Selanjutnya dinyatakan bahwa materi pendidikan sejarah memiliki kekuatan sebagai berikut:

  1. mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme, nasionalisme, dan semangat pantang menyerah yang mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik;
  2. memuat khasanah mengenai peradaban bangsa-bangsa, termasuk peradaban bangsa Indonesia. Materi tersebut merupakan bahan pendidikan yang mendasar bagi proses pembentukan dan penciptaan peradaban bangsa Indonesia di masa depan;
  3. menanamkan kesadaran persatuan dan persaudaraan serta solidaritas untuk menjadi perekat bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa;
  4. sarat dengan ajaran moral dan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisis multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari;
  5. berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.

Sayangnya, kekuatan yang dimiliki materi pendidikan sejarah sebagaimana dikemukakan dalam Permen Diknas tersebut telah dikerdilkan menjadi fakta sejarah. Fakta sejarah adalah pengetahuan penting mengenai kehidupan manusia di masa lampau tetapi sebagaimana dikemukakan di atas materi pendidikan sejarah meliputi pula hal-hal yang bersifat nilai dan moral untuk membangun karakter diri peserta didik. Pada gilirannya, karakter peserta didik menjadi karakter bangsa karena karakter bangsa dimanifestasikan oleh perilaku setiap warganegara sesuai kedudukan dan perannya dalam kehidupan kebangsaan. Pendidikan sejarah sudah saatnya mengembangkan potensi materi pendidikan sejarah secara maksimum yaitu meliputi materi pengetahuan, kognitif, afektif, dan walau pun kecil materi psikomotor. Sudah saatnya pula, pengembangan potensi materi pendidikan sejarah tersebut didukung oleh berbagai kebijakan yang sesuai terutama pandangan tentang pendidikan dan pendidikan sejarah sesuai dengan kedudukan kurikulum yang memberikan penguatan dalam mengembangkan materi nilai dan moral untuk mencapai tujuan dalam ranah karakter yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari peserta didik.

Dalam realita kelas, sangat sedikit jika tidak dapat dikatakan tidak ada, pemikiran dan pengembangan pendidikan sejarah yang mengarah kepada pemanfaatan pelajaran dari pendidikan sejarah dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terjadi, salah satunya, sebagai akibat dari kebijakan pendidikan yang memberikan perhatian dan kepedulian yang secara berlebihan pada pengembangan materi yang bersifat faktual dan mengabaikan materi yang bersifat nilai dan moral. Sayangnya, materi yang bersifat faktual mempunyai keterbatasan untuk digunakan dalam membangun karakter peserta didik. Dalam keadaan demikian maka materi pendidikan sejarah akan sulit menjadi sumber bagi inspirasi dan aspirasi kehidupan masa kini dan masa depan (Hasan, 2011b). Konsentrasi yang berlebihan pada pengajaran fakta sejarah telah menyebabkan pendidikan sejarah kehilangan kekuatan menjadi “bank of examples for solving present problems and for chartering the future”.

Materi sejarah yang bersifat nilai dan moral bukanlah hasil pemaknaan sejarawan terhadap suatu peristiwa sejarah atau suatu tindakan dari pelaku sejarah. Materi yang dikategorikan nilai dan moral dalam pendidikan sejarah adalah materi yang terkait dengan filsafat hidup, nilai, dan moral yang menjadi dasar dari ucapan, cara berpikir dan bertindak pelaku sejarah. Sebagai contoh mengapa para pelaku sejarah memilih dibuang atau pun dipenjara ketika mereka punya pilihan: menghentikan kegiatan dan mendapatkan kehidupan secara ekonomis dan sosial menguntungkan ataukah di penjara yang tidak saja membatasi gerak dan tindakan tetapi juga hal-hal yang bersifat batiniah dan intelektual. Mengapa para pelaku tersebut memilih dibuang di tempat yang seringkali tidak nyaman dan mengancam keselamatan jiwa mereka dibandingkan pilihan lain yang jauh lebih menyenangkan? Materi pendidikan sejarah yang sarat dengan nilai dan moral ini kebanyakan tidak diungkapkan dalam cerita sejarah baik yang ditulis untuk buku pelajaran di sekolah apalagi untuk lingkungan akademik dengan kadar akademik yang tinggi dan bebas nilai. Cerita sejarah yang direkonstruksi sejarawan dan penulis buku teks menempatkan para pelaku sejarah sebagai orang yang menghidupkan jalan cerita para sejarawan dan penulis buku. Para pelaku adalah figur yang tidak memiliki cerita tersebut dan oleh karenanya perasaan, ucapan, dan tindakan mereka harus mengikuti alur cerita yang disusun sejarawan dan penulis buku.

Contoh berikut kiranya dapat memperjelas apa yang dikemukakan pada alinea di atas:

Rakyat Kotabaru, setelah pengakuan kedaulatan, tidak puas (terhadap hasil KMB: tambahan penulis makalah ini). Bergabung dalam RIS berarti mengkui Pemerintah Belanda di Kotabaru. Tokoh pejuang dan pemuda (Republikan) di Kotabaru dan Pagatan membentuk badan perjuangan, Komite Nasional Indonesia Pagatan. Komite berjuang memasukkan Kotabaru ke dalam Negara Republik Indonesia Kesatuan yang berpusat di Jogyakarta. Demonstrasi menentang Belanda  dalam Negara Kotabaru dilakukan gencar, dan menyampaikan resolusi kepada Pemerintah RI di Jogyakarta dan Pemerintah RIS di Jakarta. Utusan yang dikirim: H. Syahdan Amin, A. Amberan, Peran Kamar dan dari Pagatan: Andi Sekencuang dan Muchtar Hamzah.

Di Jogyakarta utusan diterima oleh Presiden RI Mr. As’ad (sic!) dan Menteri Dalam Negeri Mr. Soesantotirtoprojo serta Menteri Penerangan Wiwoho. Di Jakarta utusan menyampaikan keinginan rakyat Kotabaru untuk masuk ke dalam ri Kesatuan.

Sekembali utusan dar Jogya dan Jakarta, tuntutan membubarkan Negara Kalimantan Tenggara yang dipimpin M. Yamani semakin gencar. Dewan Kalimantan Tenggara mengirim utusan ke Jogyakarta dan Jakarta menemui Presiden RI dan RIS. Dari Dewan Kotabaru dikirim M.Jamjan; dari Dewan Lansdchap Cantung Sampanahan, A.Iberan; dari Landschap Pulau Laut: K.H.M.Arief; dan dari Dewan Landschap Pagatan: K. Asyikin Noor. (Hakim, dkk., 2009:114)

Tulisan di atas merupakan gambaran tipikal (khas) pemaparan suatu peristiwa sejarah. Dari tulisan di atas tidak ada gambaran tentang bagaimana keputusan tentang Kotabaru menjadi bagian dari RI, dan bukan RIS. Bagaimana pikiran dan perasaan para pelaku tersebut ketika mereka menetapkan Kotabaru akan menjadi bagian dalam RI. Apakah mereka memutukan dengan penuh pertimbangan, keraguan, keteguhan hati, penuh percaya, dan sebagainya. Semua kejadian digambarkan sebagai suatu laporan mata mengenai kejadian masa lampau dengan nama-nama sejumlah orang yang terlibat di dalamnya.

Gambaran tersebut berbeda dari rekonstruksi yang dilakukan mengenai perkembangan rumusan UUD 1945:

Persetujuan yang terburu-buru mengenai beberapa perubahan yang amat penting dan – sebagaimana kita ketahui dari diskusi-diskusi terdahulu – sangat kontroversial ini sungguh-sungguh menimbulkan, menurut istilah Prawoto Mangkusasmito, satu “historische vraag, satu pertanyaan sejarah” (Anshari, 1986):

Apa sebab rumus “Piagam Jakarta”, yang diperdapat dengan susah payah, dengan memeras otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka dari bangsa kita, kemudian di dalam rapat “Panitia Persiapan Kemerdekaan” pada tanggal 18 Agustus 1945 di dalam beberapa menit saja dapat diubah? Apa, apa, apa sebabnya?

Tidak dapat dihindarkan pertanyaan: “Kekuatan apakah yang mendorong dari belakang hingga perubahan itu terjadi?” Penulis (Prawoto) tidak tahu apakah pertanyaan ini masih dapat dijawab dengan jujur dan tepat. Apa sebabnya Ir. Soekarno, yang selama sidang-sidang “Badan Penyelidik” dengan mati-matian mempertahankan “Piagam Jakarta”, kemudian memelopori usaha untuk mengubahnya?

Dari kutipan kedua maka ada gambaran emosi yang terungkapkan dari pernyataan Prawoto. Keyakinannya akan sesuatu (dalam hal ini ajaran Islam) menyebabkan dia merasa ada sesuatu yang tidak wajar ketika apa yang diperjuangkan itu tidak terealisasi tetapi tidak menyebabkan dia putus asa.  Hal yang sama diungkapkan tentang Henry Dunant:

Dunant sudah melihat dengan matanya sendiri apa makna sebenarnya dari kata-kata “Kemenangan di Solferino”. Ia bertekad bahwa orang-orang harus mengetahuinya – dan mengusahakan agar kekacauan semacam itu takkan pernah bisa terjadi lagi. Keadaannya bagaikan gambaran masa Abad Pertengahan di Eropa yang Kristen tentang neraka. Tidak bisa pupus dari ingatan Dunant, pekik-pekik kesakitan dan ketakutan…”Jangan biarkan aku mati!”, “Ya, Tuhan, air.” Tidak dapat dilupakan orang-orang yang menggenggam tangannya saat mereka menghembuskan napas penghabisan”.

 

Ada faktor emosi yang dapat dikembangkan pada diri peserta didik untuk menjadi orang yang lebih peduli akan penderitaan manusia. Dari apa yang diceritakan tentang suatu peristiwa sejarah peserta didik dapat membandingkannya dengan penderitaan masyarakat di sekitarnya dan mengembangkan rasa peduli sosial yang tinggi.

Perlakuan terhadap buku teks pendidikan sejarah dan buku/tulisan sejarah perlu diubah dari sumber bacaan ke sumber kajian. Sudah saatnya mengubah status buku teks dan sumber lainnya tidak hanya sebagai sumber bacaan untuk mendapatkan informasi (materi pelajaran) menjadi bahan kajian yaitu buku teks dan sebagainya diperlakukan sebagai materi kajian. Untuk mencapai tujuan yang termasuk kemampuan kognitif tinggi (aplikasi, analisis, evaluasi, dan menghasilkan) buku teks, gambar, foto, tulisan sejarah dan berbagai benda lain  diperlakukan sebagai sumber  pendidikan sejarah yang dianggap sebagai sesuatu yang sudah selesai, bukan sebagai materi kajian pelajaran. Sebagai materi kajian maka buku teks, tulisan sejarah dan sumber lainnya dijadikan materi bahasan, didiskusikan dan dievaluasi mengenai kebenaran dan kelengkapan faktanya, tafsir terhadap peristiwa dan bahkan dasar yang digunakan untuk memberikan tafsir tersebut, keutuhan cerita yang direkonstruksi, kekuatan justifikasi yang digunakan untuk menentukan keterkaitan peristiwa dalam hubungan kausalita, keajegan dalam argumentasi dan penjelasan, dan sebagainya. Foto, gambar, artefak dan bahkan dokumen pemerintah yang ada di kantor dan dokumen pribadi dapat  digunakan untuk dikaji sebagai sumber sejarah sehingga peserta didik mendapatkan informasi (baru) dan bahkan dapat menggunakan sumber-sumber tersebut untuk merekonstruksi sejarah “mereka” (Wineburg, 2001).

 

PENDIDIKAN GURU SEJARAH

Secara universal pendidikan guru adalah pendidikan profesi. Berbeda dengan banyak negara lain, Indonesia memiliki pendekatan khusus untuk program pendidikan sekolah menengah (SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK). Sejak awal seorang calon guru memasuki program pendidikan profesi yang dikaitkan dengan mata pelajaran yang akan menjadi tanggungjawabnya sebagai guru. Untuk menjadi guru sejarah maka seseorang harus mengikuti program pendidikan guru sejarah, untuk menjadi guru IPS seseorang harus masuk program khusus untuk guru IPS. Berdasarkan UU Guru dan Dosen (UU RI nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 1.4) profesi diartikan sebagai:

Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Pengertian tersebut secara umum diakui berbagai kalangan akhli. Bandingkan dengan pengertian berikut:

Occupation, practice, or vocation requiring mastery of a complex set of knowledge and skills through formal education and/or practical experience. Every organized profession  is governed by its respective professional body.

Keduanya dapat dikatakan tidak berbeda secara prinsipiil.

Dari definisi di atas dapat dikatakan bahwa suatu profesi adalah suatu pekerjaan yang memerlukan wawasan, ketrampilan, nilai dan sikap khusus yang biasanya kompleks dan hanya dapat dimiliki melalui pendidikan khusus. Selain itu suatu profesi memiliki jenjang karier yang membedakan antara pemula (novice) dalam profesi dengan mereka yang sudah berpengalaman (experienced). Penghasilan yang diperoleh pun disesuaikan dengan jenjang karier dan pengalaman profesi seseorang, semakin lama dan berpengalaman seseorang dalam suatu profesi maka dia pun mendapatkan imbalan profesi yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang baru. Indonesia belum begitu memberikan penghargaan kepada profesi guru seperti itu karena pada dasarnya seorang guru masih seorang pegawai negeri yang berstatus profesi guru.

Dalam UU tentang Guru dan Dosen ada 4 kategori kelompok kompetensi yang harus dikuasai guru. Keempat kelompok kompetensi tersebut adalah (pasal 10 UU Guru dan Dosen): Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Dalam penjelasan dikemukakan bahwa yang dimaksudkan dengan masing-masing kelompok kompetensi tersebut adalah:

Yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik.

Yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik.

Yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam.

Yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

 

Kompetensi pedagogik menyatakan bahwa seorang calon/guru sejarah harus memiliki kemampuan dalam mengelola pembelajaran dimulai dari merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran (pasal 20 UU tentang Guru dan Dosen). Dalam kemampuan pedagogik ini seorang calon/guru sejarah perlu memiliki wawasan tentang berbagai filosofi, teori, dan model pendidikan sejarah  sebagai pendidikan umum (dalam mata pelajaran IPS) dan pendidikan akademik; kemampuan merencanakan pembelajaran sejarah yang berkelanjutan dalam satu tahun atau selama masa belajar di suatu satuan pendidikan; memiliki pengetahuan dan ketrampilan mengelola kelas dan beberapa pendekatan serta metode mengajar; pengetahuan dan ketrampilan melakukan asesmen hasil belajar; pengetahuan dan kemampuan mengevaluasi hasil pembelajaran dan pemanfaatannya terhadap perencanaan dan proses pembelajaran. Dalam perencanaan, pembelajaran mau pun asesmen hasil belajar calon/guru sejarah harus memiliki pengetahuan dan kemampuan mengelola materi yang bersifat pengetahuan, ketrampilan (berpikir, belajar sejarah), nilai dan moral yang terdapat dalam materi pelajaran sejarah. Calon/guru sejarah juga harus memiliki pengetahuan dan kemampuan mengorganisasikan ketiga kelompok materi tersebut dalam suatu perencanaan sesuai dengan karakteristik setiap materi dan keterkaitan satu dengan lainnya.

Dalam kelompok kompetensi pedagogik, yaitu dalam mengelola kelas, pendekatan dan metode mengajar calon/guru sejarah harus menguasai metode pembelajaran yang mengaktifkan peserta didik belajar seperti inkuiri, “project-based learning”, dan “cooperative learning” tetapi juga metoda tradisional seperti ceramah dan bercerita serta kemampuan dalam teknik bertanya. Metode terakhir ini dekat dengan metode ceramah tetapi metode bercerita memiliki persyaratan khusus yang tidak dimiliki metode ceramah.

Kemampuan lain yang perlu dikuasai calon/guru sejarah dalam kompetensi pedagogik adalah pengetahuan dan pemahaman mengenai peserta didik. Pengetahuan dan pemahaman tersebut tentang perkembangan kemampuan intelektual, emosional, sosial,  dan kultural peserta didik. Kemampuan tersebut berkenaan dengan jenjang-jenjang perkembangan kemampuan intelektual dan emosional peserta didik SD, SMP, SMA/SMK. Pengetahuan tentang pengaruh lingkungan sosial dan kultural terhadap peserta didik dalam belajar sejarah sangat penting. Cara belajar, cita-cita, serta minat belajar terhadap sejarah dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya yang menjadi dasar bagi nilai dan norma peserta didik dalam berpikir, bertindak, dan bersikap. Latar belakang budaya merupakan lensa dalam memaknai inormasi yang diterima (we learn through our cultural lenses).

Kompetensi kepribadian adalah kemampuan yang penting tetapi paling sulit untuk dikembangkan terutama dalam konteks waktu yang tersedia untuk Pendidikan Prajabatan Guru (PPG) yang satu tahun. Pengembangan kepribadian apalagi yang mantap memerlukan waktu yang lebih panjang karena kompetensi ini berkenaan dengan materi yang termasuk dalam kelompok nilai, moral, dan sikap. Materi kelompok ini diklasifikasikan dalam kelompok “developmental content” yang memerlukan waktu panjang dan berkelanjutan dalam pengembangannya. Keliru dalam proses pengembangan akan mengubah materi ini menjadi pengetahuan (mastery content). Jika lembaga pendidikan tenaga kependidikan memiliki asrama khusus, kendala unsur waktu yang diperlukan untuk membina  akhlak mulia, arif, wibawa serta keteladanan menjadi sedikit berkurang. Selain itu lembaga pendidikan tenaga kependidikan memerlukan lingkungan belajar yang kondusif untuk mengembangkan dan memperkuat akhlak mulia, arif, wibawa serta keteladanan sehingga suasana belajar di kelas, di luar kelas dan asrama berada dalam satu kesatuan suasana pembinaan.

Kompetensi profesi (?) biasanya dikenal dalam literatur dengan istilah “pedagogical content” yaitu penguasaan materi yang terdapat dalam pokok bahasan di kurikulum sekolah, dalam hal ini peristiwa-peristiwa sejarah yang tercantum dalam kurikulum SD, SMP, SMK dan SMA. Ini merupakan mata pelajaran khusus walau pun tentu saja tidak terpisah dari materi perkuliahan yang mereka terima dalam kurikulum S1 Pendidikan Sejarah atau S1 Sejarah. Melalui mata pelajaran dalam kelompok kemampuan profesi, setiap calon/guru sejarah memiliki pengetahuan dan wawasan tentang setiap peristiwa sejarah yang akan diajarkan sehingga mereka sudah langsung siap mengajar, mereka tidak lagi mencari sumber untuk materi peristiwa sejarah yang akan diajarkan. Melalui mata pelajaran yang dikembangkan dalam kelompok kemampuan profesi ini mereka tidak juga dalam posisi yang gamang dalam menentukan berapa dalam dan berapa luas fakta, konsep, nilai, dan ketrampilan yang dikembangkan dalam suatu peristiwa sejarah.

Satu persoalan yang perlu mendapat perhatian dalam pengembangan kompetensi profesi ini adalah peristiwa dan materi pelajaran sejarah lokal. Sebuah LPTK Jurusan Pendidikan Sejarah tidak memiliki wewenang penempatan bagi calon guru yang mereka hasilkan karena wewenang itu ada pada Pemerintah atau pemerindah daerah. Oleh karena itu perlu dicari cara untuk menyelesaikannya antara lain memperkenalkan kepada calon/guru sejarah kemampuan mengembangkan sejarah lokal terutama dalam mengidentifikasi sumber, kritik sumber, analisis sumber, dan rekonstruksi. Dengan kemampuan ini diharapkan calon/guru sejarah dapat mengembangkan materi untuk berbagai peristiwa sejarah lokal yang ada di masyarakat sekitarnya, menerapkannya dalam menyeleksi sumber/tulisan sejarah lokal yang telah tersedia, dan menggunakan kemampuan tersebut untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam menulis cerita sejarah.

Kompetensi sosial berkenaan dengan kemampuan profesi dalam berkomunikasi dengan sesama guru, peserta didik, pimpinan, dan masyarakat. Pengembangan kemampuan ini pada program pendidikan guru prajabatan hanya berkenaan dengan kemampuan dasar yang nantinya diperkaya ketika seorang guru sejarah sudah menjalankan profesinya. Waktu dan pengalaman dalam melaksanakan pekerjaan profesi akan menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam membedakan antara guru pemula (novice) dan berpengalaman (experienced).

 

KESIMPULAN DAN SARAN

Pendidikan guru sejarah untuk menghasilkan guru sejarah profesional perlu mengembangkan pengalaman belajar calon guru sejarah yang memiliki kemampuan mengembangkan kemampuan pedagogik dan profesi yang khusus dan hanya dapat dimiliki oleh mereka yang mengikuti pendidikan profesi guru sejarah. Kekhususan tersebut tercermin dalam pengetahuan dan ketrampilan mengembangkan metode dan pembelajaran yang sesuai dengan  materi pendidikan sejarah. Untuk itu pendidikan profesi guru sejarah perlu mengembangkan pemahaman dan kemampuan perencanaan untuk proses belajar yang mengembangkan pemahaman peserta didik terhadap sebuah peristiwa sejarah beserta komponen materi yang ada di dalam sebuah cerita sejarah, siswa belajar aktif, pembelajaran nilai dan moral serta keteladanan; memahami dan menguasai pembelajaran yang menggunakan metode ceramah, cerita, inkuri, project-based learning, teknik tanya jawab, dan asesmen hasil belajar “documentry-based question”, “SOLO taxonomy”, dan “performance assessment”.

Dalam kompetensi profesi, calon guru sejarah harus memiliki pengetahuan dan pemahaman terhadap semua peristiwa sejarah yang tercantum dalam kurikulum. Pengetahuan dan pemahaman tersebut meliputi seluruh komponen materi didik yang terdapat pada peristiwa sejarah yang dimaksudkan, sumber berupa buku teks dan reference, pemahaman dan kemampuan melakukan kritik  (internal) terhadap isi buku teks dan reference. Dalam kelompok kompetensi ini calon guru sejarah perlu belajar tentang konsep dan kemampuan mengembangkan sejarah lokal.

Dalam kompetensi pedagogik dan profesi, calon guru sejarah perlu memiliki kemampuan membedakan antara pendidikan sejarah sebagai pendidikan umum dari pendidikan akademik. Kedua posisi tersebut memiliki perbedaan yang signifikan dalam tujuan, proses pembelajaran, dan penilaian disamping persamaan dalam pokok bahasan.

Pada masa mendatang guru sejarah perlu memiliki kemampuan untuk mengembangkan sumber sejarah yang ada di sekitarnya terutama untuk kepentingan pengembangan materi sejarah lokal. Suatu kenyataan yang harus diakui bahwa banyak sejarah lokal masih berupa kejadian di masa lampau dengan berbagai sumber yang tersedia tapi belum mendapat perhatian dan belum diteliti sejarawan. Oleh karena itu kemampuan guru dalam penelitian sejarah lokal menjadi suatu kebutuhan.

 

DAFTAR RUJUKAN

Anderson, L.W. et al. (editor). A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. New York: Longman

Anshari, E.S. (1986). Piagam Jakarta: 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Islami dan Nasionalis “sekuler” tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959. Bandung: Rajawali Pers.

Borries, Bodo von (2000). Methods and Aims of Teaching History in Europe: A Report on Youth and History, dalam Knowing Teaching & Learning History: National and International Perspectives (Eds. Stearns, P.N., Seixas,P., Wineburg,S.). New York: New York University Press.

Hakim, A. dkk. (2009). Sejarah Kotabaru. Bandung: Rekaya Sains.

Hasan, S.H. (2008). Pendidikan Sejarah dalam Rangka Pengembangan Memori Kolektif dan Jatidiri Bangsa, dalam Sejarah yang Memihak (ed. Nursam, M., Baskara T. Wardaya,S.J. dan Asvi Warman Adam). Yogyakarta: Penerbit Ombak

Hasan, S.H. (2011a). The Development of Historical Thinking and Intelletual Skills in the Teaching of History in the Senior Secondary School Curriculum in Indonesia. Historia in press

Hasan, S.H. (2011b). Pendidikan Sejarah untuk Membangun Inspirasi dan Mengembangkan Aspirasi. Majalah Jurnal Pendidikan Sejarah nomor 2 dalam proses penerbitan

Levstik,L.S. (2000). Articulating the Silences: Teachers’ and Adolescents’ Conceptions of Historical Significance, dalam Knowing Teaching and Learning History: National and International Perspectives, Knowing Teaching and Learning History: National and International Perspectives, ed. Stearns,P.N., P. Seixas, dan S. Wineburg). New York: New York University Press.

Stearns, P.N., Seixas,P., Wineburg,S.(ed.)(2000).Knowing Teaching & Learning History: National and International Perspectives New York: New York University Press.

Wineburg, S. (2001). Historical Thinking and Other Unnatural Acts: Charting the Future of Teaching the Past. Philadelphia: Temple University Press.

 

DOKUMEN

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2005 tentang Standar Isi IPS dan Sejarah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *