Pendekatan Historiografi Dalam Memahami Buku Teks Pelajaran Sejarah

Oleh: Agus Mulyana

Buku teks pelajaran merupakan salah satu sumber dan media pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam melaksanakan proses pembelajaran. Guru sangatlah dituntut untuk memahami isi materi yang tercantum dalam buku teks pelajaran, karena pada umumnya buku teks pelajaran yang digunakan oleh guru ditulis oleh orang lain atau penulis buku dari suatu penerbit. Penulis buku biasanya mencoba menginterpretasikan sendiri deskripsi materi yang harus ditulis berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar sebagaimana yang tercantum dalam standar isi. Buku yang sama dengan penulis yang berbeda meungkinkan terjadinya deskripsi materi yang berbeda.

Hal ini terjadi pula dalam buku teks pelajaran sejarah, apalagi sejarah merupakan ilmu yang penuh dengan interpretasi ketika data dideskripsikan. Salah cara yang dapat dilakukan oleh guru dalam memahami buku teks pelajaran sejarah adalah dengan pendekatan historiografi.

Masalah Buku Teks Pelajaran Sejarah

Buku teks merupakan buku pegangan utama dalam proses pembelajaran (learning) dan pengajaran (teaching) yang digunakan oleh siswa dan disusun atau ditulis oleh guru atau pakar yang menguasai displinnya dengan tujuan untuk mempermudah proses pembelajaran bagi siswa.[1] Dua hal pokok yang harus diperhatikan dalam buku ajar yang berbeda dengan buku lainnya yaitu pertama aspek isi yang mengacu pada disiplin ilmu dan kedua memiliki tujuan pembelajaran. Aspek disiplin keilmuan artinya isi materi dari buku tersebut haruslah merujuk pada kaidah-kaidah dari disiplin ilmu. Aspek pembelajaran yaitu struktur isi buku dan deskripsi uraian materi dalam buku teks harus lah mudah dipahami dan memberikan stimulus bagi siswa untuk belajar.

Beberapa karakteristik buku teks pelajaran adalah: (1) memiliki landasan keilmuan yang jelas dan mutakhir; (2) berisi materi yang memadai, bervariasi, mudah dibaca, dan sesuai dengan kebutuhan siswa; (3) disajikan secara sistematis, logis, dan teratur; (4) meningkatkan minat siswa untuk belajar; (5) berisi materi yang membantu siswa untuk memecahkan masalah keseharian; (6) memuat materi refleksi dan evaluasi diri untuk mengukur kompetensi yang telah dan akan dipelajari.

Buku teks pelajaran merupakan buku yang berfungsi bagi siswa untuk belajar. Jenis buku ini sangat bergantung pada kurikulum yang dikembangkan.Buku teks pelajaran pada dasarnya merupakan buku yang memberikan informasi penting bagi siswa di sekolah, yang digunakan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar. Penggunaan jenis buku ini dapat memberikan penjelasan yang mendukung kegiatan pembelajaran dan dapat memperluas wawasan pengetahuan pembacanya.[2]

Isi buku teks pelajaran sejarah mengacu kepada standar isi yang berupa kompetensi dasar (KD) dan standar kompetensi (SK). KD dan SK merupakan materi minimal yang harus dikembangkan oleh guru ketika menyusun kurikulum satuan pendidikan (KTSP). Uraian materi sejarah yang ada pada buku, pada dasarnya merupakan pengembangan materi yang dilakukan oleh penulis buku. Dalam mengembangkan materi secara historiografi penulis buku melakukan interpretasi terhadap batasan materi yang ada dalam SK dan KD. Dengan demikian struktur berpikir penulis buku sangat berpengaruh dalam mendeskripsikan uraian materi.

Permasalahan yang terjadi lapangan adalah umumnya buku-buku teks pelajaran sejarah yang digunakan oleh guru bukanlah karya guru sendiri, tetapi ditulis oleh orang lain.Kenyataan seperti ini bisa menjadi masalah bagi guru ketika memahami isi buku dan menggunakannya dalam proses pembelajaran. Masalah yang akan muncul adalah pertama bagaimana guru memahami materi dan kedua bagaimana materi itu diajarkan.

Masalah materi berkaitan dengan apakah ada kecocokan antara kompetensi yang dituntut dalam standar isi dengan uraian materi yang ditulis oleh penulis buku. Dalam hal ini penulis akan memberikan interpretasi terhadap maksud kompetensi yang tercantum dalam standar isi. Interpretasi pada dasarnya merupakan konstruksi pemikiran dari penulis. Berbagai faktor akan sangat mempengaruhi penulis dalam memberikan interpretasi. Salah satu faktor terpenting adalah latar belakang pendidikan dan tingkat pemahaman penulis terhadap dasar-dasar ilmu sejarah.

Penulisan sejarah pada dasarnya merupakan kerja intelektual dan ini merupakan cara yang utama untuk memahami sejarah.[3] Ketika seorang menulis sejarah sesungguhnya sekaligus juga melakukan penafsiran terhadap fakta-fakta sejarah yang dikonstruksinya. Hal yang menjadi masalah di lapangan adalah umumnya buku-buku pelajaran sejarah ditulis tidak berdasarkan hasil penelitian terhadap sumber sejarah. Uraian materi yang diuraikan lebih banyak berdasarkan pada uraian buku-buku sejarah yang telah ditulis sebelumnya atau karya-karya tulis sejarah lainnya. Bahkan ada yang memindahkan catatan dari catatan materi buku sebelumnya. Cara seperti lebih hanya sekedar penulisan sejarah sebagai hapalan saja. Walaupun ada juga beberapa penulis sejarah yang merekonstruksi kembali terhadap uraian-uraian tulisan sejarah dari buku-buku yang dijadikan sumber tulisan. Rekonstruksi lebih kepada deskripsi narasi atau struktur bahasa yang digunakan.

Bahasa dalam bentuk narasi tulisan sejarah memiliki arti yang sangat penting. Sejarah dalam bentuk sebuah tulisan dapat masuk dalam bagian seni karena dalam sejarah ada unsur cerita. Oleh sebab itu sebuah karya sejarah termasuk juga ke dalam hasil kebudayaan.Bahasa dalam bentuk budaya dan intelektual merupakan media pertukaran hubungan antar kekuatan dan konstittutor terakhir dari kebenaran dalam penulisan dan pemahaman tentang masa lalu[4]. Bahasa yang digunakan oleh penulis sejarah akan memiliki makna. Makna dalam konteks ini bisa dikaitkan dengan interpretasi sejarah.

Deskripsi uraian materi sejarah dalam buku teks dapat pula merupakan konstruksi pemikiran dari penulis buku. Sebuah konstruksi pemikiran dalam bentuk tulisan sejarah sudah barang tentuk akan menjadi subjektif. Subjektifitas ini merupakan hal yang wajar dalam sebuah tulisan sejarah, karena sejarah merupakan ilmu kemanusiaan yaitu ilmu yang banyak membicarakan tentang kehidupan manusia. Oleh sebab itu hasil penelitiannya akan dipengaruhi oleh unsur manusianya sendiri[5].

Uraian materi yang merupakan hasil konstruksi pemikiran penulis buku akan menjadi masalah pula di lapangan bagi guru yaitu bagaimana buku tersebut diajarkan. Ada dua hal yang harus diperhatikan oleh guru ketika bagaimana buku teks diajarkan yaitu pertama bagaimana guru memahami materi yang ada dalam buku dan kedua bagaimana metodologi pembelajaran yang harus digunakan yang sesuai dengan materi.

Dalam praktek pembelajaran secara ideal guru hendaknya terlebih dahulu membaca SK dan KD yang ada dalam Standar Isi kemudian mengembangkan materi. Materi yang diajarkan oleh guru hendaknya merupakan interpretasi guru terhadap materi yang dituntut dalam SK dan KD. Buku teks pelajaran pada dasarnya hanya merupakan salah satu sumber yang digunakan untuk mencapai kompetensi yang ingin dicapai sesuai dengan SK dan KD. Kenyataan yang terjadi di lapangan, banyak guru yang menjadikan  buku teks pelajaran sebagai satu-satunya sumber materi untuk mencapai kompetensi. Apa yang tertulis pada buku itulah yang disampaikan kepada siswa secara tesktual.Materi buku kurang dikritisi, karena materi bukan dikembangkan dari SK dan KD tetapi diambil dari buku teks pelajaran. Dampak sikap yang demikian menyebabkan pembelajaran sejarah hanya sekedar transfer of knowledge materi yang ada pada buku. Cara seperti ini akan menyebabkan guru mengajarkan otaknya si penulis buku, bukan pemahaman guru terhadap materi atau kompetensi yang dituntut dalam SK dan KD.

Memahami Historiografi

Ada dua pengertian mengenai historiografi yaitu pertama langkah terakhir dalam metode sejarah atau penulisan sejarah dan kedua tinjauan atas hasil karya tulis sejarah[6] atau sejarah penulisan sejarah. Hal yang harus diperhatikan oleh guru dalam memahami buku teks adalah pengertian historiografi yang pertama. Guru harus memahami bagaimana secara metode sejarah itu ditulis.

Dalam tahap historiografi seorang sejarawan akan mencoba mengkonstruksikan sumber-sumber sejarah dalam bentuk cerita atau kisah. Berdasarkan sumber-sumber tersebut dicari titik temu atau benang merah, bagaimana signifikansi hubungan antara sumber yang satu dengan sumber yang lainnya. Sejarawan akan menggunakan pikiran-pikiran kritis dalam menganalisis mengkonstruksi sumber-sumber tersebut agar menghasilkan suatu karya tulis sejarah yang ilmiah. Keilmiahan dari karya tulis tersebut sangat ditentukan oleh bagaimana sejarawan menggunakan kaidah-kaidah akademik.

Guru harus memahami bahwa materi sejarah yang diajarkan bukan hanya sekedar cerita rekaan belaka. Sejarah yang diajarkan harus dipahami adalah sejarah sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Sejarah adalah ilmu yang mandiri artinya mempunyai filsafat ilmu sendiri, permasalahan sendiri dan penjelasan sendiri[7].

Sejarah sebagai ilmu termasuk dalam kelompok ilmu-ilmu manusia (Geisteswissenschaften) yang berbeda dengan ilmu alam. Penjelasan pada ilmu-ilmu alam (naturwissenschaften) selalu diukur dengan menggunakan hukum alam, seperti air akan mendidih apabila berada pada 100 derajat celcius. Gejala ini bersifat universal artinya akan terjadi di mana-mana. Hal ini berbeda dengan ilmu-ilmu manusia, perilaku manusia tidak bersifat universal tetapi bersifat unik, misalnya orang menangis bisa disebabkan oleh berbagai faktor, bisa disebabkan karena sedih, gembira, dan faktor-faktor lainnya. Ilmu sejarah sebagaimana umumnya ilmu-ilmu manusia bersifat kasuistik, misalnya pemberontakan pada suatu daerah berbeda faktor-faktor penyebabnya dengan daerah lainnya.

Untuk memahami peristiwa sejarah, seorang peneliti harus memahmi aspek “dalam” dari peristiwa itu, bukan dari aspek “luarnya”. Pendekatan seperti ini biasa dilakukan dalam hermeneutika. Hermeneutika ialah memahami “inner context” dari perbuatan yang tidak dinyatakan dalam kata-kata pelaku sendiri. Dilthey berpandangan bahwa (1) manusia hanya bisa dipahami melalui konsep tentang hidup (life), tidak dari konsep-konsep yang abstrak dalam ilmu-ilmu alam, dan (2) manusia mahluk yang menyejarah, karenanya hanya dapat diterangkan melalui sejarahnya.[8]

Metode untuk memahami aspek “dalam” suatu peristiwa sejarah digunakan dengan verstehen. Verstehen adalah pengalaman “dalam” yang menembus jiwa dan seluruh pengalaman kemanusiaan. Verstehen atau understanding adalah usaha untuk “meletakkan diri” dalam diri yang “lain”.[9] Implementasi dalam penelitian sejarah yaitu dengan cara peneliti sejarah harus masuk dalam “teks” sejarah. Teks yang dimaksud adalah situasi atau jiwa zaman dari peristiwa yang diteliti. Misalnya ketika seorang peneliti tentang kehidupan kaum buruh perkebunan pada zaman Sistem Tanam Paksa, maka peneliti harus memahami dan menghayati bagaimana situasi dan kondisi pada masa Tanam paksa tersebut, Untuk dapat masuk dan menghayati masa tersebut, peneliti terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan tentang Sistem Tanam paksa.

Metode memahami dalam metode sejarah merupakan langkah penting sebelum tahap historiografi dilakukan. Walaupun dalam prakteknya langkah pemahaman bersamaan dengan langkah historiografi. Pada saat penulisan atau historiografi dilakukan, peneliti sejarah melakukan pula penafsiran. Berbagai fakta-fakta sejarah ia konstruksikan menjadi suatu cerita sejarah yang bermakna. Pemaknaan terhadap fakta sejarah merupakan langkah verstehen yaitu peneliti sejarah mencoba menembus terhadap terhadap jiwa zaman dari fakta-fakta yang dikonstruksinya. Pada saat ini pula peneliti sejarah melakukan pengisahan atau sejarah sebagai kisah.

Ada perbedaan pemahaman sejarah sebagai kisah dan sejarah sebagai peristiwa.Sejarah sebagai kisah ialah cerita berupa narasi yang disusun dari memori, kesan atau tafsiran manusia terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa yang terjadi atau berlangsung pada waktu yang lampau. Sejarah sebagai peristiwa ialah kejadian, kenyataan, aktualitas, sejarah in concreto yang sebenarnya telah terjadi atau berlangsung pada waktu atau masa lampau.[10]  Subjektifitas akan terjadi ketika sejarah dikisahkan, karena pada tahap ini peneliti sejarah memberikan tafsiran terhadap peristiwa-peristwa sejarah. Pada saat peneliti sejarah memberikan penafsiran, faktor pribadi peneliti sejarah tidak dapat dihindari akan memberikan pengaruh dalam pengisahan sejarah. Sedangkan sejarah sebagai peristiwa objektif sifatnya sejarah sebagai realitas atau kenyataan. Hanya sejarah sebagai kenyataan itu akan muncul manakala dikisahkan.

Bagaimana agar sejarah sebagai kisah dan sejarah sebagai realitas itu bisa ada ? itu sangat ditentukan oleh sumber sejarah. Jadi penghubung antara sejarah sebagai kisah dan sejarah sebagai realita adalah sumber sejarah.[11] Sumber sejarah pada dasarnya belum menggambarkan suatu kenyataan sejarah. Kenyataan sejarah akan muncul ketika sumber sejarah tersebut direkonstruksi menjadi suatu tulisan sejarah. Sumber sejarah yang valid dapat menciptakan kenyataan sejarah yang sesungguhnya adalah sumber sejarah yang primer. Dengan demikian secara teoretis, kenyataan sejarah itu ada karena diciptakan oleh peneliti sejarah atau ada orang yang mau mengisahkan.

Guru sebagai Pengkisah

Buku teks pelajaran di sekolah pada umumnya ditulis tidak banyak menggunakan sumber-sumber primer. Pada umumnya buku tersebut merupakan pengulangan terhadap tulisan buku-buku sejarah sebelumnya atau ditulis berdasarkan sumber sekunder. Oleh sebab itu, guru dalam menggunakan buku teks pelajaran tersebut harus bersifat kritis. Kekritisan guru dilakukan dengan menggunakan kerangka analisis teori dari historiografi, Pemahaman guru terhadap teori mengenai historiografi amatlah penting.

Ada dua hal pokok yang harus dilakukan oleh guru dalam mengkritisi terhadap buku teks pelajaran sejarah yaitu pertama kebenaran fakta dan kedua interpretasi terhadap fakta tersebut. Kebenaran fakta misalnya ketepatan dalam menyebut angka tahun, nama tokoh, tempat kejadian, nama peristiwa, dan sebagainya. Penyebutan fakta penting mengingat buku teks pelajaran ditulis pada umumnya bukan berdasarkan hasil penelitian yang menggunakan sumber-sumber sejarah yang bersifat primer. Interpretasi penulis terhadap fakta dapat dilihat dengan cara bagaimana penulis buku menceritakan suatu peristiwa dalam narasi yang ditulisnya, apakah uraiannya bersifat argumentatif, kritis, dan ilmiah. Hal ini penting dilakukan agar penafsiran tidak bersifat emosional dan jauh dari kaidah-kaidah ilmu pengetahuan, sebab sejarah yang diajarkan tetap merupakan sejarah sebagai bagian dari ilmu pengetahuan.

Panduan materi yang ditulis dalam buku teks pelajaran berpijak dari kurikulum atau standar isi. Kurikulum secara teoretis merupakan produk kebijakan politik. Konsekwensinya adalah materi pelajaran sejarah tidak bisa lepas dari misi pemerintah. Salah satu misi penting dari pendidikan sejarah adalah pembentukan karakter bangsa. Dalam pembentukan karakter bangsa tersebut akan berpijak dari ideologi negara. Kedudukan mata pelajaran sejarah yang demikian akan berdampak pendekatan yang sangat ideologis dalam memberikan interpretasi terhadap peristiwa-peristiwa sejarah. Oleh sebab itu historiografi pada buku pelajaran sejarah dalam bagian-bagian tertentu sangat ideologis.[12]

Sejarah Indonesia yang diajarkan di sekolah termasuk dalam katagori sejarah nasional. Sejarah nasional memiliki arti sejarah suatu bangsa atau negara. Dalam penulisan sejarah nasional, biasanya mencoba melacak akar sejarah eksistensi lahirnya negara tersebut. Dilacak periodesasi sejarah bangsa tersebut sampai dengan terbentuknya suatu negara. Jalannya sejarah bangsa tersebut bisa memiliki jalan yang panjang bahkan penuh perjuangan. Seperti dalam penulisan sejarah Indonesia, adanya periodesasi. Penulisan sejarah nasional Indonesia dimulai dari zaman pra sejarah, Hindu-Budha, Islam, Penjajah, Kemerdekaan, Revolusi, Orde Lama, Orde Baru hingga Reformasi yang merupakan periode kontemporer. Periodesasi yang digunakan lebih bersifat politik. Dalam interpretasi terhadap materi sejarah tersebut selalu diwarnai dengan kepentingan pemerintah, karena historiografi nasional selalu dilihat pemerintah sebagai sebuah kunci yang penting dalam membangun kesadaran sejarah[13].

Misi negara dalam pembelajaran sejarah di sekolah telah menjadikan guru menjadi pengkisah terhadap bagaimana eksistensi sejarah bangsa Indonesia. Buku teks pelajaran sejarah merupakan sumber yang harus dikisahkan oleh guru di kelas. Dalam melakukan pengkisahan ini, harus pula memberikan interpretasi terhadap uraian materi sejarah yang ada dalam buku teks. Guru jangan memberikan materi yang bersifat “mentah” apa adanya sebagaimana yang disampaikan dalam buku. Materi yang diberikan haruslah dikemas atau dikembangkan menjadi materi yang menarik.Oleh sebab itu perlu adanya interpretasi yang dilakukan oleh guru dalam membaca dan mengolah materi untuk disampaikan pada anak di kelas. Interpretasi yang dilakukan oleh guru ketika membaca buku teks yaitu dengan menggunakan kaidah-kaidah ilmiah historiografi.

Pendekatan historiografi oleh guru dalam memahami buku teks tidaklah akan terjebak pada pandangan bahwa sejarah adalah dongeng. Mengajar sejarah bukanlah mendongeng, tetapi mengajarkan sejarah adalah mengajarkan kebenaran. Ukuran kebenaran yang digunakan adalah kebenaran ilmu, walaupun materi sejarah yang diberikan bersifat ideologis. Ada perbedaan pokok antara sejarah dan dongeng. Pengkisahan dongeng bersifat fiksi, tidak berdasarkan fakta yang valid atau akurat. Sedangkan sejarah bukanlah dongeng yang fiktif, sejarah dapat berupa cerita sebagaimana lazimnya pada dongeng, tetapi berdasarkan fakta yang valid, secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan.

Historiografi pada buku teks pelajaran idealnya harus bersifat kritis dan analitis. Interpretasi sejarah yang diuraikan haruslah memberikan pemahaman yang bersifat ilmiah dan secara metodolgis dapat dipertanggungjawabkan menurut kaidah-kaidah ilmu sejarah. Misalnya perlu adanya berbagai pendapat tentang sesuatu faktor penyebab peristiwa tersebut berdasarkan hasil-hasil penelitian yang mutakhir. Hal yang terjadi sampai saat ini interpretasi pada buku teks pelajaran sejarah lebih banyak bersifat tunggal, bahkan sudah merupakan pendapat yang lama. Hasil-hasil penelitian mutakhir dari penelitian sejarah belum banyak dimasukan.

Penggunaan buku teks pelajaran sejarah oleh guru sebaiknya harus dilengkapi dengan sumber-sumber lainnya. Guru sebagai pengkisah sejarah di kelas tidak hanya mengungkapkan kebenaran sejarah dalam satu versi saja sebagaimana yang ada dalam buku teks yang ia gunakan. Penggunaan sumber-sumber lainnya amatlah penting agar dapat memberikan wawasan yang luas kepada siswa tentang historiografi Indonesia. Dengan demikian kebenaran historiografi tidak bersifat tunggal. Kebenaran historiografi menjadi ajang diskusi yang dapat berkembang secara terus menerus berdasarkan hasil-hasil penelitian sejarah.

Kesimpulan

Buku teks pelajaran di sekolah merupakan salah satu hasil dari historiografi. Penulisan buku teks pelajaran sejarah bersumber dari kurikulum atau standar isi. Penulis buku teks akan mencoba memberikan interpretasinya bagaimana materi itu diuraikan berdasarkan patokan atau rambu-rambu yang ada dalam standar isi yaitu Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar KD). Akibat yang terjadi adalah historiografi pada buku teks pelajaran sejarah merupakan deskripsi subjektif dari otak penulis buku. Hal yang dikhawatirkan adalah ketika buku ini dibaca oleh guru dan dipahami secara verbalistik tidak bersifat kritis. Pemahaman seperti ini hanya akan berdampak pada terjadinya transfer of knowledge saja isi tulisan buku teks kepada otak guru. Apabila ini langsung disampaikan oleh guru kepada siswa akan terjadu pula transfer of knowledge pengetahuan guru kepada siswa. Sedangkan secara ideal guru harus mampu memberikan interpretasi dan mengembangkan materi yang ada pada buku karena tuntutan dalam Kurikulum Satuan Pendidikan (KTSP). Jangan sampai guru mengajarkan otaknya penulis buku. Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh guru dalam memahami isi buku teks pelajaran adalah dengan pendekatan historiograf. Dengan pendekatan ini, diharapkan guru dapat bersikap kritis dan analitis dalam membaca isi materi pelajaran yang tercantum dalam buku teks.

Daftar Pustaka

Agus Mulyana & Darmiasti (2009), Historiografi Di Indonesia Dari Magis-Religius Hingga Strukturis, Bandung : Refika Utama.

Bambang Purwanto, (2006), Gagalnya Historiografi Indonesiasentris ?, Yogyakarta : Ombak.

Ella Yulaelawati, et. al., (1994), Penulisan Bahan-Bahan Pelajaran Buku acuan bagi para penulis bahan-bahan pelajaran dan buku-buku paduan guru, Jakarta : Depdikbud.

Helius Sjamsuddin, “Penulisan Buku Teks dan Sejarah Lokal”, dalam Agus Mulyana & Restu Gunawan, (2007), Sejarah Lokal Penulisan dan Pembelajaran di Sekolah, Bandung ; Salameena Press.

Helius Sjamsuddin, (2007), Metodologi Sejarah, Yogyakarta : Ombak.

Henk Schulte Norddholt, Bambang Purwanto dan Ratna Hapsari et. al. “Memikir Ulang Historiografi Indonesia” dalam Henk Schulte Nordholt, , ed. (2008), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta : KITLV.

Ismaun (2005), Pengantar Belajar Sejarah Sebagai Ilmu dan Wahana Pendidikan, Bandung : Historia Utama Press.

Kuntowijoyo, (2008), Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), Yogyakarta : Tiara Wacana.

Susanto Zuhdi,”Historiografi Lokal Di Indonesia Suatu Tinjauan Umum”, dalam Agus Mulyana & Restu Gunawan, (2007), Sejarah Lokal Penulisan dan Pembelajaran di Sekolah, Bandung : Salameena Press.

Taufik Abdullah,”Di Sekitar Penelitian Sejarah Lokal”, dalam Agus Mulyana & Restu Gunawan (2007), Sejarah Lokal Penulisan dan Pembelajaran di Sekolah, Bandung : Salameena Press.

*) Disajikan Dalam Seminar Nasional “Mendekonstruksi Permasalahan Pembelajaran Sejarah Di Sekolah’, Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI pada tanggal 19 Oktober 2009.

[1] Helius Sjamsuddin, “Penulisan Buku Teks dan Sejarah Lokal”, dalam Agus Mulyana & Restu Gunawan, (2007), Sejarah Lokal Penulisan dan Pembelajaran di Sekolah, Bandung ; Salameena Press, hlm. 195.

[2] Ella Yulaelawati, et. al., (1994), Penulisan Bahan-Bahan Pelajaran Buku acuan bagi para penulis bahan-bahan pelajaran dan buku-buku paduan guru, Jakarta : Depdikbud, hlm. 4.

[3] Helius Sjamsuddin, (2007), Metodologi Sejarah, Yogyakarta : Ombak, hlm. 155.

[4] Bambang Purwanto, (2006), Gagalnya Historiografi Indonesiasentris ?, Yogyakarta : Ombak, hlm. 3.

[5] Kuntowijoyo, (2008), Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), Yogyakarta : Tiara Wacana, hlm. 16.

[6] Susanto Zuhdi,”Historiografi Lokal Di Indonesia Suatu Tinjauan Umum”, dalam Agus Mulyana & Restu Gunawan, (2007), Sejarah Lokal Penulisan dan Pembelajaran di Sekolah, Bandung : Salameena Press, hlm. 115.

[7] Kuntowijoyo, Op. Cit., hlm. 2.

[8] Ibid, hlm. 3.

[9] Ibid, hlm. 4.

[10] Ismaun (2005), Pengantar Belajar Sejarah Sebagai Ilmu dan Wahana Pendidikan, Bandung : Historia Utama Press, hlm. 21-25.

[11] Taufik Abdullah,”Di Sekitar Penelitian Sejarah Lokal”, dalam Agus Mulyana & Restu Gunawan (2007), Sejarah Lokal Penulisan dan Pembelajaran di Sekolah, Bandung : Salameena Press, hlm. 21.

[12] Agus Mulyana & Darmiasti (2009), Historiografi Di Indonesia Dari Magis-Religius Hingga Strukturis, Bandung : Refika Utama, 79-82.

[13] Henk Schulte Norddholt, Bambang Purwanto dan Ratna Hapsari et. al. “Memikir Ulang Historiografi Indonesia” dalam Henk Schulte Nordholt, , ed. (2008), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Jakarta : KITLV, hlm. 24.

Comments are closed.