Pembangunan Pendidikan Dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Oleh: Didin Saripudin

Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

* ­­ Makalah disajikan dalam International Seminar on Lifelong Education (ISLE), Tanggal 22-23 Agustus 2008  di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Abstrak

Pertumbuhan pendidikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi mempengaruhi petumbuhan pendidikan. Di negara-negara maju, perhatian pemerintahnya terhadap pembangunan sektor pendidikan sangat besar, misalnya komitmen politik anggaran sektor pendidikan tidak kalah dengan sektor lainnya, sehingga keberhasilan investasi pendidikan berkorelasi dengan kemajuan pembangunan makronya. Belajar dari beberapa negara maju  pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah strategis dalam upaya membangun pendidikan nasional. Investasi di bidang pendidikan secara nyata akan mendorong kemajuan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan sosial.

Hubungan Pendidikan dengan Kehidupan Ekonomi

Hasil penelitian memperlihatkan adanya hubungan yang ajeg dan positif antara derajat pendidikan dengan kehidupan ekonomi, dalam arti makin tinggi derajat pendidikan makin tinggi pula derajat kehidupan ekonomi. Meskipun demikian, tidak jelas faktor mana yang muncul lebih dulu, apakah perkembangan pendidikan yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi ataukah sebaliknya. Terhadap permasalahan ini ternyata banyak bukti yang menunjukkan bahwa antara keduanya terdapat hubungan saling mempengaruhi, yaitu bahwa pertumbuhan pendidikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi mempengaruhi petumbuhan pendidikan (Bowles dan Gintis 1976, Adiwikarta 1988, Saripudin 2005). Dalam kebijaksanaan pembangunan  kita gunakan asumsi bahwa keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi dapat digunakan untuk pembangunan bidang lain, termasuk pendidikan.

Selanjutnya, para penganut teori konsensus dan penganut teori konflik sepakat bahwa fungsi utama institusi pendidikan dalam kaitan dengan kehidupan ekonomi ini adalah mempersiapkan pemuda pemudi untuk mengisi lapangan kerja produktif (Parelius, 1978 : 50). Dalam hal mengenai pendidikan orang dewasa, tujuan yang hendak dicapai tentu bukan lagi mempersiapkan kemampuan, melainkan meningkatkannya agar peserta didik dapat mampu menghadapi permasalahan yang ada pada saat itu (Knowles, 1982 : 53). Untuk itu mereka mendapat pendidikan mental, sikap, pengetahuan dan keterampilan yang bermanfaat. Proses tersebut terjadi pada semua masyarakat mulai dari yang paling tradisional sampai pada yang paling modern.

Ketiga lembaga penyelenggara pendidikan, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat, masing-masing melakukan peran yang berlainan tetapi saling melengkapi. Fungsi tiap lembaga tersebut pada masyarakat yang masih tradisional tentu berbeda pula pada masyarakat yang telah maju, karena tuntutan masyarakat yang dilayaninya telah lain pula.

Pada masyarakat tradisional, keluarga memegang peranan utama dalam menyiapkan generasi muda untuk menjadi manusia mandiri.Orang tua dan orang dewasa lain dalam keluarga tradisional berfungsi mengasuh berbagai keterampilan dan berbagai tradisi. Pada masyarakat modern, keluarga menyerahkan sejumlah fungsinya dalam pendidikan kepada lembaga-lembaga lain yang khusus bertugas menangani tugas itu. Orang tua dan keluarga membatasi kegiatannya pada pengasuhan dasar dan kerjasama dengan sekolah dalam mendorong anak dan mengawasi pendidikan mereka.

Sementara itu, pada masyarakat modern, sekolah berperan mempersiapkan tenaga kerja yang memiliki pengetahuan dan keahlian khusus untuk menjawab tantangan spesialisasi yang semakin luas dan tajam. Sekolah menjadi terbuka untuk masyarakat luas. Prinsip “equal opportunity” dalam pendidikan makin merupakan kenyataan, meskipun masih mengandung banyak persoalan yang hangat. Sekolah yang elitis berubah menjadi “populis” melalui program wajib belajar. Dengan sendirinya materi pengajaran dan metode mengajar yang diselenggarakan pada masyarakat modern akan berlainan dengan yang diselenggarakan pada masyarakat dengan sistem ekonomi tradisional. Dalam pada itu, fungsi selektif dan alokatifnya pun tentu memiliki perbedaan-perbedaan pula. Sekolah bersama keluarga berperan menyiapkan anak dan pemuda untuk memangku jabatan dan lapangan kerja yang bervariasi.

Tabel 1

Peran Pelaksana Pendidikan Pada Masyarakat Tradisional dan Modern Dalam Hubungan Kehidupan Ekonomi

 

Lingkuangan Pendidikan Ekonomi Tradisional Ekonomi Modern
Keluarga Memegang peran utama dalam menyiapkan anak agar secepat mungkin mampu melaksanakan ekonomi orang dewasa (keterampilan, mental, nilai, sikap) –    Melakukan pengasuhan dasar

–    Menyerahkan pendidikan pada saat anak berusia tertentu kepada sekolah

–    Mendorong, membantu, mengawasi anak pada sistem sekolah

 

Sekolah –       mempersiapkan golongan elite dengan kemampuan dasar (baca, tulis, hitung)

–       Fungsi selektif

–       Fungsi alokatif

–    Menyaipkan ahli dalam berbagai bidang kehidupan

–    Fungsi Selektif

–    Fungsi Alokatif

Masyarakat –       Menyediakan model untuk ditiru

–       Menyelenggarakan latihan magang

–       Menyelenggarakan upacara inisiasi

–    Menyelenggarakan pendidikan orang dewasa secara terorganisisr

–    Menyediakan media komunikasi

–    Menyediakan arena kompetisi

 

Sumber: Adiwikarta (1988: 46-47)

Akhirnya perlua ditegaskan lagi bahwa antara pendidikan dengan sistem ekonomi terdapat huibungan dua arah. Dalam masyarakat yang memiliki taraf  kehidupan ekonomi yang baik, potensi pengembangan pendidikan itu lebih besar kerena orang-orang telah lebih siap dan lebih banyak dana tersedia. Pendidikan, pekerjaan dan pendapatan merupakan komponen-komponen utama dari definisi operasional dari status kelas sosial atau status sosio ekonomi dan bahwa terdapat suatu korelasi tinggi di antara mereka (Miflen, 1986: 242).

 Hubungan Pendidikan dengan Pertumbuhan Ekonomi

Pendidikan secara universal berarti upaya pengubahan manusia menjadi lebih cerdas, yang dalam konsep filsafat pendidikan Indonesia dinyatakan bahwa pendidikan ialah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun kecerdasan di sini jangan ditafsirkan sebagai kecerdasan kognitif atau intelektual belaka, tapi kecerdasan manusia yang seutuhnya, kecerdasan total manusia dalam berbagai bidang kehidupannya.

Modal fisik, tenaga kerja dan kemajuan teknologi adalah tiga faktor pokok masukan (input) dalam produksi pendapatan nasional. Semakin besar jumlah tenaga kerja (yang berarti laju pertumbuhan penduduk tinggi) semakin besar pendapatan nasional dan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi.  Di negara berkembang dan terbelakang, laju pertumbuhan penduduk lebih tinggi daripada di negara maju.  Meski demikian, umumnya, tingkat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi di negara maju.  Kenapa demikian? Jawabnya adalah: kedua faktor selain tenaga kerja, sangat berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi. Studi yang dilakukan Prof ekonomi dari Harvard Dale Jorgenson et al. (1987) pada ekonomi Amerika Serikat dengan rentang waktu 1948-1979 misalnya menunjukkan bahwa 46 persen pertumbuhan ekonomi adalah disebabkan pembentukan modal (capital formation), 31 persen disebabkan pertumbuhan tenaga kerja dan modal manusia serta 24 persen disebabkan kemajuan teknologi.

Menurut Elwin Tobing (http://www.theindonesianinstitute.org/janeducfile.htm) Dewasa ini berkembang paling tidak tiga perspektif secara teoritis yang menjelaskan hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi, yakni teori modal manusia, teori alokasi dan teori reproduksi strata sosial.

Teori modal manusia menjelaskan proses dimana pendidikan memiliki pengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi.  Teori ini mendominasi literatur pembangunan ekonomi dan pendidikan pada pasca perang dunia kedua sampai pada tahun 70-an.  Termasuk para pelopornya adalah pemenang hadian Nobel ilmu ekonomi Gary Becker dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, Edward Denison dan Theodore Schultz, juga pemenang hadiah nobel ekonomi atas penelitiannya tentang masalah ini. Argumen yang disampaikan pendukung teori ini adalah manusia yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, yang diukur juga dengan lamanya waktu sekolah, akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibanding yang pendidikannya lebih rendah.  Apabila upah mencerminkan produktivitas, maka semakin banyak orang yang memiliki pendidikan tinggi, semakin tinggi produktivitas dan hasilnya ekonomi nasional akan bertumbuh lebih tinggi. Pada tahun 70-an, teori ini mendapat kritik tajam.  Argumen yang disampaikan adalah tingkat pendidikan tidak selalu sesuai dengan kualitas pekerjaan, sehingga orang yang berpendidikan tinggi ataupun rendah tidak berbeda produktivitasnya dalam menangani pekerjaan yang sama.  Juga ditekankan bahwa dalam ekonomi modern sekarang ini, angkatan kerja yang berkeahlian tinggi tidak begitu dibutuhkan lagi karena perkembangan teknologi yang sangat cepat dan proses produksi yang semakin dapat disederhanakan.

Dengan demikian, orang berpendidikan rendah tetapi mendapat pelatihan (yang memakan periode jauh lebih pendek dan sifatnya noon formal) akan memiliki produktivitas relatif sama dengan orang berpendidikan tinggi dan formal.  Argumen ini diformalkan dalam suatu teori yang dikenal dengan teori alokasi atau persaingan status yang mendapat dukungan dari  Meyer (1977) dan  Collins (1979).

Teori persaingan status ini memperlakukan pendidikan sebagai suatu lembaga sosial yang salah satu fungsinya mengalokasikan personil secara sosial menurut strata pendidikan.  Keinginan mencapai status lebih tinggi menggiring orang untuk mengambil pendidikan lebih tinggi.  Meskipun orang-orang berpendidikan tinggi memiliki proporsi lebih tinggi dalam pendapatan nasional, tetapi peningkatan proporsi orang yang bependidikan lebih tinggi dalam suatu bangsa tidak akan secara otomatis meningkatkan ekspansi ataupun pertumbuhan ekonomi.

Akan halnya teori pertumbuhan kelas atau strata sosial berargumen bahwa fungsi utama pendidikan adalah menumbuhkan struktur kelas dan ketidakseimbangan sosial.  Pendidikan pada kelompok elit lebih menekankan studi-studi tentang hal-hal klasik, kemanusiaan dan pengetahuan lain yang tidak relevan dalam pembangunan ekonomi masyarakat.  Sementara pendidikan untuk rakyat kebanyakan diciptakan sedemikian rupa untuk melayani kepentingan kelas yang dominan.  Hasilnya, proses pertumbuhan kelas menghambat kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi.  Ini didukung antara lain oleh  Bowles dan  Gintis (1976).

Menurut Amich Alhumami (http:// www.kompas.com/ kompas-cetak/ 0505/ 03/ opini/ 1724824. htm), pendidikan memberi kontribusi secara signifikan terhadap pembangunan ekonomi telah menjadi kebenaran yang bersifat aksiomatik. Berbagai kajian akademis dan penelitian empiris telah membuktikan keabsahan tesis itu. Buku terakhir William Schweke, Smart Money: Education and Economic Development (2004), sekali lagi memberi afirmasi atas tesis ilmiah para scholars terdahulu, bahwa pendidikan bukan saja akan melahirkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta menguasai teknologi, tetapi juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi.Karena itu, investasi di bidang pendidikan tidak saja berfaedah bagi perorangan, tetapi juga bagi komunitas bisnis dan masyarakat umum. Pencapaian pendidikan pada semua level niscaya akan meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan welfare dependency yang menjadi beban sosial politik bagi pemerintah.

Pada saat sekarang ini paradigma pembangunan yang merujuk knowledge-based economy tampak kian dominan. Paradigma ini menegaskan tiga hal. Pertama, kemajuan ekonomi dalam banyak hal bertumpu pada basis dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, hubungan kausalitas antara pendidikan dan kemajuan ekonomi menjadi kian kuat dan solid. Ketiga, pendidikan menjadi penggerak utama dinamika perkembangan ekonomi, yang mendorong proses transformasi struktural berjangka panjang. Sebagai ilustrasi, Jepang adalah negara Asia pertama yang menjadi pelopor pembangunan perekonomian berbasis ilmu pengetahuan. Setelah Jepang, menyusul negara-negara Asia Timur lain seperti Singapura, China, Taiwan, Hongkong, dan Korea Selatan.

Tidak diragukan lagi, salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi di Korea adalah komitmen yang kuat dalam membangun pendidikan. Berbagai studi menunjukkan, basis pendidikan di Korea memang amat kokoh. Pemerintah Korea mengambil langkah-langkah ekspansif antara 1960-an dan 1990-an guna memperluas akses pendidikan bagi segenap warga negara. Program wajib belajar pendidikan dasar (universal basic education) sudah dilaksanakan sejak lama dan berhasil dituntaskan tahun 1965, sementara Indonesia baru mulai tahun 1984. Sedangkan wajib belajar jenjang SLTP berhasil dicapai tahun 1980-an; dan jenjang SLTA juga hampir bersifat universal pada periode yang sama. Yang menakjubkan, pada jenjang pendidikan tinggi juga mengalami ekspansi besar-besaran; lebih dari setengah anak-anak usia sekolah pada level ini telah memasuki perguruan tinggi.

Komitmen Pemerintah Korea terhadap pembangunan pendidikan itu tercermin pada public expenditure. Pada tahun 1959, anggaran untuk pendidikan mencapai 15 persen dari total belanja negara, guna mendukung universal basic education dan terus meningkat secara reguler menjadi 23 persen tahun 1971. Setelah program ini sukses, Pemerintah Korea mulai menurunkan anggaran pendidikan pada kisaran antara 14 sampai 17 persen dari total belanja negara atau sekitar 2,2 sampai 4,4 persen dari GNP. Menyadari bahwa pendidikan dasar merupakan bagian dari public good, tercermin pada social return lebih tinggi dibanding private return, maka Pemerintah Korea mengalokasikan anggaran untuk pendidikan dasar jauh lebih besar dibanding level menengah dan tinggi.

Penting dicatat, selain faktor basis pendidikan yang lebih kuat, kelas menengah ekonomi di Korea juga terbentuk dengan baik dan mapan. Pada dekade antara 1960-an dan 1980-an, kalangan pengusaha Korea telah membangun hubungan dagang dan membuka akses pasar ke negara-negara kawasan seperti Jepang, bahkan telah menyeberang ke Amerika dan Eropa. Korea sukses melakukan inovasi teknologi (otomotif dan elektronik) karena memperoleh transfer teknologi melalui hubungan dagang dengan negara-negara maju tersebut.

Bercermin pada pengalaman Korea, Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah strategis dalam upaya membangun pendidikan nasional. Investasi di bidang pendidikan secara nyata berhasil mendorong kemajuan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan sosial.

Untuk itu, investasi di bidang pendidikan harus didukung pembiayaan memadai, terutama yang diperuntukkan bagi penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Mengikuti agenda Millenium Development Goals (MDGs), tahun 2015 Pemerintah Indonesia harus menjamin bahwa seluruh anak usia sekolah dasar akan memperoleh pendidikan dasar. Bersamaan dengan itu, akses ke pendidikan menengah dan pendidikan tinggi juga harus diperluas, guna mendukung upaya menciptakan knowledge society yang menjadi basis akselerasi pembangunan ekonomi di masa depan.

Pendidikan perlu juga memperhatikan kesempatan perempuan dalam mengaksesnya. Pendidikan adalah salah satu jalan menjadikan perempuan menjadi agen perubahan, bukan sekadar penerima pasif program pemberdayaan. Seperti yang disebutkan Amartya Sen, pendidikan menjadi salah satu faktor yang memungkinkan perempuan memiliki independensi ekonomi dengan bekerja di luar kerja di rumahnya. Independensi ekonomi ini membuat perempuan memiliki suara di dalam rumah maupun di masyarakat, antara lain dalam mengatur pembagian “harta” keluarga seperti makanan, biaya kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Dan perempuan yang memiliki sumber penghasilan di tangannya, cenderung membelanjakan penghasilan itu untuk kesejahteraan anak-anaknya, generasi penerus bangsa.

Untuk memberikan perempuan kesempatan yang lebih besar bisa menikmati pendidikan, pemerintah harus menjalankan perannya secara aktif. Letak sekolah, misalnya, harus sedekat mungkin dengan desa atau kecamatan. Baju seragam mungkin tidak perlu lagi, karena harga baju seragam yang bisa lebih mahal untuk anak perempuan bisa jadi penghalang orangtua menyekolahkan anak perempuannya. Program beasiswa yang mengutamakan anak perempuan juga bisa menjamin tidak melebarnya kesenjangan jender dalam pendidikan. Tentu saja, affirmative action ini akan selalu ditinjau agar laki-laki dan perempuan mendapatkan keadilan dan kesetaraan.

Schultz (1974) dan Deninson (1962) kemudian memperlihatkan bahwa pembangunan sektor pendidikan dengan manusia sebagai fokus intinya telah memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan cara pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.

Alasan utama dari perubahan pandangan ini adalah adanya pertumbuhan minat dan interest selama tahun 1960-an mengenai nilai ekonomi dari pendidikan. Pada tahun 1962, Bowman, mengenalkan suatu konsep “revolusi investasi manusia di dalam pemikiran ekonomis”. Para peneliti lainya seperti Deninson (1962), Becker (1969) dan yang lainya turut melakukan pengujian terhadap teori human capital ini. Perkembangan tersebut telah memengaruhi pola pemikiran berbagai pihak, termasuk pemerintah, perencana, lembaga-lembaga internasional, para peneliti dan pemikir modern lainnya, serta para pelaksana dalam pembangunan sektor pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM).

Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital investment) dan menjadi “leading sektor” atau salah satu sektor utama. Oleh karena perhatian pemerintahnya terhadap pembangunan sektor ini sungguh-sungguh, misalnya komitmen politik anggaran sektor pendidikan tidak kalah dengan sektor lainnya, sehingga keberhasilan investasi pendidikan berkorelasi dengan kemajuan pembangunan makronya.

Pada tahun 1970-an, penelitian-penelitian mengenai hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi sempat mandeg karena timbulnya kesangsian mengenai peranan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi di beberapa negara, khususnya di Amerika Serikat dan negara berkembang yang menerima bantuan dari Bank Dunia pada waktu itu. Kesangsian ini timbul, antara lain karena kritik para sosiolog pendidikan diantaranya  Becker (1964) mengatakan bahwa teori human capital ini lebih menekankan dimensi material manusia sehingga kurang memperhitungkan manusia dari dimensi sosio budaya. Kritik Becker ini justru membuka persepektif dari keyakinan filosofis bahwa pendidikan tidak pula semata-mata dihitung sebagai investasi ekonomis tetapi lebih dari itu dimensi sosial, budaya yang berorentasi pada dimensi kemanusiaan merupakan hal yang lebih penting dari sekedar investasi ekonomi. Karena pendidikan harus dilakukan oleh sebab terkait dengan kemanusiaan itu sendiri (human dignity).

Penelitian Hick (1980), Wheeler (1980), dan beberapa peneliti neoklasik lain, telah dapat menyakinkan kembali secara ilmiah akan pentingnya manusia yang terdidik menunjang pertumbuhan ekonomi secara langsung bahkan seluruh sektor pembangunan makro lainnya. Atas dasar keyakinan ilmiah itulah akhirnya Bank Dunia kembali merealisasikan program bantuan internasionalnya ke berbagai negara. Kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ini menjadi semakin kuat setelah memperhitungkan efek interaksi antara pendidikan dan investasi fisik lainnya (Psacharopoulos, 1984). Artinya, investasi modal fisik akan berlipat ganda nilai tambahnya di kemudian hari jika pada saat yang sama dilakukan juga investasi SDM, yang secara langsung akan menjadi pelaku dan pengguna dalam investasi fisik tersebut.

Sekarang diakui bahwa pengembangan SDM suatu negara adalah unsur pokok bagi kemakmuran dan pertumbuhan dan untuk penggunaan yang efektif atas sumber daya modal fisiknya. Investasi dalam bentuk modal manusia adalah suatu komponen integral dari semua upaya pembangunan. Pendidikan harus meliputi suatu spektrum yang luas dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.

 Pembangunan Sumber Daya Manusia

Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, mutu pendidikan di Indonesia masih rendah, seperti dilaporkan Human Development Index (HDI). Laporan HDI tahun 2003 menunjukkan, Indonesia pada urutan ke-112 (0,682) dari 175 negara. Posisi ini jauh di bawah Singapura yang ada di posisi ke-28 [0,888), Brunei Darussalam ke-31 (0,872), Malaysia ke-58 (0,790), Thailand ke-74 (0,768), dan Filipina ke-85 (0,751). Meski laporan HDI bukan hanya mengukur status pendidikan (tetapi juga ekonomi dan kesehatan), namun ia merupakan dokumen rujukan yang valid guna melihat tingkat kemajuan pembangunan pendidikan di suatu negara.

Dalam kenyataannya, sekarang ini masih ada banyak siswa miskin tidak dapat menikmati pendidikan dasar. Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Fasli Jalal, masih ada belasan juta anak usia sekolah yang tidak terlayani pendidikannya. Masih ada 1.422.141 anak di usia 7-12 tahun, 5.801.122 pada usia 13-15 tahun, dan 911.394 anak di usia 16-18 yang tidak dilayani pendidikannya (Kompas, 13 Oktober 2003). Inilah yang kiranya perlu diperhatikan oleh pemerintah dan juga wakil rakyat yang memenangi pemilihan umum (pemilu), bagaimana mereka dapat bersekolah.

Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, dalam tuntutan modernisasi dan globalisasi, pendidikan yang bermutu adalah suatu kebutuhan yang semakin penting agar mereka survival dalam persaingan yang semakin ketat. Kebutuhan akan pentingnya pendidikan yang bermutu telah disejajarkan dengan kebutuhan primer lainnya seperti sandang, pangan, dan papan. Tanpa pendidikan, yang bermutu mereka akan tetap tertinggal dan berada dalam strata sosial paling bawah. Timbulnya semangat para orang tua khususnya dari masyarakat strata bawah untuk menyekolahkan anaknya sampai ke tingkat pendidikan yang paling tinggi dan berkualitas adalah suatu sikap yang harus didukung oleh semua pihak. Namun semangat ini kandas dalam ketidak berdayannya akibat tidak tejangkaunya biaya pendidikan yang berkualitas.

Pemerintah telah melakukan upaya peningkatan mutu, khususnya bagi sekolah negeri akan tetapi pelaksanaannya kurang merata. Jika ada pelaksanaan pelatihan atau penataran guru, hanya guru tertentu yang diikut sertakan. Jika ada pengadaan peralatan pendidikan, hanya sekolah-sekolah tertentu yang mendapatkannya. Semua ini dilaksanakan tanpa studi yang faktual, objektif, dan terinci. Hal ini merupakan, suatu titik terang perlu mendapat kajian lebih dalam sehingga pemerataan pendidikan yang bermutu dapat terwujud. Sering terjadi bahwa sekolah-sekolah swasta kurang diperhatikan oleh pemerintah, baik dalam peningkatan mutu guru maupun sarana dan prasarana lainnya Lemanya pengawasan terhadap standar mutu dan pengaturan/penentuan berbagai tarif, baik itu uang sekolah/kuliah, uang pembangunan, maupun bentuk kutipan lainnya merupakan benang merah yang harus dicarikan solusinya.

Kenyataan menunjukkan pemerataan pendidikan yang bermutu dan terjangkau khususnya pendidikan menengah dan pendidikan tinggi masih perlu dipertanyakan. Banyak sekolah atau perguruan tinggi yang bermutu, baik negeri maupun swasta dipadati oleh anak-anak dari golongan ekonomi atas. Kenyataan, setiap tahun ajaran baru tiba permasalahan lama untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu yang umumnya menghantui pikiran kebanyakan orang tua, khususnya orang tua yang berasal dari ekonomi menengah ke bawah. Keterbatasan daya tampung pendidikan yang diselenggarakan pemerintah membuat persaingan semakin ketat sehingga tidak tertutup kemungkinan terjadi praktek di luar norma yang telah ditentukan.

Pendidikan memang diharapkan dapat melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas. Jika tidak, maka sektor ini juga akan menyumbang pada terjadinya pengangguran. Ada paling tidak tiga model perencanaan di bidang pendidikan dikaitkan dengan kemanfaatannya. Pertama, pendidikan direncanakan atas dasar social demand approach. Dalam pendekatan ini program pendidikan memang dibuat atas dasar permintaan yang ada di dalam masyarakat.Masyarakat ingin sekolah, kemudian ditawarkanlah berbagai program pendidikan kepada mereka. Jika masyarakatnya mampu berpikir rasional, pendekatan ini tidak menjadi masalah. Tetapi manakala masyarakat selalu mau masuk ke satuan pendidikan, meskipun tidak bermutu, hasilnya tidak akan banyak membantu pada persoalan pengangguran. Masyarakat yang tidak kritis akan lebih mementingkan ijazah daripada kompetensi. Bahkan beli ijazah pun bisa jadi. Kondisi ini sudah menghinggapi beberapa anggota masyarakat dan juga para pejabat kita yang suka membeli gelar demi gengsi. Dalam budaya seperti ini, jelas sekali bahwa proses pendidikan akan berkontribusi pada penganggur semata. Para lulusan satuan pendidikan yang tujuan sekolahnya hanya untuk mendapatkan gelar dan ijazah, hasil pendidikan yang mereka peroleh tidak akan mampu menolong diri mereka sendiri ketika menghadapi persoalan pengangguran.

Model perencanaan pendidikan yang kedua dapat dilakukan dengan economic return approach. Dalam pendekatan ini pendidikan dapat dianalogikan dengan proses produksi. Dengan menghitung berbagai ongkos yang terlibat dalam program pendidikan (input-proses-produk) dan kemudian melihat produktivitas para lulusan, maka dapat dikatakan apakah sebuah program pendidikan akan hanya berkontribusi pada penganggur atau memang mampu menghasilkan sumber daya manusia yang benar-benar memiliki dampak ekonomi secara positif. Dalam model ini pendidikan memang harus bisa menjaga relevansi dan akuntabilitas program yang ditawarkan. Ketika para lulusan tidak bisa berperan dalam dunia kerja yang biasanya ditandai dari rendahnya gaji mereka, atau bahkan tidak bisa mendapatkan pekerjaan, maka pendidikan yang sedang dilakukan oleh lembaga pendidikan tersebut dapat dikatakan gagal, dan dengan demikian hanya akan berkontribusi pada semakin banyaknya penganggur.

Saat ini banyak program pendidikan yang tidak mampu memberikan keuntungan ekonomik bagi upaya investasi yang telah dilakukan oleh penyelenggaranya. Lulusan yang tidak memiliki produktivitas tentu akan berkontribusi pada penganggur. Terlebih-lebih di negeri ini sulit untuk menghapus program pendidikan yang memang jelas-jelas tidak mampu meluluskan lulusannya dengan produktivitas yang memadai di masyarakat. Bahkan tidak jarang pendidikan itu sendiri justru merupakan bagian dari tempat untuk sekadar mencari nafkah bagi penyelenggaranya. Pendidikan yang seperti ini yang memperburuk keadaan pengangguran di negeri ini. Bahkan ada gejala bahwa sekolah menolak gerakan-gerakan yang pro pada kualitas. Sebagai bukti empirik, dengan ujian nasional yang mematok nilai standar minimal 5,25 (tahun 2008) untuk pendidikan dasar dan menengah banyak sekolah dan anggota masyarakat yang protes. Protes mereka sebenarnya tidak berada pada alasan demi pendidikan. Tetapi lebih untuk menjaga kelestarian sekolah-sekolah mereka yang memang terancam oleh banyaknya siswa yang tidak lulus jika standar nilai itu diberlakukan. Kalau banyak anak yang tidak lulus, maka sekolah itu terancam tidak laku. Ketika sekolah dan masyarakat tidak pro kualitas, maka lulusan mereka tidak memiliki economic return sama sekali, dan dengan demikian pendidikan yang seperti itu akan berkontribusi pada semakin meningkatnya penganggur kita. Oleh karena itu, dalam jangka panjang persoalan kualitas lulusan harus menjadi kepentingan semua pihak, baik sekolah, orangtua, pemerintah, maupun masyarakat pada umumnya. Kualitas sekolah kita pada saat ini sudah memasuki lampu kuning. Untuk mengatasinya perlu dukungan dari semua stake holder secara sinergis.

Pendekatan perencanaan pendidikan yang ketiga, dapat dilakukan dengan menggunakan employment generation approach. Dengan pendekatan ini diharapkan memang pendidikan tidak akan berkontribusi pada terjadinya penganggur. Program ini hanya dapat dilakukan ketika ada profesionalisme dalam dunia pendidikan. Kompetensi lulusan menjadi lebih penting dari pada sekadar memiliki ijazah. Implikasinya pendidikan harus mampu memberikan pengalaman yang bermakna pada semua peserta didik.

Oleh karena itu, semua yang terlibat dalam proses pendidikan harus memiliki profesionalisme yang tinggi. Di samping itu pendidikan harus diberdayakan sesuai dengan ciri-ciri terjadinya profesionalisme, yang antara lain meliputi: (1) harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat; (2) harus berdasarkan atas kompetensi individual (bukan atas dasar kolusi dan nepotisme); (3) memiliki sistem seleksi dan sertifikasi; (4) ada kerja sama dan kompetisi yang sehat antar sejawat; (5) adanya kesadaran profesional yang tinggi; (6) memiliki prinsip-prinsip etik (kode etik); (7) memiliki sistem sanksi profesi; (8) adanya militansi individual; dan (9) memiliki organisasi profesi.

Pengembangan kurikulum di sekolah belum tentu didukung oleh kualitas guru. Kompetensi mengajar para guru belum merata. Peningkatan mutu pendidikan tidak cukup dengan pembenahan di bidang kurikulum. Program sertifikasi guru seperti yang diamanatkan dalam UU Guru dan Dosen, bolehlah mencuatkan harapan untuk peningkatan mutu guru. Namun, harapan itu tidak serta-merta tercapai karena program itu sendiri belum juga terealisasi dengan baik.

Pendidikan dan Dunia Kerja

Di Indonesia kira-kira 15 tahun terakhir, semakin banyak lulusan universitas yang menganggur. Data Kompas (4/3/1997) menunjukkan, tahun 1989 dan 1995 laju peningkatan jumlah penganggur lulusan perguruan tinggi adalah 22,73 persen per tahun (SLTP dan SLTA 14,97 persen; SD dan putus sekolah 29,70 persen). Dari laju penganggur lulusan PT 22,73 persen, jumlah penganggur lulusan universitas tertinggi di antara lulusan PT bentuk lainnya (seperti akademi), yaitu 61.007 orang (1989) dan 241.413 (1995). Persentase pertumbuhan penganggur lulusan universitas terhadap total angkatan kerja menempati posisi tertinggi kedua setelah lulusan SMA, 10,93 persen tahun 1989 (SMA, 16,87 persen) dan 12,36 persen tahun 1995 (SMA, 18,09 persen). Sejak 1997 sampai 2004, jumlah penganggur terbuka di Indonesia terus menanjak: dari 4,18 juta jiwa menjadi kurang lebih 11,35 juta orang. Dari jumlah itu, sebagian besar dialami oleh generasi usia muda. Ini berarti bahwa sebagian besar angkatan muda kita yang termasuk dalam kelompok angka penganggur terbuka itu tidak memiliki pekerjaan sama sekali. Kehidupan mereka menjadi beban bagi orang lain. Data tahun 2001 memperlihatkan, jumlah penganggur muda di Indonesia mencapai 6,1 juta orang atau sekitar 76 persen dari keseluruhan jumlah penganggur. Tingkat penganggur pada kelompok umur muda sekitar 15 persen di daerah pedesaan dan 25 persen di perkotaan.

Oleh karena itu, dapat ditebak dengan mudah bahwa produktivitas generasi muda kita saat ini amatlah rendah. Kecemasan kita sebagai bangsa saat ini sebenarnya tidak saja dipicu oleh penganggur terbuka itu, tetapi juga pada jumlah penganggur total yang juga semakin meroket. Bahkan jumlah penganggur total saat ini telah mencapai kurang lebih 45 juta jiwa. Hal ini dalam jangka panjang akan menjadi benih yang subur terhadap timbulnya berbagai ketidakstabilan sosial dan politik jika persoalan itu tidak ditangani secara cepat dan tepat. Di seluruh dunia saat ini penganggur usia muda berjumlah kurang lebih 74 juta jiwa. Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan. Departemen Pendidikan Nasional sendiri sudah merintis dan menawarkan pendidikan life skills. Pendidikan yang konsep dasarnya sudah mengandung life skills, akhirnya terasa dipersempit di tingkat implementasinya. Pendidikan life skills dalam praktiknya kemudian banyak diterjemahkan sebagai vokasional skills, yang sebetulnya hanya merupakan salah satu bagiannya saja. Apalagi keinginan untuk memunculkan ide life skills itu memang didorong oleh banyaknya siswa yang putus sekolah dan tidak melanjutkan sekolah, sehingga terpaksa masuk ke dunia kerja. Jika anak-anak yang putus sekolah dan tidak dapat melanjutkan sekolah ini tidak mempunyai keterampilan yang bisa dipakai untuk hidup, maka mereka akan memperpanjang barisan pengangguran.

Mengatasi pengangguran dalam jumlah yang besar tentu tidak mudah. Jika pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 3,3 persen, menurut prediksi Bank Dunia, maka lapangan kerja yang bisa diciptakan hanya sejumlah 1,4 juta. Hal ini menggunakan asumsi setiap pertumbuhan ekonomi satu persen akan mampu menambah lapangan kerja bagi 400.000 orang. Padahal, angkatan kerja setiap tahunnya di negeri ini berjumlah kurang lebih 3 juta jiwa. Ini berarti sejak saat ini angka penganggur akan terus bertambah dengan jumlah paling tidak 1,6 juta orang.

Bahkan yang lebih ironis lagi penganggur di kalangan kaum terdidik pun juga menunjukkan angka yang cukup tinggi. Menurut data dari Badan Pusat Statistik pada 2001 penganggur yang sudah tamat sekolah dasar sampai perguruan tinggi telah mencapai paling tidak 5,8 juta orang. Hingga akhir 2004, tercatat 39,2 juta penganggur dengan sekira 8,5 juta di antaranya pengangguran terbuka. Jumlah penganggur makin banyak, karena tidak seimbangnya antara supply dan demand di dunia kerja.

Jumlah angkatan kerja yang memasuki dunia kerja terus bertambah, sementara peluang kerja baru makin sedikit. Pada 2004, dari 2,54 juta angkatan kerja baru, hanya 1,61 juta yang terserap oleh lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi kuartal I 2005 yang mencapai 6,2% juga tidak mampu menekan angka pengangguran. Sebab, pertumbuhan ekonomi tersebut hanya ditopang pertumbuhan konsumsi, modal dan jasa, sehingga relatif tidak dapat menambah kesempatan kerja. Tentu angka itu untuk saat ini lebih tinggi lagi. Keadaan ini menyebabkan munculnya wacana dan bahkan tuduhan bahwa pendidikan di negeri ini hanya menghasilkan para penganggurAda beberapa penyebab meningkatnya junlah pengangguran di Indonesia, yaitu antara lain:

Munculnya krisis ekonomi

Setelah krisis tahun 1997, data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menunjukkan, jumlah penganggur lulusan universitas cenderung turun naik, tetapi angka absolutnya tetap lebih tinggi daripada penganggur diploma lulusan akademi. Tahun 2000 jumlah penganggur lulusan universitas 277.000 orang (akademi: 184.000); tahun 2001: 289.000 (252.000); 2002: 270.000 (250.000); 2003: 245.000 (200.000); 2004: 348.000 (237.000), dan 2005: 385.418 (322.836).

Merujuk Dradjad Wibowo (Kompas, 8/9/06), krisis ekonomi memengaruhi ketersediaan pekerjaan. Namun, hubungan krisis dengan peningkatan jumlah penganggur lulusan universitas perlu diurai hati-hati. Baik sebelum maupun setelah krisis 1997, tingkat penganggur lulusan universitas selalu lebih tinggi daripada diploma akademi. Tahun 1989 dan 1995, persentase pertumbuhan penganggur lulusan universitas terhadap total angkatan kerja tertinggi kedua setelah lulusan SMA. Dalam rentang 2000-2005, meski angka absolut penganggur lulusan universitas lebih tinggi daripada jumlah penganggur diploma akademi, jumlah penganggur lulusan universitas cenderung turun naik.

Rendahnya kualitas SDM

Tingginya jumlah penganggur lulusan universitas mencerminkan tiadanya konsep pemerintah untuk mengelola dan mendayakan potensi kolektif SDM terdidik. Ada missing link antara proses pembelajaran dan kebijakan pengelolaan universitas, dengan proyeksi pemanfaatan hasil pendidikan tinggi bagi pembangunan masyarakat. Terbatasnya pekerjaan dan gaji serta minimnya fasilitas pengembangan ilmu pascakuliah kiranya bukti absennya konsep pengelolaan SDM terdidik. Tiadanya konsep pemerintah jelas kerugian mengingat mahalnya investasi masyarakat bagi pendidikan tinggi. Alih-alih menjadi pilar kemajuan, sarjana penganggur berpotensi menyulut disharmoni akibat pertimbangan praktis atas investasi. Tingginya jumlah penganggur sarjana mencerminkan kekeliruan orientasi pengelolaan universitas. Selama ini, para pengelola universitas mengarahkan program-program studi pada karakter vokasional dengan tujuan “memenuhi tuntutan pasar kerja”. Orientasi itu kurang tepat. Secara umum gejala lemahnya dasar-dasar intelektualitas mudah dijumpai di kalangan mahasiswa, meliputi ketidakmampuan menalar kritis, mengungkap gagasan, kurang mandiri, dan sebagainya. Kiranya karakter vokasional program studi perlu dikurangi. Tekanan diberikan pada pengolahan dasar-dasar intelektualitas, yang memungkinkan lulusan mempelajari keterampilan terapan manakala dibutuhkan di dunia kerja.

Elwin Tobing berpendapat (http://www.theindonesianinstitute.org/daily041502. htm) meningkatnya pengangguran tenaga terdidik merupakan gabungan beberapa penyebab. Pertama, ketidakcocokan antara karakteristik  lulusan baru yang memasuki dunia kerja (sisi penawaran tenaga kerja) dengan kesempatan kerja yang tersedia (sisi permintaan tenaga kerja). Ketidakcocokan  ini mungkin bersifat geografis, jenis pekerjaan, orientasi status atau masalah keahlian khusus.

Kedua, semakin terdidik seseorang, semakin besar harapannya pada jenis pekerjaan yang aman. Golongan ini menilai tinggi pekerjaan yang stabil daripada pekerjaan yang berisiko tinggi sehingga lebih suka bekerja pada perusahaan  besar daripada membuka usaha sendiri. Hal ini diperkuat hasil studi Clignet (1980) yang menemukan gejala meningkatnya pengangguran terdidik di Indonesia antara  lain disebabkan adanya keinginan memilih pekerjaan yang aman dari risiko. Dengan demikian angkatan kerja terdidik lebih suka memilih menganggur daripada mendapat pekerjaan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.

Ketiga, terbatasnya daya serap tenaga kerja sektor formal sementara angkatan kerja terdidik cenderung memasuki sektor formal yang kurang berisiko. Hal ini menimbulkan tekanan penawaran di mana tenaga kerja terdidik yang jumlahnya cukup besar memberi tekanan kuat terhadap kesempatan kerja di sektor formal yang jumlahnya relatif kecil, sehingga terjadi pendayagunaan tenaga kerja  terdidik yang tidak optimal.

Keempat, belum efisiennya fungsi pasar tenaga kerja.  Di samping faktor  kesulitan memperoleh lapangan kerja, arus informasi tenaga kerja yang tidak sempurna dan tidak lancar menyebabkan banyak angkatan kerja bekerja di luar bidangnya. Hal ini tentu saja berpengaruh pada efektivitas dan efisiensi penggunaan tenaga kerja.

Tingginya tingkat pengangguran di kalangan angkatan kerja terdidik ini dapat berdampak serius pada berbagai dimensi kehidupan. Dari dimensi politik, Huntington (1991) mengatakan, semakin tinggi tingkat pendidikan para pengangggur, semakin gawat kadar tindakan destabilitas yang tercipta. Lulusan perguruan tinggi yang tidak terlibat dalam kegiatan ekonomi dapat mendorong pada perubahan sosial yang cepat. Sementara itu tamatan pendidikan menengah yang tidak bekerja dapat semakin mempergawat kadar ketidak-damaian politik.  Di  Afrika Barat misalnya, banyak kerusuhan dan aksi-aksi politik yang eksplosif didukung oleh para  lulusan dunia pendidikan menengah yang tidak bekerja.

Salah satu yang mendesak adalah pengenalan dan pengimplementasian kewiraswastaan dalam kurikulum pendidikan nasional mulai dari menengah pertama sampai pendidikan tinggi. Ini dengan sendirinya akan mendorong para lulusan sekolah menengah atas untuk tidak bersikap pasif dan putus asa apabila hanya mampu sekolah di tingkat lanjutan atas. Tetapi mereka akan menjadi terangsang dengan berbagai alternatif yang mungkin seperti berusaha dengan pemahaman tentang dunia usaha yang sudah terbentuk sejak di bangku sekolah. Implementasi kewiraswastaan ini tidak hanya proses belajar di kelas, tetapi lebih pada perangsangan dan penggalian ide, pengenalan dunia usaha dan pengetahuan tentang berusaha. Ini kemudian melibatkan dunia usaha dimana baik secara fungsional dan institusi, dunia usaha dapat membantu pengimplementasian program tersebut.

Dalam kewiraswastaan ter-internalize semangat kerjasama, kerja keras dan penghargaan akan waktu. Dengan demikian pengimplementasiaan kewiraswastaan terhadap pendidikan nasional baik menengah dan tinggi dengan secara serius dan melibatkan dunia usaha secara sungguh-sungguh akan mendorong lahirnya generasi penerus yang berwatak kerja keras, memiliki toleransi dan mandiri. Selama Orde Baru, para pelaku dunia usaha muda umumnya karena memiliki kedekatan dengan birokrat, aparat dan karena dari keluarga bisnis. Memang ada satu dua yang berhasil dengan kerja keras dan keuletan tetapi dari segi persentase, jumlahnya relatif kecil. Jadi pengembangan kewiraswastaan ini dengan sungguh-sungguh akan berdampak ganda, yakni dapat menjadi salah satu solusi dalam masalah mismatch dan juga mempersiapkan dan membangun mentalitas dan watak generasi penerus sehingga mampu menjawab tantangan masanya.

Banyak kebijakan dan program strategis yang dapat dikembangkan oleh kementerian pendidikan untuk mampu menjawab tantangan yang berkembang sekarang. Sayangnya semua seolah terlena dengan persoalan politik. Ketika individu-individu yang terlibat dalam politik tidak memiliki idealisme, akhirnya memang kreativitas mereka akan menjadi subordinat dari situasi yang berkembang. Mereka menjadi cenderung pasif dan tidak kreatif.

Daftar Pustaka

Adiwikarta, S. 1988. Sosiologi Pendidikan : Isyu dan Hipotesis Tentang Hubungan Pendidikan dengan Masyarakat. Jakarta :  Ditjen Dikti.

Becker, H.S. 1969. ”Schools and Systems of Stratification” dalam A.H. Halsey, J. Floud, and C.A. Anderson (eds), Education, Economy and Society. New York: Free Press.

Bowles, S and Gintis, H. 1976. Schooling in Capitalist America: Education Reform and the Contradictions of Economic Life. New Yor: Basic.

Brembeck, C.S. & Timothy J.T. 1973. New Strategiesfor Educational Development: The Cross Cultural Search for Non Formal Alternatives. Masschusetts: D.C. Heath and Company.

Collins, R. 1971. “Functional and Conflict Theories of Education” American Sociological Review, 36 pg. 1002-1019.

Collins, R. 1974. “Where are Educational Requirements for Employment Highest?” Sociology of Education, 47,  pg. 419-442.

Collins, R. 1979. The Credential Society: A Historical Sociology of Education and Stratification. New York: Academic Press.

Cook,L.A. & E.F. Cook. 1950. A Sociologycal Approach to Education. New York: Mc.Graw-Hill.

Hicks, J.R. 1969. Preface and Manifesto dalam K.J. Arrow dan T. Scitovsky. Reading in Welfare Economic. London.

Huntington, S.P. 1991. The Third Wafe: Democratization in the Late Twentieth Century. London: Hutchinson & Co, Ltd.

Huntington, S.P. 1998. The Class of Civilization an the Remaking of World Order. New York: Touchstone Books.

Knowles, M. S. 1974. The Modern Practice of Adult Education: From Paedagogy to Andaragogy. New York: Cambridge.

Kompas, 4 April 1997

Kompas, 13 Oktober 2003.

Kompas, 8 September 2006.

Leichter, H.J. 1979. Families and Communities as Educators. New York: Teachers College Press.

Meyer, J.W dan W.R. Scott. 1992. Organizational Environment: Ritual and Rationality. Beverly Hills: Sage.

Mifflen, Frank J dan Sydney C. M. 1986. Sosiologi Pendidikan. Bandung : Tarsito

Parelius, Ann P. and Robert J. P. 1978. The Sociology of Education. New Jersey: Prentice Hall.

Parker, S.R. 1992. Struktur dan Perubahan Ekonomi, dalam G. Kartasapoetra, S.H. Sosiologi Industri, Jakarta: Rineka Cipta.

Rafky, David M. 1972. Blue Collar Power: The Social Impact of Urban School Custodians, Urban Education, 6, Januari 1972.

Saripudin, D. 2005. Mobilitas dan Perubahan Sosial.  Bandung : Masagi Foundation.

Schultz, T. 1974. The Economic of the Family. Chicago: Chicago of University Press.

Thurow, L.C. 1972.  The Child in America. New York: A.A. Knopf.

Veblen, T. 1953. The Theory of The Leisure Class: An Economy Study of Institution. New York: Mentor.

Comments are closed.