PELUANG PENDIDIKAN DAN HUBUNGAN ANTAR ETNIK: Perspektif Pendidikan Kritis-Poskolonialis

Dadang Supardan (UPI)

 

  1. Pendahuluan

Pendidikan memiliki suatu keunikan, di satu sisi merupakan bagian kebudayaan, namun di sisi lain merupakan bentuk proses pembudayaan (enculturation) yang sifatnya spesifik, berbeda antara satu masyarakat dengan yang lainnya. Apapun bentuk pendidikan seperti yang dimaksud Collins (1977) —pendidikan keterampilan praktis, pendidikan untuk keanggotaan kelompok status, dan pendidikan birokrasi—satu hal yang selalu perlu ditonjolkan dalam kajian peluang-peluang pendidikan dan hubungan antar etnik, pernyataan tersebut mengajak kepada kita untuk mengedepankan kekekuatan-kekuatan pendidikan. Sebagaimana dijelaskan oleh Apple dalam bukunya Education and Power, (1982), pendidikan itu tidak sekedar memiliki kekuasaan (power) intelektual transmitif, teptapi juga transformatif.

Sebagai kekuasaan intelektual transmitif, mengacu pada upaya-upaya enkulturasi dan reproduksi kultural (Apple: 21) yaitu melestarikan nilai-nilai yang tetap perlu dikembangkan, sedangkan sebagai kekuasaan intelektual transformatif  yaitu intelektual yang menanggap belajar dan mengajar sebagai aktivitas politik, yang menggugah kesadaran anak didik mampu meyingkap penindasan dan ketimpangan yang asimetris antara pelbagai kelompok dalam mewujudkan sistem demokrasi yang partisipatoris. Oleh karena itu bagi seorang pemikir Giroux—tokoh pendidikan kritis yang radikal—pendidikan harus meretas batas-batas persekolahan, masuk dalam wilayah publik, dan bersifat politis. Tugas tersebut berarti membuat pedagogis menjadi lebih bersifat politis, dan membuat politis lebih bersifat pedagogis (Giroux, 1983: 242).

Dalam pendidikan kritis begitu melekat pengaruh pemikiran mazhab Frankfurt, khususnya Horkheimer, Adorno, Marcuse dan Habermas. Bagi mereka dalam pendidikan kritis bukan sekedar persoalan metodologi pembelajaran di kelas, tetapi sebagaimana Freire maksudkan—melampaui sekolah dan menjadi bagian dari pembebasan masyarakat, yang selanjutnya menggantikan ketimpangan sistemik dengan komunitas dan anak didik yang lebih berdaya.   Dalam hubungannya dengan peluang pendidikan dan hubungan antar etnik, baginya yang terpenting adalah bagaimana mewujudkan kesetaraan, demokrasi, politik kebudayaan, pendidikan kritis bagi masyarakat dan anak didik (Giroux, 1992; 11)

Sebetulnya apa yang melandasi pentingnya hubungan antar etnik ataupun multikulturalisme di mana belakangan ini kajian-kajiannya begitu semarak dalam pelbagai aktivitas akademik dalam dunia pendidikan. Terminologi ”multikulturalisme” tersebut bagi sebagian besar subaltern seperti Indonesia dalam pandangan teori poskolonial, sebenarny sangat menyesatkan. Bagaimana tidak? Karena jawabannya bahwa hubungan antar etnik itu lebih luas dari pada multikulturalisme, mengingat dalam hubungan antar etnik merupakan suatu konsep filosofis yang membangun atas ide-ide kebebasan beragama, keadilan, persamaan, hak kesetaraan, dan martabat manusia yang diakui dalam berbagai dokumen, seperti yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia yang diadopsi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (Howard: 2000: 127). Hal itu menegaskan bahwa kita perlu mempersiapkan siswa untuk memiliki tanggung-jawab mereka dalam satu dunia yang saling ketergantungan. Hubungan antar etnis juga berarti menghargai peranan sekolah yang dapat memainkan perannya di dalam mengembangkan sikap-sikap dan nilai-nilai penting bagi suatu masyarakat yang demokratis. Hal ini berarti dalam pendidikan hubungan antar etnis juga menilai perbedaan-perbedaan budaya dan menyatakan pluralisme para siswa, masyarakat mereka, dan refleksi para gurunya yang sekaligus merupakan tantangan bagi semua bentuk pembedaan di sekolah dan masyarakat melalui promosi prinsip-prinsip demokratis yang berkeadilan (Blum, 2001: 19).

Selain itu, kajian pendidikan hubungan antar etnik juga sebagai suatu proses komprehensif pembaharuan sekolah dan dasar pendidikan untuk semua siswa. Merupakan tantangan dan penolakan rasisme dan bentuk diskriminasi lain di sekolah dan masyarakat dan penerimaan serta penegasan pluralisme (etnik, politik, linguistik, religi, ekonomi, pendidikan, dan jender, di antara orang yang berbeda) bahwa siswa, komunitas mereka, dan gambaran para guru. Pendidikan hubungan antar etnik menembus kurikulum dan strategi pembelajaran yang digunakan di sekolah-sekolah. Hal ini seperti halnya interaksi antar para guru, siswa, dan orang tua, serta seluruh cara sekolah dalam  mengkonseptualisasikan sifat-sifat belajar dan mengajar. Sebab dengan menggunakan ilmu pendidikan yang kritis itu berperan sebagai dasar filsafat dan memusatkan pada pengetahuan, refkelsi, dan praxis sebagai basis untuk perubahan sosial, maka pendidikan antar etnis mempromosikan prinsip keadilan yang demokratis.

 

  1. Pengertian dan Ruang Lingkup Hubungan Antar Etnik

Perlunya pengembangan hubungan antar etnik, seperti yang dikatakan seorang profesor Harvard, Henry Louis Gates Jr., ibarat suatu pencarian dalam “percakapan di antara suara yang berbeda” dalam menemukan perspektif keheningan pada suatu narasi skolastik tradisional. Istilah “hubungan antar etnik“ tersebut sering bersinonim dengan keaneka-ragaman, sedangkan kata “keaneka-ragaman” menunjuk pada perbedaan. Dalam diskusi-diskusi ilmiah, biasanya pembahasan hubungan antar etnik sering berlangsung sengit dari komentar-komentar miring, buruk. sampai kepada hal-hal yang positip ataupun baik. Dengan begitu, mereka adalah lebih mirip dengan kita yang berbeda-beda. Di dalam buku, Shadows of Forgotten Ancestors, karya Carl Sagan dan Ann Druyan, kita diingatkan bahwa perbedaan manusia yang kita lihat sering hanya atas outside-size saja, seperti; warna kulit, bentuk ketajaman mata, tekstur rambut, dan sebagainya, yang tidak tertandingkan oleh perbedaan yang ada di dalamnya.

Selain itu istilah “hubungan antar etnik” tersebut selalu melekat dengan pendidikan, yang mempunyai arti secara luas meliputi any set of  processes by which schools work with rather than against oppressed groups (Sleeter, 1992: 141). Pendapat tersebut sejalan dengan pernyataan Kymlicka (2002: 8, 24), profesor filsafat pada Queen University Canada dalam bukunya Multicultural Citizenship, bahwa hubungan antar etnik yang sering digandengkan dengan multikultural, idealnya merupakan suatu pengakuan, penghargaan, dan keadilan terhadap etnik minoritas baik yang menyangkut hak-hak universal yang melekat pada hak-hak individu maupun komunitasnya yang bersifat kolektif dalam mengekspresikan kebudayaannya. Sedikit berbeda dengan Stavenhagen (1986), yang memandangnya bahwa konsep “multikulturalisme” mengandung dua pengertian.

Konsep pertama; “multikulturalisme” merupakan realitas sosial dalam masyarakat yang heterogen. Pernyataan dari segi ini sebanyak 95 % negara-negara di dunia  pada dasarnya adalah bersifat multikultural mengingat secara etnis dan budaya bersifat plural. Konsep kedua; “multikulturalisme” telah diangkat sebagai suatu keyakinan, ideologi, sikap, maupun kebijakan yang menghargai pluralisme etnik dan budayanya sebagai sesuatu yang berharga, potensial, yang harus dipelihara dan ditumbuhkembangkan. Perlu diketahui bahwa dalam masyarakat majemuk (plural society), terdapat dua tradisi dalam sejarah pemikiran sosial. Pertama; bahwa kemajemukan itu merupakan suatu keadaan yang memperlihatkan wujud pembagian kekuasaan di antara kelompok-kelompok masyarakat yang bergabung atau bersatu, dan rasa menyatu itu  dibangun melalui dasar kesetiaan (cross-cutting) kepemilikan nilai-nilai bersama dan perimbangan kekuasaan (Peh, 1985: 77-79). Kedua; dalam masyarakat majemuk dikaitkan dengan relasi antar etnik, bahwa masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok etnik yang berada dalam satu sistem pemerintahan, oleh karena itu sering mengalami konflik dan paksaan. Implikasi dari adanya masyarakat majemuk tersebut menurut Smith (1965) juga memiliki berbagai kelompok budaya yang beragam. Masyarakat yang memiliki budaya beragam ini dalam terminologi multikulturalisme sering didiskusikan baik sebagai respons menghadapi tantangan realitas sosial itu, maupun sebagai pengakuan atas diversitas budaya majemuk tersebut.

Bagi Lawrence A. Blum, seorang profesor filsafat di University of Massachuetts di Amherst, multikulturalisme merupakan suatu pemahaman, penghargaan, dan penilaian atas budaya orang-orang yang berbeda-beda serta untuk memahami bagaimana kebudayaan tersebut mengekspresikan nilai-nilai bagi para pndukungnya. Sebagaimana ia katakan:

Multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, dan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Ia meliputi penilaian terhadap kebudayaan-kebudayaan orang lain, bukan dalam arti menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan-kebudayaan  tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan  nilai bagi anggota-anggotanya sendiri. (2001: 16)

 

Kata kunci dalam multikulturalisme tersebut, yakni pengakuan adanya perbedaan dan penghargaan, dua kata yang selama ini sering dikontraskan. Karena itu dalam pendekatan multikulturalisme tidak sesungguhnya berlandaskan pada pemilikan yang mengisaratkan pada memiliki atau dimiliki budaya tertentu, tetapi berlandaskan pada kesadaran untuk menghargai dan menghormati yang mampu bernegosiasi tentang rumusan-rumusan realitas yang ada. “Ia tak seutuhnya merupakan bagian ataupun sama sekali terpisah dari budayanya, alih-alih ia berada di perbatasan” (Adler, 1982: 389). Keanekaragaman budaya bukan faktor penentu pemecah-belah bangsa,  melainkan diharapkan mampu menjadi “bumbu kehidupan” bagi perekat bangsa-bangsa di dunia.

Elemen-elemen multikulturalisme, menurut Blum (2001:19) mencakup tiga sub-nilai sebagai berikut; (a) menegaskan identitas kultural seseorang, mempelajari dan menilai warisan budaya seseorang, (b) menghormati dan berkeinginan untuk memahami dan belajar tentang etnik / kebudayaan-kebudayaan selain kebudayaannya; (c) menilai dan merasa senang dengan perbedaan kebudayaan itu sendiri; yaitu memandang keberadaan dari kelompok-kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat seseorang sebagai kebaikan yang positif untuk dihargai dan dipelihara. Pendapat Blum tersebut lebih jelasnya akan diuraikan di bawah ini.

Pertama, pengertian suatu “pemahaman identitas kultural orang lain” seperti itu sama sekali tidak memerlukan penegasan tentang setiap ciri dari kebudayaan itu sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh baik. Dalam pengertian ini, tidak diartikan ataupun menegaskan bahwa semua aspek kebudayaan itu seluruhnya “baik” ataupun “disetujui” seperti yang banyak dikhawatirkan oleh beberapa kritikus multikulturalisme. Suatu pemahaman identitas kultural orang lain dalam hal ini tidak menghalangi kritik berdasarkan standar-standar dari kebudayaannya yang mungkin dilanggar oleh kebiasaan-kebiasaan khusus dalam kebudayaan tersebut, maupun berdasarkan norma-norma eksternal bagi kebudayaan itu (Schramm, 2001: 7; Spradley, 1997: 13-15). Penggunaan standar eksternal untuk sesuatu kebudayaan adalah sah (misalnya suatu standar khusus tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang diambil dari tradisi Barat yang liberal), walaupun merupakan sebuah isu yang kompleks. Konsep multikulturalisme selalu memperingatkan untuk menyalahkan kebudayaan itu sebagai suatu yang universal, seperti dengan menyatakannya “tidak layak” atau “mendiskualifikasikannya” sebagai sumber pengetahuan moral bagi mereka yang berada di luar kebudayaan itu. Oleh karena itu dalam multikulturalisme tidak perlu dan tidak harus mengidentifikasi dirinya dengan pandangan bahwa para anggota suatu kebudayaannya tidak pernah memiliki kedudukan moral untuk membuat kecaman tentang kebiasaan-kebiasaan dari kebudayaan lain (Blum, 2001: 19). Pandangan terpenting dari pengenalan atau pemahaman terhadap budaya orang lain itu adalah bagaimana kebudayaan-kebudayaan tersebut dapat mengekspresikan nilai-nilai bagi para anggotanya sendiri (Harris dan Moran, 2001: 57, Blum, 2001: 16).

Kedua, multikulturalisme itu “menghormati kebudayaan-kebudayaan orang lain”, merupakan kelanjutan yang penting bagi fokus kegiatan pertama. Pemahaman tersebut  dimaksudkan tidak sekedar sesuatu yang bisa ditolerir apalagi dibenarkan, melainkan diperlukan suatu tanggapan yang kritis dari pihak-pihak eksternal untuk berperanserta dalam memberikan dukungan, alasan-alasan, pengakuan, penghargaan, penilaian, penguatan, dan empati dalam kebersamaan hidup sebagai bagian bangsa secara integral. Sebab adanya toleransi, pengakuan, dan penghargaan dari etnis dan budaya lain, akan berkontribusi dalam memberikan rasa aman dan tentram, yang pada gilirannya harga diri-pun meningkat karena ada rasa percaya diri (self-confidence). Identitas  budaya individu merupakan unsur dirinya yang benar-benar berarti, dalam memahami budaya sendiri harus menjadi bagian yang vital dari tugas pendidikan. Pemahaman atas kebudayaan seseorang dari pendukung budaya lain akan menjadi sumbangan yang berarti bagi individu dan masyarakat tertentu tentang kebudayaan mana yang merupakan bagian daripadanya, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari unsur-unsur yang pertama dalam multikulturalisme tersebut.

 

  1. Multikulturalisme Sebagai Keniscayaan

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang pluralis, bahkan mungkin yang paling pluralis dunia. Bangsa ini terdiri ratusan etnis, agama, budaya, dan adat istiadat,  yang tersebar di sekitar 13.000 pulau besar dan kecil, serta berbicara dalam ratusan bahasa daerah (Koentjaraningrat, 1970, 21-33; Thohari, 2000: 129). Pluralisme multidimensional ini telah membentuk mozaik ke-Indonesia-an yang sangat indah dan mempesona, tetapi sekaligus rawan terhadap konflik. Ketidakmampuan mengelola pluralisme inilah bisa mendorong terjadinya  gejolak sosial politik yang bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan) yang  terjadi separatis di akhir-akhir ini.

Indonesia bukan satu-satunya bangsa dan negara yang  memiliki pluralisme etnis. Bangsa Amerika contohnya, juga dikenal sebagai bangsa sangat pluralistik secara etnik. Karena pluralistiknya Amerika menjadikan “E Pluribus Unum” sebagai jargonnya. Kemudian bangsa Kanada, memiliki kebijakan multikulturalisme dengan “mozaic-nya”, dengan jargon “unity in diversity” (Marger, 1985: 258, Supardan, 2002: 34), sebuah semboyan yang mirip “Bhinneka Tunggal Ika” yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Bangsa Singapura juga menyebut dirinya sebagai bangsa pluralis, meski etnik Cina memiliki jumlah yang lebih dominan. Demikian juga dengan bangsa-bangsa lain. Sedikit sekali negara yang dihuni  oleh satu etnis saja. Singkatnya, pluralisme bukanlah eksklusif milik kita saja, melainkan merupakan fenomena umum yang bisa ditemukan di mana saja.

Hubungan antar etnik maupun multikulturalisme sebenarnya merupakan suatu keharusan kebijakan sosial-politik. Karena fakta pluralitas etnik dan budayanya tersebut tidak saja dibenarkan secara historis, sosiologis, antopologis, tetapi juga teologis. Selain itu pluralisme juga merupakan akibat logis dari gelombang urbanisasi dan globalisasi yang terjadi di dunia. Catatan yang perlu dihindarkan dalam multikulturalisme ini adalah kecenderungan eksklusifisme dan fanatisme etnis yang sempit. Pasalnya fanatisme etnis akan menyulut konflik secara potensial memang selalu ada dan inheren dalam masyarakat yang multietnik baik yang disebabkan oleh stereotipe maupun prasangka-prasang sosial lainnya. Secara sederhana masalahnya adalah bagaimana agar sesuatu yang potensial dalam arti negatif, tidak menjadi aktual. Artinya bahwa diperlukan untuk mengatur agar kebutuhan dan kebenaran  multikulturalisme itu menjadi penetapan ideologis sebagai bangsa Indonesia dari semua etnis, golongan agama, budaya, bahasa yang beraneka ragam itu merasakan satu bangsa yang benar-benar dihayati, dan diamalkan, tanpa menghilangkan identitas “primordial” yang kaya dengan perbedaan itu.

Jawaban yang diajukan untuk menjawab permasalah tersebut juga tidak mungkin dengan menghilangkan identitas “primordial” itu dengan menindas identitas yang kaya dengan keragaman sekalipun dengan maksud memperkuat persatuan nasional.  Hal ini sama halnya dengan “mati secara sosial dan budaya(Magnis-Soeseno, 2000: 30). Dari antropi (penyusutan) sebuah identitas asli, tidak mungkin muncul identitas baru. Jadi tidak mungkin tercapai kesatuan bangsa yang terdiri atas banyak komponen, dengan meniadakan kemajemukan itu. Bangsa Indonesia tidak mungkin dilarutkan identitasnya sebagai orang Jawa, Sunda, Batak, Minang, Dayak, Bugis, Ambon, Islam, Hindu, Kristen, Budha, dan seterusnya. Sebab tindakan itu tidak akan dapat menciptakan identitas Indonesia yang sesungguhnya, melainkan hanya akan menghancurkan identitas yang sebenarnya. Bangsa Indonesia tidak mungkin dapat dibangun oleh selain orang Indonesia sendiri. Walaupun ironisnya banyak pemimpin dan penguasa kita mengambil jalan pintas seperti itu. Persatuan bangsa yang dicapainyapun hanyalah sebuah persatuan semu yang dibangun oleh identitas atas ritus-ritus kenegaraan yang kosong (Piliang, 2001: 227; Magnis-Suseno, 2000: 31).

Individu maupun kelompok dalam perannya sebagai manusia memiliki  identitas keunikannnya yang tak pernah tergantikan dalam personalitasnya, walaupun selalu berusaha menserasikan seluruh pengetahuan, persepsi tentang realitas dalam sosialitasnya. Sebagai bangsa yang pluralis, mestinya dapat  memahami hakikat apa itu primordialisme. Kalau saja seseorang memiliki akar dalam lingkungan  sosialnya yang termasuk primordial, lalu ia bekerja sesuai dengan bobot dan tanggung jawabnya masing-masing, itu bukan berarti primordialisme. Karena ketertanaman sosio-kultural, justru merupakan syarat keutuhan personal dan psikis seseorang. Berbeda dengan suatu keterikatan primordial (yang wajar) kemudian menjadi primordialistik (tidak wajar) yang melampaui lingkaran primordial dengan kata lain menjadi “eksklusif”, seseorang dengan mengidentifikasikan diri hanya dengan  salah satu unsur primordial saja. Hal itu jelas pada orang tersebut terjadi desosialisasi, suatu pemiskinan sosial karena tidak mampu lagi merasakan solidaritas dengan  orang lain sebagai manusia  dalam kesatuan bangsa. Sikap semacam ini bahkan dapat menjadi primordialistik fanatik yang sempit apabila salah satu  keterikatan primordial, misalnya pada salah satu suku, maupun agama  menjadi sedemikian  dominan. Keluarga dan nilai-nilai dominan umum akhirnya menjadi tidak lagi dirasakannya. Primordialisme semacam itu dapat dikategorikan “pathologi psikis” jika menyangkut individu, dan pathologi sosial jika menyangkut kelompok (Horton & Hunt, 1999: 195-197). Primordialisme yang seperti itu pula yang merupakan suatu regresi, suatu penolakan terhadap keterbukaan.

Pengembangan hubungan antar memang sepintas dalam banyak hal dapat menimbulkan rasa khawatir terhadap hubungan antara agama dan kebudayaan. Kekhawatiran ini sesungguhnya dapat dijawab secara sederhana; bahwa agama adalah ciptaan Tuhan  yang permanen dan universal, sedangkan kebudayaan adalah buatan manusia yang temporal dan spatial. Bila dirunut ke belakang, kekhawatiran itu bersumber dari ketakutan teologis mengenai relasi antara yang sakral dan profan (Eliade, 2001: 274-275; 2002: 211). Secara ekstensial, bila ke-Tuhanan  (agama) dipahami dan dihayati sebagai tujuan akhir yang kemudian melahirkan apa yang disebut “aktualisasi”, maka aktualisasi kesadaran akan Tuhan dalam perilaku menjadi tidak mengenal dualisme antara yang suci dan duniawi. Dengan demikian agama sebagai yang sakral menjadi substansi atau inti kebudayaan (Abdullah, 2003: xii). Ironisnya, tidak semua pemeluk agama memahami masalah ini dengan benar. Mereka agak phobia memahami budaya lokal. Kekuatan hegemoni agama formal yang didukung oleh otoritas ortodoksi  menundukkan budaya lokal termasuk seni tradisi vis a vis otoritas keagamaan. Kuntowijoyo (2003: 16) sejarawan dan budayawan Universitas Gajah Mada yang merasa prihatin terhadap fenomena tersebut, menyebutnya tidak sedikit orang yang memandang agama telah menjadi “buldoser”  kultural atas pluralitas ekspresi kebudayaan. Tradisi budaya lokal padahal sarat akan pesan-pesan  filosofis, baik dalam aspek spiritual, moral, mentalitas, maupun pesan dan kritik sosial (Abdullah, 2003: xiii). Para pengamat seni bahkan berpendapat bahwa, seni-lah satu-satunya wilayah yang sulit dikooptasi oleh institusi kenegaraan (Mack, 2001: 7-11; Dickie, 1971: 27; Peransi, 1985: 8-9). Seni  merupakan ekspresi hidup dan kehidupan  serta sumber inspirasi gerakan spiritual, moral, dan sosial dalam mencairkan ketegangan sosial. Di balik keterbatasannya pranata lokalnya, seni juga mengandung makna universal yang dapat paralel dengan agama bagi keluhuran budi manusia.

Kemajemukan etnik dan budaya sebetulnya baik secara historis maupun antropologis yang ada di Indonesia itu sudah sangat kondusif bagi penerapan  pendekatan multikultural. Indonesia yang memiliki motto kenegaraan Bhinneka Tunggal Ika, adalah hakiki dan mengungkapkan kebenaran historis yang tidak dapat disangkal lagi sejak zaman  kerajaan dahulu. Kerajaan Majapahit memiliki politik hubungan antar kerajaan yang terungkap dalam semboyan “mitreka satata” yang berarti “persahabatan dengan dasar saling menghormati” dengan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara lainnya seperti Champa, Syam, Burma. Pujangga Empu Tantular pernah melukiskan kehidupan beragama dengan baik sekali dalam karangannya Sutasoma dengan kalimat “bhinneka tunggal ika tan hana darma mangrua” yang berarti ‘walaupun berbeda, satu adanya, tidak ada agama yang tujuannya berbeda” (Darmodihardjo,1985: 17). Empu Tantular sudah mendudukkan motto tersebut sebagai falsafah kerajaan Majapahit pada zamannya.

Secara antropologis, bangsa Indonesia yang kaya akan keragaman etnis, budaya, agama, bahasa, adat-istiadat yang hidup di tengah masyarakat plural, semuanya tergantung dari lokal genius yang bersifat primordial (Sumardjo, 2002: 23). Lokal Genius yang primordial itu ditentukan oleh genesis infra struktur penghidupan masyarakatnya. Kalau saja menurut Kluckhohn (1953) terdapat tujuh unsur kebudayaan itu, baik yang kecil, terisolasi-sederhana, maupun yang besar kompleks-maju. Ketujuh unsur itu adalah bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian (Koentjaraningrat, 1986: 83). Melalui evolusi dan transformasi yang beratus-ratus tahun, jika saja kita mau belajar, maka organisasi sosial politik kita dalam berbangsa dan bernegara, segala kekurangan-kekurangannya akan tampak di hadapan kita. Kalau ini memang yang sedang terjadi, sudah dapat dibayangkan bahwa kemandekan dalam kesadaran sejarah tidak bisa dihindarkan, sebab kesadaran relevance, merupakan awal mutu kehidupan. Dalam profesi dan peran sosial apapun, jika sedang mengalami “sense of relevance”, kehadirannya bisa menjadi teralienasi dari keharusan zaman dan tuntutan masyarakat (Abdullah, 2001: 218, 260).

Seorangpun tidak ada yang berharap, konflik etnis ini akan terus menjadi awan kelam bagi masa depan politik Indonesia. Semua orang tidak mengendaki seperti api dalam sekam, unsur etnik sewaktu-waktu siap membakar setiap bangunan politik Indonesia. Sekalipun konflik etnik ini sempat terpusat di Kalimantan dan Maluku, tetapi secara sporadis tetap khawatir mencuat di daerah lain, khususnya kawasan perkotaan yang padat penduduk. Harapan kita,  pluralisme etnis itu menjadi pengikat kaum urban, terutama di kawasan yang premanismenya begitu kuat sebagai basis ekonomi kelompok pendatang (Suparlan, 2001: 2-3; Piliang, 2002:  232). Abdullah (2001: 93-94) bahkan berpendapat, bahwa huru-hara sosial ataupun anarki sosial yang kita alami akhir-akhir ini, merupakan pantulan yang keras dari masyarakat majemuk yang berada  dalam “kesunyian” tanpa perlindungan sistem kepemimpinan lokal dan masyarakat madani yang sehat dan fungsional.

Setelah kita memahami beberapa kendala dalam upaya mewujudkan masyarakat multikultural yang harmoni, maka ada baiknya kita perlu memahami juga peluang dan perkembangannya di dunia pada umumnya dan Indonesia khususnya. Pembahasan sebelumnya telah menyebutkan bahwa, “More than 95 % of the world’s countries are ethnically heterogeneous… According to some estimates, there are close to 5.000, diverse ethnic group in the world” (Jandt, 1998: 419). Fakta heterogenitas ini dalam realitasnya, ternyata tidak sepenuhnya menerima ataupun menolak kebijakan multikulturalisme tersebut. Menurut Supriadi (2001: 37) terdapat empat kemungkinan kombinasi tentang multikulturalisme itu seperti yang telah dijelaskan di atas.:

 

  1. Peranan Hubungan antar Etnik dan Budaya Kebudayaan dalam

     lntegrasi Bangsa

Mungkin agak asing kedengarannya jika seseorang berjuang mencapai kemerdekaan malalui perjuangan kebudayaan nasional. Cabral (1973: 41), seorang pahlawan kemerdekaan di Guine-Bissau Afrika yang menulis buku Return to the Source, ia menegaskan bahwa kebudayaan menjadi unsur perlawanan terhadap dominasi asing: “manifestasi yang kuat di bidang ideologi atau idealis dari realitas fisik dan historis masyarakat yang didominasi”. Selanjutnya pernyataan Cabral (1979: 143)  dalam buku yang lain, yakni Unity and Struggle, menegaskan bahwa kebudayaan adalah unsur vital dalam proses pembebasan. Pembebasan nasional diekspresikan sebagai tindakan kebudayaan, ekspresi politik dari rakyat yang sedang melakukan perjuangan. Kebudayaan dengan demikian bisa berpengaruh positif terhadap rakyat dan kondisi mereka.

Franz Fanon (1979: 143), seorang pejuang Aljazair berprofesi sebagai psikiater yang disegani dan berjaya karena perjuanggannya merebut kemeredekaan, dalam bukunya berjudul The Wretched of the Earth,  mengatakan bahwa;

… klaim kebudayaan nasional di masa lalu tidak hanya mampu merehabilitasi bangsa itu dan berfungsi sebagai pembenaran bagi harapan akan kebudayaan nasional masa depan. Dalam tataran  keseimbangan jiwa-afektif, kolonialisme  mestinya bertanggung jawab  atas perubahan penting pada pribumi…. Keteguhan dalam mengikuti bentuk-bentuk kebudayaan yang sudah punah itu merupakan demonstrasi nalsionalitas; namun demonstrasi itu kini merupakan kemunduran ke hukum kelembaban. Tidak ada ofensif dan tidak ada redifinisi tentang hubungan-bungan itu. Yang ada hanyalah  konsentrasi pada inti kebudayaan kita  yang makin layu, diam, dan kosong.

 

Pendapat serupa di atas, dikemukakan juga oleh Edward W. Said (1996; 13), seorang intelektual humanis, perintis Teori Postkolonial,  dan kritikus budaya terkemuka dunia dari Timur Tengah dalam karyanya Culture and Imperialism.  Ia mengajukan sanggahan terhadap argumen-argumen yang mengatakan bahwa kebudayaan bangsa-bangsa terjajah dan identitas nasional adalah masih merupakan entitas-entitas yang tunggal dan murni, melainkan telah dirusak oleh Barat. Said (1996; 14) selanjutnya mengatakan:

… kebudayaan adalah semacam panggung sandiwara di mana berbagai kuasa politik dan ideologi saling terkait. Bukannya menjadi suatu lingkup kesantunan Apollonia yang tenang, kebudayaan bahkan dapat menjadi sebuah medan pertempuran di mana penyebab-penyebab itu menampakkan diri secara gamblang dan saling bertikai…. melainkan juga anggapan Barat bahwa kebudayaan itu dianggap lebih penting,  membiarkan terpisah dari dunia keseharian. Akibatnya kebanyakan humanis profesional tidak mampu menetapkan kaitan  antara kekejaman yang berlarut-larut dan kotor dari praktik-praktik seperti perbudakan, penindasan kolonial dan rasial, serta penaklukan imperial disatu pihak, dengan puisi, fiksi, dan filosofi masyarakat dilain pihak.

 

Pertanyaan yang muncul berkaitan dengan penjelasan di atas; dapatkah kebudayaan yang heterogen (majemuk) dalam suatu bangsa menjadi suatu kekuatan positip khususnya dalam meningkatkan integrasi bangsa?  Sebab selama ini kita lebih terbiasa membenarkan pendapat sosiolog Emile Durkheim (1964: 79)  yang dituangkan dalam karya besarnya The Division of Labor in Society, bahwa kesamaan merupakan  sumber terciptanya solidaritas sosial yang didorong oleh kesadaran kolektif (terutama oleh solidaritas mekanik, yang berbeda dengan solidaritas organik). Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” (collective consciousness) yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan  dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga  masyarakat yang sama itu. Jadi, tergantung dari individu-individu yang memiliki persamaan karakteristik, kepercayaan, dan pola normatif yang sama pula.

Berbeda dengan solidaritas organik, solidaritas itu muncul karena pembagian kerja yang bertambah besar, sehingga tercipta suatu struktur masyarakat yang saling memiliki ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan  itu bertambah  sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dalam pembagian kerja, yang memungkinkan dan juga semakin menggairahkan perbedaan di kalangan individu (Johnson, 1986; 184-185). Solidaritas dengan demikian muncul karena perbedaan-perbedaan di tingkat individu ini yang merombak kesadaran kolektif tersebut. Solidaritas organik, pada dasarnya sangat memungkinkan tercapainya solidaritas dan integrasi bangsa karena adanya tingkat ketergantungan anatar individu maupun etnis itu menjadi semakin tinggi. Pernyataan tersebut sejalan pula dengan contoh kesadaran masyarakat yang dibutuhkan di Amerika Serikat yang ditulis oleh Robert N. Bellah (1985: 117), dalam buku Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American Life, bahwa konsep kita tentang  komunitas antar etnis/ras itu sendiri harus memungkinkan bagi adanya pengakuan tentang perbedaan. Tradisi dalam pemikiran kita yang kuat namun menyesatkan mengenai komunitas adalah bahwa manusia hanya merasakan  perasaan sebagai komunitas  ketika mereka menganggap diri mereka “sama” dengan anggota-anggota lain dari masyarakatnya. Namun di sini-lah Bellah (1985: 118) menegaskan bahwa jenis komunitas yang diperlukan di Amerika Serikat adalah komunitas yang pluralistik, komunitas yang meliputi rasa keterikatan dan hubungan yang berasal dari aktivitas, keadaan, tugas, lokasi bersama dan sebagainya ¾ dan terutama didasarkan pada pengalaman kemanusiaan bersama ¾ namun dengan mengakui dan menilai perbedaan-perbedaan budaya dan jenis-jenis perbedaan lainnya juga.

Penelitian lain tentang peranan hubungan anatar etnis terhadap integrasi bangsa, menurut Educational Resources Information Center (ERIC), setidaknya ia berperan dalam; (1) mempromosikan kehidupan masyarakat yang selaras/harmonis, (2) mewujudkan model hubungan budaya yang sesesuai,(3) menghargai perbedaan-perbedaan, (4) memperbaiki munculnya prasangka-prasangka sosial, (5) menghargai keanekaragaman dan menumbuhkan  demokrasi (http://eric-web .tc. Columbia.edu/ alerts / ia 35.html)

Matile (1996) dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang harmoni pada suatu kehidupan bermasyarakat, berdasarkan hasil penelitiannya  menyatakan, bahwa  “… these strategies offer opportunities to recognize and appreciate diversity; instill sensitivity; and appreciate the contribution of the varied ethnic, linguistic, and cultural groups of the city”. Upaya dalam mengenali, menghargai, dan menanamkan kepekaan keanekaragaman sosio-budaya ini dapat dikemukakan alasan-alasannya, sebagai berikut.

Pertama, prinsip dalam pembelajaran hubungan antar etnik, sangat diupayakan pemahaman budaya yang berbeda-beda. Oleh karenanya timbul hasrat untuk mempelajari budaya etnik lain yang berbeda. Kedua, prinsip dalam multikulturalisme mengajak hidup penuh menghargai terhadap keragaman etnik dan budaya yang berbeda-beda. Oleh karena itu jika konsep tersebut diimplementasikan secara konsekuen, hampir dapat dipastikan mampu mereduksi konflik-konflik horizontal antar etnik yang mungkin terjadi. Artinya dengan memperlakukan semua budaya etnik yang ada secara adil dan setara, maka jauh kemungkinan adanya dominasi budaya tertentu yang dapat menghambat pengembangan budaya minoritas sekalipun (Blum, 2001: 15-16).

Penelitian lain tentang peran multikulturalisme untuk mewujudkan model hubungan budaya yang sesuai atau serasi, dikemukakan berdasarkan hasil penelitian  O’Mara (1996) yang mengadakan penelitiannya terhadap sejumlah film-film hiburan di Hollywood dalam kaitannya dengan pendidikan. Ia menegaskan “Show how entertainment media can support educational themes; concepts include the idea of a subculture, cultural values, and cultural model for appropriate interpersonal” Jadi dalam hal ini melalui hubungan antara etnik  dapat memperlihatkan bagaimana media pertunjukan itu dapat mendukung bidang-bidang pendidikan, sub-kultur, nilai budaya yang berkembang sebagai bagian dalam hubungan interpersonal.

Pernyataan tersebut dapat dipahami karena sajian film-film hiburan itu pada dasarnya memerlukan minimalnya tiga aspek yang harus dipenuhi, yakni aspek kemampuan ekspresinya, menganalisa, dan transformasi diri (Sitorus, 2002: xvi). Pengembangan kemampuan ekspresi, berhubungan dengan fleksibilitas budaya yang dapat diterima secara universal. Artinya, penyajian film hiburan tersebut jika dianalogikan dalam suatu budaya tertentu sekalipun berbeda dengan budaya di sekitarnya, harus memiliki sifat nilai yang lentur (flexibility) dan adaptif yang tinggi. Sifat-sifat yang lentur dan adaptif ini akan menjadi pendorong mudah diterimanya nilai-nilai itu secara umum oleh masyarakat luas.

Pengembangan aspek kemampuan “menganalisis” berhubungan dengan aspek  “kelancaran” (fluency) dalam pencarian sebab dan implikasinya.  Dengan demikian aspek fluency merupakan bagian penting dalam kreativitas pemeranan kebudayaan dalam menggali kekayaan-kekayaan potensi yang dimilikinya.  Sedangkan aspek “transformasi diri” ini berhubungan dengan orisinalitas (originality). Dalam arti kemampuan memberi makna berdasarkan bakat dan naluri yang dimilikinya. Menurut Stanislavsky dalam An Actor Prepares, menyarankan: Jangan sampai kehilangan dirimu di atas panggung, dan bertindaklah selalu berdasarkan pribadimu. Begitu kau kehilangan dirimu di atas panggung, maka kamu tidak akan lagi dapat menghayati peranmu dengan sesungguhnya (Stanislavsky, 1989; 189). Jika kemampuan tarnsformasi seorang aktor ini dapat dianalogikan sebagai pertunjukan budaya, maka buatlah agar budaya tersebut dapat menarik orang lain untuk belajar lebih jauh karena memiliki keunikan dan karakteristik lainnya yang orisinal.

Pentingnya hubungan antar etnis pada bagian lain dapat berperan untuk menghargai perbedaan budaya. Padersen (1995), seorang konselor telah melakukan penelitian ini yang mengadakan penelitiannya di Sekolah Dasar. Hasil temuan penelitiannya bahwa ; “a base for understanding cultural bias, and provides practical strategis to promote child development in a multicultural society“. Pedersen berpendapat bahwa pembelajaran multikultural tersebut sangat berguna dalam memahami berbagai bias budaya yang ada di masyarakat. Sebab, tidak menutup kemungkinan apa yang siswa dengar dari masyarakat tentang budaya suatu etnis tertentu, ternyata berbeda sekali setelah ia pelajari dari budaya etnis tersebut yang secara langsung ia pelajari sesungguhnya. Melalui pembelajaran multikultural, bias budaya dapat dihindari jika secara dini dipelajari di sekolah.

Pembelajaran multikultural juga dapat berpengaruh terhadap upaya untuk  menghargai perbedaan budaya serta dapat berpengaruh sebagai wahana pemicu dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Ploumis-Devick (1996) seorang peneliti yang mengadakan penelitiannya di Sekolah Dasar Amerika, kesimpulan temuan penelitiannya menunjukkan bahwa Provides general backround on cultural diversity and its impact; descriptions of successful programs; and strategies, activities, and resources for classroom use. Hasil penelitian di atas sebenarnya tidak begitu mengejutkan, sebab dengan memperkenalkan dan membelajarkan siswa melalui berbagai ragam budaya yang ada di sekitar komunitasnya, siswa  akan mengenal dan mempelajari budaya tersebut, yang pada gilirannya akan menghargai keragaman budaya yang ada. Pembelajaran multikultural selain itu juga akan berusaha untuk memperlihatkan eksistensi budayanya yang memerlukan pengakuan dalam lingkungan pergaulannya. Jika pernyataan tersebut dikaitkan dengan pendapat Maslow (1954: 72) yang dikenal dengan teori “Hirarki Kebutuhan” (Hierarchy of Needs) dapat dikategorikan sebagai kebutuhan penghargaan  sosial.

Hubungan antar etnis juga di sisi lain dapat mengurangi sifat prasangka dan apriori terhadap budaya etnis lain. Ponterotto (1995), mengadakan penelitiannya yang menghasilkan kesimpulan bahwa pembelajaran hubungan antar etnik berperan untuk: Describes theories to explain the increase of insidents of intergroup conflict and the role of the teacher in multicultural awareness and prejudice prevention programs”. Pembelajaran hubungan antar etnik itu dapat berperan sebagai pencegahan meningkatnya prasangka dan konflik antar kelompok, karena  melalui pembelajaran hubungan antar etnik  siswa belajar menghargai setiap budaya etnis yang berbeda, menilai setiap keunggulan dan kelemahannya, yang pada akhirnya siswa akan menerimanya bahwa sesungguhnya tidak ada budaya yang sempurna maupun sama sekali tidak memiliki kebaikan atau manfaatnya. Bahkan menurut aliran kelompok “fungsionalis kebudayaan” atau  a functional theory of culture Malinowski yang ditulis dalam karya akhir yang monumental A scientific Theory  of  Culture and Other Essay, bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan manusia (Kaberry, 1957: 82).

Hubungan antar etnik juga berperan untuk mempersatukan budaya bangsa. Penelitian ini dilakukan oleh Ravitch (1996) yang meneliti perspektif hubungan antar etnik dalam hubungannya dengan persatuan budaya Amerika. Ia menjelaskan bahwa Compare California’s pluralistic and New York’s particularistic approaches; argues for an education that appreciates diversity and supports commitment to a unified American culture. Melalui pendekatan perbandingan komunitas New York dan California yang pluralistik, mereka menganggap bahwa pentingya hubungan antar etnik untuk pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan dukungan tanggung jawab untuk suatu persatuan budaya Amerika. Hubungan antar etnik yang berperan dalam upaya mempersatukan budaya bangsa tersebut, sesuai dengan motto kenegaraan mereka E Pluribus Unum atau Unity in Diversity, yang serupa dengan Bhinneka Tunggal Ika-nya di Indonesia (Marger, 1985: 258; McLemore: 1980: 35; Supardan 2002: 34).

 

  1. Implementasi Kebijakan Hubungan Antar Etnik di Berbagai Negara

Dalam perkembangan sekarang ini, kebijakan tentang hubungan antar etnik tersebut cepat meluas. Hubungan antar etnik sekarang telah berkembang menjadi semacam keyakinan, sikap, dan kebijakan. Hubungan antar etnik tidak hanya sekedar semboyan, retorika  politik, atau  hanya pengakuan  simbolis terhadap kekayaan realitas sosial. Hubungan antar etnik telah menjadi pengakuan sejati terhadap identitas kelompok yang mendukung dan selaras dengan identitas nasional. Supriadi (2001:37) dan Supardan (2002:35) berpendapat bahwa terdapat empat kemungkinan kombinasi multikulturalisme. Pertama; negara dengan realitas etnik dan budaya yang heterogen serta menerima ide multikulturalisme. Kedua; negara dengan realitas etnik dan budaya yang heterogen, tetapi kebijakan pemerintahannya cenderung mengarah ke monokulturalisme. Ketiga; negara dengan realitas etnik/ras yang homogen dan memelihara kebijakan yang  monokulturalistik. Keempat; negara dengan derajat homogenitas etnik/ras  yang tinggi tetapi  sangat menghargai multikulturalisme. Amerika Serikat, Kanada, India, Auastralia, Malaysia,  adalah contoh negara kelompok pertama. RRC adalah contoh kelompok negara kedua. Israel  yang mempercayai keunggulan ras Yahudi sebagai “Umat Terpilih Tuhan” dapat dimasukkan dalam  kategori ketiga.

Indonesia, dengan demikian masuk ke mana? Secara teoritis dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika termasuk kategori pertama, seperti Kanada maupun Amerika Serikat yang bersemboyan E Pluribus Unum (Unity in Diversity). Akan tetapi dalam praktek-praktek kebijakan publik terutama sebelum reformasi, Indonesia cenderung berada pada kategori kedua (Coppel, 2003: 13; Suryadinata, 2003: 5-6). Fenomena masih nampaknya stereotipe, prasangka sosial, dan rasisme di Indonesia hingga kini masih menguat (Supriadi, 2001: 29). Misalnya adanya ungkapan-ungkapan “Padang Bengkok”, “Batak Rentenir dan Tukang Copet”, “Cina Licik”, “Jawa Koek”, dan sebagainya. Sedangkan untuk bukti nyata adanya rasisme dapat difahami dengan meletusnya “Tragedi Sambas” maupun “Sampit” di Kalimantan maupun “Tragedi Posso” yang baru-baru ini terjadi.

Tidak berarti bahwa potensi-potensi hubungan antar etnik di Indonesia itu hampir semuanya negatif, sebab dalam beberapa hal menunjukkan potensi dan fenomen-fenomena yang positif, terutama adanya Bahasa Indonesia yang berperan sebagai Bahasa Persatuan dan Bahasa Nasioanal. Hal ini sesuai dengan pendapat Hertzler (1965: 231), Profesor Sosiologi dalam karyanya A Sociology of Language bahwa  kondisi seperti itu meliputi:

… such economic condition as wide markets and non-discrimination in employment; wide and ready physical mobility in the pursuit of desirable regional, economic and other  life conditions; opportunity for  political participation; freedom from rigid social stratification and social distance and, conversely, freedom of social opportunity and social mobility; access to all levels of educational opportunity. As in the case of group unity and unification, language is also of the facilitator of all these conditions.

 

Kondisi ekonomi, politik, sosial, memberikan arti penting untuk menciptakan susana kondusif bagi persatuan bangsa. Hertzler bahkan selanjutnya berkeyakinan bahwa faktor bahasa juga memegang peranan penting dalam “kesadaran bersatu” (consciousness of unity). Oleh karena itu hakekat persamaan bahasa (Bahasa Indonesia) merupakan contoh potensi sentripetal bahasa yang disadari atau tidak oleh para pemuda pada tahun 1928 itu telah digunakan sebagai salah satu alat dalam melahirkan bangsa Indonesia. Kesatuan dan persatuan  untuk kasus Indonesia, menurut Hertzler bisa dicapai lebih mudah karena melalui penguasaan dan pemahaman Bahasa Nasional (Bahasa Indonesia) yang merupakan bahasa resmi dan persatuan, akan menjadi katalisator yang memberikan kontribusi dalam integrasi bangsa, seperti yang dinyatakan Hertzler (1965: 229).

What is more, with the acquisition of the common language (its lexicon, syntax, idioms, the conception of reality and Weltanschauung evidenced by its peculiar structure), there comes the learning of subttler aspects of the surrounding cultural and social world: the underlying values and attitudes, the elements of the “spirit” and “style” behind the ways of larger social life… Assimilation becomes easier and more rapid, the greater the similarity of mental and social equipment of persons in both the dominant and foreign groups. Linguistic similarity and compatibility— a common Sprachgefuhl— is the key expediting agency. In general, the enculturation of person  is  only possible as they learn to speak and understand the language of the cultural community.

 

Kutipan di atas bermakna dan dapat kita terapkan di Indonesia dalam usaha memperkuat rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan menghilangkan pengertian dominant groups bangsa Indonesia sebagai kesatuan  yang lebih besar, maupun foreign groups dengan satuan-satuan atau kelompok-kelompok yang lebih kecil yang menjadi unsur pembentuk bangsa Indonesia itu. Kondisi obyektif di Indonesia yang menggambarkan paradoksal itu sebenarnya tidak selalu menampakkan sisi positif ataupun negatif. Namun yang jelas ada faktor-faktor kondusif yang bisa  bekerja dalam mencapai integrasi bangsa yang diharapkan. Di samping itu, tentang penggunaan bahasa daerah oleh keturunan golongan Timur Asing (keturunan Cina dan Arab) disadari atau tidak, hal ini turut serta memperkokoh integrasi bangsa Indonesia.

Dengan meminjam istilah para ahli pendidikan multikultural yang disebutnya sebagai tiga model pendidikan multikultural (Sleeter dan Grant; 1993; Banks, 1994; dan Schwartz, 1992) yang mencakup mencakup; (1) program-program yang memfokuskan informasi; (2) program-program yang akan memfokuskan bagaimana seharusnya siswa belajar; dan (3) program-program yang memfokuskan pada isu-isu sosial.

Untuk program-program yang memfokuskan pada informasi, program ini merupakan jenis yang paling umum dalam pendidikan hubungan antar etnik dan multikultural khususnya untuk SMA Kelas XI untuk Mata Pelajaran Sosiologi. Dalam mata pelajaran tersebut terdapat tiga topik pembelajaran yang lebih difokuskan sekitar perbedaan kelompok budaya dengan menambahkan beberapa bacaan pendek untuk standar kurikulum atau dengan menempatkan beberapa pokok bahasan tentang (1) integrasi sosial, (2) masyarakat multikultural dan permasalahannya, (3) perkembangan kelompok dalam masyarakat multikultural. Program ini lebih mendalam  meliputi banyak materi multikultural yang masih melingkupi beberapa persoalan yang meliputi materi-materi dan gagasan-gagasan mendalam tentang beberapa problem sosikultural yang beragam.

Contoh dari program ini adalah kajian etnik-etnik minoritas tradisional yang memerlukan pembinaan secara khusus terhadap etnik-etnik ”terasing” tertentu seperti; kubu, sasak, badui, tengger, dan sebagainya, Selanjutnya juga diungkap bagaimana etnik-etnik minoritas ”maju” dapat memberikan pembinaan kontribusi positif terhadap kemajuan masyarakat secara luas, baik melalui langkah-langkah integrasi sosial, asimilasi, akulturasi, dan sebagainya. Persoalannya, implementasi pendidikan tersebut, belum bisa dievaluasi terlalu dini hasil-hasil pembelajaran hubungan antar etnis tersebut, mengingat implementasi Kurikulun Satuan Pendidikan (KTSP) baru berjalan beberapa tahun terakhir.

Kemudian untuk program-program yang memfokuskan bagaimana siswa belajar, dalam program multikultural ini juga mencoba untuk memunculkan karakteristik-karakteristik ataupun adat-istiadat yang dimiliki oleh masing-masing etnik minoritas tradisional, minoritas maju, maupun etnik-etnik besar (Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan sebagainya). Dalam program ini apa yang dikemukakan Sunders (1988: 123) tentang pendekatan nilai-nilai yang menunjang kemajuan dan disukai (favorable) dan nilai-nilai yang kurang menunjang kemajuan dan tidak disukai (unfavorable) diperkanalkan kepada siswa. Tujuan pengenalan ini untuk meyakinkan bahwa dalam setiap budaya etnik tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan. Sebagai implikasi dari pernyataan tersebut tidak dibenarkan siswa menjadi pendukung nilai-nilai etnik yang fanatik. Selain itu juga dalam program ini sedikit diperkenalkan kajian-kajian jender ataupun kewanitaan.

Sedangkan untuk program-program yang memfokuskan pada isu-isu sosial, mereka mencoba untuk meningkatkan pendidikan yang diterima di sekolah dan iklim politik dan budaya di sekolah. Sebagai contoh, mereka mencoba untuk meningkatkan toleransi etnik dan budaya heterogen yang belakangan ini sering muncul kepermukaan (peringgungan pembauran kelompok etnik Cina dengan pribumi, konflik etnik Dayak dan Madura contohnya). Program ini mendorong agar para siswa ditanamkan sikap mendalam, bagaimana caranya m,ereka menjadi lebih bersikap toleran, empatik, dan mengajar dengan cara-cara yang membiarkan para siswa bekerja sama untuk belajar dan memecahkan permasalahan bersama (“belajar kooperatif”). Satu hal yang perlu dapat dibanggakan bahwa warga etnik Cina di Indonesia  dengan suka rela mereka pandai menggunakan bahasa daerah yang digunakan di daerah setempat maupun Bahasa  Indonesia.

  1. Penutup

Dari uraian di atas muncul pertanyaan yang masih terbuka untuk diperdebatkan, yakni apakah pemikiran pendidikasn kritis (Appel, Freire, maupun Giroux) dari modernisme menuju posmodernisme menandai optimisme peranan pendidikan menjadi medan produksi dan transformasi kebudayaan, bukan reproduksi kebudayaan? Benarkah sekolah sekolah mampu menjadi ajang pemberdayaan dan pembebasan individu serta kelompok dalam sebuah masyarakat yang adil dengan mendorong otonomi individual dan kolektif dalam sistem demokrasi partisipatoris yang menghargai keragaman serta kemajemukan kelompok sosial dan budaya? Pandangannya tersebut melihat demokrasi sebagai sebuah perayaan atas perbedaan dan keragaman, bukan untuk melayani agenda minoritas elite  maupun ideologi mayoritas yang berkuasa.   Persoalan lain yang juga perlu dicermati adalah apakah perubahan pandangan pendidikan kritis—yang lebih dikenal karena faktor ”kekuatan emosional”, di mana prosa dan ide-idenya memang bersemangat, namun kontribusinya untuk praktik kehidupan sehari-hari sesungguhnya masih terbatas—sekedar umum dan visioner (apalagi menurut pendapat Miedama dan Wardekker (1999: 68), pendidikan kritis memang masih sangat muda). Meskipun demikian, pemikirannya tetap menjanjikan harapan yang lebih baik bagi kita, Pemikirannya memang sangat manusiawi, yakni begitu menggelora sebagaimana optimismenya, walaupun demikian pendidikan tetap membutuhkan visinya.

Daftar Kepustakaan

Abdullah, H.M. Amin, (2003) Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: Mahammadyah University Press.

Abdullah, Taufik (1984) “Kesadaran Sejarah Masa Kini: Perdebatan Tentang Hari Sumpah Pemuda” dalam William H. Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia”,  Jakarta: LP3ES.

Abdullah, Taufik, Ed. (1990) “Di Sekitar Sejarah Lokal di Indonesia”, dalam Sejarah Lokal di Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Apple, M.W. (1982) Education and Power, New York: Routledge, edisi ke-2 diperbaiki 1995; edisi pertama diperbaiki, Boston 1992.

Anderson, James D. (2003) “Lawrence A. Cremin” dalam Joy A Palmer, 50 Pemikir Pendidikan, Dari Piaget Sampai Masa Sekarang, Alih Bahasa Farid Assifa, Yogyakarta: Jendela.

Asy’ari, Musa (2003) “Desentralisasi Pemikiran Keagamaan Muhammadyah dalam onteks Budaya Lokal” dalam Zakiyuddin Baidhaway dan Muthoharun Jinan, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: Muhammadyah University Press.

Banks, J.A. (1994) An Introduction to multicultural education, Boston: Allyn and Bacon.

Burnett, Gary (1994) Varieties of Multicultural Education: An Introduction, Eric Clearinghouse on Urban Education, New York. N.Y.

Bellah, Robert et all (1985) Habit of the Heart: Individualism and Commitment in American Life, Barkeley: University of California Press.

Berry, J.W, Ed. (1999) Psikologi Lintas Budaya Riset dan Aplikasi, Alih Bahasa: Edi Suhardono, Jakarta: PT Gramedia.

Blum, A. Lawrence, (2001) Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar Ras, Tiga Nilai  yang Bersifat Mendidk Bagi Sebuah Masyarakat Multikultural, dalam Larry May, dan Shari Colins-Chobanian, Etika Terapan: Sebuah Pendekatan Multikultura, Terjemahan: Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Blumberg, Rae Lesser, (1978) Stratification: Socioeconomic and Sexual Inequality, Dubuque, Iowa: Brown.

Brooks, Ron, (1998) King Alfred School and Progressive Movement, 1898-1998, Cardiff: University of Wales Press.

Cabral, Amilcar, (1973) Return to the Source: Selected Speeches of Amilcac Cabral, disunting oleh Africa Information Service, New York: Monthly Review Press.

Cabral, Amilcar, (1979) Unity and Struggle: Speeches and Writing, terjemahan bahasa Inggeris oleh Miichael Wolters, New York : Monththly Review Press.

Collins, Randall (1977) “Some comparative principles of educational stratification”, Harvard Educational Review, 47: 1-27.

Coppel, Charles, A.,(1983) Indonesian Chinnese in Crisis, Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Cunningham, Peter, (1988) Curriculum Change in the Primary School Since 1945: Dissemination of Progressive Ideal, London dan New York: Falmer Press.

Dworkin, Ronald (2001) “Menganggap Serius Masalah Hak”, dalam Larry May, dan Shari Colins-Chobanian, Etika Terapan: Sebuah Pendekatan Multikultura, Terjemahan: Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Darmodiharjo, D. (1985)   Pancasila   dalam   Beberapa  Perspektif,  Jakarta:  Aries Lima.

Eliade, Mircea (2001) “Realitas yang Sakral” dalam Danie L. Pals, Seven Theories of Religion: Dari Animisme E.B Taylor, Materialisme Karl Marx, Hingga Antropologi Budaya C.Geertz, Alih Bahasa Noer Zaman, Yogyakarta: Qalam.

Eliade, Mircea (2002) Sakral dan Profan, Penterjemah Nuwanto, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

Fried, Morton, H. (1967) The Evolution of Political Society, New York: Random House.

Giroux, H. (1992) Border Crossing: Cultral Workers and the Politics of Education, London: Routledge.

Giroux, M. (1981) Ideology, Culture and the Process of Schooling, London: Falmer Press.

Giroux, M. (1983) Theory and Resistance in Education, London: Heinamans.

Gudykunst dan Kim (1984) Communicating with Strangers: An Approach to Intercultural Communication, Reading: Addison Wesley.

Harris, Philip R & Moran, Robert.T. (2001)” Memahami Perbedaan-perbedaan Budaya” dalam Deddy Mulyana dan Jaluddin Rakhmat Ed. Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya,  Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Harner, Michael, J. (1970) “Population pressure and the social evolution of agriculturalists”, dalam South-western Journal of Anthropology 26: 67-86.

Hetzler, Joyce O., (1985) A Sociology of Language, New York: Random Huose.

Horton & Hunt, (1991) Sosiologi, Penerjemah Aminuddin Ram dan Tita Sobari, Jakarta: Erlangga.

Howard, Rhoda E. (2000) HAM: Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya,  Penerjemah: Nugraha Kartjasungkana, Yogyakarta: Graviti

Jandt, Fred E. (1998) Intercultural Communication An Introduction, Thousand Oaks: Sage Publication.

Johnson, Doyle.P., (1986) Teori Sosiologi: Klasik dan Modern, Diindonesiakan oleh Robert M.Z. Lawang, Jakarta: PT Gramedia.

Koentjaraningrat, (1986) Peranan Local Genius dalam Akulturasi’, dalam Ayatrohaedi Ed. , Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Jakarta: Pustaka Jaya.

Koentjaraningrat, (1995) “Penggunaan Metode-metode Antropologi dalam Historigrafi Indonesia” dalam Soedjatmoko et al Historiografi Indonesia, Jakarta: Gramedia.

Kymlicka, Will (1999) “Misunderstanding Nationalism” dalam Theorizing Nationalism, diedit oleh R. Beiner, Albany: State University of New York.

Kymlicka, Will (2002) Kewargaan Multikultural, Terjemahan Edlina Hafmini Eddin, Jakarta: LP3ES.

Liddle, R. W. (1970)  Ethnicity, Party, and National Integration: An  Indonesia Case Study”, New Haven and London: Yale University Press.

Magnis-Suseno, F. (1992) “Filsafat Sebagai Ilmu Kritis”, Pustaka Filsafat, Jakarta: Kanisius.

Magnis-Suseno,F. (2000) Kuasa & Moral, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Marger, Martin N. (1985) Race Ethnic Relations: American and Global Perspektive, Belmomont California: Wadworth, Inc

Maslow, A.H. (1954) Motivation and Personality, New York:  Harper & Row Publisher

Naisbitt, John (1994) Global Paradox, Alih Bahasa : Budijanto, Jakarta: Binarupa Aksara.

Naisbitt, John (2001) High Tech High Touch: Pencarian  Makna di Tengan Perkembangan Pesat Teknologi, Penerjemah Dian R. Basuki, Bandung: Mizan.

Parsons, Talcott, (1966) Societies: Evolutionary and Comparative Perspectives, Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall.

Parsons, Talcott, (1977) The Evolutionary of Societies. Diedit oleh by Jackson Toby, Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall.

Peransi, D.A. (1985) “Retradisionalisasi dalam Kebudayaan”,  Prisma No.6 Jakarta: LP3ES.

Piliang, Indra J. (2001) Dari Masyarakat Aliran ke Masyarakat Etnik” dalam  Indra J. Piliang, Edy Prasetyono, Hadi Soesastro, Merumuskan Kembali Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.

Poespowardojo, Soerjanto, (1999) Menuju Integrasi Bangsa Indonesia Masa Depan, Jakarta: Sejarag, 8. LP3ES.

Pasodjo, Imam (2000) “Solidaritas Sosial Terancam Menghilang” dalam Media Indonesia, 22 Mei 2000.

Said,Edward.W. (1996) Culture and Imperialism, Terjemahan Rahmani Astuti,  Bandung : Mizan.

Said, Edward,W. (2003) Kekuasaan, Politik, dan Kebudayaan: Wawancara  dengan Edward.W. Said, Terjemahan Hartono Hadikusumo, Yogyakarta: Pustaka Promothea.

Sanderson, Stephen K. (1991) Macrosocilogy, New York: HarperCollins Publisher, Inc.

Saunders, M. (1982) Multicultural Teaching: Aguide for the classroom, London: McGraw-Hill Company.

Schramm, Wilbur (2001) “Perihal Membangun Jembatan” dalam Deddy Mulyana dan Jaluddin Rakhmat Ed. Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya,  Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Sleeter, C.E. (1992) “Restructuring Schools for Multicultural  Education”, dalam Journal of Teacher Education 43, halm. 141-148,

Simattupang, M (2002) Budaya Indonesia yang Supraetnis, Jakarta, Penerbit Papas Sinar Sinanti.

Sleeter, C.E., & Grant, C.A. (1993) Making choices for multicultural education: Five approaches to race, class and gender (2nd ed.), New york: Merrill.

Smelser, J. (1990) Sosiologi Ekonomi, Alih Bahasa Hasyimi Ali, Jakarta: Wira Sari.

Spradley, James, (1997) Metode Etnografi, Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Stavenhagen, R.(1986) Problems and Prospects of Multiethnic States, Tokyo: United Nations University Press.

Supardan, Dadang (2002) “Keberhasilan Kebijakan Multikulturalisme Kanada dan Tantangannya: Studi Hak Azasi Manusia dalam Perspektif Global”, Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial (JPIS), Bandung: FPIPS UPI.

Supardan, Dadang (2003) “Turbulensi dan Bahaya Kekerasan dalam Pendidikan”, Dalam Helius Sjamsuddin & Andi Suwirta, Historia Magistra Vitae: Menyambut 70 Tahun Prof.Dr.Hj. Rochiati Wriaatmadja, M.A, Bandung: Historia Utama Press.

Supardan, Dadang (2005) Pembelajaran Sejarah Berbasis Pendekatan Multikultural dan Perspektif Sejarah Lokal, Nasional, dan Global dalam Integrasi Bangsa, Disertasi Untuk Memperoleh Gelar Doktor di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung Tidak dipublikasikan.

Supardan, Dadang (2007) Pengantar Ilmu Sosial: Suatu kajian Pendekatan Struktural, Jakarta: Bumi Aksara.

Suparlan, Parsudi, (2003a)  Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dalam Masyarakat Majemuk Indonesia”, Jurnal Antropologi Indonesia, Tahun XXVII, No.71, Jakarta: Universitas Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia.

Suparlan, Parsudi (2003b) “Bhineka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa atau Kebudayaan”, Jurnal Antropologi Indonesia, Tahun XXVII, No.72, Jakarta: Universitas Indonesia-Yayasan Obor Indonesia.

Supriadi, Dedi, (2001) Konseling Lintas Budaya: Isu-isu dan Relevansinya di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Bimbingan dan Konseling UPI,  Bandung,

Thohari, Harijanto Y. (2000) “Pluralisme Etnik Sebuah Potensi Konflik” dalam Yayah Kisbiyah Ed. Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tjokrowinito, Moeljarto, (1996) “Nasionalisme dalam Perspektif Politik” dalam Jurnal Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Gajah Mada Press.

Toffler, Alvin (1970) Future Shock, London : Pan Books

Toffler, Alvin (1992)  Pergeseran Kekuasaan: Pengetahuan, Kekayaan, dan Kekerasan Di Penghujung Abad ke 21 (Bagian Kedua),  Alih Bahasa: Hermawan Sulistyo dkk. Jakarta: PT Pantja Simapti.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *