Perempuan dalam Historiografi Sejarah Indonesia

Perempuan dalam Historiografi Sejarah Indonesia

Wildan Insan Fauzi

Catatan Peter Burke (2015: 72-74) memperlihatkan bahwa teori feminis lebih bermanfaat untuk membuat pertanyaan dibanding untuk menemukan jawaban. Feminisme mendorong banyaknya kajian-kajian tentang sejarah perempuan yang memberikan perepektif baru tentang sejarah. Beberapa sejarawan yang menulis tentang sejarah perempuan antara lain: Natalie Davis, Elizabeth Fox-Genovese, Olwen Huffon, Joan Kelly, Helena Cixous, Nancy Chodorow, Elaine Showalter, dan Joan Scott. Peran kaum wanita pada abad XX terasa semakin mengental seiring dengan hadirnya konsep feminisme di berbagai belahan dunia. Beberapa tokoh pengarang seperti Simone de Beauvoir, Margueritte Yourcenar, atau tampilnya Edith Cresson sebagai Perdana Menteri Perancis, meskipun hanya dalam kurun waktu singkat, merupakan beberapa bukti menguatnya persamaan gender (Michelet, 2006).

Keberadaan perempuan nyaris tidak nampak oleh sejarawan baik pekerjaan sehari-hari sampai peran politik mereka sering terbaikan (Burke, 2015: 73). Sekitar kurun waktu 1970-an, gerakan untuk menciptakan ilmu sejarah khusus wanita mulai terlihat bentuknya, berkat kebangkitan studi-studi wanita dan feminisme. Hal ini melemahkan setiap asumsi tentang kesatuan ‘kelas-kelas yang disubordinasikan’ (Burke, 2000: 442; Supardan, 2008). Kepedulian lebih besar untuk menampilkan perempuan dalam sejarah muncul pada tahun 1989 dengan terbittnya juranal History and Gender.

Kajian feminisme memunculkan corak baru dalam kajian sejarah seperti proses konstruksi gender secara sosial dan kultural, mislanya: kajian Bynum (1982) tentang perdebatan dalam sejarah tentang gender Allah, kajian Rogers (1975) dan Segelan (1980) mengenai mitos dominasi laki-laki terhadap perempuan, Kajian Dias (1983) tentang para pekerja Perempuan miskin di Sao Paulo abad 19; Kajian Thomas (1971) tentang Dukun Perempuan di Eropa abad pertengahan; tulisan Dekker mengenai 119 perempuan Belanda yang hidup sebagai laki-laki di militer Belanda, dan lainnya (Burke, 2015). Lyn Hunt (1989) dalam bukunya The New Cultural History, melihat bagaimana pentingnya peran gender sebagai sejarah sosial dan kebudayaan

Kajian gerakan perempuan di Perancis memperlihatkan bahwa perubahan beberapa rezim pemerintahan pun tidak mampu mendongkrak peran wanita. Transformasi rezim Monarki Absolut (Monarchie Absolue) yang diganti dengan Republik setelah Revolusi Perancis tahun 1789 tidak membawa perubahan esensial pada peran wanita. Era Republik Kedua Perancis pada tahun 1848 bahkan masih belum memberikan izin kepada wanita untuk memiliki hak pilih. Hak tersebut baru diperoleh pada masa Republik Keempat pada tahun 1944 (Vovelle, 1988). Sebuah ironi sejarah yang sebenarnya terjadi pada masyarakat yang demikian mengagungkan demokrasi dan memiliki simbol wanita sebagai salah satu pondasi utamanya.

Bagaimana dengan historiografi perempuan dalam sejarah Indonesia? Penulisan sejarah perempuan di Indonesia nampaknya masih sunyi dan luput dari perhatian sejarawan. Melihat perkembangan historiografi di dunia, juga di Indonesia dapat dikatakan bahwa sejarah adalah milik kaum laki-laki. (Kuntowijoyo, 1994: 99). Penulisan sejarah yang berpusat kepada laki-laki ini disebut juga dengan androsentris, Bambang Purwanto mengatakan bahwa “baik secara sadar atau tidak, realitas historis perempuan telah diabaikan sebagai proses sejarah Indonesia‟(Purwanto, 2006, hal. 35).

Sejak tahun 1997 lebih dari 1.700 buku sejarah Indonesia yang diterbitkan. Dari sekian banyak itu, hanya 2 persen yang membahas dan menyinggung tentang perempuan (Hartiningsih, 2007). Bambang Purwanto (2006) menguraikan beberapa faktor penyebab terabaikannya penulisan sejarah perepmpuan di Indonesia, yaitu: paradigma yang keliru tentang sejarah perempuan, persoalan metodologi, perspektif yang keliru tentang dunia perempuan sangat berpengaruh kepada faktor lainnya, dan sulitnya menemukan sumber-sumber tentang masa lampau yang berhubungan dengan perempuan sebagai aktor sejarah.

Wiriaamadja (2003: 90) menyampaikan beberapa alternatif kajian sejarah perempuan di Indonesia, yaitu kajian tokoh perempuan dan sejarah perempuan dalam berbagai aspek seperti ekonomi, poliik, sosial, dan budaya. Bisa diuraikan mengenai peran perempuan dalam berorganisasi, dan usaha memperbaiki derajat dan kehidupan perempuan. Studi-studi tentang perempuan masih terbatas dan didominasi dengan tema-tema pemberdayaan perempuan dan masih banyak mengalami “bias gender”. Artinya hamper keseluruhan peristiwa yang diungkapkan dalam sejarah Indonesia sangat didominasi oleh pria sebagai aktor utamanya (Fatimah, 2006).

Untuk Indonesia, gerakan feminisme mulai diperjuangkan oleh R.A. Kartini (1879-1904) yang surat-suratnya diterbitkan dalam judul Door duisternis tot licht atau terjemahan dalam bahasa Indonesinya “Habis Gelap Terbitlah Terang” oleh Armijn Pane (Suaprdan, 2008). Ratna Utami (2007) menguraikan peran organsiasi perempuan masa pergerakan nasional di Indonesia, yaitu perkumpulan “Putri Mardika”, yang pada zaman pergerakan nasional juga menerbitkan surat kabar untuk kepentingan memajukan kaum wanita pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Surat kabar Poetri Mardika berisi pandangan-pandangan mengenai emansipasi wanita di Indonesia. Poetri Mardika adalah nama surat kabar yang diterbitkan satu bulan sekali oleh sebuah organisasi perkumpulan wanita, Putri Mardika, pada tahun 1914 di Jakarta, tepatnya di jalan Batu Tulis No.21, Weltevreden (daerah Gambir sekarang), Jakarta. Perkumpulan wanita, Putri Mardika, sendiri didirikan pada tahun 1912 dan memiliki tujuan untuk memajukan kaum wanita Indonesia dengan mencari bantuan keuangan bagi wanita (terutama gadis-gadis) yang ingin melanjutkan sekolah.

Karya-karya sejarawan mengangkat perempuan dalam konteks sebagai tokoh sejarah dan pahlawan bangsa. Dalam uraian sejarah banyak diulas tenatng tokoh Ratu Sima dari Kalingga yang tegas sebagai seorang pemimpin, kecantikan Ken Dedes, Perlawanan Cut Nya Dien dan Martha Christina Tiyahahu melawan Belanda, perjuangan Pendidikan perempuan oleh Maria Walanda Maramis, Rachmah el Yunusiyah dan lainnya (Wiriaatmadja, 2003: 87-88). Sidney Hook dalam bukunya “The Hero in History” menguraikan konsep “the vent making woman”. The event making Woman adalah perempuan yang Tindakan-tindakannya merupakan konsekuensi dari kapasistas intelegensia, kemauan yang keras, dan karakter yang bersangkutan, dan dengan demikian bukan hanya disebabkan karena kedudukan perempuan tersebut di masyarakat (Wiriaatmadja, 2003). Tokoh-tokoh perempuan yang dianggap “the event making Woman” dalam sejarah kebangsaan Indonesia anatara lain Kartini, Raden Dewi Sartika, dan Rohana Kudus (Lubis, 2002: 163-172).

Tulisan-tulisan sejarawan masih memperlihatkan dominasi peran laki-laki pada kemajuan perempuan, seperti Kajian Insiwi Febrianti Setiasih (2010) mengenai peran Mangkunegara VII (1916-1944) pada Pendidikan perempuan di Surakarta. Mason C. Hoadley (2007) menganalisis posisi perempuan pada struktur sosial Masyarakat Jawa awal abad 20. Hoadley menyampaikan bahwa posisi perempuan Jawa berada pada subordinasi ayah atau suami sampai pada titik kehilangan semua kebebasan. Perempuan dilarang menggadaikan kapasitas produktifnya melalui lembaga jeratan hutang. Sementara perempuan pada umumnya memiliki hak kepemilikan dan warisan atas barang bergerak, terutama properti yang diperoleh bersama, mereka hampir tidak memiliki alat produksi. Wanita yang termasuk dalam kategori “tidak bebas” umumnya kehilangan kendali atas keturunan mereka. Dalam keadaan ini orang akan kesulitan untuk menyatakan bahwa perempuan adalah memiliki otonomi di Jawa modern awal.

Uraian perempuan dalam urusan domestik masih mewarnai narasi sejarah perempuan di Indonesia. Dalam sejarah revolusi Indonesia, perempuan paling sering diungkapkan keterlibatan perannya di dalam dapur umum dan sangat sulit menemukan tulisan-tulisan dari sekian banyak karya-karya tentang sejarah revolusi yang mengungkapkan perempuan dalam bentuk lainnya. Meskipun demikian, banyak juga karya karya yang memperlihatkan superioritas perempuan Nusantara terutama masa revolusi dan di Aceh.

Ayu Wulandari (2020) mengungkapkan bahwa dalam revolusi Indonesia, para perempuan bahkan memiliki peran yang sangat penting dalam revolusi kemerdekaan Indonesia, terutama dalam urusan dapur umum dan pengobatan bagi pejuang-pejuang yang terluka dan juga tergabung dalam Laskar Wanita Indonesia. Sifat-sifat heroik dan patriotisme masyarakat Aceh tidak hanya didominasi oleh laki-laki saja, namun juga wanita sehingga banyak melahirkan sulthanah baik pada kerajaan; Peureulak, Samudra Pasai, maupun Aceh Darussalam. Sultanah yang dimaksud yaitu; Sultanah Safiatuddin Syah (w. 1675); Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin (1675-1678 M); Sultanah Inayat Zakiatuddin Syah (1677-1688 M); Sultanah Kamalat Zainatuddin Syah (1688-1699 M) (Sofyan, 1994). Aceh juga melahirkan pejuang-pejuang yang melawan colonial Barat, yaitu Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Laksamana Keumalahayati.

 

Referensi

Abercrombie, N; Hill, S & Turner, B.S. (2010). Kamus Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Burke, P. (2000) “Sejarah” dalam Kuper, Adam & Kuper (ed), Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar dkk,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn. 440-444.

Burke, P. (2015). Sejarah dan Teori Sosial (Edisi Kedua). Jakarta: Yayasan Obor

Butler, J. (1990). Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. New York: Routledge

Fatimah, S. (2006). “Negara dan Perempuan: Fujinkai (1983-1945) dan Dharma Wanita (1974-1999)” ringkasan disertasi, dalam Jurnal Masyarakat Indonesia. Jakarta: LIPI, Jilid XXXII

Hartiningsih, M. (2007). “Perspektif Historiografi Feminis dalam Penulisan Sejarah”, makalah disampaikan pada lokakarya Historiografi Indonesia di Yogyakarta, yang diselenggarakan oleh pusat Studi Asia Tenggara, Universitas Gajahmada, Senin 30 Juli 2007. http:/www.Kompas.com/kompas cetak/0707/30/swara/3723121.htm

Hoadley, M. C.  (2007). Practice and Narrative in Gender Relations in Early-Modern Java. HISTORIA: Journal of Historical Studies, VIII, 1 (June 2007)

Humm, M. (2000) ”Teori Feminisme” dalam Adam Kuper & Jesica  Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan oleh Haris Munandar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Hunt, L. (1989). The New Cultural History. Berkeley University: California Press

Lechte, J. (2001) 50 Filsuf Kontemporer: dari Strukturalisme sampai Post Modernisme, Penerjemah A. Gunawan Admiranto, Yogyakarta: Kanisius.

Lubis, N.H. (2002). Sejarah dan Budaya Politik. Bandung: Satya Historika

Lubis, A.F. (2016). Pemikiran Kritis Kontemporer: Dari Teori Kritis, Culture Studies, Feminisme, Postkolonia, Hingga Multikulturalisme. Depok: PT RajaGrafindo Persada

Kuntowijoyo. (1994). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada

Mathiex, Jean. (1996). Histoire de France. Paris: Hatier Livre FLE.

Michelet, J. (2006). Histoire de France. Oxford: Oxford University.

Nussbaum, M. (1999). The Professor of Parody: The hip defeatism of Judith Butler. online) diakses 24 November 2020. https://newrepublic.com/article/150687/professor-parody

Purwanto, B. (2006). Gagalnya Historiografi Indonesiasentris. Yogyakarta: Ombak

Setiasih, I.F. (2010). Pemikiran Mangkunegara VII (1916-1944) tentang Pendidikan perempuan di Surakarta, dalam Margarana, S & Fitrianingsih (ed). Sejarah Indonesia: Perspektif Lokal dan Global: Persembanhan untuk 70 Tahun Prof. Dr. Djoko Surjo. Yogyakarta: Ombak

Sofyan, I. dkk. (ed). (1994). Perempuan Utama Nusantara: dalam Lintasan Sejarah. Jayakarta: Agung Offset, 1994,

Supardan, D. (2008). Pengantar Ilmu Sosial. Jakarta; Bumi Aksara

Utami, R. (2001). Pandangan dan Peranan Surat Kabar Bulanan Poetri Mardika dalam Memperjuangkan Emansipasi Wanita di Indonesia, 1915-1920. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI.

Vovelle, Michel. (1988). La Révolution Contre l’église de la Raison à l’être Suprême. Paris: Librairie du Bicentenaire de la révolution française.

Wiriaatmadja, R. (2003). Pendidikan Sejarah di Indonesia: Perspektif, lokal, Nasional, dan Global. Bandung; Historia Utama Press.

Wulandari, A. (2020). Menghadirkan Perempuan Dalam Historiografi Pasca Merdeka: Membangun Karakter Bela Negara Melalui Narasi Sejarah. Jurnal Pertahanan & Bela Negara, Agustus 2020, Volume 10 Nomor 2.

Transform your experience of igdownloader with our specialized tool.

Comments are closed.