Pembenahan Pembelajaran Sejarah Untuk Membangun Generasi Yang Terdidik

Oleh : Zafri

PENDAHULUAN

Berbicara tentang pembangunan bangsa, tentu semua elemen dan unit dapat memberikan peranannya masing-masing. Salah satu elemen yang memiliki peran yang sangat penting adalah dunia pendidikan. Bahkan tanpa ragu kita dapat mengatakan bahwa pendidikan adalah jantungnya pembangunan. Baik dan buruknya pendidikan di negeri ini juga terletak dalam proses pembelajaran. Maka, pada Seminar Nasional Pendidikan Sejarah yang diadakan oleh Asosiasi Pendidikan dan Peneliti Sejarah ini, penyaji khusus membahas mengenai pembelajaran sejarah yang dilaksanakan di sekolah.

Pembelajaran Sejarah, bertujuan untuk melahirkan generasi muda terdidik yang memiliki sikap arif dan bijaksana. Arif diartikan sebagai pemahamannya terhadap fenomena yang terjadi pada masa lampau. Berdasarkan masa lampau tersebut siswa mampu dengan bijaksana memecahkan masalah-masalah sosial yang terjadi pada masa sekarang dan masa yang akan datang, maka disinilah letak sejarah sebagai fungsi edukatif.

Untuk mencapai sasaran di atas, maka dikembangkanlah keterampilan kognitif, yang meliputi keterampilan proses, keterampilan aplikatif, keterampilan peramalan, keterampilan berpikir kritis-analisis, serta penanaman nilai (tujuan pembelajaran sejarah, KTSP 2006).

Namun kenyataannya, prakteknya di sekolah-sekolah belum seirama dengan tugas yang diembankan oleh kurikulum 2006 tersebut. Bagaimanapun, tentu yang paling bertanggung jawab adalah para guru sebagai manager pembelajaran. Mengutip pernyataan Taufik Abdullah “Bahwa strategis pedagogis sejarah Indonesia sangat lemah. Pendidikan sejarah di sekolah masih berkutat pada pendekatan cronichle dan cenderung menuntut anak agar menghafal suatu peristiwa” (Abdullah dalam Alfian, 2007:2). Bercermin dari pendapat Taufik Abdullah ini, ternyata sumber permasalahan utama terletak pada lemahnya penguasaan konsep sejarah bagi guru-guru, ketiadaan penstrukturan materi ajar, serta kekonvensionalan pendekatan pembelajaran yang digunakan oleh guru-guru sejarah, yang pada akhirnya bermuara pada pembuatan soal-soal tanpa memiliki alat ukur yang jelas.

Terabaikannya konsep-konsep dasar di atas, menyebabkan pengajaran sejarah semakin tidak bermakna bagi anak didik. Secara kasat mata tidak kelihatan sumbangan pengajaran sejarah bagi perilaku siswa sehari-sehari, sehingga menjadi issu yang tajam tentang perlu tidaknya pengajaran sejarah di sekolah-sekolah.

Risalah ini dimaksudkan sebagai pembuka jalan untuk memberi penerangan dalam pemahaman pengajaran sejarah, dalam  memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai kepada siswa agar dapat mencapai hasil maksimum. Ia bisa dibuat sederhana dan sebaliknya bisa rumit. Namun dengan memperhatikan kaidah-kaidah pendidikan dan fungsi-fungsi pengajaran itu sendiri, maka lewat diskusi makalah ini nantinya saya berharap agar kiranya presentasi ini dapat membantu pengajar sejarah memecahkan persoalan-persoalan di dalam kelas, terutama pada pembelajaran sejarah pada Sekolah Menengah Atas. Bagaimana ini mungkin diupayakan? Dari mana perbincangan ini harus dimulai? Di dalam risalah ini saya akan mencoba menggabungkan bahan diskusi ini dari pengalaman pribadi yang relatif bersahaja dengan apa yang dapat dipelajari dari buku-buku teks yang terbatas.  Untuk itu perkenankan saya mulai dengan pokok soal berikut.

FENOMENA PEMBELAJARAN SEJARAH

Konsep dasar materi sejarah adalah peristiwa atau kejadian-kejadian yang berhubungan dengan manusia. Kejadian atau peristiwa dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Faktor utama yang membedakan materi sejarah dengan materi ilmu lainnya adalah pada aktivitas manusia. Fokus perhatiannya berkaitan dengan aktivitas manusia yang mengalami proses perubahan dalam rentangan waktu (diakronis), sehingga sering disimbolkan dengan pohon (syajarotun) atau silsilah. Karena pada hakekatnya syajarotun dan silsilah itu sendiri mengalami proses perubahan atau perkembangan. Maka atas dasar ini yang menjadi roh dari sejarah itu adalah aktivitas manusia atau kehidupan manusia dalam suatu proses perubahan. Jika konsep dasar/ hakekat sejarah ini dipahami oleh guru dengan baik, tentu tidak akan terjadi berbagai ‘keanehan’ dalam pembuatan soal ujian, seperti menanyakan lapisan bumi, jenis manusia purba, hasil kebudayaan, tahun-tahun, tempat, nama orang, dan sebagainya.

Kesalahan-kesalahan dalam memahami materi sejarah, pada akhirnya menimbulkan berbagai konsekuensi, seperti; siswa merasa bosan, tidak tahu arah, dan terlebih lagi tidak mengandung nilai pendidikan. Pada dasarnya salah satu nilai edukatif sejarah itu terletak pada “belajar dari pengalaman/ kejadian dari masa lampau”. Berdasarkan pemahaman yang jelas dari guru tentang hakekat sejarah ini, barulah dapat dikembangkan materi keilmuan sebagaimana layaknya ilmu-ilmu lainnya, yang terdiri dari fakta, konsep, prinsip/ generalisasi. Melalui konstruksi konsep dan prinsip akan didapat materi sejarah yang bermanfaat bagi anak didik, karena fakta masa lampau itu telah dijadikan ke masa kini dan akan datang dalam bentuk konsep dan prinsip tersebut.

Di bidang materi, permasalahan yang ‘meracuni’ pembelajaran sejarah adalah ketiadaan struktur materi itu sendiri. Hal ini terlihat dalam penyajian materi di dalam kelas. Seperti tujuan pembelajaran atau soal ujian yang berbeda, dari dua orang guru yang mengajarkan topik yang sama. Ambil salah satu contoh; dua orang guru mengajarkan topik tentang Kerajaan Samudera Pasai. Maka, tidak ada yang dapat menjamin bahwa dua orang guru tersebut membuat tujuan pembelajaran yang sama, materi ajar yang sama, dan soal-soal yang sama. Padahal tujuan akhir  kurikulum yang akan mereka capai harus sama. Apalagi kalau diteliti secara menyeluruh, dapat dipastikan akan banyak ditemukan variasi pembelajaran yang tidak terstruktur ini dalam proses pembelajaran guru-guru sejarah di Indonesia.

Konsekuensi lain dari ketiadaan struktur ini adalah kekaburan peserta didik untuk mencatat, menghafal, atau ‘meramal’ materi yang akan diujikan. Sehingga mengakibatkan anak didik mempelajari materi yang tidak jelas arahnya. Pada akhirnya hal ini membuat mereka tidak termotivasi untuk belajar. Apalagi jika dihubungkan dengan pembudayaan belajar mandiri sepanjang hayat.

Masih dalam kerangka ini, penerapan pendekatan pembelajaran yang dilakukan guru sangat tertinggal. Falsafah pembelajaran masih didominasi oleh pewarisan nilai-nilai, dalam artian mengajarkan apa yang dipelajari oleh generasi sebelumnya. Padahal, kurikulum yang kita pakai sekarang telah meninggalkan pendekatan jenis ini (kurikulum 1975). Hal lain dari indikasi ini dapat dilihat dari metode yang digunakan guru masih dominan metode ceramah, materi ujian masih menanyakan peristiwa masa lampau, menekankan tingkat berpikir yang masih taraf ingatan (recall). Kondisi ini tentu tidak memungkinkan mentransfer nilai-nilai masa lampau kepada anak didik, yang dapat digunakan untuk kehidupannya dimasa sekarang, maupun untuk digunakan dimasa yang akan datang.

Permasalahan-permasalahan di atas telah menggerogoti kegiatan pembelajaran di sekolah saat ini, sangat fatal dampaknya terhadap peserta didik. Sehingga pada akhirnya pembelajaran sejarah tidak/ belum memberikan manfaat dalam perkembangan generasi penerus bangsa.

REKONTRUKSI PEMBELAJARAN SEJARAH

Sesuai dengan permasalahan-permasalahan utama yang telah kita dikemukakan, maka pembelajaran sejarah dilembaga pendidikan formal harus memiliki fondasi yang kokoh berkaitan dengan pemahaman terhadap materi sejarah maupun dalam proses pembelajaran.

  • Penekanan Materi Sejarah Secara Tepat

Pertanyaan sederhananya adalah materi apa yang harus diajarkan? Pertama, proses perubahan, karena sejarah adalah ilmu tentang proses perubahan. Cerita tentang perubahan kejadian serta ilmu yang menyelidikinya pada dasarnya merupakan kegiatan manusia yang ditujukan untuk menceritakan apa yang dilakukan manusia pada masa lampau. Secara umum menurut Ibnu Khaldun (dalam Rahman Zainuddin, 1992) peristiwa sejarah itu memiliki awal, berkembang, mundur dan akhirnya hancur. Namun secara khusus pola perubahan ini tidak dapat dipakaikan pada setiap peristiwa, karena pola-pola perubahan pada dasarnya berbeda-beda sesuai dengan karakteristik materi sejarah yang induktif.

Materi pokok kedua dalam sejarah harus berpegang pada hakekat sejarah itu sendiri, yaitu fakta atau fenomena sosial. Fakta tersebut harus dijalin dalam suatu konstruksi cerita yang menunjukkan suatu proses perubahan. Proses perubahan ini harus ditemukan polanya dalam bentuk suatu pola perkembangan sehingga sampai pada kemunduran dan berakhirnya. Dalam artian ini, setiap suatu peristiwa memiliki awal dan memiliki akhir.

Menurut Louis Gottschalk (1969), fakta sejarah adalah sesuatu unsur yang dijabarkan secara langsung atau tidak langsung dari dokumen-dokumen sejarah dan dianggap kredibel setelah pengujian yang seksama sesuai dengan hukum-hukum metode sejarah. Fakta merupakan pernyataan tentang kejadian menurut Sartono Kartodirjo (1993:17). Fakta sebenarnya bukanlah kenyataan itu sendiri dan juga bukan merupakan apa yang dilihat seperti dokumen, benda-benda peninggalan sejarah dan lain sebagainya tetapi fakta adalah kejadian yang diungkapkan tentang apa yang dilihat wujudnya secara nyata. Fakta merupakan gambaran atau deskripsi tentang kenyataan yang terjadi ditambah dengan tafsiran dari penulis cerita sejarah. Sifat utama dari fakta adalah bersifat tunggal, dia tidak akan pernah berulang lagi. Oleh karena itu, harus hati-hati membedakan antara fakta sejarah dengan bukti sejarah (evident) dan sumber sejarah (source).  Seperti, membicarakan mengenai teknologi manusia pra aksara maka diantara faktanya adalah kepandaian mengasah secara halus, buktinya adalah kapak lonjong, sedangkan sumbernya adalah artefak.

Materi ketiga yang akan diajarkan adalah konsep. Disamping konsep itu sebagai salah satu materi keilmuan, konsep juga sangat bermanfaat untuk melepaskan diri dari berpikir masa lampau. Karena hakekat dari konsep itu lintas waktu dan tempat. Sehingga melalui  pembelajaran masa lampau ada suatu kasus tertentu yang dapat dihadirkan ke masa kini.

Menurut Rosser (dalam Ratna W. Dahar, 1989:79), konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek-objek, kejadian-kejadian, atau hubungan-hubungan, yang mempunyai atribut-atribut yang sama. Konsep dikomunikasikan dengan menggunakan nama-nama yang kita berikan pada konsep-konsep itu, yang telah kita terima bersama. Mehlinger (dalam Waney, 1989:68) mengartikan konsep sebagai suatu istilah yang dipergunakan untuk mengelompokkan sejumlah objek, peristiwa atau proses yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Sedangkan menurut Beyer (dalam Waney, 1989:68) konsep adalah suatu gambaran dalam pikiran tentang sejumlah fenomena yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Dari beberapa defenisi tentang konsep di atas dapat penulis simpulkan bahwa konsep adalah abstraksi dari fakta-fakta, yang mempunyai karakteristik atau ciri-ciri yang sama, dan dinyatakan dengan sebuah nama.

Belajar konsep mempunyai arti penting bagi pendidikan, karena konsep-konsep merupakan batu-batu pembangunan (building block) berpikir. Konsep-konsep merupakan dasar bagi proses mental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi-generalisasi. Tanpa konsep, proses belajar mengajar akan terlambat. Secara anatomis, setiap konsep mengandung beberapa unsur. Unsur-unsur itu menurut Beyer yaitu; nama, contoh, atribut, dan nilai atribut. Dengan konsep kita bisa menghubungkan peristiwa masa lampau tersebut ke masa sekarang, karena salah satu karakteristik konsep berupa lintas waktu dan tempat.

Pemberian contoh konsep dalam pembelajaran sejarah bertujuan agar siswa mudah memahami dan mengembangkan daya nalar siswa tentang bagaimana peristiwa sejarah terjadi dan terangkum dalam pernyataan 5W + 1H dan sebagai hasilnya, siswa bisa memakaikan konsep-konsep tersebut dalam kondisi sekarang.

Materi keempat adalah prinsip atau disebut juga dengan sebab-akibat (kausalitas). Materi prinsip merupakan dasar-dasar ilmu menurut pandangan positivisme. Melalui hubungan sebab-akibat ini dapat diambil generalisasi untuk menerangkan kejadian alam, meramal apa yang akan terjadi, atau mengontrol yang tidak diinginkan (fungsi ilmu). Sebaliknya tanpa memiliki materi prinsip, pembelajaran sejarah bukanlah mengajarkan suatu ilmu. Melalui prinsip ini hikmah-hikmah masa lampau akan berguna bagi kehidupan masa sekarang dan masa yang akan datang.

Prinsip adalah suatu pernyataan fundamental atau kebenaran umum maupun individual yang dijadikan oleh seseorang atau kelompok sebagai sebuah pedoman untuk berpikir atau bertindak. Sebuah prinsip merupakan roh dari sebuah perkembangan ataupun perubahan, dan merupakan akumulasi dari pengalaman ataupun pemaknaan oleh sebuah obyek atau subyek tertentu. Oemar Hamalik (2002:170) juga menyatakan bahwa prinsip merupakan kombinasi konsep-konsep, bukan penjumlahan beberapa konsep yang dikaitkan dalam satu kalimat. Suatu prinsip menyatakan hubungan relationship antara kelas-kelas peristiwa (event) sehingga kita dapat (1) membuat perkiraan konsekuensi-konsekuensi, (2) menjelaskan peristiwa atau kejadian-kejadian, (3) menunjukkan sebab-sebab, (4) mengontrol situasi dan, (5) memecahkan masalah.

  • Penstrukturan Materi Ajar

Dimana letak materi essensial suatu cerita sejarah? Untuk menjawab pertanyaan ini, hal yang harus kita ingat bahwa sepanjang cerita sejarah pada dasarnya adalah fakta, namun tidak semua fakta tersebut harus diajarkan atau dikuasai anak, melainkan hanyalah fakta penting (essensi) yang menunjukkan proses perubahan yang (mungkin) terdiri dari fakta awal, fakta perkembangan, fakta kemunduran dan fakta berakhir. Setelah selesai menetapkan fakta setiap perubahan tersebut, maka harus dibentuk konsep keilmuan terhadap masing-masing fakta perubahan, sehingga setiap fakta menjadi konsep. Langkah berikutnya adalah menemukan prinsip (sebab-akibat). Yaitu Sebab masing-masing perubahan, yang terdiri dari sebab lahir suatu peristiwa, sebab perkembangannya, sebab kemundurannya dan sebab habis/ berakhirnya.

Dengan demikian letak materi essensial (fakta, konsep, prinsip) pembelajaran sejarah terletak pada setiap tonggak perubahan itu sendiri (awal, berkembang, mundur, habis).

  • Pendekatan Pembelajaran

Pendekatan pembelajaran harus didasarkan atas teori budaya pemprosesan. Bahwa belajar itu adalah pewarisan bagaimana orang memproses suatu ilmu tersebut dahulunya. Implikasi dari teori ini adalah belajar merupakan latihan-latihan mengenai pemprosesan ilmu dan pengembangannya. Hasil dari pendekatan ini adalah anak didik memiliki keterampilan intelektual, yang suatu ketika dapat digunakan untuk pemecahan masalah sosialnya. Keterampilan yang dapat dikembangkan melalui budaya belajar ini, yaitu;

  1. Keterampilan Intperetasi dan Berpikir Kritis

Melalui sajian sejumlah fakta yang didapat dari bacaan atau sumber lainnya. Anak didik dilatih menginterpretasikan untuk membangun suatu struktur proses perubahaan peristiwa. Dalam hal ini secara langsung telah dilatih anak didik memahami bahwa suatu peristiwa memiliki proses perubahan. Ini salah satu ciri khas yang tidak diperoleh anak didik melalui pembelajaran lainnya.

Setelah terbentuk pola perubahan, anak dilatih berpikir kritis pada setiap perubahan. Latihan pertama, anak didik ditantang untuk membuktikan melalui fakta (kejadian) masing-masing perubahan, seperti apa bukti bahwa Kerajaan Samudera Pasai mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1297 – 1326 M? apa penyebabnya? Siapa rajanya? bagaimana pemerintahannya? Setelah itu peserta didik dilatih menginterpretasi untuk menentukan konsep setiap fakta (kejadian) dengan memunculkan pertanyaan ‘apa namanya itu?’ Terakhir, peserta didik dilatih mencari penyebab dari masing-masing perubahan, dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan, mengapa terjadi perubahan? Latihan berulang ini akan membentuk keterampilan berpikir kritis seperti yang dimuat dalam kurikulum 2006.

  1. Keterampilan Mencontohkan Kezaman Sekarang

Konsep dan sebab setiap perubahan yang telah ditemukan anak melalui berpikir kritis akan dilanjutkan dengan latihan-latihan memberikan contoh kezaman sekarang.

Contoh konsep; Malik Al Thahir adalah pemimpin yang kuat.

Maka pencontohannya pada zaman sekarang yaitu; Moemmar Qadhafi.

Sedangkan contoh sebab-akibat; Berdasarkan sebab Kerajaan Samudera Pasai yang berkembang karena terletak di daerah strategis, maka kita lihat contohnya sekarang adalah negara Singapura.

  1. Keterampilan Meramal

Melalui contoh-contoh prinsip dapat ditingkatkan lagi menjadi peramalan seperti; Berdasarkan sebab-akibat perkembangan Kerajaan Samudera Pasai maka dapat diramalkan; Daerah Batam bisa menjadi daerah yang maju.

Latihan mencontohkan dan meramal ini telah menuntun peserta didik untuk berpikir tiga dimensi.

  1. Keterampilan Analisis

Melalui prinsip, ditemukan hakekat dari sebab-akibat tersebut. Latihan tersebut menemukan konsep antara yang mengantarai sebab dengan akibat.

Berdasarkan sebab perkembangan Kerajaan Samudera Pasai, maka yang menjadi konsep antara adalah jalur masuk perdagangan internasional. Dalam artian ini, letak strategis mengakibatkan peningkatan pendapatan dalam bidang ekonomi sehingga kerajaan menjadi berkembang.

  1. Penanaman Nilai

Melalui prinsip dapat diambil berbagai nilai yang relevan dengan nilai-nilai kemanusian seperti; Jika ingin memajukan suatu negara maka salah satu caranya adalah mengembangkan sistem perekonomian dalam bidang perdagangan.

Berdasarkan langkah-langkah ini secara langsung para guru telah memenuhi tuntutan Kurikulum 2006, yang secara umum membentuk  anak didik yang:

  • Menjadikan masa lampau menjadi guru
  • Memilki keterampilan pemecahan masalah
  • Memilki intelektual yang cerdas
  • Memilki nilai-nilai kemanusiaan

Pada sisi lain, tujuan di atas tentu tidak mudah untuk mencapainya. Fenomena di lapangan bukan semata-mata disebabkan oleh guru, tetapi juga  disebabkan oleh para pembuat kebijakan dibidang pendidikan sejarah pada semua tingkatan. Salah satu indikasinya adalah tidak bersungguh-sungguh dalam menerapkan peraturan-peraturan yang akan diberlakukan, seperti masih menanyakan tahun, tempat, nama orang, dan sebagainya, dalam pembuatan soal UN, SPBM, dan soal-soal sejarah lainnya. Akibat dari ketidakseriusan ini telah merubah image dan tekad guru untuk bekerja sungguh-sungguh. Begitupun juga dengan buku-buku teks SMA yang berkembang, sangat miskin dengan fakta sejarah. Isi buku tersebut tidak lagi berfungsi sebagai sumber belajar tetapi lebih kepada pem-pasif-an anak didik dalam bentuk menghafal interpretasi-interpretasi pengarang.

Pada pihak lain, LPTK sebagai tempat memproduksi guru-guru, lebih menekankan pada akumulasi penguasaan pada materi sehingga hampir tidak beda antara tujuan pembelajarn di universitas dengan di LPTK. Kondisi ini berlanjut sampai pada aktivitasnya menjadi guru nantinya.

Untuk itu, penyusunan pembelajaran sejarah sebagaimana kelompok pembelajaran IPS, harus senada dengan kebijakan nasional, dan LPTK dengan tujuan konseptual pada kurikulum pembelajaran. Para pembuat soal ujian dan pemeriksa buku teks harus mensejajarkan pemahaman terhadap sejumlah nilai-nilai kependidikan yang di kembangkan dalam pembelajaran sejarah. LPTK harus secara konsekuen mempertahankan arah pembelajarannya sesuai dengan visi dan misi LPTK itu sendiri. Dalam mengajarkan matakuliah-matakuliah tersebut harus berangkat dari konsep dasar pendidikan IPS.

SIMPULAN

  1. Pembelajaran sejarah belum mampu menyumbangkan manfaatnya terhadap pembangunan bangsa sesuai dengan isi  kurikulum 2006.
  2. Permasalahan pembelajaran sejarah lebih terletak pada keterbatasan penguasaan guru terhadap konsep dasar keilmuan sendiri, penstrukturan nilai ajar, dan pendekatan pembelajaran yang masih konvensional.
  3. Fenomena di lapangan ini bukan semata-mata disebabkan oleh para guru saja, tetapi juga disebabkan oleh faktor kebijakan instansi yang lebih tinggi, baik kebijakan nasional maupun LPTK.

SARAN

  1. Perlu pembenahan untuk menghasilkan buku teks pelajaran sejarah yang kaya dengan fakta.
  2. Soal-soal ujian nasional harus bercirikan materi ilmu sejarah secara tepat.
  3. Pembelajaran di LPTK harus mengikuti dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan konsumen (calon guru).

 

Daftar Bacaan

  1. Sobana HS. Metode Penelitian Sejarah (Metode Sejarah). Materi penyuluhan dalam “Workshop Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan; Penulisan Karya Ilmiah dan Perekaman Data”. Bandung, 12-14 Februari 2008.

Committee on Historigraphy. c. 1954. The Social Sciences in Historical Study. New York: Social Science Research Council.

  1. Mulyasa. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

F.R. Ankersmith. 1987. Refleksi Tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern Tentang Filsafat Sejarah. Jakarta; Gramedia.

G.J. Renier. 1997. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah. Terj. Muin Umar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hamka, Sejarah Ummat Islam.

Kuntowijoyo. 1995. Ilmu Sejarah. Yogyakarta.

Louis Gottschalk. 1969. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press.

Magdalia Alfian. 2007. Pendidikan Sejarah dan Permasalahan yang Dihadapi. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang, Semarang, 16 April 2007.

Mona Lohanda. 1998. Sumber Sejarah dan Penelitian Sejarah. Jakarta: Pusat.

Oemar Hamalik. 2002. Pendidikan Guru. Jakarta: Bumi Aksara

  1. Moh. Ali. 1961. Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Jakarta: LkiS.

Sam Wineburg. 2006. Berpikir Historis. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sartono Kartodirdjo 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia; Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia.

  1. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sidi Gazalba. 1981. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta: Bharatara Karya Aksara

Zafri. Modul Rancangan Bahan Ajar. Bahan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru dalam Jabatan. Padang, September 2010.

Comments are closed.