Pembelajaran Sejarah Melalui E-Learning

Oleh : Hansiswany Kamarga

Pembelajaran Sejarah Masa Kini

Sejarah berarti cerita atau kejadian atau peristiwa yang benar-benar sudah terjadi atau berlangsung pada waktu yang lalu, yang telah diteliti oleh penulis sejarah dari masa ke masa (Helius Sjamsuddin & Ismaun, 1996 : 5). Jika dikaji pernyataan di atas, terdapat 6 (enam) hal yang memperlihatkan karakteristik sejarah yakni cerita, peristiwa, telah terjadi, waktu lampau, hasil penelitian, penulis sejarah, dan masa ke masa. Keenam hal ini merupakan sendi yang menjadi landasan orang berpikir tentang sejarah.

Mengacu kepada karakteristik sejarah dalam konteks pengertian konsepsi sejarah, maka pengertian tersebut dapat ditinjau dari 3 (tiga) sisi yakni (1) sejarah sebagai peristiwa, (2) sejarah sebagai kisah, dan (3) sejarah sebagai ilmu (Carr, 1965 ; Nugent, 1967 ; Lucey, 1984 ; Banks, 1985 ; Helius Sjamsuddin & Ismaun, 1996).

 (1)  Sejarah sebagai peristiwa

Sejarah sebagai peristiwa merupakan kejadian, kenyataan, aktualitas yang sebenarnya yang telah terjadi atau berlangsung pada waktu atau masa lampau. Stanford (1986 : 26) menegaskannya dalam pernyataan “…a real past for historians to study – a past that existed quite independently of our knowledge of it (re gestae)”. Apa saja yang telah terjadi dan terbentuk dalam masa lalu adalah kejadian terutama yang menyangkut kehidupan manusia termasuk ke dalam perbincangan sejarah. Kejadian atau kenyataan yang benar-benar terjadi di waktu lampau itu meninggalkan bekas / jejak berupa ingatan dari manusia yang mengalaminya atau perkakas yang mereka tinggalkan. Stanford (1996 : 5) menyebutnya sebagai historical evidence , artinya sesuatu yang dapat dilihat sebagai peninggalan peristiwa / kejadian. Peristiwa atau kejadian walaupun sudah tidak ada lagi, kesan untuk sebagian atau seluruhnya tinggal membekas pada ingatan manusia. Karena ingatan manusia terbatas, maka banyak kejadian di masa lampau yang hilang. Jejak atau peninggalan dari kejadian / kenyataan di masa lampau dapat diketahui melalui perkakas yang ditinggalkan, seperti pada masa prasejarah, perkakas yang mereka tinggalkan atau yang dapat ditemukan kembali dipakai sebagai bukti untuk menunjukkan kepandaian mereka. Kejadian-kejadian yang dipelajari dalam sejarah pada pokoknya hanya meliputi kejadian-kejadian yang penting saja, kejadian mempunyai arti bagi kemanusiaan. Kejadian-kejadian tersebut dipelajari dalam konteks saling berkaitan dan mempunyai keterhubungan, dan disusun secara teratur dalam rangkaian kronologis (Helius Sjamsuddin & Ismaun, 1996 : 12-14).

(2)  Sejarah sebagai kisah

Sejarah sebagai kisah adalah ceritera berupa narasi yang disusun dari memori, kesan, atau tafsiran manusia terhadap kejadian atau peristiwa yang terjadi atau berlangsung pada waktu yang lampau (Helius Sjamsuddin & Ismaun, 1996 : 15). Secara lebih tegas Stanford (1986 : 26) menjelaskan “…the distinction between this real past and whatever is thought, said or written about it (historia rerum gestarum)”. Di sini tampak bahwa menurut Stanford, sejarah sebagai kisah tidak lepas dari apa yang dipikirkan oleh sejarawan sebagai penulis kisah sejarah. Senada dengan pendapat di atas, Mink (1987 : 47) memberikan penjelasan bahwa “…an historical narrative does not demonstrate the necessity of events but makes them intelligible by unfolding the story which connects their significance”. Masalah signifikansi, atau apa yang dipikirkan oleh pembuat kisah (dalam hal ini sejarawan sebagai penyusun kisah sejarah) sangat bergantung kepada visi dan pemikiran sejarawan tersebut. Lebih lanjut Mink (1987 : 47) menjelaskan bahwa meskipun kisah sejarah didasarkan pada evidensi (peninggalan dari peristiwa sejarah) dalam konteks ruang dan waktu yang sesungguhnya, tetapi penjelasan dalam kisah sejarah tersebut tumbuh berdasarkan analisis dan interpretasi sejarawan. Helius Sjamsuddin (1996 : 15) menjelaskan, karena sejarah itu suatu ceritera maka sifatnya tergantung kepada siapa yang menceriterakannya. Penceritera adalah manusia dan tiap manusia memiliki kepribadian yang beraneka ragam. Pencerminan kepribadian manusia itu tampak jelas pada buku-buku sejarah yang disusunnya. Dalam bahasa yang sederhana, Stanford (1986 : 27) mengatakan “an objective knowledge of the past can only be obtained through the subjective experience of the scholar”.

(3) Sejarah sebagai ilmu

Sejarah  sebagai ilmu adalah suatu susunan pengetahuan (a body of knowledge) tentang peristiwa dan ceritera yang terjadi dalam masyarakat manusia pada masa lampau yang disusun secara sistematis dan metodis berdasarkan asas-asas, prosedur, dan metode serta teknik ilmiah yang diakui oleh para pakar sejarah. Sejarah sebagai ilmu mempelajari sejarah sebagai aktualitas dan mengadakan penelitian serta pengkajian tentang peristiwa dan ceritera sejarah (Helius Sjamsuddin & Ismaun, 1996 : 15).

Sejarah sebagai ilmu adalah suatu disiplin ilmu atau cabang pengetahuan tentang masa lalu, yang berusaha menentukan dan mewariskan pengetahuan mengenai masa lalu suatu masyarakat tertentu, disusun menurut suatu metode khusus dan bertujuan untuk memperoleh kebenaran. Sebagai suatu cabang ilmu, susunan pengetahuan (body of knowledge) sejarah terbentuk dalam struktur yang dapat digambarkan pada Bagan 1 berdasarkan ramuan dari berbagai pendapat para ahli.

Peristiwa
(Aktual, sudah berlalu

dan tidak terlihat lagi)

Evidensi
Interpretasi

/ Deskripsi

Ceritera
Peristiwa / perilaku manusia
Waktu :

– tempo

– duree

– periodisasi

Ruang / tempat
Penafsiran :

– kausalitas

– arah

Keunikan
(Terlihat jejaknya,

tidak lengkap)

(Dalam pemikiran

sejarawan, tidak terlihat)

(Dalam bentuk buku /

tulisan sejarah, terlihat)

 

Bagan 1

Struktur Sejarah Sebagai Ilmu

Apa yang disebut sejarah adalah merupakan cerita dari peristiwa yang sesungguhnya di mana peristiwa tersebut sudah berlalu. Dari posisi peristiwa sampai terwujudnya cerita sejarah, kajian dilakukan melalui 4 (empat) tahap yakni pengumpulan sumber-sumber / evidensi dari peristiwa (heuristik), kajian terhadap evidensi (kritik), kajian interpretasi evidensi, dan membangun cerita sejarah berdasarkan kritik terhadap evidensi dan interpretasi (historiografi). Kriteria membangun suatu cerita sejarah didasarkan pada beberapa konsep dasar / scaffolding di antaranya konsep waktu (tempo, duree, menghasilkan periodisasi), konsep ruang (spasial), konsep peristiwa yang di dalamnya melibatkan perilaku manusia / pelaku), penafsiran (kausalitas / sebab-akibat dalam sejarah, arah), dan konsep keunikan dalam sejarah (bahwa peristiwa sejarah terjadi hanya sekali dan tidak dapat diulang atau berulang).

Atas dasar pemahaman terhadap Bagan 1 di atas, maka ilmu sejarah menjadikan masa lampau manusia sebagai objek penelitiannya secara sistematis dan kritis (Daniels, 1966 ; Sidi Gazalba, 1966 ; Stanford, 1986 ; Mink, 1987 ; Sartono, 1993 ; Helius Sjamsuddin & Ismaun, 1996). Lebih lanjut Helius Sjamsuddin (1996 : 18) menjelaskan bahwa tujuan ilmu sejarah adalah memelihara hasil-hasil penelitian itu sebagai pengetahuan yang bermakna dan berguna. Melalui bentuk sejarah yang diwujudkan ke dalam ceritera sejarah, dapat dikenali sejarah, berupa gambaran yang dilukiskan mengenai berbagai aktivitas manusia dalam masyarakat pada masa lampau (yaitu fakta-fakta sejarah), dianalisis dan ditafsirkan serta disusun di dalam ceritera sejarah. Fakta-fakta sejarah dirangkaikan dalam hubungan-hubungan logis yang fungsional dengan berbagai kombinasi, antara lain hubungan kronologis, hubungan kausal, hubungan genetis, serta proses perubahan.

Dengan demikian dapat dapat disimpulkan bahwa sejarah adalah gambaran masa lampau tentang manusia sebagai mahluk sosial dan lingkungan hidupnya, yang disusun secara ilmiah dan lengkap, yang meliputi urutan fakta-fakta pada masa lampau, dengan tafsiran dan penjelasan, yang memberikan pengertian dan pemahaman tentang apa yang telah lalu (Helius Sjamsuddin, 1996 : 19).

Filosofi Konstruktivistik dalam Pembelajaran Sejarah

Dasar dari psikologi Cognitive-Field adalah bahwa setiap manusia dalam memperoleh pemahaman dan peningkatan perkembangannya yang terbaik adalah dengan cara mengetahui bagaimana ia harus berpikir (Bigge, 1980 : 345). Terminologi cognitive berasal dari kata Latin cognoscere yang artinya mengetahui. Aspek kognitif berkenaan dengan masalah bagaimana manusia memperoleh pemahaman tentang diri sendiri dan lingkungannya, serta bagaimana mereka berperilaku dengan menggunakan pengetahuannya tersebut dalam hubungannya dengan lingkungan. Menurut Bigge (1980 : 345) “…field theory in psychology centers on the idea that all psychological activity of a person; at a given juncture of time, is a function of a totality of coexisting factors that are mutually interdependent”. Bower & Hilgard (1986 : 421) menjelaskan bahwa teori kognitif berkenaan dengan bagaimana seseorang memperoleh pengetahuan dan bagaimana mereka menggunakan pengetahuan tersebut untuk berperilaku lebih efektif.

Teori kognitif ini menurut Bower & Hilgard cenderung mencoba untuk memahami pikiran (mind) dan kemampuan pikiran tersebut dalam mempersepsi, berpikir, belajar, dan berbahasa. Apa  yang diketahui seseorang tidak identik dengan apa yang diingat berdasarkan pengalamannya (Bransford, 1979 : 168). Mengutip pendapat Tulving (1972), menurut Bransford, untuk membedakan mengetahui dengan mengingat digunakan dua bentuk pendekatan yakni episodic memory dan semantic memory. Episodic memory mengacu kepada pengalaman personal seseorang yang disimpan dalam memorinya dan kemampuan untuk memanggil kembali memori tersebut (kemampuan mengingat), sedangkan semantic memory mengacu kepada pengetahuan umum tentang konsep, prinsip, dan makna yang digunakan secara komprehensif bila dihadapkan pada suatu masukan atau input. Lebih lanjut menurut Bransford, teori kognitif bergerak dalam kemampuan semantic memory.

Tujuan teori kognitif adalah memformulasikan hubungan-hubungan perilaku individu dalam ruang kehidupannya (life-space) yang spesifik atau dalam situasi psikologis. Untuk memahami dan memprediksi perilaku seseorang, dasar pertimbangan yang digunakan adalah lingkungan psikologis seseorang yang menggambarkan pola interdependen antara fakta dan fungsi. Teori kognitif merupakan alat yang efektif untuk memahami manusia dalam konteks berperilaku. Dalam proses interaktif manusia dan lingkungannya dipandang sebagai variabel interdependen; manusia dianggap sebagai mahluk dependen, tetapi juga independen terhadap lingkungannya. Dengan perkataan lain, lingkungan seseorang diciptakan oleh dirinya sendiri dan tergantung pada diri seseorang tersebut (Bigge, 1980 : 346). Dalam teori kognitif, belajar didefinisikan sebagai proses interaksi yang menghasilkan perolehan struktur kognitif baru (new insights) atau seseorang mampu mengubah struktur kognitif lamanya menjadi struktur kognitif baru.

Tema dalam kerangka teoritik Bruner adalah bahwa belajar merupakan proses aktif di mana siswa mengkonstruk gagasan atau konsep baru berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Peserta didik menyeleksi dan mengubah informasi, mengkonstruksi hipotesis, dan membuat keputusan didasarkan pada struktur kognitif (TIP, 1998 : 1). Dalam karyanya Bruner (1960 : 33) mengatakan bahwa tugas mengajar suatu mata pelajaran pada peserta didik dalam usia berapa pun adalah memperkenalkan struktur keilmuan mata pelajaran tersebut sesuai dengan cara berpikir peserta didik. Berdasarkan pernyataan tersebut, terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan :

  • Pembelajaran harus memperhatikan pengalaman dan konteks yang menuntun peserta didik untuk mau dan dapat belajar (readiness);
  • Pembelajaran harus terstruktur sehingga secara mudah dapat diterima oleh peserta /didik (spiral organization);
  • Pembelajaran harus dirancang untuk memudahkan dilakukannya ekstrapolasi atau mengisi kesenjangan (going beyond the information given) (TIP, 1998 : 2).

Gagasan utama constructivism adalah bahwa seseorang belajar secara terkonstruksi, membangun pengetahuan berlandaskan apa yang telah dimiliki. Di sini terdapat 2 (dua) pengertian yakni (a) siswa mengkonstruk pemahaman baru dengan menggunakan apa yang telah mereka ketahui sebelumnya (berarti tidak mengenal tabula rasa), dan (b) belajar adalah proses aktif, di mana peserta didik dihadapkan dengan apa yang mereka pahami dan dipertemukan dengan situasi yang baru. Proses aktif di sini mengacu kepada aplikasi pemahaman yang dimiliki, menghubungkannya dengan elemen-elemen yang baru, mempertimbangkan konsistensi pengetahuan yang lama dengan yang baru, dan berdasarkan pertimbangan tersebut dapat memodifikasi pengetahuan (Sedletter, 1996 : 1). Penjelasan di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Copley (1992) tentang pendekatan constructivist yakni :

The constructivist model, one of facilitating learning, views teachers as facilitators whose main function is to help students become active participants in their learning and make meaningful connections between prior knowledge, new knowledge and the processes involved in learning. The role of students from this perspective is to construct their own understanding and capabilities in carrying and challenging tasks.

Mengutip dari Bruner (1960), Hamid Hasan (1996 : 87) menjelaskan bahwa dengan mengajarkan disiplin ilmu, terutama dengan mengajarkan struktur dari disiplin ilmu tersebut, maka akan terjadi proses pendidikan yang dinamakan specific transfer of training, dan non-specific transfer. Latihan pemindahan yang khusus (specific transfer of training) mengembangkan kemampuan yang dapat digunakan hanya dalam situasi-situasi khusus, sedangkan latihan pemindahan yang tidak khusus (non-specific transfer) mengembangkan keterampilan-keterampilan yang dapat digunakan di berbagai situasi dan kondisi. Menurut Bruner (1960 : 17-18), proses pendidikan transfer yang tidak khusus lebih penting dan merupakan jantung dari proses pendidikan.

Relevansi Konstruktivistik  dengan Berpikir Kesejarahan

Menurut Teori Kognitif, cara terbaik bagi manusia untuk memperoleh pemahaman dan peningkatan perkembangannya adalah dengan cara mengetahui bagaimana ia harus berpikir (Bigge, 1980 : 345). Dalam kaitannya dengan belajar, hal ini mengacu kepada menggunakan dan mengembangkan proses mental berpikir. Bagi Piaget (Ginn, 1995) belajar bukan sekedar mentransmisikan pengetahuan secara verbal tetapi harus dikonstruksi dan direkonstruksi oleh peserta didik. Dalam hal ini kelompok Constructivist (Bruner) sependapat dengan Piaget tentang belajar yang dikonstruksi, tetapi lebih dari itu pengetahuan dibangun berlandaskan pada apa yang telah dimiliki (Sedletter, 1996 : 1).

Di sini dapat dilihat  bahwa dasar pemikiran kelompok Konstruktivist tentang belajar adalah bahwa belajar mengacu kepada pengertian proses informasi secara mental, artinya peserta didik mengorganisasi atau melakukan asosiasi informasi baru yang masuk dengan pengetahuan yang telah mereka miliki. Dalam hal ini mereka mengkonstruksi dan merekonstruksi struktur kognitifnya. Jika dihadapkan dengan materi sejarah, maka yang terjadi adalah proses berpikir sejarah. Berpikir kesejarahan melibatkan aspek-aspek menyimpulkan dalam sejarah dan imajinasi dalam sejarah (Cooper, 1992).

Menyimpulkan dalam sejarah mengacu kepada membuat inferensi / rekonstruksi dari evidensi masa lampau dan bagaimana menggunakan konsep-konsep sejarah; sedangkan imajinasi dalam sejarah mengacu kepada kemampuan menginterpretasi dan pemahaman terhadap pola pikir masyarakat masa lampau. Dalam hal membantu siswa untuk mengembangkan argumen tentang evidensi sejarah sangat tergantung pada bagaimana mereka diajar, tidak sepenuhnya tergantung kepada tingkat perkembangan usia anak. Tampaknya pengajaran sejarah harus ditekankan pada memberikan perhatian, mengembangkan pengalaman belajar memori, mengajukan pertanyaan-pertanyaan sederhana dan pertanyaan-pertanyaan terbuka (open-ended) (Cooper, 1992 : 15).

Imajinasi dalam sejarah dikembangkan melalui berpikir kreatif (Cooper, 1992 : 20). Berpikir kreatif mempunyai implikasi dalam hal bagaimana siswa dapat memahami tentang rentang valid evidensi yakni bagaimana evidensi dibuat dan digunakan, dan apa maknanya bagi masyarakat pada masa itu. Menurut Egan (VanSledright & Brophy, 1992 : 840), perkembangan berpikir kesejarahan siswa dapat digolongkan ke dalam 4 (empat) tahap yakni tahap mitos, tahap romantik, tahap teoritis atau melihat pola, dan tahap kajian sejarah secara rinci. Dalam tahap mitos, masa lampau diberi makna apabila memiliki hubungan dengan pengalaman masa kini seperti misalnya ceritera kepahlawanan dalam rangka mencari identitas diri. Dalam tahap romantik sejarah dipahami oleh siswa sebagai ceritera narasi yang dramatis, berisikan karakter yang lebih dramatis dibandingkan dengan apa yang mereka lihat sehari-hari, peristiwa yang menggelora. Tahap teoritis sudah memandang sejarah berdasarkan kaidah dan hukum sejarah, dan tahap kajian sejarah secara rinci merupakan tahap memahami sejarah sebagaimana peristiwa sejarah terjadi. Implikasi dari kesimpulan ini bagi pengajaran di kelas adalah bahwa kemampuan berpikir kreatif dapat dikembangkan melalui berpikir divergen dan latihan memecahkan masalah, serta mengkondisikan lingkungan kelas sehingga anak-anak memiliki kepercayaan diri akan kemampuannya berpetualang dalam berpikir.

Konsep E-learning

Sejalan dengan berkembangnya inovasi bidang teknologi komputer yang terakses ke internet pada awal dekade 90-an maka sumber-sumber belajar atau pengetahuan menjadi sangat mudah untuk diperoleh. Inovasi ini mengubah paradigma pendidikan dari perolehan tingkat pengetahuan dan keterampilan yang konstan setelah selesai mengikuti pendidikan, menjadi paradigma pengetahuan dan keterampilan selalu diperbaharui dalam waktu singkat. Masyarakat, perusahaan, atau negara-negara yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan mengkreasi serta menyebarkan pengetahuan secara efisien akan memperoleh kesempatan pertama dalam hal keberhasilan persaingan global yang tengah terjadi saat ini (Cisco, 2001). Departemen Pendidikan Amerika Serikat sejak tahun 1996 telah mencanangkan program “Getting America’s Students Ready for the 21st Century : Meeting  the Technology Literacy Challenge” (Office of Educational Technology, 2001). Program ini menggambarkan visi penggunaan teknologi yang efisien dari jenjang pendidikan dasar dan menengah dalam rangka mempersiapkan generasi mendatang menjadi generasi yang dapat menjawab tantangan persaingan perekonomian dunia. Persoalannya adalah bagaimana memperoleh informasi melalui internet tersebut secara tepat dalam pengertian memperoleh informasi apa yang diperlukan (efektif) dan informasi tersebut diperoleh dengan biaya murah (efisien).

Kemampuan akses ke internet tidak hanya didasarkan kepada kemampuan memiliki komputer yang dapat memasuki jaringan internet, melainkan juga dibutuhkan keterampilan menjelajah dunia maya tersebut dalam rangka memperoleh informasi yang dibutuhkan. Jika seseorang memerlukan informasi tertentu dan ia mencoba mencari informasi tersebut dalam internet, maka ia akan dihadapkan pada lebih kurang lima milyar situs informasi (Robinson, 2001). Apabila tidak memiliki keterampilan menjelajah internet maka ia akan mengeluarkan dana yang cukup besar dan waktu yang lama untuk memperoleh situs informasi yang dibutuhkan tersebut. Pada posisi inilah e-learning berfungsi mendekatkan seseorang dengan sumber informasi yang diperlukannya.

Electronic learning (E-learning) adalah kegiatan belajar asynchronous melalui perangkat elektronik komputer yang tersambungkan ke internet di mana peserta belajar berupaya memperoleh bahan belajar yang sesuai dengan kebutuhannya (Dong, 2001). Berdasarkan definisi di atas, kegiatan belajar melalui e-learning tidak dapat disamakan dengan kegiatan belajar klasikal di ruang kelas, sebab kata asynchronous merujuk kepada pemisahan fisik yang tidak dibatasi baik oleh waktu maupun tempat. Kegiatan belajar berbasis komputer (computer assisted) atau pelatihan jarak jauh (telecourses) yang menggunakan bentuk synchronous tidak dapat dikategorikan ke dalam e-learning sebab keduanya memerlukan kehadiran peserta belajar dalam waktu bersamaan atau pada suatu tempat tertentu. Secara filosofis, dapat dijelaskan :

  • E-learning merupakan penyampaian informasi, komunikasi, pendidikan, pelatihan secara online;
  • E-learning menyediakan seperangkat alat yang dapat memperkaya nilai belajar secara tradisional (model belajar klasikal, kajian terhadap buku teks, CD-ROM, dan pelatihan berbasis komputer) sehingga dapat menjawab tantangan perkembangan globalisasi;
  • E-learning tidak berarti menggantikan model belajar klasikal di dalam kelas, tetapi memperkuat model belajar tersebut melalui pengayaan konten dan pengembangan teknologi pendidikan;
  • Kapasitas siswa amat bervariasi tergantung kepada bentuk konten dan alat penyampaiannya. Makin baik keselarasan antara konten dan alat penyampaian dengan gaya belajar, maka akan lebih baik kapasitas siswa yang pada gilirannya akan memberikan hasil yang lebih baik (Cisco, 2001).

Di sini terlihat bahwa e-learning merupakan kombinasi antara informasi, komunikasi, pendidikan yang merupakan elemen inti dalam strategi mencapai keberhasilan. Dalam hal ini e-learning tidak identik dengan e-training, sebab e-learning menyangkut solusi terhadap tantangan pembaharuan (updates) sedangkan e-training adalah pelatihan yang dilakukan melalui komputer berbasis internet dengan teknik synchronous. Di dalam e-learning siswa mempunyai pilihan untuk menetapkan konten (collaborative solution) dan kecepatan (self pace).

Di dalam internet terdapat bermilyar-milyar situs (website) dan situs inilah yang merupakan sumber informasi tidak terbatas, sebab setiap saat jumlah situs ini akan terus bertambah seiring dengan terjadinya pembaharuan sehingga seringkali kita mendengar ungkapan masa sekarang adalah jaman atau masa informasi. Web atau juga disebut dengan World Wide Web (WWW) terbentuk dari milyaran website yang berisikan sejumlah informasi  dari satu situs dan terhubung (link) dengan informasi lain dari situs yang berbeda. Fungsi link inilah yang menyebabkan seseorang mudah memperoleh informasi yang dibutuhkannya dalam waktu relatif singkat. Bagaimana seseorang dapat mencari dan menemukan informasi yang diperlukan dari sedemikian banyak sumber informasi dengan cara tepat yakni efektif dan efisien merupakan inti dari e-learning. Dalam posisi ini, e-learning adalah menggunakan teknologi internet sebagai sumber informasi.

Belajar Sejarah Melalui E-learning

Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, posisi e-learning adalah dalam rangka memperkuat nilai belajar secara tradisional melalui teknologi internet, maka belajar sejarah melalui e-learning dapat diartikan sebagai upaya memperluas wawasan kesejarahan yang diperoleh di sekolah dengan menggunakan situs-situs yang terdapat dalam jaringan internet sebagai sumber informasi. Di sini terlihat bahwa belajar sejarah melalui e-learning memperkuat teori konstruktivistik yang mengemukakan bahwa belajar dikonstruksi oleh peserta didik. Sebagai contoh, materi Sejarah level  SMA dengan topik Peradaban lembah Sungai Eufrat dan Tigris (Mesopotamia), wawasan siswa dapat dikembangkan dengan cara mencari informasi melalui situs-situs sejarah tentang topik tersebut, seperti misalnya situs dengan alamat http://www.fordham.edu/halsall/ ancient/greek-babylon.html, berisikan tentang Ancient History Sourcebook : Greek Reports of Babylonia, Chaldea, and Assyria ; situs dengan alamat http://ancientneareast.tripod.com /Chaldea_Neo_Babylonia.html tentang The History of the Ancient Near East yang di dalamnya dapat ditemukan sumber-sumber informasi sejarah kuno dari Israel, Irak, Egypt, Turki, Siria, Lebanon, Yordania, Arab, Siprus, Bahrain, dan Iran ; situs  http://www. historylink101.com/ ancient_mesopotamia.htm isinya tentang Ancient Mesopotamia dari kehidupan sehari-hari masyarakatnya, peta-peta politik, sampai hasil-hasil penelitian tentang Mesopotamia. Melalui tiga situs ini saja, informasi yang diperoleh akan sangat luas, sehingga siswa dapat menentukan sendiri keluasan dan kedalaman informasi yang diperoleh untuk memperkuat pemahaman topik tersebut.

Terminologi memperluas wawasan tidak hanya diartikan sebagai menambah pengetahuan, melainkan juga menyangkut persoalan solusi terhadap tantangan pembaharuan (updates). Dalam hal ini guru tidak hanya memberikan materi sejarah sebagai bagian dari menyelesaikan konten kurikulum, tetapi mencoba mengembangkan pola berpikir kesejarahan siswa melalui berbagai informasi tentang sejarah yang selalu berkembang dalam jaringan internet. Dengan demikian belajar sejarah akan sangat menarik bagi siswa, sebab perolehan informasi tidak hanya satu arah (dari guru ke siswa) tetapi juga dapat diperluas sendiri oleh siswa melalui situs-situs sejarah di internet. Sebagai contoh materi Sejarah SMA dengan topik Menelaah terjadinya penghianatan G30S/PKI dan penumpasannya, dapat diperkaya dengan berkembangnya isu kontroversial gerakan PKI melalui berbagai situs yang berisikan pendapat, opini, maupun berita resmi pemerintah yang ada dalam internet, sehingga pemahaman siswa tidak hanya fakta-fakta belaka tetapi diperkaya dengan pandangan-pandangan yang dapat saja bersifat kontroversial.

E-learning memperkuat model belajar klasikal

Posisi e-learning bukan menggantikan kedudukan belajar secara klasikal, melainkan memperkuat model belajar klasikal. Hal ini dapat dilihat dari berbagai pendekatan yang dapat dikembangkan melalui e-learning sebagaimana uraian berikut.

  1. Mencari definisi atau terminologi konsep

Mempelajari sejarah tidak lepas dari memahami konsep. Seringkali pemahaman terhadap konsep ini luput dari fokus guru, sebab kebanyakan guru menganggap siswa telah memahami konsep, atau memang konsep tersebut belum dipahami baik oleh guru maupun siswa. Melalui e-learning, masalah ini dapat diatasi, sebab mencari definisi konsep amatlah mudah untuk dilakukan.

Siswa atau guru dapat menggunakan situs portal, yakni situs yang berfungsi menghimpun berbagai informasi sebagaimana layaknya yellow pages atau ensiklopedi. Untuk bidang sejarah, dapat digunakan situs portal Discovery School.Com (http://school.discovery.com/students/socialstudies.html), atau situs portal History Channel (http://www.historychannel.com/discuss/index.html).

Cara lain mencari definisi konsep atau terminologi adalah melalui search engine yakni situs yang dikembangkan dengan menghimpun berbagai situs dan pengunjung dapat mencari sesuatu yang diperlukan dengan cara mengisi kotak yang telah disediakan. Kelemahan menggunakan search engine ini adalah hasil pencarian berupa sejumlah situs yang di dalamnya menyinggung masalah atau konsep yang dicari, sehingga pengunjung masih harus melanjutkan pencarian dengan mencermati daftar situs yang disajikan oleh search engine tersebut. Proses pencarian ini akan menyebabkan cukup banyak waktu tersita, terutama bagi pengunjung internet pemula atau pengunjung yang kurang memahami bahasa Inggris.

Mencari informasi tentang definisi atau terminologi konsep ini akan sangat membantu siswa belajar. Di sisi lain, grafik, teks, foto, atau bahkan suara yang ditampilkan oleh situs-situs di internet menyebabkan belajar menjadi sesuatu yang menarik bagi siswa sebagaimana diungkapkan oleh Munir (2001 : 9) bahwa multimedia dianggap sebagai media pengajaran dan pembelajaran yang berkesan berdasarkan keupayaannya menyentuh berbagai panca indra : penglihatan, pendengaran dan sentuhan.

  1. Mempertajam analisis

Biasanya tulisan-tulisan yang berisikan analisis terdapat di dalam jurnal, sehingga apabila guru atau siswa ingin memperdalam salah satu topik dengan strategi analisis, maka dapat menggunakan situs-situs jurnal sebagai sumber informasinya. Ruang lingkup kajian dalam jurnal biasanya amat terbatas, tetapi memiliki kekuatan dalam aspek analisisnya, sehingga untuk pembelajaran dengan pendekatan analisis maka menggunakan sumber informasi jurnal akan sangat membantu. Sebagai contoh, Jurnal Studi Indonesia (http://psi.ut.ac.id/Jurnal/ 1abstrak.htm) berisikan tulisan-tulisan berikut:

National Awakening and Indonesian Nationalism (Sartono Kartodirdjo)

Pattern and Culture of Indonesia (Budhisantoso)

National Development and Local Culture: Forest Industrialization and Farming System in Indonesia (Loekman Soetrisno)

Water Resuorces and Its Economic Aspects (Wan Usman)

Economic Structural Change, Human Investment, and Employment (Nurimansyah Hasibuan)

The Drop of Birth Rate: Programme and Social Culture Aspects (Masri Singarimbun)

Performance Analysis of The Saving and Loan Cooperative of Jasa in Pekalongan: In Perspective (Masngudi dan Victoria PAP br. Simanungkalit)

Prof. Dr. Willem Frederik Wertheim: a Dutch Sosiologist and The Study of Indonesia Society (Harsja W. Bachtiar)  

Tulisan-tulisan tersebut dapat dipakai untuk kajian analitik sejarah sosial, sejarah budaya, sejarah perekonomian, dan sejarah nasional. Dalam hal ini guru dan siswa tidak lagi hanya berbicara tentang fakta-fakta sejarah melainkan sudah lebih jauh yakni kajian analisis sejarah. Tidak semua topik didekati dengan kajian analisis ini, tetapi paling tidak dalam satu tahun ajaran satu atau dua kali siswa dibawa untuk mengkaji lebih mendalam melalui aspek berpikir kesejarahan yang dapat dikembangkan melalui tugas-tugas membuat karya tulis.

Situs Jurnal Sejarah yang terdapat dalam internet sangat beragam, bahkan ada situs portal jurnal sejarah The History Journals Guide yang dikembangkan oleh Stefan Blaschke (http://www.history-journals.de/hjg-start.html) di mana pengunjung dapat memilih jurnal berdasarkan berbagai klasifikasi (Complete Index, Electronical Index, Lingual Index, Chronological Index, Institutional Index, dan Topical Index) dan jika memilih satu klasifikasi maka hasil pilihan akan berupa sejumlah klasifikasi di dalam pilihan, sehingga pada akhirnya pengunjung akan memperoleh jurnal yang diinginkan. Jurnal lain yang dapat digunakan untuk memperdalam kajian sejarah adalah Essays in History (http://etext.virginia.edu/journals/EH/), The World-Wide Web Virtual Library bagian kajian Masyarakat dan Budaya Indonesia (http://coombs.anu.edu.au /WWWVLPages/IndonPages/WWWVL-Indonesia.html), dan situs Chronicon (http://www.ucc.ie/chronicon/sites.htm).

Pembelajaran dengan pendekatan analisis dalam sejarah yang menggunakan situs jurnal sebagai sumber informasi mempunyai tingkat kesulitan browsing lebih tinggi ketimbang mencari satu kata atau konsep, sebab kebanyakan situs jurnal pada halaman mukanya hanya memperlihatkan nomor volume jurnal dan angka tahunnya yang berupa hypertext, sehingga pengunjung harus menelusuri satu demi satu volume jurnal tersebut.

  1. Mencari informasi untuk mengembangkan isu kontroversial

Model pembelajaran sejarah dengan isu kontroversial dapat mempertajam analisis dan mengembangkan kemampuan berpikir kesejarahan siswa di dalam memberikan pertimbangan terhadap suatu peristiwa sejarah. Isu kontroversial merujuk kepada isu yang berkembang sehingga menyebabkan terjadinya reaksi kontroversial. Isu kontroversial ini muncul diakibatkan oleh beberapa hal antara lain sudut pandang yang berbeda, terjadinya keberpihakan, kekurangan evidens, atau cara penyampaian yang dianggap kurang etis. Dalam hal ini sebagai pembelajar siswa diharapkan dapat memperluas wawasannya melalui kajian dari berbagai sisi kontroversial tersebut. Sebagai contoh, masalah G30S/PKI, siapakah sebenarnya yang berada di balik peristiwa tersebut; apakah memang pihak PKI sebagai dalang sebagaimana yang dikemukakan oleh pihak penguasa Indonesia, atau ada pihak lain yang memanfaatkan kekacauan situasi pada saat itu. Contoh lain, jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Dari sisi kemanusiaan hal tersebut dipandang amat tidak manusiawi sebab korban yang jatuh di pihak penduduk Jepang lebih kurang 150.000 orang, sedangkan dari pihak pemerintah Amerika Serikat, jika hal tersebut tidak dilakukan maka akan lebih banyak korban yang jatuh sebagai akibat sepak terjang Jepang. Persoalan-persoalan seperti ini seharusnya dimunculkan dalam pembelajaran sejarah, dalam rangka membangun sikap arif siswa dalam menilai suatu masalah, artinya ada upaya untuk bersikap skeptis dan mencoba mencari informasi-informasi dari berbagai pihak.

Model pembelajaran melalui isu kontroversial ini dapat didukung oleh e-learning melalui situs-situs yang berisikan tulisan versi resmi, pandangan berbagai pihak, dan opini-opini yang muncul karena peristiwa tersebut. Dalam hal ini akses ke sumber informasi dilakukan melalui search engine dengan memasukkan kata atau frasa. Berdasarkan hasil pencarian, diperoleh sejumlah situs yang berisikan kata atau frasa tersebut. Hasil pencarian search engine inilah yang harus ditelusuri oleh pengunjung untuk menentukan apakah situs tersebut akan dibuka untuk dicermati isinya, atau diabaikan. Tingkat kesukaran browsing untuk mencari situs yang berisikan teks atau tulisan lebih tinggi daripada tingkat kesukaran mencari jurnal, sebab selain pengunjung harus mensortir berdasarkan kebutuhan akan isinya, juga diperlukan kejelian menangkap sedikit keterangan yang terdapat di bawah judul atau nama situs. Seringkali alamat URL juga dapat dijadikan petunjuk untuk menentukan situs yang diinginkan.

Sebagai contoh, jika guru ingin mengembangkan topik Pengkhianatan G30S PKI dalam bentuk pembelajaran isu kontroversial, maka mengakses sumber informasi melalui internet dilakukan dengan menggunakan search engine. Dalam hal ini disarankan untuk menggunakan search engine Google (http://www.google.com) sebab search engine ini telah mampu menghimpun sebanyak 1.610.476.000 situs. Pada kotak pencarian dituliskan G30S PKI, dan hasil pencarian adalah 2340 situs yang berisikan kata/frasa tersebut.

Dari sejumlah artikel dalam situs tersebut, siswa mempunyai cukup banyak tulisan dengan berbagai sudut pandang dan kedudukan tulisan tersebut yang berbeda satu terhadap yang lain. Dengan demikian siswa dapat melakukan kajian dan analisis terhadap masalah G30S PKI yang sampai saat ini merupakan isu kontroversial dan diharapkan melalui kajian tersebut siswa menjadi lebih arif menilai peristiwa G30S PKI.

  1. Mencari masalah untuk bahan diskusi

Bagi guru yang ingin mengembangkan bentuk pembelajaran diskusi, topik-topik diskusi dapat diperoleh melalui situs History Channel yang menawarkan kepada pemerhati sejarah untuk mengembangkan topik-topik diskusi yang bertemakan tentang sejarah (http://www.historychannel.com/discuss/ index.html), atau situs History Net yang menyediakan forum interaktif untuk mendiskusikan topik-topik yang berkaitan dengan sejarah (http:// www.thehistorynet.com/general/talk.htm) seperti misalnya forum pembahasan buku-buku sejarah (Book Forum), forum pembahasan mengenai perjalanan yang berkaitan dengan sejarah (Travel Forum), atau forum yang membahas tentang perang saudara (Civil War Forum). Bahan diskusi ini dikembangkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan kajian mendalam untuk dapat menjawabnya (mengandung permasalahan) dan agar dapat menjawab pertanyaan tersebut siswa diminta untuk mencari informasi melalui situs-situs sejarah yang ada dalam internet.

Pencarian informasi dapat menggunakan situs portal atau search engine tergantung keperluannya. Dapat pula guru menginformasikan salah satu situs dengan memberikan alamat URL nya, untuk kemudian isi situs tersebut dikaji lebih mendalam oleh siswa.

Penutup

Belajar sejarah melalui e-learning merupakan salah satu alternatif untuk mendekatkan siswa dengan sumber-sumber informasi. Harus diakui bahwa mengakses internet masih belum memasyarakat karena adanya kendala terutama kurangnya fasilitas komputer yang terakses ke internet dan besarnya biaya, tetapi kendala tersebut bukan tidak dapat diatasi, sebab cukup banyak siswa yang sudah biasa mengakses internet.

Menggunakan internet dalam memperkuat kegiatan pembelajaran sejarah akan memperluas cakrawala pengetahuan siswa maupun guru. Di samping itu juga dapat membuat pembelajaran sejarah lebih bervariasi, sebab pembelajaran tidak lagi bersifat satu arah, tetapi dikembangkan dalam bentuk dua arah yakni sumber informasi tidak hanya berasal dari guru tetapi juga berasal dari siswa melalui kegiatan belajar e-learning. Dengan demikian, internet tidak hanya berfungsi sebagai sarana hiburan, tetapi dapat juga digunakan sebagai sumber informasi untuk belajar sejarah.

Daftar Pustaka

Banks, James A. (1985). Teaching Strategies for the Social Studies. New York & London : Longman.

Bransford, J.D. (1979). Human Cognition, Learning, Understanding and Remembering. Belmont, California : Wadsworth Publishing Company.

Bruner, J. (1960). The Process of Education. Cambridge : Harvard University Press.

Bruner, J. (1998). Constructivist Theory. [Online]. Available at http://www.hcs.derby.ac.uk/tip/bruner.html

Carr, E.H. (1961). What is History. Middlesex England : Penguin Books Ltd.

Cisco (2001). E-learning : combines communication, education, information, and training. Available at [Online] http://www.cisco.com/warp/public/10/ wwtraining/ elearning.

Cooper, H. (1992). The Teaching of History, Implementing the National Curriculum. London : David Fulton Publishers.

Dong, F. H. (2001). Can You Succeed as a Cyberstudent ? How to Develop Communication Skills on the Web. Available at [Online] http://www.elearningmag.com

Hasan, Hamid (1996). Pendidikan Ilmu Sosial. Jakarta : Depdikbud Dirjen Dikti PPTA

Lucey, W.L. (1984). History : Methods and Interpretation. New York & London : Garland Publishing Co.

Nugent, W.T.K. (1973). Creative History. Philadelphia : J.B. Lippincott Co.

Mink, L.O. (1987). Historical Understanding. Ithaca & London : Cornell University Press.

Munir (2001). Aplikasi Teknologi Multimedia dalam Proses Belajar Mengajar. Jurnal Mimbar Pendidikan, No.3 Tahun XX : 4-8.

Office of Educational Technology (2001). E-learning : Putting a World-class Education at the Fingertips of All Children. Available at [Online] http://www.ed.gov/Technology/elearning.

Robinson, E. T. (2001). Knowledge as Commodity : How do E-commerce and E-learning Relate ? Available at [Online] http://www.elearningmag.com

Stanford, M. (1986). The Nature of Historical Knowledge. New York : Basil Blackwell Inc.

Sartono Kartodirdjo (1993). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

TIP (1998). Constructivist Theory (J. Bruner). [Online]. Available at http://www-hcs.derby.ac.uk/tip/bruner.html

 

Berbagai situs yang dijadikan sumber informasi dalam makalah ini

Comments are closed.