KONTRIBUSI PEMAKNAAN “MATERIAL CULTURE” PADA KAJIAN PENDIDIKAN SEJARAH

KONTRIBUSI PEMAKNAAN “MATERIAL CULTURE” PADA KAJIAN PENDIDIKAN SEJARAH

Wildan Insan Fauzi

 

Material Culture dan Relevansi Arkaelogi untuk masa kini

Budaya benda (material culture) adalah aspek kebudayaan yang bersifat kebendaan yang meskipun demikian, dibaliknya terdapat makna tertentu (Piliang, 2003, hlm. 13). Relevansi arkeologi yang mengkaji “material culture” hingga saat ini telah menjadi isu penting dalam dunia arkeologi. Praktek arkeologi yang selama ini hanya ditujukan untuk tujuan ilmiah dapat bermanfaat bagi masyarakat saat ini serta bagaimana arkeologi dapat memberikan dampak ekonomi pada masyarakat saat ini (Marwoto, 2019). Dua artikel yang mengkaji material culture yaitu. “Your trash is someone’s treasure: the politics of value at a Michigan landfill,” in Journal of material culture” karya Joshua Reno (2009), dan Huitzilopochtli’s conquest Aztec ideology in the archaeological record karya Elizabeth M. Brumfiel (2007) memberikan jawaban mengenai relevansi tersebut.

Dua artikel tersebut memberikan contoh bahwa mayarakat tidak hanya menjalankan budayanya secara pasif tetapi aktif memberikan pemaknaan baru pada budyaanya. Bahkan, material culture sebagai bagian dari budaya  menjadi sarana untuk menciptakan makna dan tatanan dalam masyarakat (Tanudirdjo, 1997, hlm. 66). Dengan demikian, material culture bukan merupakan tingah laku memfosil atau hasil fasif dari tindakan manusia, akan tetapi selalu ada timbal balik yang aktif antara gagasan dan Tindakan manusia dengan “material culture”. Dengan demikian, baik objek kajiannya kontemporer (TPA) maupun kuno (Peninggalan Aztec) tetap akan memberikan makna “baru” dengan pendekatan posmodernisme dalam arkaelogi.

Kajian tentang TPA menghasilkan formulasi mengenai politik nilai, individuaisiasi, identitas, bahkan gender, Bagi Joshua Reno, sampah bukanlah benda statis yang memiliki nilai pasti melainkan dalam peredarannya, Ia berubah mengikuti rezim nilai yang berbeda, dari yang dianggap tidak berguna atau kotor, yang tidak lagi diinginkan, menjadi yang dianggap sangat berguna. Inilah yang disebut Joshua Reno sebagai praktik interpretatif individuasi (Reno 2009, hlm. 34). Dalam sebuah benda ditemukan politics of value yang berkaitan dengan bagaimana ia dimaknai, dengan identitas `kelas, dan adanya individuation terhadap nilai benda tersebut (Reno, 2009). Kajian Reno sebelumnya juga dilakukan oleh David H. Thomas (Supardan, 2008)) yang terkenal dengan Garbage Project atau “Proyek Sampah” dari Universitas Arizona. Thomas, meneliti sampah-sampah rumah tangga yang dibuang di sekitar kota Tucson, dan ternyata dari sampah-sampah tersebut menghasilkan banyak informasi tentang aktivitas sosial masyarakatnyanya.

Karya Elizabeth M. Brumfiel (2007) memperlihatkan dalam artepak-artepak budaya dapat ditunjukan ideologi penguasa yang direkonstruksi untk kepentingan mereka. Tujuannya selain terjaganya rezim dari ancaman pemberontakan, memastikan ketaatan masyarakat, serta terjaganya stratifikasi sosial dalam masyarakat. Ideologi Aztec ditunjukkan melalui berbagai artefak dan arca-arca yang merefleksikan sistem politik dan aturan pada masyarakat Aztec. Ketika Ideologi disampaikan pada target yang berbeda maka cara dan tampilannya pun akan berbeda. Ideologi negara target utamanya diperuntukan bagi anak-anak dari kaum bangsawan, yang mengikat mereka dalam bentuk loyalitas kepada negara dengan cara menekan potensi resistensi dan menarik mereka sebagai sekutu.

Dua artikel itu semakin mempertegas hubungan antara material culture dengan dengan gagasan dan Tindakan manusia tidak pernah lepas dari tiga hal yaitu: pribadi manusia, konteks budaya dan sejarah (Hodder, 2003). Artikel Reno memperlihatkan kuatnya faktor pribadi manusia dan konteks budaya, sementara artikel Brumfield menunjukan kuatnya faktor sejarah dan konteks budaya dalam pembentukan pemaknaan. Semua ini nampaknya memperlihatkan kuatnya kajian postmodernisme pada kajian arkeologi. Bagi arkeologi postmodernisme, pengetahuan yang benar atau realita tentang masa lalu itu sebenarnya tidak ada, yang ada hanyalah pengetahuan masa lalu versi masa kini (Tanudirdjo, 1997). Meskipun demikian, pandangan arkeologi pascamodern banyak mendapat kritikan karena danggap mengandung banyak cacat.

 

Penggunaan Analisa “Material Culturee” Pada Kajian Pendidikan Sejarah

Konsep pemaknaan material culture dari Reno dan Brumfiel serta perkembangan arkeologi pascamodern memberikan jembatan bagi penulis untuk menghubungkan kajian arkeologi dan Pendidikan sejarah. Pendidikan sejarah membutuhkan kajian ilmiah arkeologi yang bersifat saintifik untuk membantu sejarah merekontruksi masa lalu dan pemaknaan baru agar mendapatkan nilai yang dapat diambil siswa (Carr, 1985; Wineburg, 2001).

Namun, harus dipahami pula bahwa pendidikan sejarah tidak saja menjadi wahana pengembangan kemampuan intelektual dan kebanggaan masa lampau, tetapi juga merupakan wahana dalam upaya memperbaiki kehidupan sosial budaya-politik, ekonomi, sosial, budaya yang berlangsung (Hasan,1999: 9). Dengan demikian, pembelajaran sejarah membutuhkan materi yang kontekstual pula. Elaine B Jhonson (2007:20) menguraikan bahwa dalam contextual teaching and learning, siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam materi akademik yang mereka terima dan mereka dapat mengaitkannya dengan informasi yang sudah mereka miliki sebelumnya. Sistem belajar ini perlu menghubungkan materi pelajaran dengan  pemaknaan baru yang konstektual pada “material culture”. Kajian arkeologi postmodern dapat memberikan sumbangan berupa nilai-nilai kontekstual dan kekinian yang dapat memperkuat jati diri bangsa (Tanudirdjo, 1997). Hal tersebut didasarkan pada analisa postmodernisme yang pluralitik dan relativistik yang memungkinkan cairnya pemaknaan.

Sebagai contoh, bagaimana pemaknaan terhadap berbagai monument sejarah yang dapat dilihat siswa saat ini? Alan S. Marcus dan Thomas H. Levine (2010) berjudul “Remember the Alamo? Learning History with Monumen dan Memorials” menunjukan bahwa monumen Alamo yang ada di Washington D.C. dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar sejarah dalam rangka mengembangkan keterampilan berpikir historis.  Tugu atau monumen yang dirancang sebagai situs peringatan berfungsi sebagai simbol sejarah, sehingga dapat dipertahankan selain untuk membentuk identitas dari generasi ke generasi juga dapat memelihara identitas nasional (Barton dan Mccully, 2005: 89).

 

Referensi

Barton, C. K., & Mccully, A. W. (2005). “History, identity, and the school curriculum in Northern Ireland: an empirical study of secondary students’ ideas and perspectives” dalam Journal of Curriculum Studies, 37 (1).

Brumfiel, E. M. (2007). Huitzilopochtli’s conquest Aztec ideology in the archaeological record.  Dalam Insoll, T (ed) (2007). The Archaeology of Identities. USA: Routledge

Carr, E.H. (1985) What Is History ? , Harmondsworth, Middlesex, England: Penguin Books, Ltd.

Hodder, I., & Hutson, S. (2003). Reading the past: current approaches to interpretation in archaeology. Cambridge University Press.

Johnson, B Elaine. (2002). Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press, Inc.

Marcus, A. S. & Levine, T. H. 2010. “Remember the Alamo? Learning History eith Monumen dan Memorials” dalam Journal of Sosial Educatians, 74 (1).

Marwoto, I. (2019). From rubbish to cultural identity Making archaeology relevant for the contemporary community. Wacana Vol. 20 No. 2 (2019): 317-351

Reno, Joshua. 2009. “Your trash is someone’s treasure: the politics of value at a Michigan landfill,” in Journal of material culture, 14(1), pp. 29-46.

Supardan, D. (2008). Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Aksara

Tanudirdjo, D.A. (1997). Arkeologi Pasca Modern untuk Direnungkan. Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII Jilid 2. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional 1997-1998.

Comments are closed.