Generasi Muda Dan Sejarah

Oleh : Zul ‘Asri

Pendahuluan

Seiring dengan perkembangan zaman, ada kecenderungan antara Generasi Muda dan Sejarah mengalami perkembangan yang bertolak belakang. Generasi Muda dalam era global saat ini berpikir sangat realistik, sementara Sejarah adalah peristiwa masa lampau, yang dalam pikiran mereka telah berlalu dan berakhir. Namun sejarah memberi gambaran masa lalu suatu bangsa yang terkait dengan apa yang pernah dicapainya, kejayaan atau kemunduran, kebenaran atau kesalahan, lembaran hitam atau  putih, kesuksesan dan kegagalan yang pernah dialaminya.  Hal ini berarti bahwa sejarah dapat dijadikan cermin perbandingan untuk masa sekarang bagi suatu generasi penerusnya, sehingga di mana perlu ada perbaikan atau ditindaklanjuti.

Selanjutnya, Generasi muda adalah harapan dan masa depan bangsa dan negara, karena secara sadar atau tidak mereka akan menerima tanggung jawab akan keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara serta melanjutkan cita-cita pembangunan bangsa dan negara untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana dicita-citakan dalam konstitusi (Pembukaan UUD 1945). Namun hal itu belum juga tercapai. Pada hal sampai saat ini sudah hampir 66 tahun kita merdeka telah silih berganti generasi yang mengisi pembangunan bangsa dan negara, cita-cita tersebut semakin jauh saja panggang dari api. Masalah sampai saat ini yang masih dihadapi oleh bangsa dan negara ini adalah menyangkut hal yang sangat mendasar, yaitu kemiskinan, hukum dan keadilan, korupsi, kolusi, serta nepotisme, yang dihadapi dari setiap pergantian generasi. Hal itu semua merupakan rentetan peristiwa sejarah bangsa yang telah berlangsung dari generasi ke generasi sampai saat ini yang tak kunjung berakhir.

Hal ini merupakan dilematis, karena bangsa ini hampir selalu lupa dengan peristiwa masa lampaunya. Peristiwa masa lampau tersebut sejak Pendidikan Dasar sampai ke Perguruan Tinggi dipelajarinya secara akademik.  Di samping itu ada lagi mata pelajaran yang membicarakan kehidupan kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara secara disipliner melalui Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) untuk tujuan Pendidikan. Artinya seharusnya sudah cukup bekal hidup dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Generasi Muda Mencari Indentitas

Generasi Muda merupakan suatu kelompok orang masih mencari identitas diri, sehingga mereka mudah menerima pengaruh atau unsur-unsur baru dari luar diri dan lingkungannya.  Hal itu sudah menjadi ciri khas anak-anak muda. Oleh karena itu mereka ini merupakan suatu kesempatan menjadi objek yang menarik dalam pembentukan karakternya.  Namun mereka yang terbentuk itu sangat sedikit sekali dibandingkan dengan populasi seluruhnya.

Dalam pencarian identitas diri, sekurangnya ada tiga lingkungan cukup berpengaruh, yaitu lingkungan kelurga, masyarakat dan sekolah. Dalam hal ini terjadi tarik menarik pengaruh di dalam dirinya.  Mereka memiliki otoritas untuk memilih mengenai apa yang terbaik menurutnya. Pemenang dari persaingan ini tentu saja yang paling dominan memberi pengaruh, apakah itu positif atau negatif terhadap mereka.

Bagaimanapun juga pendidikan formal, sekolah,  adalah salah lembaga yang cukup punya tanggung jawab dalam pembentukan kepribadian generasi muda, khusus bagi pengajar sejarah. Sementara mata pelajaran sejarah tersebut tidaklah begitu menarik bagi mereka. Kendatipun setiap generasi dalam masa lampau sangat menentukan perjalanan sejarah bangsa ini, seharusnya mereka bisa belajar peristiwa masa lalu tersebut.  Bagaimana kepribadian tersebut ditunjukkan oleh masing-masing generasi dalam memperjuangan bangsanya dan melahirkan ide-ide yang sangat brilian untuk membentuk persatuan bangsa dan negara.

Persoalan lain juga tidak terlepas dari guru sebagai pendidik yang membentuk kepribadian siswanya, generasi muda. Tentu saja dalam hal ini guru harus mampu membuat skenario untuk menanamkan nilai-nilai bagi pembentukan kepribadian, sehingga menjadi identitas diri bagi generasi muda. Oleh karena itu, banyak pihak menuntut bahwa status dan peran guru dalam masyarakat begitu penting.  Pendidikan yang bermutu hanya bisa diraih jika sekolah memiliki guru-guru bermutu (Doni Koesoema A, 2009: ix). Akhirnya guru-guru yang bermutu tersebut yang memrosesnya adalah terpulang kepada para LPTK yang ada.

Hakikat Sejarah adalah Pembelajaran

  1. Dilema Pembelajaran Sejarah

Seringkali muncul keluhan dari siswa-siswa bahwa pelajaran Sejarah itu membosankan, karena fakta-fakta, tahun-tahun, tokoh-tokoh dan seterusnya yang harus dihafalkan. Begitu juga sering kita dengar dari orang awam, bahkan ada juga yang kaum terpelajarpun mengatakan bahwa guru sejarah adalah orang yang pandai bercerita. Barangkali itu ada benarnya, karena dari pengalaman mereka demikian adanya, siswa selalu dijejali dengan seabreg  hafalan oleh guru, bukan mengajaknya berpikir tentang peristiwa masa lalu (sejarah).  Bagi orang awam, sejarah itu secara konvensional memang berisikan cerita (narasi) masa lalu, tetapi apakah setiap cerita masa lalu dapat dikatakan sejarah?  Oleh karena itu di sinilah perbedaan orang awam dan orang yang professional (mempelajari sejarah) dalam memahami cerita masa lalu atau sejarah.

Dalam Undang-undang Guru dan Dosen bahwa guru dan dosen adalah tenaga profesional (UU No. 14 Tahun 2005), tentu saja tidak terkecuali guru dan dosen sejarah. Mereka sebagai tenaga profesional tentu saja memiliki pemahaman yang cukup tentang hal-hal yang menyangkut Ilmu Sejarah. Oleh karena itu, mereka dapat menjelaskan dan memberi pemahaman pula kepada khalayaknya, para siswanya atau mahasiswanya, apakah sejarah itu. Bagaimanapun juga sejarah itu merupakan narasi atau cerita tentang peristiwa sejarah, apakah itu pemahaman sejarah secara konvensional atau modern. Perbedaan di antara keduanya terdapat pada metode dan pendekatan yang digunakan dalam menganalisis suatu  peristiwa. Pada tataran ini tentu saja guru dan dosen sejarah sebagai tenaga profesional harus memiliki kemampuan menjelaskan persoalan tersebut melalui pembelajaran sejarah itu. Perkembangan mutakhir dari ilmu sejarah harus diikuti untuk keperluan terutama pengembangan pengetahuannya sendiri dengan melakukan penelitian-penelitian, yang pada akhirnya adalah adalah pengembangan wawasan dan keilmuan sejarah sendiri, sehingga sejarah sebagai ilmu dan dan peristiwa serta pengajaran sejarah sendiri dapat di-up date.  Dengan demikian pembelajaran sejarah diharapkan tidak lagi sebagaimana telah menjadi pembicaraan  dalam masyarakat awam yang selama ini berkembang di tengah masyarakat.

  1. Sejarah Sebagai Peristiwa Masa Lampau

Sejarah merupakan rekonstruksi kehidupan umat manusia ada masa lalu tentang suatu peristiwa dalam dimensi waktu dan tempat (Kuntawijoyo, 1995: 1-17). Oleh karena itu, sejarah harus dinarasi agar dapat diketahui bagaimana ia dimengerti atau dipahami oleh pembacanya. Jadi sejarah naratif membuat deskripsi tentang masa lampau dengan merekonstruksi apa yang terjadi serta diuraikan sebagai cerita, dengan perkataan lain kejadian-kejadian penting diseleksi dan diatur menurut poros waktu demikian rupa, sehingga tersusun sebagai cerita. Sebaliknya sejarah nonnaratif merupakan peristiwa sejarah yang dianalisis dan dideskripsikan dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial lebih menitikberatkan pada problem-oriented  dengan menggunakan konsep ilmu sosial yang mencoba mengungkap pelbagai tingkat atau dimensi dari realitas sejarah (Sartono Kartodirdjo, 1993: 9).  Keduanya sama bercerita tentang masa lampau, hanya saja sejarah nonnaratif cenderung lebih memperluas penelitian kea rah masalah-masalah sosial dan ekonomi daripada masalah politik belaka (Sartono Kartodirdjo,1993:9). Dalam hal ini bahwa masing-masing aspek dalam kehidupan manusia itu, sesungguhnya saling mempengaruhi. Oleh karena itu penggunaan ilmu-ilmu sosial sebagai pendekatan sangat diperlukan untuk menganalisis kehidupan masa lampau manusia yang begitu komplet. Hanya dengan berdasarkan perpaduan konsep-konsep dan teori-teori dari ilmu-ilmu sosial dan sejarah dengan metode-metode baru itu dapat diharapkan bahwa keterbatasan sejarah konvensional  dapat diatasi (Sartono Kartodirdjo, 1993: 14).

Sebagai peristiwa masa lampau, sejarah menjadi pengalaman (experience) yang akan menimbulkan atau memberi kesadaran bagi orang yang mempelajarinya. Oleh karena itu sejarah bukan hanya pengetahuan, tetapi juga menyangkut kesadaran, “belajarlah dari sejarah” (Taufik Abdullah dan Abdurrahman Surjomihardjo, 1985: ix).  Dalam hal ini tentu saja bagaimana mengemas peristiwa masa lampau umat manusia itu ke dalam suatu tulisan menjadi suatu hal yang menarik bagi pembacanya. Pada tataran ini, kemampuan meramu dan menggunakan ilmu bantu sejarah dan pendekatan ilmu sosial sangat dituntut, karena menjadikan peristiwa masa lampau itu menjadi suatu analisis dan cerita yang menarik.

  1. Hakikat Belajar Sejarah

Sebagai peristiwa yang telah berlalu, tentu saja sejarah dianggap oleh masyarakat secara umum ‘suatu hal yang tidak up to date’, apabila hal itu dipandang dari sudut nilai-nilai yang matrialistis, tetapi jangan lupa bahwa kejadian atau peristiwa masa lampau umat manusia yang dijadikan sejarah itu merupakan yang menentukan untuk masa selanjutnya. Sebagai contoh peristiwa masa Kolonial, Pergerakan Nasional dengan organisasi pergerakan, dan seterusnya merupakan konsep-konsep yang dibangun dari peristiwa-peristiwa sejarah. Semua peristiwa-peristiwa yang lahir pada masa itu dilahirkan dengan secara sadar oleh mereka (tokoh-tokoh) yang sadar akan kehidupan dan nasib bangsanya pada masa itu, sehingga mereka berbuat dan melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya pada waktu itu. Oleh karena itu peristiwa yang terjadi itu merupakan “peristiwa yang disengaja” (Taufik Abdullah dan Abdurrahman Surjomihardjo, 1985: xi-xii) dilakukan oleh pelaku-pelaku sejarah untuk untuk tujuan dan maksud-maksud tertentu, jadi peristiwa itu terjadi bukan secara kebetulan. Belajar dari pengalaman masa lampau baik secara langsung atau melalui tulisan sejarah, para tokoh atau pelaku sejarah secara sadar membuat perencanaan yang lebih baik untuk melakukan tindakan-tindakan selanjutnya.

Para peneliti, penulis, pengajar sejarah dan peminat sejarah biasanya akan memunculkan pertanyaan, bagaimana peristiwa itu terjadi, mengapa muncul peristiwa itu, dan seterusnya. Jawaban dari pertanyaan itulah melahirkan pengetahuan dan pengalaman baru, serta pelajaran untuk menghadapi kehidupan masa kini dan masa yang akan datang.   Sir John Seeley mengatakan bahwa “kita belajar sejarah adalah agar lebih bijaksana pada masa yang akan datang”. Bung Karno juga sering mengatakan kata-kata “jas merah” (jangan sekali-kali melupakan sejarah). Cicero menyatakan bahwa barang siapa tidak mengenal sejarahnya akan tetap menjadi anak kecil (Sartono Kartodirdjo, 1993: 23). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa peristiwa dan pengalaman masa lalu sangat penting untuk membuat perkiraan, perencanaan serta keputusan untuk masa yang akan datang. Namun banyak orang seringkali lupa bahwa peristiwa masa lampau (sejarah) sangat penting bagi kelanjutan kehidupan masa depannya, sehingga sejarawan mengemukakan bahwa sejarah itu mempunyai tiga dimensi, yaitu masa lampau, masa kini ini, dan masa yang akan datang.  Hal ini dapat kita perhatikan bahwa kealpaan terhadap peristiwa yang pernah menimbulkan petaka pada lampau menyebabkan muncul peristiwa berikutnya yang tidak kurang dahsyatnya dari peristiwa sebelumnya dengan model dan cara-cara yang sama pada masa berikutnya.  Persoalan tersebut sudah menjadi suatu hal yang lumrah terjadi, karena dengan begitu saja melupakan dan tidak belajar dari peristiwa sebelumnya. Meskipun dalam berbagai kesempatan seringkali diutarakan bahwa “bangsa yang besar adalah yang tidak melupakan peristiwa masa lalunya”, namun hal itu  hanya sebatas menjadi pameo, karena tidak menjadi pengalaman atau terinternalisasi, terutama bagi elit yang lebih banyak sebagai pengambil keputusan .

Pendidikan Membentuk Keperibadian 

Apabila ditilik dari segi pembinaan, pembentukan dan pembangunan bangsa ini melalui jalur pendidikan bahwa hampir segenap anak bangsa telah menikmati pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi kita, tetapi secara kuantitas dan kualitas kita masih tertinggal dari bangsa-bangsa yang hampir sama nasibnya dengan bangsa kita pada masa lampau, barangkali kita perlu menoleh pada negara tetangga kita sebagai perbandingan. Dalam hal ini anak bangsa kita bukan tidak cerdas, mereka bisa sejajar dengan bangsa lain dapat terlihat dalam lomba-lomba bidang sains (ilmu pengetahuan). Namun kenapa negara kita masih tertinggal dari hampir segala segi kehidupan, sementara dalam hal-hal yang negatif hampir selalu nomor wahid. Sebagai  contoh persoalan-persoalan bangsa yang dialami sampai saat ini, masalah kemiskinan, penegakan hukum dan keadilan, serta korupsi dan seterusnya  yang belum bisa dihabisi.

Sejak kita merdeka telah beberapa banyak mata pelajaran yang bertujuan untuk membentuk karakter atau kepribadian bangsa dimasukkan dalam kurikulum sekolah dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas sampai Perguruan Tinggi, seperti Pendidikan Agama, Budi Pekerti, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Kewargaan Negara, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, Sejarah serta semua mata pelajaran yang tergabung dalam Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Ilmu-ilmu Sosial secara disipliner. Semua mata pelajaran tersebut memberikan pengetahuan untuk menyelesaikan persoalan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun akhir-akhir ini muncul kekhawatiran, para pengambil keputusan serta pemikir dan pemerhati masa depan bangsa ini semakin timbul kegundahan di antara mereka, karena bangsa ini semakin kehilangan identitas, karakter atau kepribadiannya.

Dari segi kurikulum, perubahan dan pengembangan untuk perbaikan telah berjalan sedemikian rupa hingga yang terakhir ini ada KTSP.  Tetapi hasil dari perbaikan itu ke arah pembentukan karakter  atau kepribadian belum kunjung juga memperlihatkan hasil.  Persoalan ini di mana bersemayamnya?  Unsur-unsur yang cukup berperan dalam persoalan ini bisa berupa standar yang telah ditetapkan dalam bentuk dokumen yang cukup layak menjadi pedoman dalam proses pembelajaran.  Namun kecenderungan yang terjadi adalah para guru “ sibuk” mengurus kurikulum tersebut secara administratif atau penyesuaian diri dengan pembaruan tersebut (Forum Mangunwijaya, 2008:65-66).

Tampaknya permasalahannya tidak cukup sampai di sana, saat ini kegundahan tersebut semakin mengemuka dengan dimasukkan pula Pendidikan Karakter ke dalam kurikulum yang direncanakan dari tingkat Pendidikan  Dasar sampai Perguruan Tinggi.  Barangkali benang kusut tentang pembentukan kepribadian atau karakter tersebut belum akan terurai, apabila semua sektor tersebut masih jadi lingkaran setan. Tentu saja dalam hal ini faktor guru adalah faktor yang paling menentukan pembentukan kepribadian dalam dunia pendidikan formal.

Penutup

Sejarah merupakan peristiwa masa lampau, ia akan berarti dan bermakna apabila mau belajar dari pengalaman masa lampau tersebut. Peristiwa masa lampau itu pada hakikatnya adalah pelajaran yang paling berharga bagi generasi selanjutnya, karena ia menyajikan berbagai pengalaman yang pernah terjadi dan ada pada masa lampau. Pengalaman tersebut tidaklah diputus bagi generasi berikutnya, karena hal itu akan menyebabkan generasi penerusnya akan kehilangan jati dirinya sebagai suatu bangsa.

Di sinilah dituntut para tenaga profesional dalam bidang pengajaran sejarah harus mampu membuat pembelajaran sejarah menjadi pelajaran yang diminati. Oleh karena itu, pelajaran sejarah harus menjadi pembelajaran menggunakan ranah Bloom pada tingkat tinggi, tidak lagi hanya pembelajaran pada tingkat recall (menghafalkan fakta-fakta saja) tanpa suatu makna yang didapatkan dari suatu peristiwa sejarah.

Daftar Pustaka

Doni Koesoema A (2009).  Pendidik Karakter di Zaman Keblinger.  Jakarta: Grasindo.

Forum Mangunwijaya (2008). Kurikulum yang Mencerdaskan: Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif.  Jakarta:  Penerbit Buku Kompas.

Kuntowijoyo (1995). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Reiner, G.J. (1997). Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sartono Kartodrdjo (1993). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Taufik Abdullah dan Abdurrahman Surjomihardjo (1985). Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif. Jakarta: PT Gramedia.

Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Undang-undang Guru dan Dosen.

Comments are closed.