Pengantar Teori dan Metodologi Sejarah

Teori merupakan satuan pernyataan yang dapat dimengerti bagi yang lain, yang merupakan ramalan tentang peristiwa empiris. Karena itu  suatu teori juga merupakan seperangkat konstruk, batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomen dengan mencari hubungan-hubungan antar variable, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala itu (Supardan, 2008: 6). Teori merupakan unsur yang sangat esensial dalam kajian tentang suatu fenomena baik pada masa lalu maupun sekarang.

Menurut James Banks (1977), teori teramat penting dalam ilmu pengetahuan; karena tanpa teori ilmu tak dapat membuat prediksi ilmiah, dan tanpa kemampuan memprediksi, kita tidak dapat melakukan pengendalian. Serupa dengan pendapat itu Joseph J.Schwab mengemukakan: “They seeks ends that are not knowledge but something else-making, the appreciation of what is made, the arts and habits of deliberation; choice and action (Schwab, 1962: 21). Kerlinger (2000) mengemukakan bahwa ada lima fungsi teori: Pertama berguna sebagai kerangka kerja untuk melakukan penelitian. Kedua, teori memberikan suatu kerangka kerja  bagi pengorganisasian butir-butir informasi tertentu. Ketiga, teori mengungkapkan kompleksitas peristiwa-peristiwa yang tampaknya sederhana. Keempat, teori mengorganisasikan kembali pengalaman-pengalaman sebelumnya. Kelima, teori berfungsi untuk melakukan prediksi dan kontrol.

Namun untuk ilmu sejarah, kedudukan teori menimbulkan perdebatan sengit, terutama antara aliran empirisme dan  idealisme, dan khususnya mengenai penerapan hukum umum (general law) dan teori generalisasi  (generalizing theory). Teori sejarah diberi tugas untuk menyajikan teori-teori dan konsep-konsep yang memungkinkan seorang ahli sejarah mengadakan integrasi terhadap semua pandangan fragmentaris mengenai masa silam seperti dikembangkan oleh macam-macam spesialisasi di dalam ilmu sejarah (Anskermit, 1987). Adapun tugas teori sejarah ialah menyusun kembali kepingan-kepingan mengenai masa silam sehingga kita dapat mengenal kembali wajahnya (Anskermit, 1987).

Ada beberapa alasan yang digunakan golongan Idealis (terutama Neo-Kantian seperti Wilhelm Dilthey, Henrich Rickert, Windelband, Max Weber, serta Neo-Hegelian seperti Benedetto Croce, RG. Colingwood) dalam menolak penggunaan teroi dalam sejarah, antara lain (Supardan, 2008; Sjamsuddin, 2007: 70-74):

  1. bahwa ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan kajian-kajian manusia (human studies) termasuk humaniora, merupakan jenis-jenis olahan intelektual yang sama sekali berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya. Dikatakan berbeda karena jika ilmu-ilmu alam itu bertujuan untuk menemukan hukum-hukum umum (generals laws) dan bersifat nomotetik. Sedangkan sejarah bertujuan untuk menegakkan dan mendiskripsikan individu dan fakta-fakta unik serta peristiwa-peristiwa yang bersifat ideografik.
  2. Kemudian ilmu-ilmu alam itu besifat ”obyektif”, yang bisa dilakukan berbagai metode observasi langsung maupun ekperimen-eksperimennya. Sedangkan dalam kajian-kajian kemanusiaan (termasuk sejarah) itu ”subyektif” yang hanya dilakukan atas metode interpretasi dan pemahaman dan ”Verstehen” menurut Dilthey dan Weber serta berpikir ulang (rethinking) menurut Colingwood (Sjamsuddin, 2007: 35).
  3. Menurut kelompok yang anti teori, sejarah teoretis adalah sejarah yang spekulatif dan itu harus diserahkan kepada para ahli filsafat (Barzun, 1974).
  4. Selain itu juga menurut kelompok anti teori tersebut bahwa kebudayaan manusia itu begitu kaya dan beragam sehingga memiliki keunikan masing-masing dari setiap tempat dan zamannya. Oleh karena itu model-model sejarah dan tingkah laku manusia yang dijelaskan secara umum adalah penipuan belaka.
  5. Adapun tugas sejarawan adalah merekonstruksi peristiwa-peristiwa serta situasi-situasi menurut kenunikan individual dan interpretasi-interpretasi mereka hanya berlaku untuk serangkaian kondisi-kondisi tertentu saja. Tidak ada manfaatnya membuat komparasi situasi-situasi sejarah yang dipisahkan oleh waktu dan tempat (Tosh, 1984; 131).
  6. Lebih keras lagi sikap anti teori ini juga dikemukakan oleh David Thomson maupun G.R. Elton. Bagi Thomson (Tosh, 1984: 132) bahwa ”Sikap sejarah menurut definisinya adalah bermusuhan dengan pembuatan sistem (system-making)”. Thomson berpandangan seperti ini karena ia adalah pengikut yang tidak menyukai filsafat sejarah spekulatif yang tidak menghargai keunikan gerak sejarah.
  7. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Elton bahwa menempatkan sejarah dalam upayanya membuat teori-teori adalah sama halnya dengan menempatkan sejarah dalam hubungan yang tergantung pada ilmu-ilmu sosial. Atau para sejarawan teoretisi adalah perongrong/pengganggu otonomi disiplin sejarah. Sebab menurutnya, dalam bentuknya yang tidak lemah, sejarah memberikan obat penawar yang paling ampuh terhadap pembentuk-pembentuk sistem (system builders) di antara ahli-ahli ilmu sosial yang menawarkan penyelesaian-penyelesaian yang segera serta tidak ragu-ragu dalam  permasalahan kehidupan manusia yang sangat kompleks (Elton, 1969).

Sebaliknya golongan empiris berpendapat bahwa walaupun terdapat perbedaan dalam metode, sebenarnya harus mampu menunjukkan pengetahuan yang benar dan sejarah-pun harus mengikuti aturan yang sama (Supardan 2008). Ada beberapa sanggahan dan alasan bagi kaum pendukung penggunaan teori dalam sejarah, yaitu:

  1. Mereka mengemukakan bahwa besarnya tuduhan-tuduhan yang merendahkan pendukung teoretisi itu hanyalah atas dasar prasangka belaka. Bahkan kecenderungan-kecenderungan-kecenderungan negatif yang dimilki oleh kaum ”tradisionalis” jika dibiarkan dan tidak terkendali hanya akan menimbulkan akibat yang lebih buruk serta terjadinya ”pemiskinan” pemahaman sejarah (Tosh, 1984: 133).
  2. Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa dalam penulisan sejarah itu tidak sepenuhnya dan semuanya menekankan ”keunikan” semata-mata, di mana para sejarawan-pun membuat keumuman-keumuman seperti membuat kategori-kategori, konsep-konsep, serta generalisasi-generalisasi dari peristiwa sejarah.
  3. Para teoretisi juga beranggapan bahwa tidak ada salahnya studi komparasi itu dilakukan jika memang bermanfaat seperti penyusunan model-model masyarakat industri, agraris, ataupun feodal, teknologis, dan sebagainya. Dengan demikian, tidak benar pula jika sejarah diorientasikan pada kajian keunikan individual semata-mata, melainkan juga pada kajian kelompok (kolektif) seperti nasionalitas,  budaya, agama, dan komunitas. Sebab dengan memberikan identitas-identitas yang lebih besar akan dapat memberikan arti pada mereka sebagai mahluk sosial.
  4. Selain itu juga dengan pembentukan teori tidak berarti akan menghapuskan kemerdekaan dan peranan individu. Justru dengan pengembangan teori akan mencari untuk menjelaskan kendala-kendala yang membatasi kemerdekaan individu. Sebaliknya jika sejarawan mempertahankan suatu fokus eksklusif pada pikiran-pikiran dan perbuatan para individu seperti yang sering dikaji oleh sejarawan naratif politik atau diplomasi, hal ini hanya akan menemukan sesuatu yang hanya berisikan sesuatu deskripsi kronologis maupun peristiwa-peristiwa yang tidak terduga (Berkhofer, 1969: 271-272; Tosh: 1984: 135).
  5. Selanjutnya menurut sejarawan Indonesia Sartono Kartodidjo (1990: 260-264; 1992: 120-156), bahwa justru dengan penggunaan teori-teori sosial melalui fenomena rapprochement, adalah merupakan titik tolak (point of departure), di mana hasil karya sejarah akan dapat memodifikasi teori-teori itu, membentuk teori-teori baru, serta menempatkan ilmu sejarah sejajar dengan ilmu-ilmu sosial daripada sebagai sub-ordinasi sejarah pada ilmu-ilmu sosial.
  6. Reaksi keras dari teoretisi lainnya juga dikemukakan oleh Carl G. Hempel dalam tulisannya Explanation and Laws (Gardiner, 1959), dan Cristopher Lloyd dalam Explanation in Social History (1988) yang mengemukakan bahwa setiap penjelasan dalam sejarah harus dapat diterangkan oleh ”hukum umum” atau general law, sebab secara metodologis menurutnya tidak ada perbedaan mendasar antara sejarah dengan ilmu-ilmu lainnya. Bukankah dalam sejarah juga bertujuan untuk membuat hubungan-hubungan kausatif (causative connections); yaitu penjelasan itu diperoleh dengan menempatkan peristiwa-peristiwa itu dibawah hipotesis, teori, atau hukum umum. Atau dengan kata lain penjelasan itu diperoleh dengan mendeduksikannya dari pernyataan-pernyataan hukum umum.

Terlepas dari pro dan kontra terhadap pernyataan tersebut, bahwa dengan adanya kontroversi mendasar antara dua aliran itu berimplikasi pada sedikitnya jumlah teori-teori sejarah yang dihasilkannya. Pada umumnya teori-teori sejarah timbul dari permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh tiga aspek ekplanasi sejarah (Sjamsuddin, 2007: 65-69), yaitu:

  1. Kesulitan dalam memahami setiap dimensi pengalaman mansuia yang saling berhubungan pda waktu tertentu.
  2. Para sejarawan menggunakan sebagaian besar waktu mereka untuk menjelaskan perubahan atau tidak adanya perubahan.
  3. Teori-teori mencoba untuk menjelaskan tidak hanya bagaimana perubahan sejarah itu terjadi tetapi juga arah gerak semua perubahan itu.

 

 

Referensi

Ankersmit, F. R. (1987). Refleksi tentang Sejarah: Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah pen. Dick Hartoko. Gramedia. Jakarta.

Banks, J. (1977). Teaching Strategies for the Social Studies: Inquiry, Valuing, and Decision-Making, Phippines,: Addison-Wesley Publishing Company.

Barzun, J. (1974). Clio and the Doctors, Psycho-History, Quanto-History & History, Chicago and London: The University of Chicago.

Berkhofer, R, (1969). A Behavioral Approach to Historical Analysis, London: Cllier Macmillan Publishers.

Elton, G.R. (1969). The Practice of History, Fontana.

Kerliger, F. N. (2000). Asas-asas Penelitian Behavioral, Penerjemah Landung R. Simatumpang dan H.J. Koesoemo, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Schwab, J. J. (1969). “Structure of the Desciplines Meanings and Significance” dalam kumpulan tulisan G.W. Ford, et.al, The Structure of Knowledge and the Curriculum, Rand Mc Nally Curriculum Series.

Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Supardan, D. (2008). Pengantar Ilmu Sosial. Jakarta: Bumi Aksara

Tosh, J. (1984). The Pursuit of History, Aims, Methods and New Directions in the Study of Modern Histry, London and New York; Longman.

 

Comments are closed.