Membangun Kemampuan Berpikir Kritis Dan Kreatif Dalam Pembelajaran Sejarah Berbasis Metakognitif

Dr. H. Cahyo Budi Utomo.

Jurusan Sejarah FIS Universitas Negeri Semarang

Abstrak

Aspek metakognitif dalam pembelajaran sejarah yang dipaparkan dalam kajian ini menjadi pushing power dalam upaya membangun perilaku berpikir kritis dan kreatif peserta didik. Permasalahan dan kelemahan yang timbul dalam pembelajaran sejarah di kelas telah menjadi tantangan tersendiri bagi guru. Fakta menunjukkan guru telah melakukan berbagai upaya untuk mencari solusi permasalahan dan kelemahan tersebut antara lain dengan menerapkan pembelajaran konstruktivistik. Pembelajaran konstruktivistik berfokus pada kegiatan aktif peserta didik dalam memperoleh pengalaman langsung yang membutuhkan perilaku berpikir kritis dan kreatif. Peran guru dalam proses pembelajaran tidak bisa diabaikan dalam rangka menjadikan peserta didik memahami konsep-konsep pelajaran sejarah. Disisi lain, model pembelajaran ‘student center’ tidak selamanya relevan dalam segala jenis situasi belajar. Model ‘teacher center’ tetap harus dikelola secara baik dalam memaksimalkan pembelajaran berbasis peserta didik. Aspek metakognitif dalam pembelajaran sejarah merupakan pencapaian dasar dalam pemahaman konten pembelajaran dan mampu menunjukkan problem solving skill yang dicapai oleh peserta didik. Aktivitas metakognitif yang didukung oleh scaffolding yang sesuai akan memberikan dorongan yang lebih bermanfaat bagi peserta didik untuk tidak sekedar memperoleh kemampuan kognitif. Pemanfaatan strategi metakognitif yang baik mampu memberikan hasil yang optimal dalam mendorong pencapaian berpikir kritis dan kreatif peserta didik. Untuk melahirkan harmonisasi antara aspek metakognitif dan kognitif dalam pembelajaran diperlukan guru yang professional karena skill metakognitif merupakan salah satu komponen penting dalam kecerdasan interpersonal.

Kata kunci: metakognitif, berpikir kritis, kreatif, pembelajaran sejarah, scaffolding

PENDAHULUAN

Salah satu kelemahan umum dalam proses pembelajaran sejarah di sekolah menengah yang dilakukan oleh kebanyakan guru adalah minimnya upaya pengembangan berpikir kritis pada peserta didik. Kebanyakan guru sejarah lebih banyak mendorong agar peserta didik dapat menguasai sejumlah materi sejarah. Pelajaran Sejarah selama ini juga dipersepsi sebagai pelajaran hafalan, pelajaran yang sarat dengan fakta-fakta yang harus dihafal, dan kurang memberikan tantangan untuk berpikir kritis dan kreatif.

Perkembangan pembelajaran sejarah di sekolah menengah saat ini cukup menggembirakan yang dicapai melalui ujicoba dan penerapan model pembelajaran baru berorientasi mutu proses, namun demikian kelemahan umum di atas belum dapat teratasi secara tuntas. Fakta mengenai pembelajaran sejarah di sekolah menunjukkan bahwa guru telah mencoba menerapkan pembelajaran konstruktivistik dengan berbagai variasi dan inovasinya. Namun demikian, orientasi guru masih terfokus pada pencapaian kemampuan kognitif tingkat rendah peserta didik. Hal ini menyebabkan banyak peserta didik yang mampu dengan baik mengerjakan soal-soal yang dicontohkan oleh guru tetapi kesulitan mengerjakan soal-soal yang memiliki tingkat variasi yang berbeda. Fakta ini menunjukkan proses berpikir kritis dan kreatif peserta didik belum terbangun dengan baik dalam pembelajaran sejarah di kelas (Utomo, 2008).

Dalam sebuah model pembelajaran di kelas agar mempunyai efektifitas diharapkan muncul aktivitas-aktivitas metakognitif. Aktivitas metakognitif yang didukung oleh scaffolding yang sesuai akan memberikan dorongan yang lebih bermanfaat bagi peserta didik untuk tidak sekedar memperoleh kemampuan kognitif saja. Pemanfaatan strategi metakognitif yang baik mampu memberikan hasil yang optimal dalam mendorong pencapaian berpikir kritis dan kreatif peserta didik.

Dalam rangka mewujudkan pembelajaran sejarah yang bermutu dengan nuansa konstruktivistik yang baik diperlukan pemahaman guru dalam proses pembelajaran. Pemahaman yang tidak kalah penting selain pemahaman mengenai materi, model pembelajaran yang dipilih, strategi pengelolaan kelas dan perangkat belajar yang digunakan adalah pemahaman mengenai strategi metakognitif. Pemahaman guru tentang pentingnya metakognitif dalam pembelajaran sejarah di sekolah merupakan salah satu poin penting yang menunjang pencapaian mutu pembelajaran sejarah di kelas.

Pemahaman guru mengenai metakognitif dalam pembelajaran sejarah menuntut pemahaman mengenai upaya penerapannya. Bagaimana guru mengembangkan metakognitif dalam pembelajaran merupakan kata kunci kedua setelah pemahaman prinsip-prinsip metakognitif secara umum. Pengembangan strategi metakognitif lebih dari sekedar menerapkan sebuah model pembelajaran di dalam kelas. Pengembangan perlu disesuaikan dengan karakteristik peserta didik di dalam kelas. Prinsip-prinsip pengembangan ini memerlukan pendalaman yang komprehensif terkait dengan kondisi peserta didik dalam proses pembelajaran.

Penerapan model pembelajaran sejarah di kelas yang menggunakan strategi metakognitif diprediksi menjadi lebih efektif utamanya dalam peningkatan aktivitas peserta didik di kelas dalam rangka membangun berpikir kritis dan kreatif peserta didik. Proses pembelajaran yang baik juga harus didukung oleh model penilaian yang baik. Hasil pembelajaran tidak cukup hanya ditunjukkan oleh perolehan nilai (aspek kognitif) saja. Cooper et al., (2008), mengatakan bahwa metakognitif merupakan aspek yang perlu dinilai dalam pembelajaran sejarah. Metakognitif merupakan pencapaian dasar dalam pemahaman materi sejarah dan mampu menunjukkan problem solving skill yang dicapai oleh peserta didik.

KTSP DAN PEMBELAJARAN SEJARAH

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau yang lebih awal dikenal dengan terminologi kurikulum berbasis kompetensi adalah inovasi bidang pendidikan yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara menyeluruh. Peningkatan kualitas ini ditunjukkan dalam bentuk penguasaan kompetensi tertentu sebagai target dan indikator keberhasilan belajar peserta didik di sekolah. Hal ini sesuai dengan karakteristik KTSP yang bercirikan pada penekanan pencapaian kompetensi peserta didik melalui proses pembelajaran menggunakan pendekatan, model atau metode yang bervariasi, dengan sumber belajar yang luas – tidak terbatas pada guru, dan penilaian lebih ditekankan pada proses.

KTSP sebagai produk inovasi bidang pendidikan, diimplementasikan secara serentak oleh semua jenjang dan jenis sekolah mulai tahun pelajaran 2006/2007. Hal ini dilakukan sebagai respons terhadap gerakan peningkatan mutu pendidikan, sekaligus sebagai antisipasi terhadap tuntutan perubahan yang terus menggejala sebagai dampak dari kemajuan IPTEK dan arus globalisasi. Dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang dimiliki oleh sekolah, secara terstruktur dan sistematis harus melaksanakan kurikulum baru.

Di sisi lain kesiapan sekolah untuk mengimplementasikan KTSP, masih sangat tidak merata. Hal ini terjadi oleh beragamnya kualifikasi sekolah, tingkat ketersebaran sekolah secara geografis, maupun infrastruktur yang mendukung sekolah. Lebih jauh dengan berlakunya Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang berimplikasi pada penyelenggaraan pendidikan pada tingkat pemerintah kabupaten/kota yang sangat beragam antara daerah satu dengan yang lain.

KTSP lebih beriorientasi pada peserta didik, sehingga guru berperan sebagai fasilitator dan katalisator agar pengetahuan peserta didik tidak berhenti pada pengetahuan teoritik belaka. Fasilitator adalah peran untuk memfasilitasi proses pembelajaran yang berlangsung di kelas. Muridlah yang aktif, posisi guru dan murid sama (partnership). Guru merancang proses pembelajaran, menetapkan materi, bagaimana cara penyampaian, hasil apa yang ingin dicapai, strategi apa yang digunakan, alat penilaian kemajuan apa yang digunakan, dan selebihnya membantu dan mengarahkan murid untuk melakukan sendiri aktivitas pembelajarannya. Sedangkan katalisator adalah peran untuk membantu peserta didik menemukan kekuatan, talenta dan kelebihan mereka. Guru bertindak sebagai pembimbing, membantu mengarahkan dan mengembangkan aspek kepribadian, karakter dan emosi, serta aspek intelektual murid, sehingga murid memahami bahwa proses pembelajaran yang benar adalah proses yang berkesinambungan.

KTSP mengarahkan guru sebagai pendidik yang mandiri, tidak tergantung pada kurikulum (curriculum-free teachers). Harapan ini pada dasarnya merupakan kesempatan dan pendorong bagi para guru untuk mengembangkan kreativitas dan fleksibilitasnya sebagai inovator dalam kegiatan pembelajaran.

Pendidikan nasional diselenggarakan dalam rangka pengembangan keseluruhan kepribadian. Jadi tidak hanya mengembangkan pengetahuan dan kemampuan berpikir saja, melainkan juga mengembangkan watak (karakter), sikap dan ketrampilan. Pengajaran sejarah di sekolah sebagai salah satu komponen pendidikan diharapkan dapat memberikan sumban­gannya dalam upaya mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut. Eksistensi pembelajaran sejarah bukan hanya sekedar sebagai  bahan dialog, melainkan lebih dari itu, yaitu agar peserta didik mampu memahami dan mengerti masa kini atas dasar perspektif masa lampau.

Pemahaman dan pengertian peserta didik tentang kekinian  atas dasar perspektif sejarah akan memberikan nilai lebih, karena tidak  hanya sekedar mengetahui fakta-fakta dan  angka-angka tahun saja, melainkan juga memahami sebab akibat serta makna yang terkandung di dalamnya. Hal ini akan  mendorong peserta didik untuk mempelajari sejarah secara lebih baik yang pada  gili­rannya akan dapat meningkatkan  motivasi  untuk  memahami makna sejarah bagi keperluan hidupnya.

Pada dasarnya belajar sejarah adalah dialog terus menerus antara masa kini dan masa lampau (Carr,1972). Melalui sejarahlah manusia akan menemukan identitas dirinya. Mengenal diri sendiri berarti mengetahui apa yang dapat dilakukannya. Karena itu nilai sejarah terletak pada kenya­taan bahwa ia mengajarkan apa yang  telah  dilakukan  oleh manusia dan dengan demikian apa sesungguhnya manusia (Coll­ingwood, 1961). Tak bisa dipungkiri bahwa sejarah pada dasarnya  adalah suatu kebutuhan sosial (sosial  need)  yang fundamental, “ketidaksadaran akan makna sejarah bukanlah berarti  kebeba­san dari sejarah, sebaliknya berarti suatu kondisi kejatuhan kedalam  tujuan yang tidak terbayangkan” (Fitzgerald, 1977). Hal ini juga ditegaskan oleh Hill (1956), bahwa sejarah yang diajarkan dengan baik dapat menolong manusia menjadi kritis dan berperikemanu­siaan.

Pembelajaran sejarah dapat menjadi  obyek  pembentukan sikap, artinya melalui pembelajaran sejarah dapat dikembangkan sikap tertentu bagi peserta didik, baik positif maupun negatif.  Dan mengingat pentingnya sikap ini, maka setiap guru sejarah harus mampu memberikan motivasi kepada peserta didiknya agar memiliki rasa senang untuk mempelajari sejarah bangsanya (Dickinson dan Lee, 1980; Hasan, 1989). Lebih  perlu  lagi karena  dalam  beberapa hal  sikap lebih merupakan sesuatu yang dikembangkan daripada sesuatu bawaan sejak lahir. Oleh karena itu, seyogyanya selalu dilakukan oleh  setiap guru  sejarah. Dengan memberikan informasi yang jelas dan persuasif oleh guru dalam proses belajar-mengajarnya akan sangat  mem­bantu. Seperti dikatakan oleh Krech, Crutch­field  dan Ballachey (1962), “sikap  seseorang itu dapat dibentuk melalui pemberian informasi yang  persuasif”. Hal ini juga didasarkan pada asumsi bahwa “seseorang dapat dipengaruhi  penilaian  terhadap suatu obyek sikap dengan menyajikan informasi baru yang berkaitan dengan obyek sikap tersebut” (Bandura,1969).

Pengajaran sejarah yang diselenggarakan dengan baik, tidak saja akan mengembangkan ranah kognitif dari peserta didik, akan tetapi dapat juga mengembangkan bakat-bakat dalam ranah afektif, bahkan psikomotor dan konatif. Ranah-ranah tersebut berinteraksi dan secara bersama membentuk keseluru­han sikap.

PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK

Kini, di Indonesia, sedang mulai memasuki masa revitalisasi pendidikan dengan visi baru. Orientasi pendidikan yang memuja academics achievement seperti yang tercermin pada nilai NEM atau UN mulai tergeser oleh orientasi baru pendidikan kecakapan hidup (life skills). Pendidikan kita yang semula menganut kurikulum yang sarat isi, bergeser pada kurikulum berbasis kompetensi. Sebagai konsekuensi berikutnya, sekolah dituntut meningkatkan mutu manajemen berbasis sekolah, agar tercipta budaya belajar dan hubungan sinergi dengan masyarakat. Semua ini diharapkan agar pembelajaran di sekolah tidak tercabut dari konteks kehidupan sehari-hari masyarakat, atau agar sekolah tidak menjilma menjadi sosok “menara gading” yang jauh dari kehidupan masyarakat.

Para konstruktivis berargumentasi tentang lingkungan belajar dalam konteks yang kaya (rich environment). Pengetahuan dan keterampilan yang kokoh dan bermakna-guna (meaningful-use) dapat dikonstruk melalui tugas-tugas dan pekerjaan yang otentik (Myers & Botti, 2000; Marzano, 1992; Waras Kamdi, 2001). Keotentikan kegiatan kurikuler terdukung oleh proses kegiatan perencanaan (designing) atau investigasi yang open-ended, dengan hasil atau jawaban yang tidak ditetapkan sebelumnya oleh perspektif tertentu. Pembelajar dapat didorong dalam proses membangun pengetahuan melalui pengalaman dunia nyata dan negosiasi kognitif antarpersonal yang berlangsung di dalam suasana kerja kolaboratif.

Menurut Mayer (1992), dalam praktik pendidikan, terutama setengah abad terakhir, telah terjadi pergeseran teori-teori belajar, dari aliran teori belajar behavioristik ke kognitif, dari kognitif ke konstruktivistik. Implikasi pergeseran pandangan terhadap belajar dan pembelajaran tersebut adalah munculnya pandangan bahwa kurikulum sebagai body of knowledge atau keterampilan-keterampilan yang ditransfer adalah naif. Jika pandangan konstruktivis mengenai individu sebagai pengkonstruk pengetahuan mereka sendiri dapat diterima, maka mungkin lebih tepat memandang kurikulum sebagai serangkaian tugas dan strategi belajar. Oleh karena itu, perspektif kehidupan kelas pun menjadi berubah.

Hakekat hubungan guru-peserta didik tidak lagi guru sebagai penjaja informasi dan peserta didik sebagai penerima informasi semata, tetapi guru lebih sebagai pembimbing dan pendamping berpikir kritis yang konstruktif serta kreatif. Lingkungan kelas dirancang untuk memberikan setting sosial yang mendukung konstruksi pengetahuan dan keterampilan (Driver & Leach, 1993).

Strategi pembelajaran yang menonjol dalam pembelajaran konstruktivistik antara lain adalah strategi belajar kolaboratif, mengutamakan aktivitas peserta didik daripada aktivitas guru, mengenai kegiatan laboratorium, pengalaman lapangan, studi kasus, pemecahan masalah, panel diskusi, diskusi, brainstorming, dan simulasi (Ajeyalemi, 1993). Peranan guru yang utama adalah mengendalikan ide-ide dan interpretasi peserta didik dalam belajar, dan memberikan alternatif-alternatif melalui aplikasi, bukti-bukti, dan argumen-argumen.

Menurut banyak literatur, konstruktivisme adalah teori belajar yang bersandar pada ide bahwa pembelajar mengkonstruk pengetahuan mereka sendiri di dalam konteks pengalaman mereka sendiri (Brook & Brook, 1999; Driver & Leach, 1993). Pembelajaran konstruktivistik berfokus pada kegiatan aktif pembelajar dalam memperoleh pengalaman langsung (“doing”), ketimbang pasif “menerima” pengetahuan. Dari perspektif konstruktivis, belajar adalah proses yang memerlukan pengaturan diri sendiri (self-regulation) dan pembangunan struktur konseptual melalui refleksi dan abstraksi. Kegiatan nyata yang dilakukan dalam proyek memberikan pengalaman belajar yang dapat membantu refleksi dan mendekatkan hubungan aktivitas dunia nyata dengan pengetahuan konseptual yang diharapkan akan dapat berkembang lebih luas dan lebih mendalam.

Strategi belajar kolaboratif tersebut juga dilandasi oleh teori Vygotsky tentang Zone of Proximal Development (ZPD). Vygotsky merekomendasikan adanya level atau zona, di mana peserta didik dapat lebih berhasil tetapi dengan bantuan partner yang lebih bisa atau berpengalaman. Vygotsky mendifinisikan ZPD sebagai “jarak antara tingkat perkembangan aktual seperti ditunjukkan oleh kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dengan tingkat perkembangan potensial seperti ditunjukkan oleh kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih mampu”.

Para konstruktivis mengatakan bahwa belajar adalah proses aktif membangun realitas dari pengalaman belajar. Bagaimana pun, belajar tidak dapat terlempas dari apa yang sudah diketahui pembelajar dan konteks di mana hal itu dipelajari. Para konstruktivis itu tidak menyangkal eksistensi (objektivitas) dunia nyata, akan tetapi dikatakannya bahwa makna apa yang kita bangun dari dunia nyata adalah indiosyncratic. Tidak ada dua orang yang membangun makna yang sama, karena kombinasi pengalaman dan pengetahuan sebelumnya akan menghasilkan interpretasi yang berbeda.

Belajar terjadi secara lebih efektif di dalam konteks, dan bahwa konteks menjadi bagian penting dari basis pengetahuan yang berhubungan dengan proses belajar tersebut. Implikasinya di dalam pembelajaran adalah penciptaan lingkungan belajar yang riil, otentik dan relevan sebagai konteks belajar tertentu. Guru dan model pembelajaran yang diciptakannya berfokus pada pendekatan realistik yang memudahkan peserta didik belajar memecahkan masalah dunia nyata (Jonassen, 1991). Lingkungan belajar konstruktivistik yang dimaksud adalah: “a place where learners may work together and support each other as they use a variety of tools and information resources in their pursuit of learning goals and problem-solving activities (Wilson, 1995).

METAKOGNITIF DAN CAPAIAN BERPIKIR KRITIS

Istilah metakognitif telah digunakan secara luas dan berlainan, dan perbedaan penggunaannya bertumpu pada dua pengertian metakognitif, yakni sebagai: (1) pengetahuan tentang kognisi, dan (2) pengontrolan, pemonitoran dan pengaturan proses-proses kognisi (Anderson & Krathwohl, 2010). Selanjutnya Anderson dan Krathwol, menggunakan istilah Pengetahuan Metakognitif dalam kategori dimensi pengetahuan. Selengkapnya disebutkan ada empat jenis atau kategori dimensi pengetahuan, yaitu: pengetahuan faktual, pengetahuan konseptual, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan metakognitif (Anderson dan Krathwohl, 2010).

Dalam artikel klasiknya tentang metakognitif, Flavell (1979 dalam Anderson dan Krathwohl, 2010), menyatakan bahwa metakognitif mencakup pengetahuan tentang strategi, tugas, dan variable-variabel person. Dalam kategori-kategori pada kerangka pikir ini dimasukkan pengetahuan siswa tentang strategi-strategi belajar dan berpikir (pengetahuan strategis), dan pengetahuan siswa tentang tugas-tugas kognisi, kapan dan mengapa harus menggunakan beragam strategi (pengetahuan tentang tugas-tugas kognisi), dan pengetahuan tentang diri (variable person) dalam kaitannya dengan komponen-komponen kognisi dan motivasional dari performa (Anderson dan Krathwohl, 2010). Skill metakognitif merupakan salah satu komponen penting dari kecerdasan interpersonal seperti ditunjukkan pada Gambar 1. (Dawson T.L., 2008).

Gambar 1. Skill metakognitif sebagai komponen penting dalam kecerdasan interpersonal

Metakognitif berhubungan dengan konstruktivisme dalam hal bahwa banyak pembelajar yang efektif makin sadar bagaimana mereka belajar; mereka mengembangkan perangkat dan mengamati kemajuan. Dengan kata lain, mereka mengembangkan control eksekutif pada strategi-strategi belajar daripada secara pasif merespons lingkungan pembelajaran. Hal ini akan tampak salah satunya ketika peserta didik berusaha memahami buku bacaan. Sayangnya, beberapa peserta didik justru mendekati buku-buku tersebut secara pasif. Mereka hanya bekerja melalui materi tersebut dan membiarkan berjalan sebagaimana biasa tanpa mau mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri secara aktif. Namun demikian, ada pula peserta didik yang dengan sadar berusaha bersikap kritis pada materi yang dibacanya, meningkatkan pemahaman dengan cara mengolah informasi dan membuat konsep pada bacaan mereka. Berita baiknya adalah bahwa mereka yang mampu bersikap kritis dapat menjadi lebih baik, asalkan kita-sebagai guru-juga dapat merancang sebuah instruksi positif untuk mengembangkan skil mereka-dan kita bisa melakukannyua pada anak-anak di usia dini.

Kita juga dapat dengan mudah melihat hubungan antara konsep-konsep konstruktivisme dan metakognitif, dalam hubungannya dengan kuriklum dan pengajaran. Kita dapat mengajar dengan proses “learning how to learn” secara terus menerus. Ketika kita mengajar sejarah, misalnya kita dapat mengajarkan pada peserta didik tidak hanya soal proses penyusunan sejarah, tetapi juga bagaimana menggunakan proses tersebut untuk belajar. Ketika kita mengajarkan peserta didik untuk bekerja secara induktif, kita mengajarkan mereka untuk lebih baik dalam berpikir induktif. Perkin (dalam Joyce, 2009), mengatakan berbicara tentang keterampilan berpikir dalam semua bidang kurikulum, peserta didik harus dilatih untuk memperoleh dan menyimpan pengetahuan, memahaminya dengan membangun konsep, kemudian menerapkannya agar nanti mereka bisa menjadi seorang pemikir generative (produktif).

Saat para guru mengeksplorasi atau mencari model-model pengajaran terbaik, para guru harus benar-benar memperhatikan pola pembelajaran yang menggaris bawahi masing-masing model pengajaran tersebut untuk membantu peserta didik mengembangkan kontrol metakognitif atas masing-masing model dan juga yang terpenting mencoba membantu mereka dalam belajar mengontruksi pengetahuan tentang apa yang telah kita pelajari. Sebagaimana dikatakan oleh Joyce (2009), terdapat konsep-konsep pembelajaran yang berlaku pada seluruh model pembelajaran yang kuat, yaitu: construktivism, metacognitive, scaffolding, optimal mismatch/zone of proximal development, dan expert performance.

Salah satu aspek yang paling menantang dari pengajaran adalah menghasilkan tujuan-tujuan dan proses-proses yang bisa dijangkau peserta didik dan tidak melampaui kemampuan mereka, yang oleh Joyce (2009) disebut sebagai optimal mismatch/zone of proximal development. Jika kita hanya mengajar apa yang mereka ketahui dan apa yang dapat mereka lakukan, tentu saja peserta didik tidak akan belajar lebih giat dan tidak akan mengembangkan strategi belajar lebih hebat. Begitu pula jika kita mengajar terlalu jauh diluar kemampuan dan pengetahuan mereka saat ini, mereka akan berjuang terlalu keras untuk belajar lebih optimal.

Prinsip optimal mismatch kelihatannya memang sederhana, tetapi penerapannya cukup sulit. Contoh mudahnya adalah ketika anda melatih peserta didik untuk bekerjasama saat mengklasifikasikan informasi baru. Pertama, mereka memiliki taraf kemampuan yang berbeda-beda untuk bekerja secara efektif dalam ukuran kelompok yang juga berbeda-beda. Para peserta didik pada suatu kelas utama mampu aktif dalam kelompok yang terdiri dari dua orang saja, namun tidak dalam kelompok yang lebih besar. Solusi yang bisa kita terapkan adalah berusaha mengorganisasikan peserta didik-peserta didik kedalam kelompok yang terdiri dari dua orang, dan jika usaha itu berhasil berarti pengelompokan tersebut sudah tepat. Akan tetapi, jika beberapa peserta didik justru ingin bekerja dalam kelompok yang lebih besar, yang perlu mereka miliki adalah pengalaman dan instruksi dalam, katakanlah, kelompok yang terdiri dari tiga orang atau empat orang-atau bahkan lima atau enam orang jika mendesak. Begitu pula, ada beberapa peserta didik yang mungkin hanya belajar menjelaskan informasi dalam seperangkat data saja dan membutuhkan dukungan yang banyak jika mereka ingin membangun kategori-kategori secara efektif.

Dalam kerangka kerja para konstruktivis, Vygotsky (dalam Joyce, 2009) menciptakan istilah wilayah perkembangan yang paling memungkinkan untuk membantu kita memahami tingkat perkembangan peserta didik dan menyusun tugas-tugas kognitif atau tuntutan lingkungan social yang dapat mendorong peserta didik untuk berkembang dan suasana menyenangkan yang memungkinkan peserta didik dapat aktif, kritis, kreatif dan tumbuh berkembang tanpa ada tekanan yang terlalu berlebihan.

Untuk gambaran yang lebih jelas, Joyce (2009) memberikan contoh situasi yang berhubungan dengan relasi interpersonal (interpersonal relation). Natalie cenderung merespon gagasan yang bertentangan dengan dia. Sedangkan Will membedah gagasan, menyeimbangkan dengan diri sendiri. Dari sini, Nampak bahwa Will akan lebih mudah untuk kritis dan produktif pada persoalan sosial yang rumit, akan mudah menerima pendapat orang lain, serta lebih mudah untuk menyesuaikan pendapatnya. Sedangkan Natalie akan butuh lebih banyak bimbingan untuk mengembangkan kapasitasnya agar dapat berkembang secara alamiah menjadi kritis dan produktif.

Berpikir kritis adalah suatu kemampuan untuk: (1) mengidentifikasi dan memformulasi pertanyaan dan permasalahan penting; (2) mendapatkan dan mengakses informasi, (3) menguji simpulan yang diajukan dengan kriteria dan standar yang relevan; (4) berpikir melalui sistem alternatif dari pembelajaran, menilai asumsi, implikasi dan konsekuensi praktis; dan (5) berkomunikasi secara efektif, tanpa adanya kesalahan logis dan manipulasi data. Dimensi dalam berpikir kritis  yang diadaptasi dari Foundation for Critical Thinking:2011 dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Dimensi berpikir kritis (Diadaptasi dari Foundation for Critical Thinking 2011, tersedia online di www.criticalthinking.org)

Penelitian yang dilaporkan oleh Bransford et al., 1986; Ewell-Kumar, 1999; Heath, 1983) menunjukkan bahwa peserta didik yang memiliki kemampuan metakognitif baik akan memiliki kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah, dan pengambil keputusan yang lebih baik. Berdasarkan hal tersebut, maka pembelajaran berbasis metakognitif memiliki dampak positif dalam menghasilkan peserta didik yang mampu berpikir kritis, mampu memecahkan masalah, dan mampu mengambil keputusan. Model hubungan antara aspek metakognitif dan kemampuan berpikir kritis dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Model korelasi skill metakognitif dan kemampuan berpikir kritis (Dawson T.L, 2008).

Membangun kemampuan berpikir kritis dan kreatif berdasarkan hasil kajian di atas, terbukti dapat dilakukan melalui pengembangan skill metakognitif. Pembelajaran sejarah yang didesain sebagai pembelajaran konstruktivistik yang mengadaptasi skill metakognitif sangat potensial untuk menghasilkan peserta didik yang memiliki kemampuan berpikir kritis dan kreatif yang baik. Namun demikian, meskipun skill metakognitif cukup penting, pengembangan aspek kognitif yang melibatkan proses akuisisi pengetahuan dan strukturisasi pengetahuan tetap memiliki arti penting dan strategis. Ranah metakognitif dan kompleksitas kognitif adalah sangat berhubungan (Vukman, 2005).

Mewujudkan korelasi yang harmonis antara aspek metakognitif dan kognitif memerlukan andil dan peran serta aktif guru. Dalam sudut pandang ini, guru harus mampu bertindak professional dalam mengoptimalkan ketersediaan sumber daya pembelajaran. Ujicoba dan penerapan model pembelajaran baru berorientasi mutu proses dalam pembelajaran sejarah yang selama ini telah diupayakan oleh guru hasilnya akan menjadi lebih optimal setelah guru memahami dan menerapkan serta mengharmoniskan aspek kognitif dan metakognitif.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil kajian yang telah dideskripsikan di atas, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut:

  1. Fakta menunjukkan proses berpikir kritis dan kreatif peserta didik perlu dibangun dengan baik dalam pembelajaran sejarah di kelas.
  2. Aspek metakognitif dalam pembelajaran sejarah menjadi pushing power dalam upaya membangun kemampuan berpikir kritis dan kreatif peserta didik.
  3. Skill metakognitif merupakan salah satu komponen penting dalam kecerdasan interpersonal
  4. Untuk melahirkan harmonisasi antara aspek metakognitif dan kognitif dalam pembelajaran diperlukan guru yang profesional.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Lorin W dan Krathwohl, David R. 2010. Kerangka Landasan Untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Assesmen. Revisi Taksonomi Pendidikan Bloom. Terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ajeyalemi, D.A. 1993. Teacher Strategies Used by Exemplary STS Teachers. What Research Says to the Science Teaching, VII. Washington D.C.: National Science Teachers Association.

Bailey P.D., 2008. Should ‘teacher centered teaching’ replace ‘student centered learning’?. Chem.Educ.Res.Pract., 9:70-74.

Bennet S.W., 2008. Problem solving: can anybody do it?. Chem.Educ.Res.Pract., 9:60-64.

Bandura, Albert. 1969. Principles of Behavior  Modification. New York: Holt, Rinehart & Winston, Ltd.

Bransford, J. D., Sherwood, R., Vye, N. J., & Rieser, J. (1986). Teaching thinking and problem solving. American Psychologist, 41(10), 1078-1089

Brook, J.G., & Brook, M.G. 1999. The Contructivist Classroom. The Courage to Be Constructivist. Readyroom, 57(3) November 1999. http://www.ascd.org/ readyroom/edlead/9911/brooks.html

Carr, E.H. 1972. What is History. New York: Alfred  A Knoff.

Collingwood, R.G. 1961. The Idea of History. New York: Oxford University Press.

Cooper M.M., S. Sandi-Urena, R. Stevens, 2008. Reliable multi method assessment of metacognition use in chemistry problem solving. Chem.Educ.Res.Pract., 9:18-24.

Dawson T.L, 2008. Metacognition and learning in adulthood. Developmental Testing Service, LLC.

Dickinson, A.K., Lee, P.J. (1980). History Teaching  and History Understanding.   London: Heinemann Educational Books.

Driver, R. & Leach, J. 1993. A Constructivist View of Learning: Children’s Conceptions and the Nature of Science. What Research Says to the Science Teaching, VII. Washington, D.C.: National Science Teachers Association.

Ewell- Kumar, A. (1999). The influence of metacognition on managerial hiring decision making: Implications for management development Dissertation Abstracts International Section A: Humanities and Social Sciences, 59(10-A).

Fitzgerald, James. 1977. “Towards a Theory of  History Teaching” dalam Norman Little and Judy Macinolty (eds). A New Look at History Teaching. Sydney: The History Teachers Association of  New  South Wales.

Hasan, Said Hamid. 1989. “Kurikulum Sejarah Untuk Tingkat  Sekolah”. Makalah pada  Seminar tanggal  8 – 11 Nopember 1989 di Balitbang  Depdikbud.

Heath, S. B. (1983). Ways with words: Language, life, and work in communities and classrooms. Cambridge, MA: Cambridge University Press.

Hill, C.P. 1956. Saran Saran Tentang Mengajarkan Sejarah. Terj. Haksan  Wirasutisna. Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian P.P dan K.

Jonassen, D.H. 1991. Objectivism versus Constructivsm: Do We Need a New Philosophical Paradigm Educational Technology Research and Development, 39 (3).

Joyce, Bruce, Marsha Weil, Emily Calhoun. 2009. Model of Teaching. Upper Saddle River, New Jersey, USA.

Krech, D.,Crutchfield, R.S. & Ballachey, E.L. 1962. Individual in Society: A  Textbook  of Social Psychology. Tokyo: McGraw Hill Kogakusha. Ltd.

Marzano, R.J. 1992. A Different Kind of Classroom: Teaching with Dimensions of Learning. Verginia: ASCD.

Mayer, R.E. 1992. Cognition and Instruction: Their Historic Meeting Within Educational Psychology. Journal of Educational Psychology, 84(4), 405-412.

Myers, R.J., & Botti, J.A. 2000. Exploring the Environment: Problem-Based Learning in Action. http: www.cet.edu/research/conference.html.

Utomo, Cahyo Budi, 2008. Implementasi Model Siklus PDSA dalam Pembelajaran Sejarah SMA Di Semarang. [Laporan Penelitian] Lembaga Penelitian UNNES, November 2008.

Vukman, K. B. (2005). Developmental differences in metacognition and their connections with cognitive development in adulthood. Journal of Adult Development, 12(4), 211-221.

Waras Kamdi, 2001. Pembelajaran Berbasis Proyek: Model Potensial untuk Peningkatan Mutu Pembelajaran. Jurnal Gentengkali, 3(11-12).

Wilson, B.G. 1995. Metaphors for Instruction: Why We Talk About Learning Environments. Educational Technology, September-Oktober, 25-30.

Comments are closed.