Bagaimana SIMBOL berubah menjadi SISTEM di Tokyo Disney Land

Bagaimana SIMBOL berubah menjadi SISTEM di Tokyo Disney Land?

Wildan Insan Fauzi

Yoshimi (2000) “Consuming America from Symbol to System” memaparkan studi kasus Tokyo Disneyland (TDL) di Jepang. TDL Jepang yang dibangun pada 1983 merupakan wahana bermain yang sangat digemari di Jepang, karena hampir setiap tahun dikunjungi oleh hampir 15 juta pengunjung.

Inti perubahan yang dijelaskan oleh Yoshimi adalah bagaimana “Amerikanisme” yang dinilai “asing” yang berjarak secara geografis dan budaya, dijadikan masyarakat Jepang menjadi “milik sendiri”. Tokyo Disney Land pada kenyataannya adalah suatu strategi budaya sekaligus strategi pemasaran untuk memindahkan TDL ke dalam konteks geografis Jepang dengan adaptasi rasa lokal alias rasa Jepang. Dengan demikian, keberadaan TDL memperlihatkan proses mengubah “amerikanisasi” yang awalnya dianggap tabu, mendapat stigma negatif dari sebuah sistem masyarakat, perlahan menjadi simbol kekayaan, kemajuan, emansipasi, dan kemudian menjadi sesuatu yang layak untuk dinikmati dalam tatanan budaya masyarakat Jepang.

Dengan berkembanganya ekonomi, masyarakat Jepang mulai mampu memiliki barang elektronik dan otomotif. Mereka melihat (mengonsumsi) hal tersebut dari Amerika, tetapi lalu membuatnya (menjadi) milik mereka sendiri. Kondisi seperti ini juga tergambar melalui konsep ruang dalam TDL. Ruang dalam TDL dipandang sebagai satu struktur yang kemudian mereka replika dalam membangun konsep pertokoan Seibu. Perubahan pemaknaan ini menggambarkan bagaimana Amerika yang awalnya dilihat sebagai simbol lalu kemudian mereka adaptasi dan mereka ambil dan dibuat sehingga pola-pola struktur Amerika tersebut masuk (dan bahkan oleh pemerintah Jepang sendiri didorong agar masuk)  ke dalam sistem mereka.

Hal tersebut diperjelas oleh artikel Yoshimi (1999) yang berjudul `Made in Japan’: the cultural politics of `home electrification’ in postwar Japan, bahwa periode 1970an adalah periode “Made in Japan”, dimana iklan peralatan rumah tangga dan elektronik berubah dari amerikanisme menjadi identitas nasional. Vogel (1982) menguraikan bahwa perubahan pemaknaan pada konsep TDl ataupun iklan elktronik di Jepang memperlihatkan kemajuan dan efektifitas lembaga-lembaga di Jepang (terutama ekonomi, industri, dan Pendidikan) yang secara sistematis dan terencana memperbaiki diri untuk bisa “mengalahkan” guru sekaligus mantan musuhnya, Amerika Setikat. Setelah menjadikan “Amerika” menjadi “miliknya” maka Jepang menindaklanjutinya dengan ekspansi ekonomi Jepang ke Asia Tenggara yang disebut fenomena ‘Japanization’.

Konsep “Amerika” sebagai simbol menjadi sistem digambarkan secara historis oleh Yoshimi  sebagai berikut:

  1. Pata tahun 1920-an, Amerika dipandang sebagai simbol kekayaan dan kebaruan. Amerikanisme berkembang pesat di Jepang secara luas di akhir tahun 1920-an.  Pada perkembangannya, usai perang dunia, Amerika juga dipandang sebagai lambang emansipasi dan perlawanan.
  2. Terjadi perubahan pandangan pada masyarakat kontemporer Jepang dalam memaknai Amerika. Pada awalnya Amerika dipandang sebagai simbol kekayaan dan kebaruan, kemudian berkembang menjadi emansipasi dan perlawanan.
  3. Proses Amerikanisasi/Westernisasi Jepang sejak 1970 tidak lagi disebut sebagai imperialisme budaya, bukan juga domestifikasi budaya, tetapi menjadi pemaknaan yang melalui proses internalisasi (menyerap budaya amerika) dan eksternalisasi (hasil amerikanisasi itu (TDL) dijadikan produk/artefak untuk dijual kepada luar (respon/dampak kapitalisme global), kemudian menghasilkan strategi eksotisasi Jepang.
  4. Pesatnya perkembangan ekonomi di Jepang pada tahun 1970an membuat pandangan-pandangan tersebut berubah. Amerika tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang dikagumi, tetapi dilihat seperti artefak yang dikonsumsi.

Tokyo Disney land menjadi sistem dari pemaknaan Amerika, dilihat dari hal berikut:

  1. Kehadiran TDL merupakan satu hal yang spektakuler, dipuji sekaligus dikritisi karena dianggap sebagai satu bentuk Amerikanisasi budaya populer atau budaya pop di Jepang.
  2. Realitas di Jepang setelah tahun 1970 menjadi perpanjangan layar seperti konsep tiga dimensi film Disney. Contohnya terlihat dalam perubahan konsep pusat perbelanjaan Seibu yang mengikut konsep TDL, membaginya dalam tiga konsep yang masing-masing berdiri sendiri.
  3. Sebagaimana Disneyland menaklukkan “orang luar” dan menyulap mereka menjadi makhluk yang menggemaskan, masyarakat Jepang kontemporer juga melakukan wacana penaklukan orang asing. Contohnya terlihat pada konsep Pada awalnya, kawaii digunakan untuk menunjukkan perasaan saat berhadapan dengan anak-anak atau anak hewan yang terlalu lemah untuk membela dirinya sendiri. Sebagaimana Disney mengubah tokoh kurcaci yang asing dalam kisah (awal) Snow White dan mengubahnya menjadi tokoh tujuh kurcaci yang menggemaskan, anak muda kontemporer di Jepang juga mensterilkan hal yang asing bagi mereka lalu mengubahnya ke dalam konsep kawaii di Never-Neverland. Dengan melihat dunia melalui wacana kawaii ini, mereka dapat menutup diri  atas masalah yang ada dalam dunia nyata.
  4. Pada umumnya, taman hiburan akan menempatkan wahana paling populernya (kicir angin, menara, dan lainnya) di tengah sehingga membuat pengunjung seolah2 dapat memandang dan “menguasai” berbagai penjuru “dunia”. Berbeda dengan itu, TDL dibuat seperti gabungan dari kepingan kisah dalam simulasi SFX. Struktur Disneyland menjadi lebih menyerupai film daripada taman hiburan. Pengunjung menikmati wahana di Disneyland serupa seperti menonton film, beralih dari satu film ke film lainnya.

REFERENSI

Vogel, E.F. (1982). Jepang jempol. Jakarta Timur: Penerbit Sinar Harapan

Yoshimi, S. (2002). ”Consuming ‘America’: from Symbol to System”, dalam Chua,Beng-Huat. Consumption in Asia. London: Routledge

Yoshimi S. (1999). `Made in Japan’: the cultural politics of `home electrification’ in postwar Japan. Media, Culture & Society. 1999;21(2):149-171. doi:10.1177/016344399021002002

Yoshimi S. (2003). ‘America’ as desire and violence: Americanization in postwar Japan and Asia during the Cold War. Inter-Asia Cultural Studies, Volume 4, Number 3, 2003

Comments are closed.