Seminar Nasional Daring 1

Departemen Pendidikan Sejarah UPI mengadakan Seminar nasional secara daring pada Rabu, 1 Juli 2020 dengan tema “Pemikiran Sejarah dan Nasionalisme di Era New Normal”. Pemateri pada seminar tersebut antara lain Prof. Dr. Bambang Purwanto (Guru Besar Ilmu sejarah UGM), Prof .Dr.Helius Sjamsuddin (Guru Besar Pendidikan Sejarah UPI), dan Dr. Wawan Darmawan  (Universitas Pendidikan Indonesia0).

Berikut akan diuraikan pemaparan dari Prof. Dr. Bambang Purwanto. Dalam pemaparannya, Prof. Dr. Bambang Purwanto menguraikan tentang perkembangan teknologi informasi telah meyakinkan banyak orang bahwa manusia di abad ke-21 seolah-olah hidup di dunia tanpa batas dan jarak. Pandemi global akhir-akhir ini meruntuhkan keyakinan tersebut, memasuki dekade ketiga abad ke-21 manusia sekarang ternyata hidup “bergulat dalam ruang berjarak”.Ketiadaan batas dan jarak adalah kenyataan, namun keberadaan jarak juga kenyataan. Batas dan jarak adalah kenyataan di dalam ruang tanpa batas dan tanpa jarak.

Memasuki dekade ketiga abad ke-21 ketika kemajuan teknologi digital dan rasionalitas ilmu pengetahuan berkembang sangat luar biasa. Di Indonesia pandemi global menghadirkan fenomena kontroversial terkini berupa kalung “eucalyptus anti virus corona” yang diinisiasi oleh lembaga resmi kenegaraan. Dalam sejarah, para prajurit yang turun di medan pertempuran selain dilengkapi dengan peralatan dan strategi terbaik untuk melindungi diri dan memenangkan perang, banyak diantara mereka juga memakai kalung penangkal dari marabahaya.

Jika kalung “eucalyptus anti virus corona” masa kini dibaca sebagai “jimat eucalyptus anti virus corona”, maka kita harus menerima bahwa kekinian tidak dapat dipisahkan begitu saja dari kenyataan yang pernah ada di masa lalu, tanpa harus dalam relasi sebab akibat. Kenyataan pada prinsipnya tidak berdimensi tunggal. Tanpa jarak dan batas yang diyakini sebagai kenyataan di kekinian, ternyata juga didampingi oleh jarak dan batas yang juga hadir sebagai kenyataan. Hal itu berarti secara konseptual, kenyataan dari masa lalu juga dapat dibaca ulang ketika kita ingin menghadirkan kebenaran historis yang dibingkai oleh metodologi yang tepat.

Indonesia sebagai sebuah identitas kebangsaan merupakan sesuatu yang diusahakan keberadaannya, bukan sesuatu yang didapat sebagai warisan turun temurun.  Sebelum muncul kesadaran baru yang merupakan respon terhadap kenyataan dari kolonialisme beserta unsur-unsur struktural dan kultural yang menjalankannya, belum ada Indonesia sebagai sebuah identitas dan entitas kebangsaan bersama.

Nasionalisme Indonesia merupakan invensi luar biasa dari kawula jajahan yang ingin memiliki identitas bersama yang baru, sebagai alternatif dari identitas kolonial, tanpa kehilangan akar historis dari proses yang mendahuluinya. Nasionalisme Indonesia memanfaatkan kenyataan politik tempatan pra-kolonial sebagai inspirasi, bukan mengkonversinya secara utuh dari yang pernah ada sebelumnya menjadi sebuah identitas kebangsaan baru.

Oleh karena itu secara historis, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Pancasila, negara Republik Indonesia, dan Undang-undang Dasar 1945, harus dilihat sebagai perwujudan puncak-puncak dari kenyataan politis, filosofis, konstitusional, dan ketatanegaraan nasionalisme Indonesia. Nasionalisme Indonesia bersifat dinamis, historis, dan visioner, yang tidak hanya memuat kenyataan politik, melainkan juga sosial, kebudayaan, mentalitas, pemikiran, dan bahkan ekonomi.

Dalam perspektif historiografi indonesiasentris, tidak ada konsep dekolonisasi sebagaimana yang dipahami dalam literatur hegemonik kolonialsentris dan tradisi orientalisme. Kemerdekan Indonesia adalah pilihan rasional yang diputuskan sendiri oleh bangsa Indonesia yang lahir lebih dahulu daripada negaranya, bukan hasil dari proses dekolonisasi yang menempatkan penguasa kolonial sebagai subjek dan Indonesia sebagai objek.

Setelah memproklamasikan kemerdekaannya, nasionalisme Indonesia menjalani proses transformasi lanjut dalam wujud dekolonialisasi, mengubah tatanan kolonial menjadi tatanan baru bagi sebuah negara dan bangsa yang merdeka dan berdaulat dalam kerangka membangun peradaban baru dunia. Melalui cara seperti itu, nasionalisme Indonesia terbebas dari sifat ahistoris dan secara bersamaan beradaptasi dengan perubahan yang terus terjadi.

Konferensi Asia Afrika 1955 merupakan salah satu contoh dari perwujudan nasionalisme Indonesia yang direformulasi sebagai respon terhadap perubahan tatanan dunia yang terjadi pada masa itu namun tetap historis. Pasal-pasal ekonomi dalam UUD 1945 dan pengadopsian sistem koperasi merupakan contoh lain dari perwujudan nasionalisme Indonesia dalam ruang Indonesia merdeka yang berakar kuat dari pengalaman masa lalu. Ketika menjalani kehidupan di abad ke-21, sifat dasar dari nasionalisme Indonesia harus dipahami bukan lagi sebagaimana awal pembentukannya dalam ruang kolonial. Nasionalisme Indonesia juga bukan lagi seperti sepanjang 50 tahun pertama dalam ruang kemerdekaan, ketika transformasi dari kawula jajahan menjadi warga negara belum berlangsung dengan utuh dan negara selalu hadir sebagai aktor dominan atau bahkan cenderung tunggal yang menyatakan dirinya berhak atas nasionalisme.

Globalisasi terkini, perkembangan teknologi informasi, dan proses demokratisasi internal dalam arti yang luas telah menghadirkan masyarakat sipil yang keberadaannya sejajar dengan negara yang secara politik direpresentasi oleh pemerintah. Di Indonesia, bencana da terakhir pandemi global Covid-19 telah menunjukkan eksistensi nasionalisme masyarakat (bangsa) dalam wujud solidaritas sosio-kultural, yang bahkan dalam batas tertentu telah menjalankan beberapa fungsi yang biasanya dijalankan oleh negara.

Akan tetapi semua itu tidak didukung oleh historiografi dan pengajaran sejarah yang ada selama ini. Narasi sejarah Indonesia bersifat formal, historiografi yang terfokus pada peran negara sebagai institusi dan meminggirkan bangsa sebagai kategori sosiologis. Sejarah bangsa adalah sejarah politik, dimana aspek-aspek lain seperti ekonomi, kebudayaan, atau sosial hanya dimaknai sebagai bagian dari proses sejarah politik yang dijalani oleh negara.

Proses pembentukan PKU Muhammadiyah merupakan salah satu contoh klasik dari wujud nasionalisme masyarakat sipil, ketika bencana alam dikonversi menjadi solidaritas bersama melampaui ruang agama untuk membangun institusi modern. Proses historis yang dijalani oleh Hasyim As’yari dan A. Wahab Hasbullah bersama NU, Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa, dan ketokohan Salawati Daud di Sulawesi, merupakan contoh-contoh lain dari eksistensi nasionalisme masyarakat sipil dalam sejarah Indonesia.

Nasionalisme Indonesia tidak seharusnya hanya dihadirkan sebagai sejarah politik. Kenyataan sejarah dapat dibaca dan dimaknai ulang sebagai kebenaran kenyataan sejarah nasionalisme Indonesia. Secara metodologis, menghadirkan nasionalisme juga dalam kerangka sejarah sosial dan sejarah kebudayaan akan memberi gambaran tentang nasionalisme yang lebih utuh, inspiratif dan relevan di tengah perubahan dan tantangan baru yang terus berlangsung.

Nasionalisme Indonesia tidak dipahami dalam ruang “new normal” tetapi kembali ke kenyataan normal, sebagaimana proses historis nasionalisme yang telah dijalani oleh begitu banyak anak bangsa sejak mereka berada di ruang historis kolonial sampai dengan kemerdekaan. Kesalahan historiografis telah berakibat pada warisan narasi sejarah bangsa yang jauh dari kenyataan, ketika konstruksi historis hanya berfungsi untuk melegitimasi negara tanpa bangsa (rakyat).

Hampir-hampir tidak pernah disadari bahwa salah satu pelajaran penting dari sejarah Indonesia, ketika negara menjadi hegemonik maka negara dan aktivitas politiknya menjadi aktor tunggal dalam ruang nasionalisme, dan sekaligus meminggirkan nasionalisme di luar negara. Pada konteks nasionalisme yang hegemonik ini, hampir-hampir sulit dibedakan antara anarki dan otoritarian dengan keteraturan atau kedaulatan.

Sikap solidaritas dan toleransi yang dikemas dalam tindakan berkelanjutan dan berdampak secara nasional dan internasional tidak seharusnya dipisahkan dari nasionalisme Indonesia. Membangun kesadaran kebangsaan tidak hanya sekedar menciptakan kebencian kepada para “pemberontak politik” atau hanya menyanjung sikap patriotik melawan penjajah, namun melupakan ruang dan pelaku nasionalisme yang telah berubah dari waktu ke waktu.

Sejarah nasionalisme bukan lagi sejarah negara dan pemerintah yang menjalankannya melainkan juga sejarah kehidupan sehari setiap warga negara dan masyarakat. Sudah seharusnya sejarah nasionalisme Indonesia memuat tentang Mukibat dan Mujair, tokoh penemu ubi kayu dan ikan yang mengubah pola produksi dan konsumsi masyarakat Indonesia hingga saat ini. Sekarang kita berhadapan dengan tantangan metodologis, baik historiografis maupun pembelajaran sejarah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *