PERS DAN KRITIK SOSIAL PADA MASA ORDE BARU: KASUS PEMILIHAN UMUM 1971 DALAM PANDANGAN SURAT KABAR KOMPAS (JAKARTA) DAN PIKIRAN RAKYAT (BANDUNG)  

 

 Oleh:

Meti Ernawati

 

 

 

Latar Belakang Masalah

Pemilihan Umum (Pemilu) 1971 yang diselenggarakan pada tanggal 3 juli 1971 merupakan Pemilu kedua dalam sejarah Indonesia dan yang pertama kali diadakan di bawah UUD 1945, dengan kata lain adalah pemilu pertama pada jaman Orde Baru.

Dengan ketetapan MPRS No.XI/MPRS/1966 dinyatakan bahwa yang melaksanakan Pemilihan Umum adalah pemerintah, yang penyelenggaraannya paling lambat tanggal 5 Juli 1968. Akan tetapi karena undang-undang yang mengatur tentang Pemilihan Umum ini tidak dapat diselesaikan oleh pemerintah bersama DPRGR tepat pada waktunya maka pemilihan pun tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang diberikan. Melihat keadaan ini, kemudian MPRS dalam Sidang Umumnya yang kelima tahun 1968, menentukan agar Pemilihan Umum harus diselenggarakan dengan pemungutan suara selambat-lambatnya pada tanggal 5 Juli 1971 yang dituangkan dalam Tap MPRS No. XLII/MPRS/1968 dan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden/Mandataris MPRS (Sagala, 1982:43).

Pada tanggal 23 Mei 1970, Presiden dengan Surat Keputusannya No.43 telah menetapkan organisasi-organisasi yang dapat ikut serta dalam Pemilu dan anggota DPR/DPRD yang diangkat. Organisasi-organisasi politik yang dapat ikut dalam Pemilu ialah partai politik yang pada saat Pemilu sudah ada dan diakui serta mempunyai wakil di DPR/DPRD. Partai-partai itu ialah 1. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), 2. Murba, 3. Nadhatul Ulama (NU), 4. Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islam (PI Perti), 5. Partai Katolik, 6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo), 7. Partai Muslimin Indonesia(Parmusi), 8. Partai Nasional Indonesia (PNI), 9. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Organisasi golongan karya yang dapat ikut serta dalam Pemilu ialah Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) (Poesponegoro, 1984:427).

Berbeda dengan Pemilu 1955 yang menggunakan sistem proporsional, Pemilu 1971 menggunakan sistem tak langsung. Dengan demikian partai-partai harus memperebutkan perwakilan yang disediakan untuk sesuatu daerah. Suara yang terkumpul di suatu daerah tidak dapat dijumlahkan dengan suara partai yang terkumpul di daerah lain. Dalam Pemilu 1971 memperebutkan 360 kursi, sedangkan 100 kursi disediakan untuk ABRI dan non ABRI yang keanggotaannya dilakukan dengan pengangkatan. Jadi seluruh anggota DPR ada 460 anggota (Poerwantana, 1994:78).

Hasil Pemilu 1971, menunjukkan kemenangan meyakinkan Golkar dengan 227 kursi atau 62,8 persen. Hal ini amat mengejutkan, mengundang diskusi sengit dan tanda tanya dari para pengamat dalam dan luar negeri. Orang menuduh dengan penuh kecurigaan bahwa kemenangan tersebut dicapai dengan penuh kecurangan, paksaan dan atau menggunakan kekuasaan ABRI. Ali Moertopo sebagai tokoh paling berperanan dalam kemenangan Golkar tersebut melihat kemenangan yang demikian mengesankan merupakan sumber legitimasi, dan dengan penuh kebanggaan mengisyaratkan betapa besar kekuasaan yang ada pada Golongan Karya sebagai kekuatan baru. Bagaimanapun, banyak pihak setuju bahwa ABRI dan birokrasi sebagai pendukung kemenangan Golkar ini, disamping dukungan dan yang besar, serta intimidasi dan operasi intelijen (Cahyono, 1992:105).

Dengan mengacu pada hal-hal di atas maka penulis mencoba untuk menganalisis peristiwa-peristiwa di sekitar Pemilu 1971 dengan sumber sejarah utama adalah surat kabar. Karena  salah satu fungsi surat kabar adalah untuk menyajikan berita tentang kejadian atau peristiwa pada zamannya kepada masyarakat sehingga fakta-fakta sejarah yang berkaitan dengan persoalan elementer seperti ‘apa’ yang terjadi, ‘kapan’, ‘dimana’, dan ‘siapa’, dapat ditemukan jawabannya dalam surat kabar (Suwirta, 2000:1).

Dan peristiwa sekitar Pemilu 1971 ini dilihat dari sudut pandangan  surat kabar, dimana pandangan surat kabar itu biasanya tercermin dalam kolom tajuk rencana, catatan pojok, dan karikatur yang disajikan. Ketiga variabel itu (kolom tajuk rencana, catatan pojok dan karikatur) juga merupakan jati diri sebuah surat kabar yang membedakannya dengan surat kabar lain. Dalam hal ini, sajian tajuk rencana, catatan pojok, dan karikatur juga merupakan refleksi dari sikap, pandangan, dan keyakinan para redaktur pers, sebagai pengelola surat kabar yang bersangkutan (Suwirta, 2000:6)

Apabila diamati secara seksama literatur yang ada, maka akan terlihat bahwa ternyata media massa banyak memberikan kontribusi di dalam kehidupan politik di suatu negara. Demikian pula, apabila dilihat dalam kehidupan politik sehari-hari ternyata banyak literatur yang secara implisit mencerminkan adanya dua pandangan yang berbeda secara normatif. Pandangan ini sesungguhnya mempersoalkan tentang peranan media massa di dalam kehidupan sehari-hari. Menurut pandangan pertama, maka media massa diharapkan mampu mengutarakan semua masalah yang oleh masyarakat dianggap penting. Kedua, media mempunyai kecenderungan besar untuk lebih bersikap sebagai “balancer” (penyeimbang) antara kepentingan media di satu pihak dan kepentingan publik di pihak lain. Di satu pihak perkembangan media mengikuti arus sistem politik yang ada; sedang pada pihak lain, ia mencoba untuk menempatkan dirinya pada posisi di luar sistem yang ada. Di negara dimana sistem persnya mengikuti sistem politik yang ada, maka pers atau media massa cenderung bersikap dan bertindak sebagai “balancer” antara kekuatan yang ada (Suwardi, 1993:25&26).

Ketika menjelang Pemilihan Umum pada tahun 1971, sinisme dan kritik yang sifatnya tidak membangun memenuhi lembaran-lembaran surat-surat kabar kita. Persaingan antara koran-koran nasional (koran-koran yang terbit di ibukota) dan koran-koran daerah nampak memuncak dalam usaha merebut pasaran pembaca. Dengan sendirinya koran-koran nasional lebih beruntung dalam hal ini, karena fasilitas yang tersedia seperti modal, manusia dan peralatan lebih banyak terdapat di Jakarta daripada di daerah. Disamping ini, persyaratan yang diminta oleh para pembaca lebih meningkat atau dengan kata lain pembaca ingin membaca surat kabar yang lebih bermutu, baik dari segi isinya, maupun dari segi grafisnya (Taufik, 1977:78).

Alasan pemilihan pada surat kabar Kompas dan Pikiran Rakyat itu terutama dikarenakan oleh letak asal kedua kota surat kabar itu berlainan, dimana Kompas yang di Jakarta sebagai salah satu surat kabar ibukota dan bersifat nasional dan Pikiran Rakyat yang berlokasi di Bandung sebagai salah satu surat kabar yang bersifat daerah dan kerakyatan. Selain itu juga disebabkan oleh karena Kompas pada awal Orde Baru (tahun 1965) tidak terkena pembredelan oleh pemerintah (Said,1988:162), sedangkan Pikiran Rakyat pernah dilarang terbit oleh pemerintah pada tahun 1965 (Iskantini, 2001:7). Serta alasan lain adalah karena kedua koran ini sangat berpengaruh didalam masyarakat di kotanya dengan pertimbangan jumlah oplah keduanya sama-sama tinggi yaitu untuk Kompas di Jakarta mencapai diatas 100.000 eksemplar dan untuk Pikiran Rakyat di Bandung mencapai 100.000 eksemplar atau 50.000 eksemplar, data ini diperoleh dari hasil data inventarisasi tahun 1982 (Oetama, 1989:38&39). Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh yang diberikan kedua surat kabar di masing-masing kotanya dalam membentuk pendapat para pembacanya untuk memberikan keputusan kepada siapa suara mereka akan diberikan di saat Pemilu.

Sepanjang pengetahuan penulis, karya-karya yang pernah menulis tentang pers yaitu tulisan dari Andi Suwirta dalam tesisnya yang memuat sikap dan pandangan harian Merdeka (Jakarta) dan Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta) mengenai Revolusi Indonesia tahun 1945 – 1947, selain itu skripsi Herni Wijayanti (UNPAD) yang mengkaji surat kabar Pemandangan pada masa pergerakan nasional (1933 – 1940), skripsi Maryam Kurnia (UPI) yang menganalisis peranan pers pada masa Revolusi, serta skripsi Euis Iskantini (UPI) yang menganalisis tentang pandangan harian umum Pikiran Rakyat  terhadap masalah-masalah politik Indonesia (1950 – 1965).

Atas dasar penjelasan diatas, penulis mengambil judul “Pers dan Kritik Sosial Pada Masa Orde Baru: Kasus Pemilihan Umum 1971 Dalam Pandangan Surat Kabar Kompas (Jakarta) Dan Pikiran Rakyat (Bandung)”. Judul ini dimaksudkan untuk menjelaskan persamaan dan perbedaan pandangan antara surat kabar Kompas di Jakarta dan Pikiran Rakyat di Bandung dalam menanggapi dan menyikapi berbagai peristiwa yang dinilai penting dan aktual pada masa-masa Pemilu tahun 1971. dan pandangan surat kabar ini tercermin dalam kolom tajuk rencana, catatan pojok dan karikatur yang disajikan oleh kedua surat kabar itu.

Masalah pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah “bagaimana perbandingan antara surat kabar Kompas di Jakarta dan Pikiran Rakyat di Bandung dalam memandang Pemilu 1971 di masa Orde Baru”. Untuk selanjutnya permasalah pokok ini akan dirinci sebagai berikut:

  1. Bagaimana kondisi sosial politik di Indonesia pada masa awal Orde Baru ?
  2. Bagaimana perkembangan pers di awal masa Orde Baru ?
  3. Bagaimana kesiapan pemerintah Orde Baru dalam menyelenggarakan Pemilu 1971 ?
  4. Bagaimana pandangan surat kabar Kompas di Jakarta dan Pikiran Rakyat di Bandung terhadap pelaksanaan Pemilu pada tahun 1971 ?
  5. Bagaimana sikap pemerintah dalam menanggapi pers yang kritis pada masa Pemilu 1971 ?

Beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis mengenai: (1) Kondisi sosial politik di Indonesia pada awal masa Orde Baru; (2) Perkembangan pers di awal masa Orde Baru; (3) Kesiapan pemerintah Orde Baru dalam menyelenggarakan Pemilu 1971; (4) Pandangan surat kabar Kompas di Jakarta dan Pikiran Rakyat di Bandung  terhadap pelaksanaan Pemilu 1971; dan (5) Sikap pemerintah dalam menanggapi pers kritis pada masa Pemilu 1971.

 

Tinjauan Pustaka

Sejauh ini sumber bacaan yang akan digunakan sebagai tinjauan pustaka diantaranya yaitu pertama, bukunya A.S.S Tambunan yang berjudul Pemilu di Indonesia dan susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD, buku ini memberikan penjelasan mengenai masalah Pemilu di Indonesia, khususnya masalah dalam menentukan sistem Pemilu yang hendak dipakai saat pelaksanaan Pemilu di tahun 1971 sebagai penentu bagi sistem Pemilu di masa-masa selanjutnya dalam kehidupan Orde Baru. Kedua, tulisannya Ahmad Zaini Abar dengan judul “Kritik Sosial, Pers dan Politik Indonesia” dalam bukunya Mohtar Mas’oed yang berjudul Kritik Sosial dalam Wahana Pembangunan, buku ini untuk menjelaskan tentang peranan pers dalam menyampaikan kritik sosial.

Ketiga, bukunya Jakob Oetama yang berjudul Perspektif pers Indonesia untuk menjelaskan tentang masalah hubungan antara pers dan pemerintah dalam sistem Pancasila. Keempat, bukunya Tribuana Said  yang berjudul Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila digunakan untuk menjelaskan mengenai masalah pembredelan terhadap beberapa surat kabar di masa Orde Baru, dan peletakan dasar-dasar pers Pancasila. Kelima, bukunya I. Taufik yang berjudul Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia yang didalamnya menjelaskan sekilas tentang masalah pers Indonesia dalam alam Orde Baru.

Keenam, bukunya Aloliliweri berjudul Memahami Peran Komunikasi Massa dalam Masyarakat yang didalamnya memaparkan empat teori mengenai pengaruh media massa, fungsi pers dalam masyarakat, dan sistem pers dalam hubungannya dengan pemerintah. Ketujuh, bukunya Budiman B. Sagala yang berjudul Tugas dan Wewenang MPR di Indonesia, buku ini untuk menjelaskan masalah tentang tugas dan wewenang MPR, DPR dan DPRD yang sesuai dengan UUD 1945.

Metode dan Teknik Penelitian

Metode Penelitian yang akan digunakan adalah metode historis. Louis Gottschalk (1986:32) mengatakan bahwa metode historis ialah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.

Langkah-langkah dalam metode historis ini oleh Helius Sjamsuddin dijabarkan sebagai berikut:

Langkah pertama, heuristik atau pengumpulan sumber-sumber sejarah. Sumber sejarah ialah segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung menceritakan kepada kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lalu (past actuality) (Sjamsuddin: 1996:73). Adapun sumber yang akan dikumpulkan adalah buku-buku, surat kabar Kompas dan Pikiran Rakyat yang akan diperoleh dari perpustakaan Daerah dan perpustakaan Kantor Gubernur Jawa Barat yang ada di Bandung, juga perpustakaan Nasional di Jakarta.

Langkah kedua, kritik eksternal dan kritik internal. Menurut Sjamsuddin (1996:104), kritik eksternal ialah cara melakukan verifikasi atau pengkajian terhadap aspek-aspek “luar” dari sumber sejarah. Sedangkan kritik internal menekankan aspek “dalam” yaitu isi dari sumber: kesaksian (testimoni) (Sjamsuddin, 1996:111). Sumber-sumber yang sudah terkumpul itu diseleksi yang berkaitan dengan peristiwa Pemilu 1971 saja.

Langkah ketiga dan keempat yaitu penulisan dan penafsiran. Tahap-tahap penulisan dan interpretasi sejarah, sebaliknya interpretasi dan penulisan ini sebenarnya bukan merupakan dua kegiatan terpisah melainkan bersamaan. Ketika sejarahwan memasuki tahap menulis, maka ia mengerahkan seluruh daya pikirannya, bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi yang terutama penggunaan fikiran-fikiran kritis dan analisisnya karena pada akhirnya ia harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu penulisan utuh yang disebut historigrafi (Sjamsuddin, 1996:153).

Adapun teknik penelitian yang dipakai untuk mengumpulkan sumber-sumber yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini adalah teknik studi literatur dan wawancara. Studi literatur ini dilakukan di perpustakaan-perpustakaan yang sudah disebutkan diatas, dan pada arsip surat kabar Kompas di Jakarta dan Pikiran Rakyat di Bandung, untuk mengumpulkan fakta yang mengkaji permasalahan yang diajukan. Sedangkan wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi dari para redaktur kedua surat kabar itu. Tokoh-tokoh yang akan diwawancara adalah Atang Ruswita dari Pikiran Rakyat dan Jacob Oetomo dari Kompas

Tinjauan Teoritis

Penulis menggunakan beberapa buku dan tulisan berupa artikel, majalah atau koran yang mengkaji masalah pers dan kritik sosial pada masa Orde Baru sebagai tinjauan pustaka, diantaranya :

  1. Tulisan Ahmad Zaini Abar yang berjudul “Kritik Sosial , Pers dan Politik Indonesia” dalam bukunya Mohtar Mas’oed yang berjudul Kritik Sosial dalam Wahana Pembangunan.

Dari buku ini dapat penulis ketahui tentang bagaimana peranan pers dalam mengkritik keadaan sosial yang sedang terjadi. Seperti dituliskan oleh Ahmad Zaini Abar (Mas’oed, 1997: 50): “Bagi pers, menyampaikan kritik sosial adalah salah satu cara menjalankan salah satu fungsi normatifnya, yakni sebagai satu alat kontrol sosial. Menyampaikan kritik sosial bagi pers juga bermakna sebagai cara bagaimana pers menyalurkan aspirasi sosial, aspirasi masyarakat. Begitu pula, menyampaikan kritik sosial bagi pers adalah salah satu cara bagaimana memposisikan pers sebagai wahana kataris sosial, cara pelepasan kegelisahan, keprihatinan dan bahkan kemarahan masyarakat”.

Selain itu dapat diketahui bahwa “format politik di masa Orde Baru di mana negara yang kini cenderung semakin personalised, sangat kuat dan dominatif, manakal berhadapan dengan unsur-unsur masyarakat, kritik sosial pers semakin sulit dikemukakan. Sekalipun dapat dikemukakan pers, dalam situasi politik tertentu, kritik sosial tidak punya makna sebagai inovasi sosial seperti yang dikemukakan diatas. Kritik sosial tidak berhasil memberi inspirasi atau mendorong perubahan sosial” (Ahmad Zaini Abar dalam Mas’oed: 1994: 53).

  1. Buku Ana Nadhya Abrar yang berjudul Pers Indonesia: Berjuang menghadapi Perkembangan Masa.

Buku ini merupakan kumpulan artikel dari Ana Nadhya Abrar yang ditulisnya dalam kurun waktu Maret 1990 – Juli 1992, dengan memfokuskan pada pembahasan masalah yang timbul setelah pers Indonesia menjadi pers industrial. Buku ini terdiri dari tiga bagian, yaitu pada bagian pertama tentang Potret Pers Industrial Indonesia, yang mengungkapkan relitas yang ada, mulai dari wujud , kelebihan, kekurangan dan implikasi pers industrial. Bagian kedua, bercerita tentang Tantangan Pers Indonesia Menghadapi Perkembangan Masa, yang memperlihatkan bagaimana perkembangan masa melahirkantantangan-tantangan yang harus dihadapi pers Indonesia. Sedangkan bagian ketiga, bercerita tentang Komitmen Untuk Pers Daerah, yang mendeskripsikan kondisi obyektif pers daerah dan apa yang bisa dilakukan oleh pers daerah untuk bisa keluar dari persoalan yang dihadapinya, seperti agar tidak dimangsa pers konglomerat (Ana Nadhya Abrar, 1992: iv –v).

 

Beberapa Landasan Teoritis

Yang menjadi kajian dalam landasan teoritis pada penulisan skripsi ini adalah konsep, generalisasi, maupun teori  mengenai pers dan kritik sosial pada masa Orde Baru, dalam hal ini terutama meminjam konsep/istilah dari ilmu komunikasi seperti komunikasi massa. Namun sebelum kita membahas komunikasi massa maka kita perlu tahu pengertian komunikasi secara umum terlebih dulu. Teguh Meinanda (1989:1) menyebutkan communication (komunikasi) berasal dari kata kerja latin, yaitu menyebarkan, memberitahukan dan seterusnya, seperti apa yang dikemukakan Sir Gerald Barry (Meinanda, 1989:1) yang berarti “to talk together, confer, discourse and consult with another”. Dan komunikasi ini pada umumnya memiliki tiga unsur pokok yaitu:

  1. Komunikator dan komunikan.

Komunikator adalah individu atau kelompok yang mengambil prakarsa dalam komunikasi dengan individu atau kelompok lain yang menjadi sasarannya. Sedangkan komunikan adalah objek sasaran dari kegiatan komunikasi, yaitu komunikan (Meinanda, 1989:3).

Menurut Wilbur Schramm (Meinanda,1989: 4):

“Message harus direncanakan dan disampaikan sedemikian rupa sehingga itu dapat menarik perhatian sasaran yang dituju”.

 

Dalam proses komunikasi ini, sebagai unsur-unsurnya, kita mengenal pula istilah feedback, yaitu arus umpan balik dalam rangka proses komunikasi. Unsur ini memegang peranan penting karena memberikan kepada komunikator suatu informasi tentang bagaimana komunikan menginterpretasikan pesan yang diterimanya (Meinanda,1989:5).

Pada hakikatnya, komunikasi massa adalah komunikasi yang menggunakan media massa (Assegaff, 1985:11). Komunikasi massa ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Umumnya komunikasi massa bersifat komunikasi searah.
  2. Menyajikan rangkaian dan aneka pilihan yang luas, baik ditinjau dari khalayak yang akan dicapai maupun dari segi pilihan isi oleh khalayak media massa.
  3. Sifat dari media massa dapat menjangkau sejumlah besar khalayak yang tersebar karenanya jumlah media lebih sedikit daripada khalayaknya.
  4. Karena sifatnya untuk menarik perhatian khalayak yang luas dan besar, maka ia harus dapat mencapai tingkat intelek rata-rata (umum). Seorang redaktur lazim menyebut bahwa untuk berhasil ia harus mencapai orang yang membaca sambil bibirnya bergerak.
  5. Organisasi yang menyelenggarakan komunikasi massa merupakan lembaga masyarakat, yang harus peka terhadap lingkungannya.

(Assegaff, 1985: 11).

Berhubung kasus yang dikaji adalah mengenai peristiwa pemilihan umum yang juga merupakan salah satu bentuk kehidupan politik di dalam bernegara maka penulis juga menggunakan istilah komunikasi politik sebagai landasan teori dalam penelitian ini. Pengertian dari komunikasi politik (Harmoko dalam buku Maswadi Rauf, 1993: 10)  adalah komunikasi yang diarahkan pada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi tersebut dapat mengikat semua kelompok atau warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik. Sedangkan bila dilihat dari tujuan politik an sich, maka hakikat komunikasi politik adalah upaya sekelompok manusia yang mempunyai orientasi, pemikiran politik atau ideologi tertentu dalam rangka menguasai dan atau memperoleh kekuasaan demi mewujudkan tujuan pemikiran politik dan ideologi sebagaimana yang mereka harapkan.

Maswadi Rauf (1993: 11) menyebutkan ketiga unsur yang terdapat dalam komunikasi juga terkandung pada dua situasi politik atau struktur politik, yaitu pada suprastruktur politik dan infrastuktur politik. Beberapa unsur yang terdapat pada suprastruktur politik terdiri dari tiga kelompok, yaitu yang berada pada lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan unsur-unsur yang mencerminkan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat atau infrastruktur terbentuk menjadi berbagai asosiasi atau kelompok, antara lain adalah:

  1. partai politik (political party)
  2. kelompok yang mempunyai kepentingan (interest group)
  3. para tokoh politik (political figures)
  4. media komunikasi politik (media of political communication), dsb.

(Rauf, 1993: 11).

Adapun fungsi dari komunikasi politik oleh Maswadi Rauf (1993:12) dikategorikaan menjadi dua kategori, yaitu:

  1. Fungsi komunikasi politik yang berada pada struktur pemerintah (suprastruktur politik) atau disebut pula dengan istilah the governmental political sphere.
  2. Fungsi yang berada pada struktur masyarakat (infrastruktur) yang disebut pula dengan istilah the socio political sphere.

Pada tingkatan struktur masyarakat (infrastruktur) akan terjadi proses fungsi sosialisasi dan edukasi yang dilakukan oleh asosiasi-asosiasi yang terdapat di dalam masyarakat. Sedangkan isi komunikasi yang dilaksanakan oleh pemerintah (suprastruktur), antara lain mencakup:

  1. Seluruh kebijakan yang menyangkut kepentingan umum.
  2. Upaya meningkatkan loyalitas dan integrasi nasional.
  3. Motivasi dalam menumbuhkan dinamika dan integritas mental dalam segala bidang kehidupan yang menuju sikap perbaikan daan modernisasi.
  4. Menerapkan peraturan dan perundang-undangan untuk menjaga ketertiban dan kehormatan dalam kehidupan bernegara.
  5. Mendorong terwujudnya partisipasi masyarakat dalam mencapai tujuan nasional.

(Rauf, 1993: 12).

Kajian selanjutnya yaitu mengenai pers akan diuraikan sebagai berikut:

 

Pers: Pengertian, Fungsi, Hak dan Kewajiban

Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Pers dalam pengertian luas meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk media massa elektronik, radio siaran, dan televisi siaran, sedangkan pers dalam pengertian sempit hanya terbatas pada media massa cetak, yakni surat kabar, majalah, dan buletin kantor berita (Effendy, 1995: 145).

Berdasarkan Undang-undang No. 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers, pasal (1) ayat (1) “pers adalah lembaga kemasyarakatan alat revolusi yang mempunyai karya sebagai salah satu media komunikasi massa yang bersifat umum berupa penerbitan yang teratur waktu terbitnya, diperlengkapi atau tidak diperlengkapi dengan alat milik sendiri berupa percetakan, alat-alat foto, klise, mesin-mesin stensil atau alat-alat teknik lainnya”. Dan ayat (2) menyatakan: “perusahaan pers ialah perusahaan surat kabar harian, penerbitan berkala, kantor berita, buletin dan lain-lain seperti yang tersebut ayat (6); (7); dan (8) dalam pasal ini”.

Kleden (1989) mengemukakan bahwa, pers pada umumnya, dan pers Indonesia pada khususnya adalah sarana sosialisasi pers excellentiam. Artinya. Apa saja yang dilakukakan lewat pers kemudian berubah wujudnya menjadi sosial; komunikasi pribadi menjadi komunikasi sosial, kritik pribadi menjadi kritik sosial, dan peringatan pribadi menjadi kontrol sosial (Aloliliweri, 1991: 205).

Dalam Undang-undang No. 11 tahun 1966 bab II pasal (2) ayat (1) dijelaskan tentang fungsi pers nasional yaitu “pers nasional adalah alat memvolusi dan merupakan mass media yang bersifat aktif, dinamis, kreatif, edukatif, informatoris dan mempunyai fungsi kemasyarakatan pendorong dan pemupuk daya pikiran kritis dan progressive meliputi segala perwujudan kehidupan masyarakat Indonesia”. Dan dalam ayat (2) dituliskan bahwa: “pers nasional berkewajiban: (a) mempertahankan, membela, mendukung, dan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945, secara murni dan konsekuen; (b) memperjuangkan pelaksanaan Amanat Penderitaan Rakyat berlandaskan Demokrasi Pancasila; (c) memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers; (d) membina persatuan dan kekuatan-kekuatan progressif revolusioner dalam perjuangan menentang imperialisme, feodalisme, liberalisme, komunisme, dan facisme/diktator; (e) menjadi penyalur pendapat umum yang konstruktif dan progressif revolusioner”. Serta dalam ayat (3) disebutkan bahwa “pers mempunyai hak kontrol, kritik dan koreksi, sifat korektif dan konstruktif”.

Hal ini pun sejalan dengan yang dikemukakan Phil Astrid S. Susanto (1986: 117) bahwa disamping tugas umum pers yaitu (1) memberi penerangan/informasi, (2) mendidik, (3) memberi hiburan, (4) mempengaruhi, maka di negara berkembang, keempat fungsi itu haruslah diarahkan kepada pembangunan mental , pemberian nilai-nilai baru kepada masyarakat yang sedang kehilangan nilai-nilai lamanya karena modernisasi, mengakhiri frustasi melalui penyebaran informasi. Melihat tugas yang berat ini justru karena pemanfaatan alat yang ampuh dalam tangannya, maka pers perlu berhati-hati agar terhindar suatu kekacauan. Tugas untuk berhati-hati ini datangnya dari moral pers yang mengetahui bahwa manusia pada umumnya lebih mudah dipengaruhi oleh motif-motif irrasional (emosional) daripada oleh argumentasi rasional.

Aloliliweri (1991: 208) menyatakan bahwa begitu luas jangkauan peran pers di tengah-tengah masyarakat serta pemerintah, maka menurut Fischer (1968, dalam buku Aloliliweri, 1991: 208) bahwa pers dapat menciptakan pengaruh timbal-balik antara pers, masyarakat, dan pemerintah. Maka pers sebagai media komunikasi massa memiliki aspek lain, yaitu: abiquitas (serba hadir) dan serba makna. Dan Arifin (1986, dalam Aloliliweri, 1991: 208) mengemukakan bahwa sifat serba hadir berarti peranan pers itu ada di mana saja, kapan saja, pada suasana dan konteks apapun, sedangan sifat serba makna berarti komunikasi secara operasional dapat berarti jamak (terlihat dalam pengkajian definisinya antala lain dapat berarti, proses, peristiwa, ilmu, kiat, hubungan/saling berhubungan, saling pengertian, pesan).

Surat Kabar: Pengertian, Ciri-ciri, dan Sifat

Lasa (1994: 98) menyebutkan bahwa surat kabar sering disebut dengan harian, karena terbit tiap hari, sering pula disebut dengan koran karena dibuat dari jenis kertas koran. Sebutan harian sebenarnya untuk membedakan dengan terbitan lain yang terbit tiap minggu, tiap bulan, tiga bulan dan lainnya yang biasa disebut majalah.

Menurut Lasa (1994:100), dibanding dengan publikasi yang lain, surat kabar memiliki tanda atau ciri sebagai berikut:

Terbitan ini disebarluaskan ke segenap lapisan masyarakat, dengan tidak memandang pendidikan, pangkat, agama, maupun aliran politik. Sasaran pembacanya dari kalangan rendah sampai kalangan tinggi.

Surat kabar terbit dalam waktu yang tetap/periodik, tiap hari, seminggu tiga kali dan lain sebagainya.

Harian menyajikan informasi dalam berbagai bidang. Misalnya soal pendidikan, politik, ekonomi, kebudayaan, pertanian, hiburan dan lain sebagainya.

Berita, artikel maupun masalah yang dimuat oleh surat kabar dipilih yang masih hangat, sedang dibicarakan orang. Artinya, peristiwa itu sedang dalam pembicaraan masyarakat atau baru saja terjadi. Peristiwa, foto-foto yang ditampilkan pada harian merupakan laporan tentang keadaan yang baru saja berlalu. Suatu berita tentang kejadian, peristiwa semakin cepat diketahui masyarakat akan menyenangkan pembaca dan menaikkan kualitas berita itu sendiri.

Effendy (1995: 155-156) memaparkan tentang sifat dari surat kabar, yaitu sebagai berikut:

Ini berarti bahwa berita-berita yang disiarkan oleh surat kabar tersususn dalam alinea, kalimat dan kata-kata yang terdiri atas huruf-huruf yang dicetak pada kertas. Dengan demikian, setiap peristiwa atau hal yang diberitakan terekam sedemikian rupa sehingga dapat dibaca setiap saat dan dapat diulang kaji, bisa dijadikan dokumentasi dan bisa dipakai sebagai bukti untuk keperluan tertentu.

  1. Menimbulkan perangkat mental secara aktif.

Karena berita surat kabar yang dikomunikasikan kepada khalayak menggunakan bahasa dengan huruf yang tercetak “mati” diatas kertas, maka untuk dapat mengerti maknanya pambaca harus menggunakan perangkat mentalnya secara aktif.

Karena berita surat kabar menyebabkan pambaca harus menggunakan perengkat mentalnya secara aktif, maka wartawan yang menyusunnya harus menggunakakan bahasa yang umum dan lazim sehinggga para pembaca mudah mencernakannya. Hal ini erat kaitannya dengan sifat khalayak surat kabar yang heterogen, yang tingkat pendidikannya tidak sama dan mayoritas dari mereka rata-rata berpendidikan rendah sampai menengah.

Wujud Opini Redaktur Surat Kabar

Pandangan atau opini para redaktur suatu surat kabar tercermin dalam catatan pojok, tajuk rencana dan karikatur yang disajikan. Pertama, catatan pojok senantiasa memuat tulisan yang relatif pendek, bahasa yang kocak dan menyentuh perasaan pembaca, serta ditempatkan pada sudut halaman surat kabar (Suwirta, 2000, 12). Menurutnya catatan pojok ini merupakan ciri khas dari pers Indonesia yang tidak terdapat dalam pers negara lain. Kata ‘pojok’ sendiri, selain menunjukkan dimana catatan itu ditempatkan dalam halaman surat kabar, yaitu di sudut atau pojok, juga memiliki konotasi sebagai kritikan, sindiran, dan kupasan terhadap suatu persoalan atau kejadian supaya diketahui umum (Suwirta, 2000,: 12).

Kedua, tajuk rencana yang menurut Gay Talese (Suwirta, 2000: 10) merupakan “soul of newspaper, a reflection of its inner character and philoshopy (jiwa sebuah surat kabar yang mencerminkan karakter intern dan falsafahnya).  Sedangkan Lyle Spencer (Assegaff, 1985: 63) memberikan batasan tajuk rencan sebagai pernyataan mengenai fakta dan opini secara singkat, logis, menarik ditinjau dari segi penulisan dan bertujuan untuk mempengaruhi pendapat, atau memberikan interpretasi terhadap suatu berita yang menonjol sebegitu rupa; sehingga bagi kebanyakan pembaca surat kabar akan menyimak pentingnya arti berita yang ditajukkan tadi.

Penulis tajuk rencana ini pada umumnya adalah pemimpin redaksi atau redaktur senior yang terpercaya dan mengetahui kebijakan pemberitaan maupun kebijakan surat kabar dimana ia bekerja, karen tajuk rencan membacakan pendapat surat kabar dan dukungan modal atau organisasi yang ada di belakang surat kabar itu (assegaff, 1985: 64). Mengenai tajuk rencana, Arthur C. Johnson, pemimpin redaksi Columbus Despatch (Assegaff, 1985: 67) menulis:”Pernyataan dalam tajuk rencana hanya dapat membentuk pendapat umum jika ia melayani kepentingan publik, tidak takut-takut, berani, tidak berprasangka dan konsistent. Tajuk tadi haruslah dilandaskan kepada kebijakan yang masuk akal dan berdasarkan pengalaman yang lama serta tidak bertujuan hanya untuk menyerang.”

Dan ketiga, karikatur yang oleh Ahmad Rohani (1997:79) diartikan sebagai suatu bentuk gambar yang sifatnya klise, sindiran, kritikan, dan lucu. Karikatur merupakan ungkapan perasaan seseorang yang diekspresikan agar diketahui khalayak. Karikatur sering dikaitkan dengan masalah-masalah politik dan sosial. Karikatur sebagai media komunikasi mengandung pesan kritik atau sindiran dengan tanpa banyak komentar, tetapi cukup dengan rekaan gambar yang sifatnya lucu sekaligus mengandung makna yang dalam (pedas).

Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan dalam mengkaji masalah “Pers dan Kritik Sosial pada masa Orde baru dengan kasus pemilihan umum tahun 1971 dalam pandangan surat kabar Kompas di Jakarta dan Pikiran Rakyat di Bandung” yaitu menggunakan metode historis. Louis Gottschalk (1986: 32) menyebutkan bahwa metode historis ialah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Sebagai alasan penggunaan metode ini, penulis sependapat dengan Hugiono dan PK. Poewantana (1992: 25) yang mengatakan bahwa metode sejarah (metode historis) bertujuan memastikan dan mengatakan kembali fakta masa lampau. Gejala-gejala sosial dan kebudayaan merupakan lapangan kerja dari metode ini. Akan tetapi tidak semua fakta dari kehidupan manusia masuk dalam sejarah. Faktor-faktor dari kehidupan sosila yang bersahaja diserahkan pada antropologi. Karena sebagai ilmu, antropologi menjabarkan hukum dari fakta yang berlaku dalam kehidupan yang bersahaja, sedangkan fakta dari kehidupan pribadi dimasukkan ke dalam riwayat hidup atau biografi.

Dalam pelaksanaan dari metode historis ini, maka penulis akan mengacu pada langkah-langkah penelitian sejarah yang dikemukakan oleh Ismaun (1988: 125-131) yang terdiri atas empat langkah pokok, yaitu:

  1. Heuristik, yaitu proses pencarian atau pengumpulan sumber-sumber sejarah.
  2. Kritik sumber, yaitu proses penilaian atau penganalisaan terhadap kesahihan dan keaslian sumber sejarah. Kritik sumber ini dilakukan terhadap dua aspek, yaitu kritik internal dan kritik eksternal.
  3. Interpretasi, yaitu proses penafsiran terhadap keterangan sumber-sumber sejarah yang telah diperoleh.
  4. Historiografi, yaitu penulisan sejarah yang dilakukan dalam bentuk laporan penelitian yang disusun secara kronologis, konprehensif dan utuh menyeluruh.

Untuk selanjutnya, kajian dalam penelitian ilmu sejarah ini menggunakan pendekatan diakronik, yaitu pendekatan yang melihat dari proses perkembangan sepanjang waktu; pendekatan historis; lawan dari sinkronik (Sjamsuddin, 1996: 231). Seperti yang diungkapkan Sartono Kartodirdjo (1992: 207) bahwa kajian sejarah meskipun tidak identik dengan kronik, tetapi kaitan kronologis (dalam urutan atau konteks waktu) dari kejadian-kejadian sangat penting sehingga seperti garis vertikal. Untuk fenomena sejarah yang hendak ditandai secara utuh diperlukan suatu pendekatan yang diakronik. Sebaliknya ilmu-ilmu sosial mencoba melihat fenomena peristiwa-peristiwa yang hampir sama pada tempat-tempat yang berbeda atau pada waktu yang berbeda-beda sehingga kelihatannya sebagai garis mendatar atau horisontal. Dengan analisis, pendekatan sinkronik dapat mengungkapkan hubungan dan saling ketergantungan fungsi unsur-unsur sehingga fenomena sebagai suatu kesatuan dapat ditandai dengan tepat (Sartono Kartodirdjo, 1988: 207).

Dan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan interdisipliner atau multidimensional. Pendekatan interdisipliner atau multidimensional yaiutu penggunaan berbagai konsep displin ilmu sosial lain yang memungkinkan suatu masalah dapat dilihat dari berbagai dimensi sehingga pemahaman tentang masalah itu, baik keluasan maupun kedalamannya, akan semakin jelas. Selain itu, penggunaan pendekatan interdisipliner atau multidimensional inilah yang memberikan karakteristik “ilmiah” kepada sejarah (Sjamsuddin, 1996: 201). Dengan demikian, pemaparan masalah ditekankan pada analisis-analisis yang kritis dengan menggunakan pendekatan interdisipliner yaitu konsep-konsep ilmu sosial lain seperti sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi danlain-lain. Dalam kaitan inilah metodologi sejarah mengembangkan diri dan mengangkat sejarah sebagai suatu displin ilmiah yang mandiri tetapi tidak menyendiri (Sjamsuddin, 1996: 200).

Hal ini juga dikemukakan oleh Poespoprodjo (1987: 53) bahwa kenyataan sejarah jauh lebih kompleks, bersifat multidimensional dan multikausal, struktur suatu peristiwa jauh lebih banyak seluk beluknya dan nuansanya daripada suatu lingkaran ideal, suatu segitiga ideal, atau suatu garis ideal. Kenyataan sejarah “ideal” atau suatu struktur “ideal” bisa diciptakan, tetapi tidak mempunyai arti “historikal” atau kesejarahan lagi, hanya sebagai suatu isapan jempol. Demikian sepatutnya jika dikatakan bahwa “the study of history is gritty, tough, challengging, and mentally strenuous” (David Thomson dalam Peospropodjo, 1987: 53). Medan ilmu sejarah berat dan rumit membutuhkan ketelitian yang tinggi mutunya, ketajaman intelektual dan ketinggian mutu intelektualitas di seluruh kegiatannya, kekayaan kejiwaan yang tinggi mutunya, kesediaan memikirkan dan membongkar hipotesa-hipotesanya begitu kemudian ternyata kurang diperhatikannya suatu hal karena tidak disadari sebelumnya atau begitu kemudian ternyata terdapat atau diperoleh data-data baru. Pertukaran fikiran yang berfaedah perlu diselenggarakan karena akan banyak membantu dalam menghindarkan hal-hal yang bersumber pada keterbatasan pribadi sejarahwan (Poespoprodjo, 1987: 53).

Setelah penulis memilih tema yang menjadi kajian dalam penelitian yaitu pers dan kritik sosial pada masa orde baru, maka penulis pun mulai melakukan langkah dalam metode sejarah yang bertumpu pada empat prosedur pelaksanaan penelitian sejarah yang telah diuraikan diatas, yaitu:

  1. Heuristik (pengumpulan sumber-sumber sejarah)

Hugiono dan PK. Poerwantana (1992: 30) menyebutkan bahwa heuristik merupakan pengetahuan yang bertugas menyelidiki sumber sejarah, dan sumber sejarah ialah bahan-bahan yang dapat dipakai mengumpulkan informasi. Sedangkan menurut Helius Sjamsuddin (1996:73), sumber sejarah adalah segala sesuatu yang angsung atau tidak langsung menceritakan kepada kita tentang sesuatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lampau (past actuality). Beliau juga menyebutkan bahwa sumber-sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw materials) sejarah yang mencakup segala macam evidensi (bukti) yang telah ditinggalkan oleh manusia yang menunjukkan segala aktivitas mereka di masa lalu yang berupa kata-kata yang tertulis atau kata-kata yang diucapkan (lisan). 

Berkaitan dengan pencarian sumber-sumber sejarah yang berbentuk tulisan, penulis berupaya mengumpulkan buku-buku yang relevan dengan peristiwa Pemilu tahun 1971, serta tulisan-tulisan di surat kabar Kompas dan Pikiran Rakyat terutama yang memuat tentang pandangan-pandangan redaktur kedua surat kabar itu terhadap peristiwa Pemilu di tahun 1971. Sumber-sumber sejarah ini dapat ditemukan di perpustakaan-perpustakaan dan arsip nasional atau arsip kantor redaksi masing-masing surat kabar yang dikaji. Disamping dilakukan pencarian sumber tertulis, juga dilakukan pengumpulan data/informasi secara lisan kepada beberapa wartawan yang terlibat secara langsung atau tidak dalam penulisan berita mengenai seputar peristiwa Pemilu tahun 1971, yaitu dengan menggunakan tehnik wawancara. Tehnik wawancara ini dapat dilakukan dilakukan di kantor redaksi atau di tempat yang telah disepakati antara pewawancara dengan narasumber, dan dapat dilakukan secara langsung (tatap muka) atau melalui angket wawancara.   

  1. Kritik sumber (penilaian terhadap sumber sejarah)

Kritik sumber umumnya dilakukan terhadap sumber-sumber pertama (sumber primer) dan sumber-sumber kedua (sumber sekunder). Sumber primer adalah kesaksian daripada seorang saksi mata dengan mata kepala sendiri atau saksi dengan pancaindera yang lain, atau alat mekanis seperti diktafon, yakni orang atau alat yang hadir pada peristiwa yang diceritakannya(Gottschalk, 1986: 35). Sedangkan sumber sekunder merupakan kesaksian daripada siapapun yang bukan merupakan saksi pandangan mata, yakni harus dihasilkan oleh seorang yang sejaman dengan peritiwa yang dikisahkan (Gottschalk, 1986: 35). Dalam hal ini penulis menggunakannya terhadap pemilihan wartawan yang akan diwawancara.

Kritik ini juga menyangkut verifikasi sumber yaitu pengujian mengenai kebenaran atau ketepatan (akurasi) dari sumber itu. Dalam metode sejarah dikenal dengan cara melakukan kritik eksternal dan kritik internal (Sjamsuddin, 1996: 104). Adapun yang dimaksud dengan kritik eksternal ialah suatu penelitian asal usul dari sumber, suatu pemeriksaan atas catatan atau peningglan itu sendiri untuk mendapatkan semua informasi yang mungkin, dan untuk mengetahui apakah suatu waktu asal mulanya sumber itu telah diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak. Kritik eksternal harus menegakkan fakta dari kesaksian bahwa:

  1. Kesaksian itu benar-benar diberikan oleh orang ini atau pada waktu itu (authenticity).
  2. Kesaksian yang telah diberikan itu telah bertahan tanpa ada perubahan (uncorupted), tanpa ada suatu tambahan–tambahan atau penghilangan-penghilangan yang substansial (integrity).

(Sjamsuddin, 1996:105).

Setelah fakta kesaksian (fact of testimony) ditegakkan melalui kritik eksternal, tiba giliran sejarahwan untuk mengadakan evaluasi terhadap kesaksian itu. Ia harus memutuskan apakah kesaksian itu dapat diandalkan (reliable) atau tidak. Keputusan ini didasarkan atas penemuan dua penyidikan (inkuiri):

  1. Arti sebenarnya dari kesaksian itu harus dipahami. Apa sebenarnya yang ingin dikatakan penulis?
  2. Setelah fakta kesaksian dibuktikan dan setelah arti sebenarnya dari isinya telah dibuat sejelas mungkin, selanjutnya kredibilitas saksi harus ditegakkan. Saksi atau penulis harus jelas menunjukkan kompetensi (competence) dan verasitas (veracity, kebenaran). Sejarahwan harus yakin bahwa saksi mempunyai kemampuan (kapasitas) mental dan kesempatan untuk mengamati dan saksi menggunakan kesempatan ini untuk mendapatkan suatu pengertian yang benar mengenai kejadian itu.

(Sjamsuddin, 1996: 111).

Berkaitan dengan kritik sumber ini, penulis melakukannya terhadap beberapa sumber yang diperolehnya baik berupa buku sebagai studi literatur  dalam mengkaji masalah penelitian, maupun terhadap kesaksian atau hasil wawancara dengan beberapa orang wartawan kedua surat kabar itu yang dinilai memiliki kompetensi dalam penulisan peristiwa Pemilu tahun 1971. Adapun pemilihan sumber sejarah yang layak digunakan adalah dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan para sejarahwan diatas.

  1. Interpretasi (penafsiran terhadap keterangan sumber)

Pada tahap ini masalah yang sering muncul adalah objektivitas dan subjektivitas dalam menilai dan menafsirkan kembali keterangan yang telah diperoleh sebagai sumber sejarah. Sebagaimana dikemukakan oleh Seodjatmoto (Peospoprodjo, 1987:4):

Sesungguhnya, setiap pembicaraan tentang problema-problema interpretasi sejarah dan sintesis bahan-bahan sejarah menjadi suatu kisah yang berhubungan ke dalam historiografi Indonesia modern, menjurus kepada persoalan-persoalan tentang subjektivitas dan objektivitas.

Dalam kaitannya dengan ini, perlu ditinjau pandangan epistimologis Nugroho Noto Susanto (Poespoprodjo, 1987: 4):

Dalam tahap analitis ada kemungkinan kita mencapai pengetahuan objektif karena sumber-sumber sejarah yang kita peroleh merupakan objek, artinya mempunyai eksistensi merdeka di luar pikiran manusia. Sumber-sumber semacam ini misalnya saja bangunan, mata uang dls. Tetapi sebagian besar sumber sejarah berasal dari kesaksian manusia dan karenanya tidak memiliki realitas objekytif, melainkan hanya merupakan simbol daripada hal-hal yang pernah nyata pada masa lampau. Dengan perkataan lain, fakta sejarah yang tersebut belakangan terexistensi hanya dalam pikiran pengamatan atau pikiran sejarahwan, dan karenanya disebut subjektif.

Dengan demikian, penulis akan menginterpretasikan keterngan atau informasi yang telah diperoleh di lapangan, baik secara studi literatur maupun berdasarkan pada hasil wawancara. Dan selanjutnya akan dibuatkan sebuah laporan penelitian yang berupa penulisan sejarah (historiografi).

  1. Historiografi (penulisan sejarah)

Helius Sjamsuddin (1996:153) berpendapat bahwa tahap-tahap penulisdan dan interpretasi sejarah, atau sebaliknya interpretasi dan penulisan ini sebenarnya bukan merupakan dua kegiatan yang terpisah melainkan bersamaan. Ketika sejarahwan memasuki tahap menulis, maka ia mengerahkan seluruh daya pikirannya, bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi yang terutama penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisanya karena pada akhirnya ia harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya dalam suatu penulisan utuh yang disebut historiografi (Sjamsuddin, 1996:153).

Dalam hal ini penulis melakukan langkah terakhir dari keseluruhan metode historis, dimana seluruh hasil temuan di lapangan baik secara tertulis maupun lisan akan diolah dan dikaji lebih lanjut serta dituangkan dalam bentuk tulisan yaitu berupa karya ilmiah atau skripsi.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Aloliliweri. 1991. Memahami Peran Komunikasi Massa dalam Masyarakat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Cahyono, Heru. 1992. Peranan Ulama dalam Golkar 1971 – 1980: Dari Pemilu 1971 sampai Malari. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Terjemahan. Jakarta: Yayasan Penerbit UI.

Iskantini, Euis. 2001.”Pandangan Harian Umum Pikiran Rakyat terhadap Masalah-masalah Politik Indonesia (1950 –1965). Skripsi Sarjana. Bandung: FPIPS UPI.

Oetama, Jakob. 1989. Perspektif Pers Indonesia. Jakarta: LPE3S.

Peorwantana, P.K. 1994. Partai Politik di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Peosponegoro, Marwati Djoened dan Noto Nugroho Susanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Sagala, Budiman B. 1982. Tugas dan Wewenang MPR di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Setneg RI. 1985.30 Tahun Indonesia Merdeka (1965 – 1973). Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada.

Sjamsuddin, Helius. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta: Depdikbud RI.

Suwardi, H. 1993. Peranan Pers dalam Politik di Indonesia: Suatu Studi Komunikasi Politik Terhadap Liputan Berita Kampanye Pemilu 1987. Jakarta: Pustaka Harapan.

Suwirta, Andi. 2000. Suara dari Dua Kota: Revolusi Indonesia dalam Pandangan Surat Kabar Merdeka (Jakarta) dan Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta) 1945 – 1947. Jakarta: Balai Pustaka.

Tambunan, A.S.S. 1986. Pemilu di Indonesia dan Susunan dan Kedudukan MPR, DPR/DPRD. Jakarta: Bina Cipta.

Taufik, I. 1977. Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia. Jakarta: PT. Triyinco.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *