UJIAN NASIONAL DAN MASA DEPAN BANGSA: DITINJAU DARI ASPEK LEGAL, POSISI PEMERINTAH, PANDANGAN PENDIDIKAN[1]

Prof. Dr. H. Said Hamid Hasan, MA

(UPI)

 

[1] Disajikan dalam “Rountable Discussion” yang diselenggarakan oleh Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANAS), Jakarta 18 Februari 2010

 

Pendahuluan

Ujian pada tingkat  nasional (UN) menjadi pembahasan masyarakat banyak setelah dikeluarkannya Undang-Undang nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memberikan kewenangan kepada guru dan sekolah menetapkan keberhasilan peserta didik. Oleh karena itu ketika Pemerintah melaksanakan berbagai bentuk ujian pada tingkat nasional sebelumnya masyarakat tidak bereaksi seperti terhadap UAN dan UN.  Pada waktu Pemerintah melaksanakan Ujian Akhir Nasional (UAN) maka  muncul usaha hukum dari masyaarakat untuk menggugat kebijakan tersebut. Masyarakat mempersoalkan landasan legal dari kebijakan UAN. Ketika upaya hukum tersebut dalam dalam proses, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 yang didalamnya memuat ketentuan tentang Ujian Nasionl. Dengan adanya PP nomor 19 tahun 2005, pengadilan memutuskan bahwa kebijakan Pemerintah melaksanakan UAN telah memiliki dasar hukum tanpa ada uji materi antara PP nomor 19 tahun 2005 dengan peraturan induknya UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Sesuai dengan PP nomor 19 tahun 2003 Pasal 66 ayat (1) Pemerintah mengganti UAN menjadi UN dan sesuai dengan ayat (2) pasal yang sama maka UN dilakukan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel.

Pasal 66 ayat (2) itu sangat bagus karena memenuhi kaedah pendidikan.  Obyektivitas adalah prinsip yang harus dipegang ketika seseorang atau lembaga melakukan penilaian hasil belajar siswanya. Obyektivitas mengacu kepada prinsip bahwa hasil penilaian merupakan gambaran kenyataan kemampuan sesungguhnya yang telah dimiliki peserta didik. Berkeadilan (fairness) menyatakan bahwa setiap peserta didik  haruslah dinilai sesuai dengan kemampuan yang telah dimilikinya. Oleh karena itu alat penilaian yang dikembangkan untuk orang lain dengan kemampuan yang berbeda (di atas atau di bawah) tidak boleh digunakan untuk dirinya.   mendapatkan perlakuan yang sesuai dengan kemampuan dirinya. Akuntabel memiliki makna bahwa ruang lingkup, alat, dan pelaksanaan penilaian dapat dipertanggungjawabkan secara profesional dan kepada masyarakat.

Berdasarkan prinsip yang telah ditetapkan pada Pasal 66 ayat (2) tersebut memang pelaksanaan UN perlu dipertanyakan dalam artian apakah prinsip-prinsip itu sudah terpenuhi. Tentu saja pertanyaan itu mengundang pendapat yang kemungkinan sangat bias. Fihak penyelenggara akan selalu kokoh menyatakan bahwa semua prinsip itu terpenuhi sedangkan fihak lain akan juga kokoh dengan pendiriannya bahwa pelaksanaan UN telah melanggar prinsip-prinsip itu. Sementara itu dari berbagai observasi dan informasi dari lapangan tampaknya banyak keraguan bahwa prinsip tersebut telah terlaksana sebagaimana mestinya. Aspek-aspek seperti ruang lingkup materi ujian, instrumen UN yang lebih pada “pencil and paper test”, dan pelakanaan ujian dengan penjagaan polisi mengesankan adanya ketidakpercayaan kepada lembaga sekolah beserta para guru dan peserta didik sehingga pelaksanaan ujian seolah-olah seperti penguasa berhadapan dengan terdakwa. Suasana pendidikan hilang dan digantikan oleh suasana ketegangan antara penguji berhadapan dengan sekolah dan peserta didik.

Permasalahan hukum UN belum selesai ketika Pemerintah, DPR berdasarkan penjelasan MA menyatakan bahwa tidak ada larangan untuk melaksanakan UN. Mungkin ini suatu logika hukum dan politik yang sukar difahami oleh akal sehat dan logika akademik lainnya. Jika MA secara hukum menolak permohonan kasasi Pemerintah untuk membatalkan keputusan pengadilan di bawahnya (PN dan PT) dan jika keputusan pengadilan di bawah MA itu tidak terkait dengan larangan pelaksanaan UN sebelum semua standar dipenuhi, mengapa Pemerintah bersusah payah menghabiskaan waktu, tenaga, pikiran dan tentu biaya untuk melakukan upaya hukum agar keputusan PN Jakarta Pusat dibatalkan.

Selain masalah legal, tampaknya UN mengandung beberapa permasalahan kebijakan berkenaan dengan posisi Pemerintah sebagai pengemban amanat dalam pendidikan anak bangsa, permasalahan di bidang akademik dan pedagogik. Makalah ini terutama akan memberikan perhatian utama pada ketiga aspek ini. Dalam kedudukannya sebagai makalah tanggpan maka pikiran-pikiran akademik dan pedagogik penulis digunaakan sebagai dasar dalam memberikan tanggapan terhadap materi sajian Kementrian Pendidikan Nasional, makalah Prof. Dr. H. Mahyudin NS, Sp.OG (K), Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat, dan Prof Dr H Soedijarto, MA

 

Posisi Pemerintah Sebagai Pemegang Amanah Pendidikan Nasional

Selain sebagai penyelenggara, ada dua peran Pemerintah dalam menjaga mutu pendidikan nasional. Pertama adalah sebagai selektor dan kedua adalah sebagai penjamin mutu.  Peran sebagai selektor dilakukan dengan cara menyelenggarakan suatu proses seleksi untuk menentukan apakah seseorang telah memiliki  kualitas yang diinginkan (quality control). Peran ini banyak digunakan ketika pendidikan merupakan alat untuk memperoleh sumber daya manusia yang diperlukan oleh dunia kerja. Dalam posisi ini pendidikan merupakan suatu upaya untuk mendapatkan tenaga kerja berkualitas. Untuk itu diperlukan berbagai alat untuk melakukan saringan dan tes diposisikan sebagai alat saringan yang ampuh. Peserta didik tidak diposisikan sebagai manusiadengan berbagai potensinya  tetapi sebagai tenaga kerja yang harus dipersiapkan sedemikian rupa sehingga memiliki kemampuan yang dipersyaratkan. Dengan posisi ini maka pemerintah menghasilkan anak bangsa dalam dua kelompok besar yaitu mereka yang dinyatakan memiliki kemampuan untuk bekerja (adanya ijazah) dan mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk bekerja (tidak lulus UN dan dengan demikian tidak memiliki kesempatan untuk memasuki dunia kerja (formal).

Pada saat kini, Ujian Negara (UN) digunakan untuk menentukan kelulusan seorang peserta didik dari suatu jenjang pendidikan atau jenjang sekolah, dan untuk mendapatkan pemetaan kualitas setiap lembaga pendidikan. Fungsi pertama ini dijalankan Pemerintah melalui kebijakan mengenai Ujian Negara. Dengan fungsi pula pemerintah “membiarkan” dan “memperkenankan” adanya 2 kelompok warganegara yaitu mereka yang dinyatakan berkualitas (karena lulus UN) dan mereka yang tidak berkualitas (karena tidak lulus UN).  Selain memiliki kesempatan memasuki dunia kerja (formal), mereka yang berkualitas memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dirinya pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebaliknya,  mereka yang tidak berkualitas tidak juga memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dirinya pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Secara hitam putih dapat dikatakan bahwa masa depan mereka sudah ditentukan sebagai orang gagal.

Peran sebagai selektor ini diwariskan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda, dilanjutkan setelah kemerdekaan, dan masih menjadi kebijakan pendidikan Indonesia masa kini  (walau pun bertentangan dengan UU Sisdiknas). Pemerintah Belanda di negara Belanda, bukan  pemerintah penjajahan, sudah lama meninggalkan peran itu beralih ke peran sebagai penjamin kualitas pendidikan.   Peran sebagai selektor itu tidak saja merusak rasa keadilan masyarakat tetapi juga membahayakan kehidupan kebangsaan. Masyarakat terpecah-pecah atas kelompok orang yang dinyatakan “berhasil” dan kelompok mereka yang dinyatakan “tidak berhasil”.

Peran Pemerintah sebagai selektor melalui alat UN merusak rasa keadilan masyarakat karena mereka yang memiliki kemungkinan tidak lulus adalah mereka yang berada di sekolah yang tidak memenuhi standar pendidikan nasional yang telah ditetapkan Pemerintah dan keadaan sekolah yang demikian disebabkan oleh kelalaian Pemerintah. Ketidaksanggupan Pemerintah tersebut harus mereka tanggung dengan ketidaklulusan dari UN. Hal ini tentu saja merenggut hak peserta didik dan masyarakat warganegara yang diperlakukan tidak sama dengan peserta didik lainnya yang menerima pelayanan pendidikan berkualitas. Angka statistik yang dikemukakan pada slide 29 menunjukkan bahwa mereka yang berada di daerah di luar pulau Jawa terutama Indoneessia Tengah dan Indonesia Timur adalah mereka yang kurang beruntung dibandingkan mereka yang berada di wilayah Indonesia Barat. Dengan pengecualian Bali, daerah Indonesia Barat seperti Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Jawa Timur adalah wilayah yang secara “aggregate” propinsi memiliki tingkat keberhasilan lulus UN di atas rata-rata nasional. Wilayah Indonesia bagian timur seperti yang ditampilakn pada slide 29 tersebut yaitu Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara, dan Maluku Utara adalah contoh daerah yang memiliki tingkat kegagalan jauh di atas rata-rata nasional baik dalam mata pelajaran kelompok IPA mau pun IPS. Dengan data aggregate tingkat propinsi  tentu saja terjadi variasi antar kabupaten/kota dalam propinsi sehingga secara nasional data tersebut menunjukkan bahwa dimana-mana terdapat kelompok anak bangsa yang belum memenuhi kualitas tetapi tetap menjadi warganegara dan dimana-mana terdapat kelompok anak bangsa yang sudah memenuhi kualitas. Ini adalah gambaran jelas pemerintah dalam kedudukannya sebagai selektor kualitas (quality control).

Dari sudut pandang peserta didik (subjek dalam pendidikan) diperlakukan sama mengacu kepada kondisi dimana mereka mendapatkan kesempatan yang sama dalam proses pendidikan untuk mengembangkan potensi mereka. Dalam kenyataan bahwa sebagian dari peserta UN adalah mereka yang tidak pernah mengenyam pendidikan yang sama kualitasnya dengan sekelompok lain. Kenyataan ini tentu saja tidak ”fair” bagi mereka karena mereka tidak siap tetapi harus mengikuti UN padahal ketidaksiapan itu bukan karena kesalahan mereka. Adalah suatu ketidakadilan jika mereka yang tidak mendapatkan perlakuan sama dalam proses pendidikan diharuskan menempuh ujian dengan soal-soal yang sama. Mereka yang tidak mendapatkan pelayanan pendidikan yang tidak baik berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dalam mengikuti UN. Angka prosentase kelulusan setiap daerah untuk IPA (slide 32, 33) dan IPS (34,35) menunjukkan betapa daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan adalah daerah dimana prosentase kelulusan lebih rendah (prosentase ketidaklulusan lebih tingi) dibandingkan rata-rata nasional. Untuk IPA, kecuali DIY yang lebih rendah dari rata-rata nasional yang berada di pulau Jawa. Daerah-daerah luar pulau Jawa seperti NAD, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Sulteng, Malut, NTB, NTT, Papua, Bengkulu, Malut, Bangka-Belitung, Kepulauan Riau, Sulawesi Barat, Papua Barat berada di bawah rata-rata nasional baik untuk IPA mau pun untuk IPS. Kebijakan UN tidak menjadikan mereka berkembangi, daerah-daerah ini tetap berada di lapisan di bawah rata-rata kualitas nasional. Belum ada perubahan gambaran pada daerah-daerah ini sejak UAN atau pun UN dilaksanakan.

Keadilan atau “fairness” berkaitan pula dengan konsep “multiple intelligences” yang dianut sebagai pengganti konsep IQ yang sudah tidak mampu mencerminkan kualitas manusia. Dalam pandangan “multiple intelligences” (bahkan sekarang ditambah dengan spiritual intelligence) pertanyaan yang muncul adalah mengapa UN hanya terkait pada sebagian mata pelajaran dalam kelompok ilmu dan teknologi. Jika kelompok ini dianggap secara nasional penting sedangkan kelompok mata pelajaran lain diserahkan kepada sekolah maka bukankah tujuan pendidikan nasional mencakup seluruh aspek potensi peserta didik. Oleh karena itu jika mata pelajaran UN (yang menyebabkan banyak sekolah memberikan fokus dan pelajaran tambahan untuk mata pelajaran dan barangkali ini yang dimaksudkan dengan “UAN memotivasi siswa,memotivasi guru untuk mengajar sebaik mungkin, meningkatkan kesadaran orang tua dan masyarakat tentang fungsi ujian” (bukan kesadaran pendidikan padahal kesadaran pendidikan adalah jauh lebih penting) dan “siswa lebih semangat belajar, rajin mencari sumber bacaan, rajin masuk sekolah, dan guru lebih giat mengajar, meningkatkan motivasi berprestasi, meningkatkan disiplin” sebagai suatu kebenaran maka pendidikan beralih makna dari upaya sadar untuk mengembangkan (berbagai) potensi peserta didik menjadi upaya untuk lulus ujian. Hal ini pula yang dikemukakan dalam makalah Mahyudin (2010) dengan menyatakan “secara sadar atau tidak sadar ketika menjelang pelaksanaan UN banyak sekolah yang mereduksi perannya sendiri dan menyerahkan ke lembaga bimbingan belajar, atau para siswa sendiri yang pada akhirnya memilih untuk mengikuti bimbel daripada hanya mengandalkan sekolah”. Potensi peserta didik yang beragam dan unggul di berbagai dimensi inteligensi melalui UN menjadi sempit dan terbatas pada sebagian kecil mata pelajaran ilmu dan teknologi.

Apa yang didengungkan sebagai kualitas yang diharapkan dari pendidikan sebagaimana dinyatakan dalam makalah Mahyudin (2010) yaitu untuk” membangun bangsa, peradaban bangsa, nilai-nilai dan moral dan semangat perjuangan bangsa, serta untuk mempertahankan eksistensi bangsa dan negara pada masa yang akan datang” serta “pendidikan nasional memiliki fungsi strategik dan akan lebih efektif dalam membantu mangatasi masalah permasalahan bangsa secara nasional bila selalu konsisten dengan amanat konstitusi dan undang-undang yang berlaku” tidak dapat diemban oleh UN bahkan UN memperkerdil keinginan luhur tersebut. Hal ini disebabkan karena fungsi UN sebagai penentu atau salah satu penentu kelulusan sangat dominan dan menjadi satu-satunya perhatian. Fungsi UN yang lain yaitu pemetaan dan konsekuensinya berupa upaya penyempurnaan pelayanan pendidikan tidak substansial. Ketimpangan yang cukup berarti antara propinsi  dan antar daerah dalam propinsi terjadi dan menimbulkan  rasa ketidakadilan masyarakat dan peserta didik.

Dalam peran kedua yaitu sebagai penjamin mutu maka pemerintah memiliki tanggungjawab untuk menghasilkan warganegara yang memiliki kualitas minimal yang ditetapkan. Dalam peran ini pemerintah memiliki tanggungjawab terhadap bangsa dan individual warganegara bahwa kualitas anak bangsa yang dihasilkan pendidikan telah sesuai dengan kualitas yang ditetapkan. Dalam peran ini pemerintah mengembangkan pelayanan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada setiap warga negara untuk mengembangkan potensinya secara optimal. Pelayanan pendidikan yang telah dilaksanakan pemerintah melalui sekolah-sekolah mau pun lembaga pendidikan yang dibawah pengawasan pemerintah menjamin kualitas lulusan pendidikan. Ini adalah amanat para pendiri bangsa ini (founding fathers) ketika mereka melahirkan kebijakan demokratisasi pendidikan dan amanat ini pula yang menjadi konsep dasar Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam peran kedua ini Pemerintah menggunakan hasil UN untuk masukan dalam mengembangkan kualitas pelayanan pendidikan. Berdasarkan hasil UN, Pemerintah memiliki peta kualitas pelayanan pendidikan, mengembangkan kebijakan dan mengerahkan upaya memperbaiki kualitas pendidikan yang tidak memenuhi standar. Jika kelemahan pelayanan tersebut disebabkan oleh fasilitas fisik maka tentu saja upaya peningkatan itu dilakukan berkenaan dengan penyediaan fasilitas fisik yang lebih baik (termasuk perhitungan dan penyediaan dana operasional, pemeliharaan, dan pengantian). Jika kelemahan tersebut disebabkan oleh manajemen sekolah maka perkuatan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang telah dikembangkan Pemerintah dan telah menghabiskan dana dalam jumlah besar perlu diperkuat. MBS yang kuat akan memperkuat budaya sekolah dan budaya sekolah akan mengembangkan sekolah sebagai “community of educators, education, and a centre for cultural development”. Budaya sekolah yang kuat juga akan  memperkuat prestasi akademik dan non-akademik peserta didik sekolah tersebut.

Apabila kelemahan tersebut disebabkan oleh kemampuan guru yang berkarat, tidak mencapai derajat kompetensi yang diharapkan, dan motivasi yang sudah menurun maka perbaikan dilakukan dengan melakukan pelatihan dan penyegaran bagi guru. Kebijakan sertifikasi melalui portofolio bukan sesuatu yang tepat karena portofolio didesain untuk pembuktian kemampuan seseorang yang belum mendapatkan pengakuan resmi, bukan peningkatan kualitas. Pendidikan dalam jabatan adalah hak dan jawaban tepat untuk meningkatkan kemampuan dan motivasi. Studi Wet, Andree, dan Darling-Hammond (2009) memperlihatkan bahwa keunggulan negara-negara Singapura, Jepang, Korea Selatan dan negara OECD lainnya disebabkan terutama guru-guru mereka berada dalam kondisi prima untuk mengajar/mendidik. Kondisi prima itu disebabkan oleh program pendidikan dalam jabatan, program penyegaran “on study leave”, dan beban mengajar yang tidak sarat. Di negara-negara tersebut setiap tahun guru mengikuti pendidikan dalam jabatan (on job training/ inservice training yang dirancang secara khusus dan berkenaan dengan materi pelajaran, proses pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan perluasan wawasan profesi. Di tiga negara Asia tersebut (Singapura, Jepang, Korea Selatan) guru hanya dibebani tugas mengajar di kelas sebesar 35% dari keseluruhan beban tugas sedangkan di negara OECD lain guru hanya boleh mengajar sebesar 60% dari beban tugas. Di Indonesia guru mengajar 80% dari beban tugas dan tidak diikuti oleh program penyegaran dan peningkatan kualitas yang terencana, berkelanjutan, dan berlaku bagi semua guru. Tentu saja kondisi kerja guru di daerah-daerah lebih jelek walau pun beban tugas mengajar  lebih ringan karena keterbatasan jumlah kelas dan peserta didik.

Posisi kedua ini banyak dianut oleh  pemerintah yang hasil pendidikan dianggap baik. Negara-negara yang disajikan pada slide 22 untuk TIMMS dan slide 23 untuk PISA adalah negara yang memposisikan pemerintahnya sebagai penjamin kualitas pendidikan bangsa (O’Donnell et al., 2009). Di negara-negara Jepang dan Korea Selatan tes nasional, bukan ujian nasional,  dilaksanakan pada waktu anak berusia 12 dan 15 tahun untuk mengetahui kualitas hasil pembelajaran dan untuk Jepang digunakan sebagai persyaratan masuk ke sekolah di atasnya, bukan persyaratan lulus dari sekolah yang sudah ditempuhnya. Korea Selatan tidak menjadikan hasil tes nasional sebagai persyaratan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, tes tersebut berbentuk “scholastic aptitude test” dan dilakukan pada “small samples of students in some year groups” (O’Donnell et al., 2009:35) . Pada kedua negara tersebut dan negara-negara OECD lainnya, keberhasilan peserta didik dalam pendidikan di suatu satuan sekolah ditentukan oleh “teacher assessment”. Pemerintah di negara-negara tersebut menggunakan hasil tes nasional untuk memperbaiki pelayanan pendidikan bagi anak bangsanya. Inggeris (England) adalah negara Eropa yang paling sering melakukan tes nasional yaitu di usia 5, 7, 8,9,10, 11, dan 14 tahun dengan tujuan untuk menjamin kualitas pendidikan. Di Hungaria, Swis, Australia, dan Canada ujian nasional untuk sertifikasi dan persyaratan masuk ke perguruan tinggi pada usia 18 atau 19 tahun. Belanda adalah satu-satunya negara di Eropa yang melakukan ujian nasional (public examination) selama 3 tahun yaitu pada usia 16, 17, dan 18 untuk mendapatkan sertifikat sekolah menengah sebagai persyaratan masuk ke perguruan tinggi.

Pemerintah sudah seharusnya menjalankan perannya dalam posisi kedua ini yaitu penjamin kualitas pendidikan bangsa. Peran ini terutama menjadi teramat penting untuk dilakukan oleh Kementrian Pendidikan Nasional karena Pemerintah menjadi koordinator antar daerah dalam memperbaiki kualitas pelayanan pendidikan. Dengan peran ini Pemerintah dapat melaksanakan ketetapan pada Pasal 66 a dan d PP nomor 19 tahun 2005 dan Pasal 59 ayat (1) UU nomor 20 tahun 2003. Peran sebagai  kualitas memberikan kesempatan kepada Pemerintah untuk menggunakan hasil UASBN dan UN untuk membantu Pemerintah dan pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan pada jenjang yang seharusnya. Nilai dari UASBN dan UN dijadikan dasar pembinaan dan bukan lagi untuk menentukan kelulusan peserta didik. Kelulusan peserta didik ditentukan oleh sekolah sebagaimana ditetapkan pada Pasal 58 ayat (1) dan Pasal 61 ayat (2). Dengaan demikian Pemerintah menegakkan ketetapan dalam produk hukum yang sudah dihasilkannya dan menerapkan prinsip dan visi pendidikan yang mendasari UU nomor 20 tahun 2003.

PENDIDIKAN, POTENSI DAN HASIL BELAJAR

Potensi dan hasil belajar,  adalah dua konsep yang berbeda. Hasil belajar adalah hasil dari pengembangan potensi melalui proses pendidikan. Hasil belajar tersebut akan menjadi sangat baik dan mencapai derajat yang tinggi ketika mendapatkan kesempatan yang baik melalui proses pendidikan yang baik. Sebaliknya, hasil belajar tersebut akan sangat rendah dan kurang baik ketika potensi yang dimiliki peserta didik tidak mendapatkan kesempatan berkembang dengan optimal melalui proses pendidikan yang kurang baik. Apabila hal kedua ini terjadi maka individu peserta didik tersebut mengalami kerugian dan bangsa akan mengalami kerugian pula. Semakin banyak anak bangsa yang tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi mereka melalui proses pendidikan yang baik maka akan semakin banyak jumlah anak bangsa yang berkualitas di bawah yang dipersyaratkan dan semakin besar pula kerugian yang dialami oleh bangsa ini.

Kerugian bangsa merupakan keadaan yang sangat ditakuti oleh banyak bangsa di dunia ini. Cina dan Malaysia segera menyadari kesalahan mereka sehingga kedua bangsa itu menghapuskan UN sebagai persyaratan kelulusan pada tahu 1996 dan 1997. Inggeris, Belanda, Jerman, Amerika Serikat, Australia, Turki, Finlandia, dan banyak negara-negara lainnya berupaya keras untuk menjadi pengembang potensi anak bangsanya dan memantapkan perannya sebagai penjamin kualitas pendidikan bangsa. Singapura yang memiliki program wajib belajar 6 tahun menetapkan UN sebagai suatu pilihan tidak wajib dan hasilnya digunakan untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan menengah (placement) tetapi dengan suatu kompensasi kebijakan yaitu menjamin setiap anak akan mendapatkan tempat untuk belajar di jenjang pendidikan menengah. Pemerintah Singapura memberikan kesempatan yang sangat luas bagi setiap warganya untuk mengembangkan potensi mereka bahkan dengan kebijakan mengembangkan program pendidikan sekolah menengah yang 2 tahun untuk mereka yang cepat, 3 tahun untu mereka yang biasa, dan 4 tahun untuk mereka yang memiliki kemampuan belajar lamban. Hasil ujian digunakan sebagai dasar dalam menentukan kecepatan belajar peserta didik (placement) dan bukan sebagai penentu kelulusan (Rotberg, 2006)

Teori tentang potensi anak bangsa dan kehawatiran mengenai kerugian bangsa itu yang mendasari rumusan pengertian pendidikan dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bab I Pasal 1 ayat (1), Pasal 3 secara tegas menyatakan bahwa pendidikan adalah untuk mengembangkan proses pembelajaran yang mampu mengembangkan potensi peserta didik. Arah pengembangan potensi  dan kualitas yang diharapkan terumuskan dengan jelas pada Pasal 3 tentang tujuan pendidikan yaitu “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Oleh karena itu maka hak setiap warganegara untuk memiliki kualitas yang dinyatakan dalam tujuan tersebut dinyatakan secara tegas pula pada Pasal 12 ayat (1) b yaitu “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya”.

Teori tentang potensi peserta didik yang dianut UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas memberikan jaminan kepda peserta didik bahwa mereka diperlakukan secara adil berdasarkan kemampuan mereka. Teori ini pula yang memberikan dasar kepada Pemeritah untuk memberikan tes nasional untuk melihat pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional dan Standar Kompetensi Lulusan, bukan untuk menentukan kelulusan. Tes nasional yang dikembangkan Pemerintah meliputi beragam aspek dan menjadi nilai yang diperoleh peserta didik menjadi masukan untuk memperbaiki kemampuannya. Tes menjadi alat membantu peserta didik memperoleh informasi mengenai derajat kemampuannya dan bukan alat seleksi penentuan kelulusan.

HASIL BELAJAR DAN TES

Hasil Belajar adalah kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik setelah mengalami proses pembelajaran. Hasil belajar itu berupa pengetahuan, sikap, kemampuan (skills), nilai, moral,rasa ingin tahu, kebiasaan (termasuk kebiasaan membaca). Pada gilirannya aspek-aspek hasil belajar itu  membentuk wawasan serta kepribadian. Pengetahuan merupakan hasil belajar yang paling mudah diperoleh tetapi paling mudah juga hilang. Pengetahuan yang sudah dimiliki disimpan dalam memori dan dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan terkait dengan pengetahuan itu apabila sering digunakan. Pengetahuan itu menjadi pengetahuan siap. Apabila tidak digunakan dalam waktu yang lama maka pengetahuan itu sukar untuk dipanggil (recall) dan hilang dalam memori.  Ketika peserta didik harus menjawab soal-soal UN mereka yang mampu memanggil pengetahuan itu yang dapat menjawab dengan baik dan strategi untuk memanggil itu dapat dikembangkan melalui pelatihan bukan pendidikan. Oleh karena itu pengetahuan yang digunakan untuk menjawab UN adalah pengetahuan siap dan itu bukan menggambarkan kualitas hasil belajar peserta didik. Kenaikan skor dalam pencapaian UN dari tahun ke tahun hanya memberikan gambaran tentang pengetahuan siap peserta didik yang berkembang bukan kemampuan hasil belajar sesungguhnya.

Sikap, kemampuan  dan nilai adalah hasil belajar yang sulit dikembangkan, memerlukan waktu lama, dilakukan melalui berbagai mata pelajaran dan proses pembelajaran. Oleh karena itu sikap, kemampuan tidak mungkin dimiliki hanya dalam satu atau dua pertemuan. Pengembangan hasil belajar ini harus dirancang untuk waktu 3 tahun, 6 tahun dan 9 tahun. UN dalam bentuk pencil and paper test tidak mungkin mampu memberikan inormasi tentang pencapaian hasil belajar sikap, kemampuan, nilai, dan moral. UN hanya mampu memberikan informasi tentang pengetahuan. Kemampuan paling tinggi yang bisa diuji dengan pencil and paper adalah kemampuan menerapkan dan analisis. Kemampuan sinthesis dan evaluasi dalam ranah kognitif memerlukan kajian yang mendalam terhadap berbagai sumber, waktu yang lebih panjang dari waktu yang diberikan UN. Seseorang hanya dapat belajar sepanjang hayat apabila memiliki rasa ingin tahu dan kemampuan belajar serta kebiasaan membaca. Tes yan dikembangkan untuk UN tidak memiliki kemampuan menjaring informasi itu.

 

UJIAN NEGARA DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN BANGSA DI MASA MENDATANG

Posisi alternatif yang dapat digunakan untuk UN di masa datang adalah sebagai berikut:

  1. UASBN tidak diberlakukan bagi peserta didik SD.
  2. Untuk masa transisi, paling lama 5 tahun, UN diikuti oleh peserta didik dan nilai UN  digunakan sebagai salah satu komponen skor untuk mendapatkan nilai akhir penentuan kelulusan. Skor UN tersebut digabungkan dengan skor yang diperoleh peserta didik selama 3 di SMP/M.Ts atau di SMA/MA/SMK/MAK
  3. UN perlu berubah fungsinya sebagai instrument untuk penilaian terhadap kualitas suatu lembaga pendidikan dalam memberikan layanan pendidikan bermutu. Dalam fungsi ini UN dapat diberikan pada setiap jenjang pendidikan dan satuan pendidikan di seluruh Indonesia. Pelaksanaan UN dapat dilakukan dalam waktu-waktu yang berbeda untuk berbagai wilayah Indonesia. Hasil UN digunakan untuk pemetaan kualitas pendidikan Indonesia dan dasar bagi pembinaan satuan pendidikan untuk mengembangkan pendidikan bermutu.
  4. UN diubah fungsinya menjadi sesuatu yang wajib ditempuh peserta didik SMP/M.Ts yang mau melanjutkan studi ke SMA/MA/SMK/MK. Mereka yang tidak melanjutkan studi ke SMA/MA/SMK/MAK tidak perlu mengikuti UN tetapi mereka harus lulus dari SMP/M.Ts berdasarkan ujian sekolah dan prestasi di sekolah sebagaimana ditetapkan dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
  5. Peserta didik SMA/MA/SMK/MAK mengikuti UN untuk memasuki perguruan tinggi. Untuk itu UN harus diatur bersama dengan perguruan tinggi dan mata ujian dalam UN disesuaikan dengan persyaratan yang ditentukan perguruan tinggi (perlu ada kesepakatan nasional mengenai persyaratan ini). Pelaksana UN bagi peserta didik SMA/MA/SMK/MAK memberikan sertifikasi yang mencantumkan skor seorang peserta didik dalam mata ujian yang ditempuhnya dan ketentuan penerimaan di suatu perguruan tinggi sepenuhnya ditentukan oleh perguruan tinggi tersebut. Kebijakan mengenai ini diharapkan akan menjadi cikal bakal bagi adanya sertifikasi pendidikan menengah Indonesia yang ke depan dirancang mendapat pengakuan sama dengan sertifikasi yang dikeluarkan Malaysia, Singapura, atau pun Cambridge University Local Examination Syndicate. Konsekuensi dari kebijakan ini sudah harus terealisasi segera dalam menghadapi APEC agar tamatan dari pendidikan di Indonesia mampu bersaing dengan tamatan dari luar baik di Indonesia mau pun di luar Indonesia. Konsekuensi lain dari kebijakan ini adalah perubahan kurikulum SMA/MA/MK/MAK yang lebih relevan dengan tujuan pendidikan di jenjang pendidikan ini.

DAFTAR BACAAN

Belfield, C.R dan Levin, H.M. (eds.)(2007). The Price We Pay: Economic and Social Consequences of Inadequate Education. Washington, DC: Brooking Institurion Press

Kementrian Pendidikan Nasionl (2010). Kebijakan Peningkatan Kualitas Penyelenggaraan Ujian Nasional, Untuk Menentukan Kelulusan Siswa dan Pemetaan Mutu Pendidikan Di Indonesia Yang Berbasiskan Iptek, Dalam Rangka Memantapkan Daya Saing di kawasan Regional dan Global. Disajikan dalam “Rountable Discussion” yang diselenggarakan oleh Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANAS), Jakarta 18 Februari 2010

Mahyuddin Ns (2010). Kebijakan Peningkatan Kualitas Penyelenggaraan Ujian Nasional, Untuk Menentukan Kelulusan Siswa Dan Pemetaan Mutu Pendidikan Di Indonesia Yang Berbasiskan Iptek, Dalam Rangka Memantapkan Daya Saing Dikawasan Regional Dan Global. Makalah Disajikan Dalam “Rountable Discussion” Yang Diselenggarakan Oleh Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Jakarta 18 Februari 2010

O’Donnell, S. et al. (2009). INCA Comparative Tables: International Review of Curriculum and Assessment Frameworks Internet Archieve. London: Qualifications and Curriculum Development Agency.

Rotberg, I.C. (2006). Assessment Around the World. Educational Leadership. November 2006, 64, 3

Soedijarto (2010). Ujian Nasional (Un) Pada Hakekatnya Tidak Sesuai Dengan Hakekat, Tujuan, dan Prinsip Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional Yang Dirancang Untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Memajukan Peradaban Bangsa. Makalah disajikan dalam “Rountable Discussion” yang diselenggarakan oleh Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANAS), Jakarta 18 Februari 2010

Wei, R.C., A. Andree, dan L. Darling-Hammond (2009). How Nations Invest in Teachers (High-Achieving Nations Treat Their Teacher as Professionals). Educational Leadership, February 2009, 66,5: 28-33

 

Dokumen:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *