TRANSDISCIPLINARITY DALAM PENDIDIKAN DENGAN REFERENSI KHUSUS  PADA KURIKULUM[1]

HAMID HASAN[2]

(UPI)

[1] Disajikan pada Seminar Mengenai Transdisciplinarity di UNJ pada tanggal 29-10-2007

[1] Guru Besar Pendidikan Sejarah, UPI

 

PENDAHULUAN

Makalah Prof. Dr. Conny R. Samiawan yang berjuudul  Creative Transdisciplinarity: A new Approach in Science dengan anak judul Its Impact on Education adalah makalah yang padat dengan pandangan dasar mengenai pendidikan transdisiplin. Bagi pembaca yang baru pertama kali berkenalan dengan gerakan transdisiplin dan pendidikan transdisiplin, makalah tersebut sangat bermanfaat. Lingkup pembahasan yang dimulai dari munculnya gerakan tersebut sampai kepada dampaknya pada dunia pendidikan disajikan secara mendasar. Dampak dalam teori tentang otak kanan dan otak kiri yang menjadikan Prof Conny sebagai proponent teori ini di Indonesia mendapat singgungan yang berarti ditinjau dari sudut pandang transdisiplin. Demikian pula halnya dengan pengembangan kemampuan berfikir kreatif dan berfikir kritis, dan “active interplay” yang melewati batas-batas disiplin ilmu sebagai karakteristik pendidikan transdisiplin digambarkan secara eksplisit.

Makalah ini tidak akan membahas dan membanding makalah yang dikemukakan Prof Conny R Samiawan. Makalah ini menjadikan makalah Prof Conny R Samiawan sebagai pemicu dalam mengkonseptualisasikan pendidikan transdisiplin. Oleh karena itu sistematika yang hamper serupa digunakan dalam makalah ini yaitu mengemukakan mengenai kelahiran gerakan transdisiplin, transdisiplin dalam pendidikan, dan pengembangan pendidikan transdisiplin dalam kurikulum. Mudah-mudahan makalah ini bernilai sebagai suatu pelengkap bagi makalah Prof Conny R. Samiawan.

 

GERAKAN TRANSDISIPLIN

Gerakan pendidikan transdisciplinary secara resmi dicanangkan melalui deklarasi pada tahun 1994 pada waktu diselenggarakan kongres pertama transdisciplinary di Convento da Arrabida, Portugal. Charter yang ditulis dalam 8 bahasa ini (Inggeris, Perancis, Portugis, Spanyol, Romania, Italia, Arab, dan Turki) berisikan preamble, 14 article dan satu article final ini menjadi “fundamental principles” landasan bagi pengembangan visi, ruang lingkup, penelitian, pendidikan, moral dan cara kerja masyarakat transdisciplinary. Preamble berisikan 6 pernyataan mengenai dunia ilmu pengetahuan, kehidupan masyarakat dunia, perkembangan teknologi yang melahirkan ketimpangan-ketimpangan dan ketidakmampuan menyelesaikan berbagai masalah  kemanusiaan.

Keempatbelas article yang dirumuskan dalam charter transdisciplinary antara lain berkenaan dengan permasalahan realitas, posisi transdisciplinary terhadap disiplin ilmu yang ada, objektivitas dan definisi keilmuan,  filsafat, agama dan miitos, kebudayaan, pendidikan, ekonomi, etika, dan toleransi keilmuan.  Mengenai realita, transdisciplinary mengakui realita di berbagai jenjang dan dimensi sesuai dengan keragaman logika yang ada, tidak mengambil posisi bahwa realita yang ada hanya satu dan selalu harus bersifat universal. Dalam sifatnya yang “complementary” terhadap disiplin yang ada maka transdisciplinary “a new vision of nature and reality” (article 3). Dalam objektivitas dan definisi, trandsciplinary menyatakan bahwa “an excess of formalism, rigidity of definitions and claim to total objectivity, entailing the exclusion of the subject, can only have a life-negating effect” (article 4). Posisi transdisciplinary tidak hanya terbatas pada “exact science” tetapi “resolutely open” menjangkau bidang humanioran, ilmu-ilmu social, seni, sastra, dan bahkan dunia spiritual (article 5). Dibandingkan dengan pendekatan interdisiplin dan multidisplin maka transdisciplin bersifat “multireferential and multidimensional” (article 6).

Berkenaan dengan pendidikan, transdisiplin maka charter merumuskan pasal tentang pendidikan sebagai berikut (article 11).

Authentic education cannot value abstraction over other forms of knowledge. It must teach contextual, concrete and global approach. Transdisciplinary education revalues the role of intuition, imagination, sensibility and the body in the transmission of knowledge.

Artcile 11 tersebut terkait dengan article tentang budaya yang dirumuskan sebagai “transcultural” (article 10) dan article berkenaan dengan posisi transdisciplinary terhadap disiplin, agama, filosofi, dan kebangsaan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa transdisiplin sangat memperhatikan dan peduli pada masalah manusia dan kemanusiaan, serta kesejahteraan manusia. Oleh karena itu agama  dan mitos sebagai bagian dari kehidupan manusia dan kemanusiaan tidaklah menjadi sesuatu yang tertutup untuk trandisiplin.  Dalam posisinya sebagai upaya untuk mensejahterakan kehidupan manusia dan kemanusiaan maka pendidikan pun tidak boleh melepaskan diri dari pengembangan yang mungkin dilihat dari disiplin ilmu bukan sesuatu yang menjadi kepedulian ilmu.

Berikut adalah beberapa pengertian mengenai transdisiplin yang dikemukakan para akhli sesuai dengan bidang minat dan bidang kerja mereka.

Transdisciplinary is more fundamentally participative than multidisciplinary (where the agenda for problem definition and the management of cooperation still resides with a disciplinary instigator). The transdisciplinary approach implies cooperation from beginning to end; cooperation at the problem or issue interpretation stage through to the cooperative implementation of results (Gill, 2007)

The transdisciplinary approach is a framework for allowing members of an educational team to contribute knowledge and skills, collaborate with other members, and collectively determine the service that  most benefit a child (North Central Educational Laboratory, 2007)

At its core, transdisciplinary science (TDS) involves the integration of theoretical and methodological perspectives drawn from different disciplines, for the purpose of generating novel conceptual and empirical analyses of a particular research topic (Stokols, dkk. 2003: S21).

Transdisciplinary curriculum: there is a real-life context. An institutional unit puts the focus on the issue and assumes that the embedded disciplines will come into play as needed  or desired throughout the unit.

 

TRANSDISIPLIN DAN PENDIDIKAN

Dalam pandangan transdisiplin, pendidikan haruslah menyangkut pengembangan potensi manusia dan kemanusiaan seorang peserta didik. Seorang peserta didik harus mengembangkan kehidupan pribadinya yang menyangkut berbagai aspek kepribadian berkenaan dengan kehidupan sosial, budaya, agama, seni, ekonomi, ilmu dan teknologi sebagai seorang manusia. Pendidikan harus juga mengembangkan potensi kemanusiaan seorang peserta didik seperti kepeduliaan terhadap lingkungan, masyarakat, bangsa, negara, ummat manusia yang dapat menjadikan dirinya sebagai agen bagai kesejahteraan kehidupan masyarakat dan menggunakan disiplin dan transdisiplin sebagai alat bagi kesejahteraan kehidupan kemanusiaan. Pendidikan juga memiliki peran penting untuk mencegah hal-hal yang dinyatakan dalam preambul charter transdisiplin sebagai ancaman terhadap kehidupan manusia seperti “life on earth is seriously threatened by the triumph of a techno-science that obeys only the terrible logic of productivity for productivity’s sake”, “the present rupture between increasingly quantitative knowledge and increasingly impoverished inner identity is leading to the rise of a new brand of obscurantism with incalculable social and personal consequences”, dan “an historically unprecedented growth of knowledge is nincreasing inquality between those who have and those who have not, thus engendering increasing inequality within and between the different nations of our planet”. Ini memang harus diakui bukan tugas mudah tetapi pendidikan tidak dapat menghindar dari “pivotal position” yang dimilikinya dalam mewujudkan kesejahteraan manusia dan kemanusiaan sehingga produktivitas bukan hanya untuk produktivitas tapi untuk kesejahteraan manusia, perkembangan ilmu bukan hanya untuk ilmu tapi ditujukan untuk meningkatkan identitas manusia dan kemanusiaan, serta keseimbangan kehidupan manusia dan kemanusiaan ummat manusia di seluruh planet.

Pendidikan transdisiplin tetap berazaskan pada pendidikan disiplin ilmu tetapi tidak dalam pengertian pendidikan disiplin ilmu yang tradisional. Pendidikan transdisiplin memiliki pandangan bahwa kepentingan ummat manusia adalah kepentingan utama dan bukan kepentingan disiplin ilmu; disiplin ilmu tidak boleh menjadi pembatas kotak cara berfikir, bersikap, dan bertindak seseorang;  disiplin ilmu yang diajarkan harus bersifat terbuka dan kebenaran yang diajarkan selalu bersifat “developing”.  Lebih lanjut, sebagaimana dikatakan oleh Seaton (2002:1)  “education must extend its traditional goal of students mastery of subject-centred scholastic knowledge, to include the development of individuals who can prosper in complex and changing social, cultural and economic worlds”.  Penekanan pada aspek manusia ini bukan sesuatu yang baru dalam pendidikan tetapi dominasi penguasaan “scholastic knowledge” mendominasi kepeduliaan pada unsure manusia tersebut.

Secara filosofis, pendidikan memang harus meninggalkan essensialisme yang hanya mengarahkan pendidikan kepada pengembangan kemampuan intelektual berdasarkan cara berfikir suatu disiplin ilmu. Esensialisme yang juga menghendaki agar suatu disiplin ilmu diajarkan sebagai suatu “entity” sudah tidak mungkin dipertahankan. “cultivation of intellect” dan “academic excellence” (Tanner dan Tanner, 1980) sebagai tujuan pendidikan bukan tidak penting tetapi sudah tidak sesuai dengan prinsip pendidikan transdisiplin.  Pandangan filosofi perenialisme yang memiliki tujuan pendidikan yang sama dengan esensialisme tapi memperkenankan adanya integrasi dan gabungan berbagai disiplin ilmu sudah perlu dipertimbangkan lagi karena transdisiplin melampaui batas-batas yang diperkenankan dalam perenialisme. Kualitas intelektual yang diharapkan oleh transdisiplin adalah kualitas kecerdasan intelektual yang dapat memecahkan berbagai masalah social, sebagaimana yang diakemukakan oleh rekonstruksi sosial (Seaton, 2002). Integrated learning dapat dianggap sebagai dasar awal untuk pendidikan transdisiplin sebagaimana dikemukakan dalam makalah Prof. Conny R. Samiawan (2007:5) adalah benar tetapi antara keduanya terdapat perbedaan yang mendasar. Holistic Education Network of Tasmania (2007:1) menyatakan “transdisciplinary approaches involve multiple disciplines and the space between the disciplines with the possibility of new perspective “beyond” those disciplines”.  Adanya “space between the disciplines” dan “possibility of new perspective beyond those disciplines” adalah karakteristik transdisiplin yang tidak dimiliki “integrated approach”.

Secara filosofis pendidikan harus menggunakan pendekatan eklektik karena sebagaimana dinyatakan dalam charter pendekatan transdisiplin bukanlah suatu filosofi baru. Dalam pendekatan eklektik maka filosofi esensialisme, perenialisme, progresif, dan rekonstruksi sosial diramu berdasarkan kepentingan pendidikan transdisiplin. Filosofi eklektik ini memandang pendidikan disiplin ilmu haruslah dipandang sebagai instrument pendidikan untuk mengembangkan kualitas manusia yang diinginkan yaitu manusia cerdas yang memiliki kepedulian terhadap persoalan di masyarakat dan memiliki kemampuan berkontribusi membantu memecahkan persoalan tersebut. Dengan pandangan yang demikian maka pendidikan tidak lagi memisahkan diri dari masyarakat tetapi berkembang dan berinteraksi dengan masyarakat.

Orientasi pendidikan terhadap masyarakat tidak boleh bersifat parsial. Kebijakan pendidikan di Indonesia harus mulai mengkaji kembali pandangan Ki Hajar Dewantara yang secara tegas menyatakan bahwa pendidikan berakar pada kebudayaan dan agama (Dewantara, 1946). Pendidikan tidak boleh menjadikan peserta didik menjadi orang asing di lingkungan budaya, sosial, ekonomi, seni, alam dan teknologi yang ada di sekitarnya. Alam sekitar dan masyarakat sekitar bukan saja menjadi fokus kajian pendidikan tetapi juga menjadi sumber informasi bagi proses pendidikan. Perbedaan jenjang pendidikan (pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi) diperhitungkan untuk menentukan tingkat kompleksitas masalah, tingkat kesulitan cara penyelesaian masalah, dan luasnya horizon masalah.

Suatu kenyataan yang ada dalam dunia pendidikan Indonesia bahwa secara parsial telah memasukkan berbagai unsur dalam pendidikan transdisiplin. Adanya kebijakan mengenai kurikulum muatan lokal, kebijakan mengenai KTSP dapat dikatakan sebagai sesuatu yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan kebijakan pendidikan transdisiplin di Indonesia. Kebijakan tersebut bersifat atomistic dan perlu dikemas dalam suatu kebijakan pendidikan transdisiplin yang lebih holistic. Berbagai kebijakan yang dapat menjadi penghambat kebijakan pendidikan transdisiplin seperti kebijakan Ujian Negara (UN), system penerimaan siswa dan mahasiswa perlu ditinjau kembali. Biaya besar yang telah dikeluarkan bangsa untuk mendanai kegiatan tersebut dapat dialihkan untuk meningkatkan pelayanan pendidikan bermutu menurut kaedah pendidikan transdisiplin.

 

TRANSDISIPLIN DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM DI INDONESIA

Kurikulum adalah suatu ”construct” (Davies, 2005; Oliva, 1992). Lebih lanjut Oliva (1992) mengatakan “ curriculum is a product of its time. . . curriculum responds to and is changed by social forces, philosophical positions, psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in history. Apa yang dikemukakan Davies dan Oliva mengandung makna bahwa proses pengembangan kurikulum tidak hanya menyangkut masalah teknis tetapi juga berkenaan dengan kebijakan. Kurikulum adalah jawaban para pengambil keputusan terhadap masalah yang ada di masyarakat, dan jawaban terhadap tuntutan masyarakat dan bangsa untuk mengembangkan kemampuan yang diperlukan bagi kehidupan masa depan. Artinya, kurikulum sebenarnya adalah suatu konstrak yang merupakan hipotesis kerja para pengambil keputusan di bidang untuk pembangunan kehidupan bangsa di masa mendatang (9 – 15 tahun mendatang).

Kurikulum transdisiplin yang dikembangkan oleh Departemen Pendidikan Tasmania menggunakan prinsip-prinsip berikut ini sebagai landasan kurikulum:

The Essential Learning promotes an approach which enables students to achieve deep understanding through  transdisciplinary inquiries. Transdisciplinary investigations involves students in using more than one disciplines in solving significant real world  questions or problems. (Tasmanian Department of Education, 2007)

Dalam prinsip tersebut maka pengembangan pemahaman mengenai kehidupan adalah yang dipersyaratkan oleh transdisiplin. Oleh karena itu pokok bahasan dalam kurikulum yang dikehendaki oleh pendidikan transdisiplin yaitu masalah nyata yang dihadapi dunia, bukan masalah yang dikembangkan dari disiplin ilmu dan hanya dikenal oleh disiplin ilmu itu.

International Baccalaureate Organization  (2005) mengembangkan model kurikulum pendidikan dasar transdisiplin didasarkan pada filosofis yang “committed to structured, purposeful inquiry as the leading vehicle for learning”. Atas dasar filosofi itu maka dihasilkan enam tema transdisiplin yang dianggap signifikan secara global. Keenam tema tersebut adalah:

  • Who we are
  • Where we are in place and time
  • How we express ourselves
  • How the world works
  • How we organize ourselves
  • Sharing the planet

Keenam tema manusia di atas adalah sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan kemanusiaan. Keenam tema itu menjadi dasar bagi pengembangan pokok bahasan dalam kurikulum. Keenam tema tersebut dirajut dengan enam bidang studi yaitu bahasa, IPS, matematik, seni, IPA dan teknologi, dan pendidikan pribadi, sosial, dan olahraga.  Prinsip pendidikan yang dimulai dari lingkungan terdekat sampai ke lingkungan terjauh dapat diorganisasikan dalam enam pertanyaan tematik tersebut.

Proses pembelajaran dikembangkan dalam lima langkah yaitu:

  • Gain knowledge that is relevant and of global significance
  • Develop an understanding of the concept, which allows them to make connections throughout learning
  • Acquire transdisciplinary and disciplinary skills
  • Develop attitudes that will lead to international-mindedness
  • Take action as a consequence of their learning

Sesuai dengan prinsip pendidikan transdisiplin maka keenam akan dapat dikembangkan dalam kelima proses pembelajaran yang dikemukakan. Proses pembelajaran ini menggabungkan kemampuan kognitif sampai kepada tingkat tinggi dengan sikap yang menyuburkan kepedulian peserta didik terhadap manusia dan kemanusiaan. Proses pembelajaran yang dikembangkan di sini melibatkan aktiivitas belajar peserta didik kepada apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Aktivitas belajar peserta didik menyebabkan sekolah tidak terasing dari kenyataan kehidupan keseharian masyarakat, bangsa, dan ummat manusia.

Prinsip-prinsip yang sama dengan yang dikembangkan International Baccalaureate Organization juga digunakan Davies (2005) dalam mengembangkan kurikulum transdisiplin, yaitu:

  • transdisciplinary learning focuses on working in and across subject areas in order to open newer learning
  • transdisciplinary learning is different from traditionally themed or integrated units is that students not only have an opportunity to work in depths, through a range of disciplines, but also recognise, through practice and reflection, the innate values and challenges in applying a range of disciplines to a topic
  • disciplines are no longer Gods that we bow down to, blocks that we define where we are and what to do. They are opportunities to explore different ways of thinking and in turn explore our thinking
  • transdisciplinary learning model much of the way we learn in the real world-facing real problems, seeking solutions, and crossing boundaries to find answers.
  • Transdisciplinary learning enables students to explore discipline areas through the motivation of deeply exploring an issue or topic

Apa yang telah dikembangkan oleh International Baccalaureate Organization  dan Davies telah pula dikemukakan Seaton (2002) sebelumnya. Seaton (2002:1) mengemukakan prinsip pengembangan kurikulum transdisiplin menyangkut hal-hal sebagai berikut:

  • Emphasis on exit outcomes (prospering in the real world)
  • Active learning for intellectual quality (constructivism)
  • Personal responsibility for own learning and behaviour (genuine engagement)
  • Individual meaning and relevance (not one-size-fits all)
  • Real-life purposes, roles and contexts (integrated curriculum)
  • Links with community for mutual capacity building (productive partnership in a learning community)
  • Extension of pedagogical repertoires (teachers moving from ‘sage on the stage’ to ‘guide on the side’).

Untuk itu maka Seaton (2002: 3) mengembangkan kurikulum yang memiliki enam ”transformational or exit outcomes yaitu yang dinamakannya ”six Key Abilities” terdiri dari multiliteracies; problem solving; creativity; community participation; self management; dan pengetahuan tentang diri, orang lain dan masyarakat.

Untuk kurikulum jenjang graduate maka Derry dan Fischer (2005) mengemukakan empat pertanyaan pokok dengan apa yang sudah dikemukakan Seaton mau pun Davies di atas. Keempat pertanyaan pokok yang menjadi “guides” dalam pengembangan kurikulum tingkat sarjana yang dikemukakan Derry dan Fischer pertanyaan dasar dalam pengembangan kurikulum Science, Technology, Engineering, and mathematics (STEM), yaitu:

  • What should students learn?
  • How should students learn?
  • How should we design new sociotechnical environment for advanced learning?
  • What are the fundamental roles for communities in graduate education?

Dalam kurikulum yang mereka kembangkan, menyangkuta tidak hanya mata kuliah yang dinamakan STEM tersebut tetapi juga berkenaan dengan aspek humaniora dan ilmu sosial. Keempat pertanyaan tersebut mereka gunakan sebagai prinsip-prinsip kurikulum transdisiplin dalam mengembangkan kurikulum pascasarjana.

 

PENGEMBANGAN KURIKULUM TRANSDISIPLIN DI INDONESIA

Bagaimana dengan pengembangan kurikulum di Indonesia? Secara teknis, keseluruhan proses pengembangan kurikulum (curriculum development) terdiri atas tiga kegiatan utama yaitu pengembangan dokumen kurikulum (curriculum construction), implementasi kurikulum (curriculum implementation), dan evaluasi kurikulum (curriculum evaluation). Sebelum adanya kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), keseluruhan proses pengembangan dokumen kurikulum menjadi tanggungjawab pemerintah pusat. Dengan adanya kebijakan KTSP maka proses pengembangan dokumen kurikulum terbagi atas tanggungjawab pemerintah pusat dan satuan pendidikan. Pemerintah Pusat bertanggungjawab dalam pengembangan Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) sedangkan satuan pendidikan bertanggungjawab mengembangkan SI dan SKL menjadi dokumen kurikulum untuk satuan pendidikan yang bersangkutan. Sebagaimana sebelumnya, tanggungjawab implementasi kurikulum secara teknis berada di bawah tanggungjawab satuan pendidikan.

Dari gambar di atas maka jelaslah bahwa persoalan yang ada di masyarakat pada masa kini dan yang dapat diproyeksikan haruslah menjadi titik awal dalam pengembangan kurikulum transdisiplin. Dalam konteks kehidupan kebangsaan Indonesia masa kini maka bahaya retaknya rasa kebangsaan, kemiskinan, ketidakpatuhan pada aturan, mental menerabas, kerja keras, kreativitas, kemampuan berfikir kritis, toleransi terhadap perbedaan, sikap dan tindakan demokratis, kepedulian sosial, kemampuan aplikasi, sikap produktivitas, ketinggalan dalam teknologi dan ilmu, penghargaan terhadap prestasi adalah masalah sosial-bangsa yang cukup kritis. Masalah-masalah ini adalah masalah nasional dan seharusnya dikembangkan sebagai masalah kurikulum. Untuk itu maka rumusan masalah tersebut serta cara penyelesaiannya ditetapkan dalam Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan.

Sayangnya, kajian terhadap Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) memperlihatkan bahwa baik standar kompetensi dan kompetensi dasar yang tercantum pada Standar Isi dikembangkan dari masing-masing disiplin ilmu dan bukan dari yang ada di masyarakat. Demikian pula kemampuan  yang terumuskan pada SKL adalah kemampuan yang dipersyaratkan dan dikehendaki oleh suatu disiplin ilmu. Kemampuan yang bersifat transdisiplin ilmu sebagaimana telah dikemukakan di atas belum menunjukkan dirinya.

Kenyataan semacam itu sangat tidak dikehendaki oleh pendidikan transdisiplin. Satuan pendidikan tentu akan mengalami kesulitan untuk mengembangkan KTSP pendidikan transdisiplin karena kurikulum nasional  tidak didasarkan pada visi pendidikan transdisiplin. Penerapan visi pendidikan transdisiplin menghendaki adanya perubahan dalam Standar Isi (terutama mengenai Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, dan Pokok Bahasan), dan perubahan pada SKL.

Posisi SKL tidak hanya berdampak pada pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dan pokok bahasan yang terdapat pada Standar Isi. SKL juga berpengaruh kepada Ujian Nasional. Ujian Nasional yang dikembangkan dari visi pendidikan transdisiplin menghendaki  butir soal, cara menjawab,  cara scoring dan pemberian pertimbangan yang berbeda dari Ujian Nasional yang berlaku pada saat kini. Oleh karena itu keberadaan UN dengan tujuan seebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan menteri Diknas sekarang ini sangat tidak mendukung bahkan bertentangan dengan pandangan pendidikan transdisiplin.

Pengembangan komponen proses kurikulum harus mendapatkan perhatian serius. Dalam model yang dikembangkan di Indonesia maka pengembangan komponen proses dalam dokumen kurikulum adalah tanggungjawab sekolah. Sekolah harus memperhatikan prinsip kurikulum transdisiplin dimana dalam proses aktivitas belajar peserta didik sudah harus sampai kepada penerapan apa yang dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajaran yang demikian sebenarnya sangat sesuai dengan kurikulum berbasis kompetensi hanya sayangnya dalam pengembangan yang terjadi di Indonesia proses pembelajaran masih belum menyentuh karakteristik tersebut. Oleh karena itu kurikulum belum memberikan pengalaman belajar yang sesuai dengan apa yang dipersyaratkan oleh kurikulum berbasis kompetensi dan transdisiplin. Masyarakat belum menjadi sumber, tempat peserta didik bekerja dan menerapkan apa yang diketahuinya.

 

DAFTAR BACAAN

Davies, D. (2005). Curriculum Is a Construct.  Avalaible at  http://www.knowdrama.com /articles/curriculum.html

Gill, R. (2007) Transdisciplinary Journeys. Available at http://web.mac.com/rederic.gill/iWeb/Transdisciplinary%20Journey/Conversation%20%

Hasan, S.H. (2006). Landasan dan Proses Pengembangan Kurikulum di Indonesia. Makalah dibahas dalam Seminar Dies Natalis Universitas Negeri Semarang

Hasan, S.H. (2007). Pengembangan dan Implementasi KTSP: Konsep dan Substansi. Makalah dalam Seminar Program Studi Pengembangan Kurikulum, Pasca Sarjana UPI.

International Baccalaurette Organization (2005). Primary Years Programme: Curriculum Framework. Available at http://www.ibo.org/pyp/curriculum/

International Center for Transdisciplinary Research (2002). Charter of Transdisciplinarity. Available at http://nicol.club.fr/ciret/english/charten.htm

Nevo, Y. (2002). Constructive-Based Transdisciplinary Curriculum Planning in Relation to Development of Learning Process and Thinking Habits of Teachers and Students in an Elementary School. Available at http://www.tau.ac.il//toar3/ archive/etakzir2002-6.htm

North Central Educational Laboratory (2007). Transdisciplinary Approach. Available at

http://www.ncrel.org/sdrs/areas/issues/students/earlycld/ea41k28.htm

Seaton, A. (2002). Reforming the Hidden Curriculum: the Key Abilities Model and Four Curriculum Forms. Curriculum Perspectives, 22, 1: 9 – 15

Stokols, D. dkk. (2003). Evaluating transdisciplinary science. Nicotine and Tobacco Research, vol. 5. Supplement 1: S21 – S39.

Tanner, D dan Tanner, L.N. (1980). Curriculum Development: Theory into Practice. New York: Macmillan Publishing Co, Inc.

Tasmanian Department of Education (2007). Planning: Transdisciplinary Learning. Available at http://www.1tag.education.tas.gov.au/planning/learnteachassess/ transdisc.htm

Wikipedia (2007). Transdisciplinarity. Available at

http://en.wikipedia.org/wiki/Transdisciplinariy

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *