The Professor of Parody (The hip defeatism of Judith Butler)

The Professor of Parody (The hip defeatism of Judith Butler)

Wildan Insan Fauzi

 

Inti Pemikiran

Butler adalah seorang pemikir feminism yang menekankan konstruksi budaya dalam gender (Burke, 2015, hlm. 75). Butler (1990) pernah menyebutkan bahwa tubuh hanya hidup dalam batasan-batasan produktif dari skema regulasi tertentu; sangat digenderkan dan maskulin. Butler berpendapat bukan perkara mudah untuk menentang kekuatan performativitas yang sangat maskulin, bahwa laki-laki harus tampil gagah dan tidak boleh berpola tingkah seperti perempuan dan lain sebagainya. Gender yang dipahami masyarakat didasari dan dibatasi pada pemahaman mengenai seks/jenis kelamin biologis (Butler, 1990).

Kritikan Nussbaum pada Judith Butler didasarkan “cara berpikir” feminisme yang dibangun Butler tidak mendorong wanita untuk melepaskan diri dari masalah dunia nyata – seperti gaji yang lebih rendah atau pelecehan seksual – dan lebih berfokus ke pengembangan intelektual dan teori abstrak. Nussbaum memahaminya sebagai reaksi terhadap kesulitan mewujudkan keadilan di Amerika namun feminisme harunya menuntut lebih banyak dan wanita pantas mendapatkan yang lebih baik (Nussbaum, 1999).

Hal tersebut menurut Nussbaum melepaskan arah kajian dari perjuangan melawan ketidakadilan demi kepentingan merupakan tindakan buruk, sebuah “subversi” yang seksi dan memukau bahkan disebut berkolaborasi dengan kejahatan. ” (Boynton, 1999). Konsep Politik sebagai sebuah Parodi menunjukan Butler menolak menggunakan teorinya untuk membantu berperang demi kebebasan, keadilan dan persamaan dan hal tersebut menempatkan intelektual pada kelas elit tertentu. Hal tersebut menurut Nussbaum sangat berbahaya karena jika semua orang luar biasa ini keluar dari politik, maka akan ada lebih sedikit orang yang tersisa untuk melawan kejahatan (Boynton, 1999).

Inilah yang oleh Nussbaum di sebut “subversi parodi”, sebuah tragedi besar dalam teori feminis baru di Amerika yaitu hilangnya rasa komitmen public (Nussbaum, 1999). Konsepsinya Butler tentang politik sebagai pertunjukan parodi, gender telah dibentuk oleh kekuatan yang bersifat sosial daripada biologis sehingga perempuan ditakdirkan untuk mengulangi struktur kekuasaan tempat kita dilahirkan, tetapi setidaknya kita bisa mengolok-oloknya; dan beberapa cara untuk mengolok-olok adalah serangan subversif terhadap norma-norma asli (Nussbaum, 1999.

Beberapa subversi parodei yang diungkap Nussbaum antara lain:

  1. Butler lebih suka menulis dengan cara yang menggoda dan menjengkelkan ini, ketidakjelasan yang memicu kecemasan
  2. Tidak ada yang ditambahkan oleh karya Butler pada karyanya dibanding karya feminis sebelumnya.
  3. Analog Butler tentang gender tidak jelas, karena “pertunjukan” yang dimaksud melibatkan gerak tubuh, pakaian, gerakan, dan tindakan, serta Bahasa
  4. Butler menggunakan beberapa kata untuk apa yang dia anggap buruk dan oleh karena itu layak untuk ditentang: “represif,” yang “menundukkan,” yang “menindas.” Tapi dia tidak memberikan diskusi empiris tentang perlawanan dari jenis yang kita temukan
  5. subversi memiliki banyak bentuk, tidak semuanya cocok untuk Butler dan sekutunya.

Cacat dalam Pikiran Nussbaum

Dengan demikian, perdebatan dan isunya adalah apakah ilmu harus memainkan peran intelektual atau peran publik? Hal tersebut telah menjadi perdebatan sepanjang sejarah intelektual Amerika ” (Boynton, 1999). Nussbaum berpegang pada prinsif filosofi harus ketat dan, di atas segalanya, harus berguna. Hal tersebut juga berkaitan dengan kajian apakah ilmu harus bebas nilai atau normative. Ajakan Nussbaum membawa feminism dalam tataran perjuangan praktis melawan penindasan melalui beragam jalannya membuat ilmu menjadi semakin normatif, dan itu juga bahaya tersendiri (Haryatmoko, 2016). Memang, ada keanehan sendiri, disatu sisi Butler (termasuk Nussbaum) banyak menggunakan teoeri Foucolt yang melihat kekuasaan pengetahuan terkonsentrasi pada kebenaran pernyataan-peryataan ilmiah (Haryatmoko, 2016), namun Butler memilih melawan dengan cara parodi, sebatas mengkritisi dan mengejek struktur yang membuat perempuan terindas. Itu aneh bagi Nussbaum.

Jadi, membawa ilmu hanya sebatas pembahasan ada bahaya elitis, namun terlalu membawa ilmu untuk selalu masuk tataran praktis seperti keinginan Nussbaum berbahaya juga, karena akan menggusur norma objektifitas ilmu sendiri. Formula yang pas harus dipikirkan sehingga ilmu sosial bisa seimbang dalam tiga peran sekaligus; sebagai academic enterprise, critical discourse, dan applied science/knowledge (Abdullah, 2006: 6-26). Tulisan inipun sudah dikritik dengan berbagai argumentasi karena posisi Nussbaum – bahwa teori Butler memerlukan sebuah pendekatan amoral terhadap teori dan tindakan politik dan oleh karena itu, “Berkolaborasi dengan kejahatan” – adalah salah (Herstein, 2010).

Selain itu, penggunaan judul sangat unik, “Profesor parodi” (yang mengejek Butler), makna parodi disini adalah dialog antara teks dengan teks yang lain dengan tujuan untuk mengekpresikan perasaan tidak puas dan tidak senang dengan gaya menyindir atau lolucon (Piliang, 2003. Hlm. 215). Kadang-kadang parodi digunkan untuk mengambil keuntungan dari kelemahan, kekurangan, bahkan kemasyuran dari teks yang kritisinya. Dari definisi di sini dapat diambil kesimpulan, bahwa ejekan Nussbaum terhadap Butler tentang subversi parodi, bisa dialamatkan juga bagi Nussbaum itu sendiri. Nussbaum mendapatkan keuntungan publikasi gratis dari kritikan pedasnya pada Butler. Dan kalau dari kacamata Foucoult sendiri, gagasan Nussbaum bisa menjadi ideologi sendiri untuk tujuan kekuasaan dan bagi Hayek (1961) hal tersebut menjadi “saintisme: sendiri.

Referensi

Abdullah, Taufik, (ed) (2006) Ilmu Sosial dan Tantangan Zaman, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Boynton. R.S (1999). Who Needs Philosophy?. (online) diakses 24 November 2020. https://www.nytimes.com/1999/11/21/magazine/who-needs-philosophy.html

Burke, P. (2015). Sejarah dan Teori Sosial (Edisi Kedua). Jakarta: Yayasan Obor

Butler, J. (1990). Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity. New York: Routledge

Haryatmoko. (2016).  Membongkar Rezim Kepastian: Pemikiran Kritis Post-sturkturalis.

Hayek, F. (1961). “The theory of complex phenomena,” in M. Bunge (ed.), The Critical Approach to Science and Philosophy,

Herstein, Ori J. (2010). Justifying Subversion: Why Nussbaum Got (the Better Interpretation of) Butler Wrong. Cornell Law Faculty Publications. Paper 75. http://scholarship.law.cornell.edu/facpub/75

Piliang, Y.A. (2003). Hipersemiotika (Tafsir Cultural Studies atas matinya Makna). Yogyakarta: Jalasutra

Nussbaum, M. (1999). The Professor of Parody: The hip defeatism of Judith Butler. online) diakses 24 November 2020. https://newrepublic.com/article/150687/professor-parody

Comments are closed.