The Normative Structure of Science

The Normative Structure of Science

Wildan Insan Fauzi

Pendahuluan

Kajian tentang “apa kriteria ilmuwan yang baik dan buruk” menurut kriteria merton menantang untuk dikaji karena berkaitan dengan penelahaan hubungan ilmuwan dalam struktur sosial. Perpektif Merton tentang kriteria ilmuan tersebut tidak bisa dilepaskan dari latar belakang keilmuannya sebagai seorang sosiolog. Dasar krteria tersebut adalah konsep “Etos” yang merupakan seperangkat nilai dan norma yang secara efektif kuat dan dianggap mengikat ilmuwan. Merton membahas empat norma ideal: Universalisme, Komunalisme, Ketidaktertarikan, dan Skeptisisme Terorganisir. Berikut beberapa etos yang diuraikan Merton:

Universalisme

Universalime berkaitan dengan validitas ilmiah terkait dengan data objektif tidak tergantung pada status atau atribut pribadi ilmuwan seperti latar belakang sosiopolitik, ras, gender, agama, maupun kelas sosial (Merton, 1974). Norma ini menegaskan pentingnya ilmuwan untuk tetap terpisah dan menganalisis semua data secara obyektif yang memungkinkan terciptanya pengetahuan universal atau obyektif (Macfarlane & Cheng, 2008). Sains tidak melihat kebenaran keilmuan dari identitas yang mengatakan. Dalam norma merton tersebut, siapa pun bisa berkontribusi untuk sains, dan tidak hanya orang yang berasal dari latar belakang tertentu saja. Data riset terbaru menunjukan ada dukungan untuk universalisme berdasarkan keyakinan bahwa pengetahuan akademis harus melampaui batas-batas nasional, politik, atau agama (Macfarlane & Cheng, 2008).

Bagaimana norma tersebut dalam ilmu-ilmu sosial?. Nampaknya latar belakang, ideologi, pendidikan ilmuwan menjadi bagian yang perlu diperhatikan. Prinsip universalisme Merton tidak sepenuhnya bisa diterapkan disini. Bahkan Edward Said (2001) dalam ”Orientalisme” meminta pembaca berhati-hati terhadap riset ilmuwan sosial Barat yang mengkaji ”timur” karena unsur ”bias” dalam kajian risetnya. Dalam kajian Ilmu sejarah, Hayden White (1985) bahkan lebih ektrem lagi meragukan kemampuan sejarawan dalam menarasikan masa lalu karena sulitnya menemukan ”konteks” guna mendapatkan fakta-fakta sejarah yang signifikan dan bermakna sehingga perlu dikiritisi latar belakang sejarawan tersebut. Narasi sejarah memuat unsur-unsur dari subyek, si penulis/sejarawan sebagai subyek turut serta mempengaruhi atau memberi “warna”, atau “rasa” sesuai dengan “kacamata” atau selera subyek (Kartodirdjo, 1992: 62). Meskipun untuk objektivitas dalam sejarah, Ranke menulis A Critique of Modern Historical Writers yang menganjurkan supaya sejarawan menulis apa yang sebenarnya terjadi (wie es eigentlich gewesen) secara objektif (Wallerstein, 1997: 23).

“Communism” (Prinsip Komunal)

Norma berikutnya dari Merton adalah ‘komunisme’. Merton menjelaskan bahwa bagi akademisi, communism menyiratkan bahwa hasil penelitian mereka harus menjadi milik bersama dari seluruh komunitas ilmiah (Macfarlane & Ming Cheng, 2008). Communisme berarti semua ilmuwan harus memiliki kepemilikan bersama atas kekayaan intelektual; kerahasiaan adalah kebalikan dari norma ini (Merton, 1974).

Norma ini menghendaki keharusan untuk komunikasi “penuh dan terbuka dan penemuan sains harusnya menjadi milik bersama komunitas ilmiah. Temuan substantif ilmu pengetahuan adalah produk kolaborasi sosial dan diberikan kepada masyarakat. Ilmuwan tidak boleh mengembangkan ide dan mengubahnya menjadi milik pribadi. Seluruh idenya adalah untuk berkontribusi pada kemajuan ilmiah.

Bagaimana faktanya sekarang? Norma komunalitas berbenturan dengan adanya paten yang menuntut hak eksklusif untuk penggunaan hasil riset sains. Gagasan tentang komunitas ilmiah berbeda dengan norma dari komunitas riset di perusahaan swasta yang menuntut penuh. Selain itu, tuntutan kebutuhan dana mendorong universitas untuk mengkomersialkan hasil risetnya kepada industri terkait. Nampaknya prinsip komunalitas berbenturan dengan kapitalisme sains. Ilmuwan saat ini harus mengeluarkan dana besar untuk publikasi di Jurnal terindeks internasional dan yang membutuhkan hasil riset tersebut harus “membayar” untuk bisa mengaksesnya.

Cukup menarik perlawanan secara intelektual berbasis digital yang dilakukan Alexandra Elbakyan dengan sci-hubnya. Sci-hub membuat akses jurnal lebih mudah dan terbuka sehingga diharapkan akan menghasilkan riset lebih baik terutama bagi peneliti dari negara berkemabang. Elbakyan mendorong diubahnya sistem pengelolaan jurnal yang saat ini closed-acces menjadi open acces dan telah membuat penerbit besar seperti Elsevier dan Springer banyak mengalami keruigian dari sistem komersialisasi yang mereka buat. Fenomena sci-hub sekarang menjadi “dilema moral” sendiri, tarikan antara prinsip komunalitas dan komersialisasi.

Disinterestedness (Prinsip Ketidaktertarikan)

Norma disinterestedness memilki arti lembaga ilmiah harus bertindak untuk kepentingan ilmu, bukan untuk keuntungan pribadi individu di dalamnya. Sains harus membatasi pengaruh bias sebanyak mungkin dan harus dilakukan untuk kepentingan sains, bukan untuk kepentingan pribadi atau kekuasaan (Merton, 1974). Ketidaktertarikan berarti harapan bahwa para ilmuwan tidak boleh memiliki keterikatan emosional dan finansial pada pekerjaan mereka.

Ilmuwan, menurut Merton, tertarik untuk menemukan kebenaran meskipun kebenaran membuktikan bahwa ilmuwan tersebut salah (Macfarlane & Cheng, 2008). Konsep ideal merton ini sejalan dengan gambaran intelektual menurut Julian Benda (Said, 1993). Menurut Julian benda, intelektual digambarkannya sebagai sosok yang ideal, yaitu semua orang yang kegiatan utamanya bukanlah mengejar tujuan-tujuan praktis, tetapi yang mencari kegembiraan dalam mengolah seni, ilmu, atau renungan metafisik. Ilmuwan dintuntut untuk melaporkan temuan sebagaimana adanya, meskipun beresiko untuk ilmuwan baik karier maupun keamanannya. Ilmuwan harus memiliki hasrat untuk memberi manfaat bagi umat manusia dan tidak mementingkan diri sendiri.

Dalam kajian Macfarlane & Cheng (2008), ketidaktertarikan adalah norma akademis kontemporer yang paling tidak populer. Hal tersebut terkait dengan kebutuhan sejumlah besar akademisi untuk menyelaraskan minat penelitian mereka dengan peluang pendanaan. Dengan demikian, fakta memperihatkan penyelidikan ilmiah telah dikompromikan oleh tekanan komersial berbasis pasar dan menumbangkan cita-cita Mertonian. Fenomena tersebut digambarkan oleh Gramschi sebagai intelektual oraganik. intelektual organik, yaitu kalangan professional yang mengabdi demi kepentingan kelompok pengusaha (kapitalis) (Said, 1993). Foucault tidak percaya dengan norma etik Merton ini, baginya pengetahuan memungkinkan dan menjamin beroperasinya kekuasaan yang berujung pada dominasi pada objek dan manusia (Haryatmoko, 2016).

Organized Skepticism (skeptisisme terorganisir)

Skeptisisme terorganisir menuntut ilmuwan untuk tetap skeptis tentang hasil penelitian, termasuk potensi kekurangan dari pekerjaan seseorang, sampai semua fakta ditetapkan. Skeptisisme terorganisir lebih jauh mengacu pada harapan bahwa akademisi akan terus menantang kearifan konvensional dalam disiplin mereka (Macfarlane & Cheng, 2008). Karakteristik mendasar dari etos seorang peneliti ilmiah adalah bahwa mereka tidak boleh menerima sesuatu begitu saja, mereka perlu melihat bukti. Perlunya pembuktian atau verifikasi membuat sains menjadi lebih teliti daripada bidang lainnya. Para ilmuwan tidak boleh membatasi diri pada topik yang dapat diterima atau hanya mempelajari apa yang menurut orang berkuasa tidak masalah. Mereka harus melihat secara kritis segala sesuatu dan menganalisis segalanya (Merton 1974).

Nampaknya, konsep ini menjadi pegangan “wajib” ilmuwan dalm pekerjaan mereka. Namun jika membaca karya Thomas Khun (2005), dalam “normal science”, ilmuwan sepertinya terperangkap dalam “dogma” tertentu yang disebut dengan “paradigma” yang menjadi pegangan dalam pengembangan risetnya. Anomalilah yang membuat ilmuwan kembali kritis dan berani mengubah “paradigma”nya sehingga terjadi revolusi science.

Konsep pengkhianat intelektual nampaknya sesuai dengan ilmuan yang bertolak belakang dengan konsep keidaktertarikan dan organized Skepticism yang ditawarkan Merton. Menurut Benda (Said, 1993) yang dimaksud dengan para pengkhianat inteletual adalah kaum intelektual yang memiliki hubungan simbiosis mutualisme dengan kekuasaan dan kehilangan tanggug jawab moralnya, mengabaikan panggilan serta mengkompromikan prinsip-prinsip mereka dengan kekuasaan.

 

Kesimpulan

Riset Macfarlane & Cheng (2008) menunjukan dukungan terhadap norma keilmuan dari Merton memiliki tingkat variasi tertentu. Dukungan responden terhadap universalisme dan ketidaktertarikan bervariasi dengan subjek mereka. Secara umum, responden dari bidang ilmu terapan menunjukkan dukungan yang lebih kuat terhadap kedua norma tersebut dibandingkan dengan responden dari bidang studi lainnya.

Norma keilmuan Mertonian sangat ideal dan dalam beberapa aspek sulit diterapkan dalam dunia kapitalis yang mengkomersialkan segala sesuatu termasuk hasil riset ilmuwan. Meskipun demikian, norma-norma tersebut sangat menginspirasi untuk  terus“berjuang” mendekati aspek ideal tersebut. Ilmuwan baik menurut Merton adalah mereka yang memegang prinsip universalisme, mau berbagai hasil riset mereka, menjauhi kepentingan pribadi, dan selalu kritis terhadap apapun. Sementara ilmuwan buruk, sebaliknya, mereka yang mengabaikan prinsip universalime, merahasiakan keilmuan, memiliki ambisi pribadi yang besar dalam pekerjaan risetnya, dan terikat oleh dogma.

 

Referensi

Haryatmoko. (2016). Membongkar Rezim Kepastian. Yogyakarta: PT Kanisius

Kartodirdjo, S. (1992). Pemikiran dan Perkembangan historiografi di Indonesia. Jakarta. Gramedia

Khun, T. (2005) The Structure of Scientific Revolutions. Bandung: Pt Rosdaarya

Macfarlane, B & Cheng, M. (2008). Communism, Universalism and Disinterestedness: Re-examining Contemporary Support among Academics for Merton’s Scientific Norms. J Acad Ethics (2008) 6:67–78 DOI 10.1007/s10805-008-9055-y

Merton, R. K. (1973). The Sociology of Science: Theoretical and Empirical Investigations. University of Chicago Press.

Said, E. (1993). Peran Intelektual. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Said, E. (2001). Orientalisme. Bandung: Penerbit Pustaka.

Wallerstein, I. (1997) Lintas Batas Ilmu Sosial, Alih Bahasa: Oscar, Yogyakarta: LkiS.

White, H. (1985). Metahistory: The historical imagination in nineteenth-century Europe. JHU Press.

Comments are closed.