Sejarah sebagai “peristiwa” (History of Event) dan Struktur

Carr (1982: 30). menyatakan, bahwa “history is a continous process of interaction between the historian and his facts, and unending dialogue between the present and the past”. Sejarah sebagai peristiwa sering juga disebut sejarah sebagai kenyataan dan sejarah serba obyektif (Ismaun, 1993: 279). Artinya, peristiwa-peristiwa tersebut benar-benar terjadi yang didukung oleh evidensi-evidensi yang menguatkan baik berupa saksi mata (witness) yang dijadikan sumber-sumber sejarah (historical sources), peninggalan-peninggalan (relics atau remains) dan catatan-catatan atau records (Lucey, 1984 dalam Supardan, 2008).

Pendapat Carr tersebut sejalan dengan pandangan Colingwood (1973: 9) yang menegaskan bahwa: “Every historian would agree, I think that history is a kind of research or inquiry”. Colingwood berpendapat bahwa sejarah itu merupakan riset atau suatu inkuiri. Colingwood selanjutnya menegaskan bahwa sasaran penyususunan sejarah adalah untuk membentuk pemikiran agar kita dapat mengemukakan pertanyaan-pertanyaan dan mencoba menemukan jawaban-jawabannya. Oleh karena itu menurut Colingwood, “all history is the history of thought”, semua sejarah itu adalah sejarah pemikiran.

 

Struktur dalam Sejarah

Collingwood berpandangan bahwa sejarah adalah bahwa seluruh peristiwa disebabkan oleh keadaan lingkungan (nature) (Walsh, 1947). Yang ingin diperjuangkan oleh Collingwood adalah ilmu sejarah yang selanjutnya dapat dibuktikan secara ilmiah dengan pendekatan scince. Hal senada dikungka[kan Bury (Teggart, 1960: 56.) secara tegas menyatakan “History is science; no less,  and no more”.

Namun, sejarah tidak dapat membuat kita memprediksi alam dengan pasti atau membentuk hukum pasti mengenai aktivitas manusia. Tapi, Collingwood menyatakan bahwa, sejarah dapat dikatakan ilmiah karena dapat memberikan pemahaman kita terhadap pemikiran dari suatu peristiwa sejarah. Dengan ilmu sejarah, kita dapat memahami cara berpikir suatu tokoh dalam suatu peristiwa, menentukan apakah yang menyebabkan suatu peristiwa sejarah. Collingwood berpendapat bahwa, sejarah itu mengandung peristiwa unik dan di dalamnya dapat kita kategorikan sebagai studi untuk ilmu manusia karena kita dapat memahami suatu pemikiran manusia dalam peristiwa sejarah individu.

Bagaimana kajian struktur dalam sejarah? Sejarah dan struktur dalam posisi berdialektika menurut Kartodirdjo (1993). Sejarah struktural dapat diibaratkan kerangka tanpa daging (tanpa kehidupan), namun sejarah prosesual tanpa struktur tidak mempunyai bentuk (Kartodirdjo, 1993). Sejarah struktural membuat sejarah lebih kritis dan secara fungsional membantu bidang praktis. Keunikan dalam sejarah hanya dapat dipahami dalam konteks struktur tertentu karena keunikan yang mutlak sebenarnya tidak ada. Bahkan, makna suatu peristiwa tidak akan ditangkap tanpa melihat tepatnya dalam konteks ekonomi, sosial, politik, dan kultural (Kartodirdjo, 1993). Dengan demikian, struktural tidak dapat diabaikan oleh sejarawan jika ingin memberikan eksplanasi yang tuntas tentang proses sosial. Hal senada disampaikan oleh Jose Ortega Gasset (Thohir & Sahidin, 2019: hlm. 3) yang menyatakan sejarah sebagai sebuah sistem, artinya memiliki strukutur yang jelas dan dapat diandalkan sehingga sejarahselalu bisa dibaca dalam hal strukturnya dalam setiap peristiwanya.

Namun, Burke (2003) mengingatkan bahwa tidak semua model struktur bisa diterapkan dalam sejarah, misalnya pendekatan Saussure dan Strauss. Saussure dan Strauss lebih mengutamakan struktur (sinkronik) daripada perubahan (diakronik). Bagi Strauss, masyarakat yang dikaji dalam antrpologi relatif statis. Meskipun demikian, Strauss tidak sepenuhnya mengabaikan sejarah, kajiannya tentang sejarah perkawinan komparatif menunjukan hal tersebut. Selain itu, Barthes juga menggunakan analisis struktralis untuk menganalisis wacana sejarah (Burke, 2003). Masalah yang muncul dalam analisa struktur dalam sejarah terutama berkaitan tentang hubungan aktor individual (tokoh sejarah) dengan sistem sosial, antara determinisme dan kebebasan).

Penggunaan teori struktur sudah banyak dijadikan analisa oleh para sejarawan. Terlebih pesatnya kajian di sosiologi antropologi ”memaksa” sejarawan untuk menggunakannya dalam kajian masa lalu. Geertz dalam mengkaji Struktur Masyarakat jawa melihat kebudayaan memiliki sifat interpretatif, sebuah konsep semiotik, dan sebagai sebuah “teks”. Bagi Geartz, kebudayaan bukanlah sebatas pola perilaku yang nampak. Karena kebudayaan merupakan sebuah teks maka ia perlu ditafsirkan agar tertangkap makna yang terkandung di dalamnya. Kebudayaan bagi Geertz adalah jaringan makna simbol yang perlu diuraikan dalam sebuah deskripsi mendalam (thick description).

Perhatian Geertz mengungkap adanya varian agama Jawa lebih kepada adanya kompleksitas masyarakat Jawa. The Religion of Java dan kemudian diterjemahkan oleh Aswab Mahasin dengan judul Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1983). Fokus kajian adalah tradisi keagamaan yang dipengaruhi oleh kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan ideologi politik yang dilakukan oleh masyarakat Mojokuto sebagai cerminan tradisi keagamaan masyarakat Jawa. Dan banyak contoh lainnya yang memperlihatkan kajian struktur. Ada juga sejarawan yang focus pada “agency” dalam struktur. Misalnya dalam kajian revolusi Indonesia, Kahin (1995) melihat Tokoh nasionalis sekuler yang punya peran dalam revolusi, Anderson (1988) melihat para pemudalah yang punya peran, sementara Suryanegara (2017) melihat “Para santri”lah yang punya peran utama.

Analisa struktur, nampak juga pada kajian Cribb (1991) mengenai revolusi Jakarta. Munculnya para “jago” atau “jawara” dalam revolusi di Jakarta disebabkan karena struktur di Batavia yang mengalami “kekosongan” tokoh lokal (Sultan, Pangeran, Bupati) karena yang ada adalah struktur birokrasi kolonial. Belanda menghancurkan struktur lokal tersebut saat menduduki Batavia abad 17. Kekosongan “hero” lockal itu akhirnya di isi para Jawara yang merepresenatasikan kegelisahan dan putus asanya warga pribumi karena penindasan kolonial.

Namun, kajian Cribb (1990) juga memperlihatkan kajian “ruang”. Cribb (1990) mencoba menyajikan suatu peristiwa sejarah bukan hanya sebagai kejadian dalam “ruang” yang berdiri sendiri, tetapi ia merupakan peristiwa yang berkait dengan peristiwa lain. Misalnya Cribb (1990) melihat keterkaitan gejolak revolusi di Jakarta dengan daerah-daerah di pinggiran Jakarta yang termasuk ke dalam daerah-daerah Jawa Barat. Daerah-daerah tersebut yaitu Karawang, Cikampek, Bekasi, Purwakarta, Subang dan yang lainnya.

 

 

Referensi

Anderson, B. R. O. G. (1988). Revoloesi pemoeda: pendudukan Jepang dan perlawanan di Jawa 1944-1946. Pustaka Sinar Harapan.

Braudel, F. (1949). The Mediterranen and the Mediterranean World in the Age of Philip II, Edisi Kedua 1966; Terjemahan Bahasa Inggris, London, 1972-1973.

Burke, P. (2003). Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Carr, E.H. (1985). What Is History?. Harmondsworth, Middlesex, England: Penguin Books, Ltd.

Collingwood, R.G. (1973) “The Historical Imagination” Cetak ulang  dalam bukunya The Idea of History, Oxford.

Cribb, R. (1990). Gejolak Revolusi di Jakarta, 1945-1949: Pergulatan antara Otonomi dan Hegemoni. Terjemahan. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Geertz, C. (1983). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya.

Ismaun, (1993) Modul Ilmu Pengetahuan Sosial 9: Pengantar Ilmu Sejarah, Universitas Terbuka: Jakarta.

Kahin, George McT. (1995). Nationalisme dan Revolusi di Indonesia. Solo: UNS Press.

Kartodirdjo, S. (1984). Pemberontakan petani Banten, 1888: kondisi, jalan peristiwa, dan kelanjutannya: sebuah studi kasus mengenai gerakan sosial di Indonesia. PT Dunia Pustaka Jaya.

Kartodirdjo, S. (1993) Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT Gramedia.

Supardan, D. (2008). Pengantar Ilmu Sosial. Jakarta: Bumi Aksara

Suryanegara, A. M. (2017). Api Sejarah 1 (Vol. 1). Surya Dinasti.

Teggartt, (1960). Theory and Process of History, Berkeley and Los Angles: University of California Press.

Thohir, A. & Sahidin, A. (2019). Filsafat Sejarah: Profetik, Spekulatif, dan Kritis. Jakarta: PrenadaMedia Grup

Walsh, W. H. (1947).  R. G. Collingwood’s Philosophy of History. Philosophy, Jul., 1947, Vol. 22, No. 82 (Jul., 1947), pp. 153-160. Cambridge University Press on behalf of Royal Institute of Philosophy Stable URL: https://www.jstor.org/stable/3748042

Comments are closed.