Sang Penguasa Dari Machiavelli

Oleh: Wawan Darmawan

Abstrak

Sebagai konsekuensi dari penggunaan konsep ilmu-ilmu social secara luas, berbagai cabang sejarah mulai muncul menurut tema-tema yang memberikan karakteristik tertentu, seperti sejarah politik yang memperluas kajiannya pada berbagai aspek kegiatan politik. Dengan menggunakan pendekatan dari berbagai ilmu-ilmu social, sejarah politik yang analitis-kritis dapat dimunculkan, apa itu menyangkut struktur kekuasaan, jaringan-jaringan politik, kepemimpinan, suksesi, dan lain-lain.  Khusus mengenai kekuasaan dan kepemimpinan, Machiavelli memaparkan munculnya sebuah kekuasaan. Buku Sang Penguasa (Il Principe) karya Machiavelli menjadi persembahannya kepada Lorenzo De’Medici. Buku tersebut memberikan beberapa petunjuk bagaiamana para raja harus memerintah, memahami sepenuhnya sifat dan ciri rakyat, orang harus menjadi raja, dan untuk memahami sepenuhnya ciri dan sifat raja-raja.  Sehingga dengan persembahan ini, Machiavelli berharap Lorenzo De’ Medici  menjadi raja yang dapat mencapai puncak kemuliaan. Perkembangannya ke depan, banyak orang yang  mendalami buku itu seperti Adolf Hitler dan Bennito Mussolini sehingga pada titik ekstrim, ia dicela sebagai guru par excellence pengkhianatan politik dengan siasat yang jahat dan beriku-liku. Namun ada juga  yang menganggap Machiavelli sebagai God Father intelektual dalam politik. Adanya dua penilaian yang berbeda itu menjadi menarik untuk dikaji, apalagi jika dihubungkan dengan munculnya para penguasa di dunia dengan berbagai karakter yang berbeda.

Keyword: Il Principe, God Father

PENDAHULUAN

Machiavelli dilahirkan di Florence tahun 1469 dari keluarga bangsawan yang termansyur. Ayahnya adalah seorang pengacara yang terkadang menangani urusan publik di negara-negara Florence. Tidak banyak yang diketahui tentang pendidikan Niccolo, tetapi dari kehidupan dan pengetahuan yang ditunjukkan dalam tulisannya bisa diduga bahwa ia memperoleh pendidikan liberal yang biasanya  diberikan kepada anggota kelasnya. Pada tahun 1498 ia ditunjuk sebagai Sekretaris Utama Republik Florentine, yang dijalaninya selama empat belas tahun. Tugas yang dipikulnya ini memberinya kesempatan untuk melihat manajemen intern negara dan masalah luar negeri. Di samping tugas  domestiknya, ia seringkali dikirim ke luar negeri di mana ia bisa  berjumpa dengan tokoh-tokoh politik seperti Louis XII dari Perancis dan Maharaja Maximillan dari Jerman. Sebagai pengamat yang tajam dengan pikiran yang cerdas, ia memanfaatkan pengalamannya ini untuk mempelajari bagaimana situasi politik yang sebenarnya terjadi. Hanya sedikit, jika ada, dari pemikir sejamannya yang bisa mengaku mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai masalah publik.

Situasi politik di Italia selama masa Machiavelli adalah situasi yang sulit. Semenanjung ini terbagi menjadi lima negara yang terpisah: Milan, Venice, Naples, Negara-negara Paus, dan Florence. Negara ini tidak hanya tercabik-cabik oleh pertentangan internal antara berbagai negara kota, yang masing-masing ingin meraih kontrol, tetapi ia juga menjadi bidak dalam medan politik kekuasaan yang lebih besar. Perancis, Jerman, dan Spanyol adalah negara-negara utama yang berusaha meraih hegemoni terhadap semenanjung ini. Demi kepentingan mempertahankan diri, negara-negara kota Italia biasanya bersekutu dengan salah satu kekuatan besar dengan  konsekuensi kedudukan mereka sangat tergantung pada nasib pelindungnya. Republik Folrence bersekutu dengan Perancis. Karenannya, ketika Perancis diusir dari Italia oleh kekuatan lain pada tahun 1512, Medici (yang diusir pada tahun 1494) mampu memperoleh kembali kontrol kota ini dan mengakhiri pemerintahan Republik. Machiavelli ditahan dalam operasi pembersihan yang mengiringi kekuasaan Medici, dan setelah menjalani hukuman singkat ia diasingkan ke tanah kelahirannya dekat San Casciano. Di sanalah ia menulis karya-karya besarnmya The Prince, Discourses, A History of Florence, dan karya komedi pertama yang berjudul Mandragola. Ia tidak pernah putus harapan untuk bisa kembali ke dalam kehidupan publik tanpa memperoleh jabatan publik sampai  republik ini dibangun kembali pada tahun 1527.

Machiavelli hidup dalam era yang penuh pergolakan politik di Italia. Perpecahan golongan yang terjadi di dalam kota-kota tersebut menyebabkan timbulnya perang yang terus terjadi, lahirnya para despot, meluasnya kekerasan dan pengkhianatan dalam jabatan publik, serta konspirasi dan pembunuhan. Moralitas politik mencapai titik paling rendah karena individu dan negara bersaing meraih kekuasaan. Sementara kejadian itu tengah terjadi, terdapat persoalan dalam hubungan kekuatan negara-negara besar. Negara-negara kota Italia menjadi ahli dalam menggunakan tipu daya dan diplomasi. Mereka berusaha untuk saling menjatuhkan antara satu dengan yang lainnya. Dari sini Machiavelli berkesempatan mengamati semuanya secara langsung. Gurunya antara lain seperti Cesare Borgia yang dikenal sebagai orang yang kejam tetapi terampil, yang tidak ambil pusing dengan pembunuhan terhadap saudaranya ketika hal itu dilakukan demi kepentingannya. Dengan latar belakang yang penuh dengan intrik dan kekerasan inilah Machiaveli membangun filsafat politiknya.

Berikut ini ringkasan pandangan Machiavelli yang ada dalam buku Sang Penguasa/The Prince atau Il Principe, yang antara lain persembahan Machiavelli kepada Lorenzo De’Medici

Berbagai Macam Kerajaan dan Cara Menegakkannya

Semua negara dan wilayah kekuasaan tempat umat manusia bernaung berbentuk suatu negara republik atau suatu kerajaan. Kerajaan karena warisan turun-temurun atau suatu kerajaan baru, atau berupa negara bagian yang digabungkan pada kerajaan warisan seorang raja atas negara-negara bagiaan tersebut. Raja memperoleh wilayah-wilayah tersebut entah dengan senjata sendiri atau orang lain, atau karena warisan atau karena petualangan yang penuh keberanian.

Kerajaan Warisan

Pada kerajaan yang bersifat turun-temurun, kesulitan-kesulitan yang dihadapi jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kesulitan yang dihadapi kerajaan-kerajaan baru. Karena bagi kerajaan-kerajaan warisan sudah cukup kalau tidak melalaikan lembaga-lembaga yang didirikan oleh nenek moyangnya dan kemudian menyesuaikan kebijaksanaan dengan situasi yang ada. Selama raja yang sah tidak melakukan hal-hal yang tidak mengobarkan rasa benci pada rakyat karena tindakannya yang benar-benar jahat, sudah selayaknya rakyat dengan sendirinya tunduk kepadanya.

Kerajaan Gabungan

Dalam kerajaan baru justru muncul kesulitan-kesulitan. Pertama, karena rakyat dengan senang hati mengganti penguasanya dengan harapan mereka dapat hidup lebih baik, tetapi mereka terkecoh sendiri sebagaimana mereka alami kemudian, dan kehidupan mereka semakin parah. Ini wajar karena raja baru terpaksa menimpakan beban kepada mereka yang memaksa rakyat tunduk pada pasukan raja. Dengan demikian raja akan dimusuhi rakyat yang telah merelakan daerahnya, tidak ada persahabatan dengan rakyat yang telah membantu raja, sementara raja berhutang kepadanya. Tetapi kalau orang menguasai daerah-daerah yang berbeda bahasa, adat-istiadat, dan hukum, sangat besarlah kesulitan yang harus dihadapi. Salah satu cara terbaik untuk berhasil menguasainya adalah pertama penguasa baru harus tinggal di daerah tersebut. Dengan ada di tempat, kerusuhan akan mudah diketahui dan dapat dicegah dengan cepat, kedua mendirikan koloni-koloni di salah satu wilayah tersebut yang seolah-olah kunci wilayah itu. Kalau tidak raja akan menguras biaya yang tinggi untuk menempatan sejumlah pasukan. Ketiga  penguasa wilayah asing tersebut haruslah menjadi pemimpin dan pembela negara-negara tetangganya yang lemah, dan berusaha memperlemah negara-negara yang kuat dan menjaga mereka agar tidak diserbu oleh negara asing yang tidak kalah kekuatannya.

Mengapa Kerajaan Darius Yang Ditaklukan Alexander Tidak Memberontak Terhadap Para Penggantinya Setelah Kematiannya

Jawabannya bahwa semua kerajaan yang diatur oleh seorang raja yang ditaati oleh semua penduduk dan para menterinya, dengan direstui dan atas persetujuannya, membantu memerintah, atau diatur oleh seorang raja dan para bangsawan yang tinggi rendah kedudukan mereka tidak ditentukan oleh persetujuan raja tetapi oleh garis keturunan mereka yang sudah lama ada.

Bagaimana Kota atau Kerajaan yang Menjalankan hukum Mereka Sendiri Harus Diperintah Sesudah Ditaklukan

Jika negara yang baru saja direbut terbiasa hidup bebas dan mengikuti hukum mereka sendiri, ada tiga cara untuk memerintahnya secara aman. Pertama,  dengan menghancurkannya, kedua, dengan secara pribadi bermukim di negara tersebut, ketiga, dengan mendirikan suatu oligarki yang akan menjamin negara tersebut tetap bersahabat dengan Anda. Tetapi kalau kota ataupun wilayah tersebut sudah terbiasa diperintah oleh raja , dan kalau keluarga raja ini ditumpas, karena di satu pihak mereka terbiasa patuh, dan di lain pihak mereka kehilangan raja mereka yang terdahulu dan mereka juga tidak tahu bagaimana mereka harus hidup tanpa seorang raja. Untuk itu seorang raja akan menundukkan mereka dengan mudah dan mengokohkan kedudukan dengan aman. Jika situasi di negara yang dikuasai lebih besar nafsunya untuk membalas dendam, cara terbaik adalah dengan mengenyahkan mereka.

Wilayah-wilayah Baru yang Direbut dengan Kekuatan Senjata dan Kemampuan Sendiri

Dalam negara-negara yang baru sama sekali, rajanya pun baru, besar kecilnya kesulitan yang dihadapi tergantung pada mampu tidaknya raja tersebut memerintah. Seseorang yang menjadi penguasa karena kekuatan sendiri dengan susah payah akan mudah mempertahankannya. Kesulitan yang mereka hadapi adalah dalam hal memberlakukan adat kebiasaan dan hukum baru dalam mendirikan negara dan mengamankan kedudukan mereka. Segala sesuatu harus dipersiapkan dengan baik sehingga kalau rakyat tidak lagi mau percaya, maka mereka dapat dipaksa untuk percaya.

Wilayah-wilayah Baru yang Direbut karena Nasib Mujur atau karena Bantuan Pasukan Asing

Penduduk biasa yang menjadi penguasa hanya karena nasib mujur tanpa mengalami kesulitan apa pun untuk naik jenjang. Besar  kecil kesulitan akan dihadapi dalam mempertahankan kekuasaannya. Orang semacam ini sangat tergantung pada mereka yang telah membantu mereka menjadi penguasa, dan pada nasib mujur. Kedua hal tersebut bukan pegangan yang kuat dan bersifat goyah. Mereka tidak tahu bagaimana mereka harus mempertahankan kedudukan mereka. Untuk itu seharusnya orang yang berbakat besar yang dapat mempertahankan tugas yang diserahkan kepadanya oleh nasib mujur, dan kemudian meletakkan dasar-dasar yang dilakukan oleh semua orang sebelum menjadi penguasa. Bagi seorang penguasa baru tidak ada contoh yang lebih meyakinkan daripada contoh-contoh yang telah diberikan oleh sang pangeran, antara lain, bagaimana ia bertindak dan memandang perlu untuk mengamankan dirinya sendiri terhadap musuh-musuhnya, menjalin persahabatan, menaklukan entah melalui kekerasan atau tipu muslihat, menjadikan dirinya sendiri dicintai dan ditakuti oleh rakyat, ditaati dan disegani oleh para serdadunya, bagaimana dia bertekad untuk menghancurkan orang-orang yang dapat dan hendak merugikannya, memperbaiki adat-istiadat, bertindak kejam tetapi dicintai rakyat, bertindak dengan kebesaran hati, dan bagaimana ia memutuskan untuk menghancurkan pasukan-pasukan yang tidak setia dan menciptakan suatu pasukan yang terpercaya.

Mereka Yang Berkuasa Dengan Jalan Kekejaman

Kalau mau merebut suatu negara, penguasa baru haruslah menentukan berat penderitaan yang ia anggap perlu dibebankan pada rakyat. Ia harus menimpakan penderitaan itu hanya untuk seklai, dan jangan mengulang-ulang penderitaan itu setiap hari. Dengan cara itu rakyat akan senang dan akan menarik simpati mereka kepadanya.  Kekerasan harus dilakukan sekali saja, rakyat akan segera melupakannya dan tidak akan menentang lagi. Perlahan-lahan raja harus menunjukkan kebaikan kepada rakyatnya dan rakyat akan mengalami masa yang lebih baik.

Kekuasaan Konstitusional

Seorang rakyat biasa yang menjadi penguasa tanpa dengan jalan kejahatan ataupun kekejaman, tetapi karena jasa baik sesama rakyat, kita sebut dengan suatu kekuasaan konstitusional. Kedudukan ini dapat dicapai dengan dukungan rakyat atau golongan bangsawan.. Tetapi seorang penguasa harus hidup bersama dengan rakyat daripada dengan bangsawan.Harus diingat sehubungan  dengan para bangsawan ini, yaitu mereka harus diperintah sedemikian rupa sehingga mereka sama seklai tergantung  pada kekuasaan Anda

Bagaimana Mengukur Kekuatan Negara

Menurut pendapat Machiavelli, raja yang dapat berdiri sendiri adalah mereka yang mempunyai pasukan yang cukup besar atau mempunyai uang untuk menghimpun suatu angkatan perang yang mampu menghadapi setiap serbuan dan tidak usah khawatir akan negara-negara yang ada di sekelilingnya. Kalau kota sudah diperkokoh dengan baik, pemerintahan diatur menurut cara yang sudah dikemukakan, maka musuh akan sangat berhati-hati untuk menyerangnya.

Negara Gereja

Negara-negara tersebut dikelola oleh lembaga-lembaga religius, yang sedemikian kuat dan berwibawa, sehingga mereka tetap mempertahankan penguasa memegang kekuasaan tanpa memperdulikan sikap dan cara hidup raja tersebut. Wilayah kekuasaan mereka, tidak akan direbut dari tangan mereka, dan rakyat tidak menolaknya, bahkan tidak terpikirkan oleh rakyat untuk menggulingkan penguasa, karena negara-negara terebut dikelola oleh kekuatan-kekuatan yang lebih luhur yang tak terjangkau oleh akal budi manusia.

Organisasi Militer Dan Pasukan Tentara Bayaran

Cara yang digunakan kerajaan-kerajaan ini dalam mengatur diri entah untuk menyerang atau untuk mempertahankan diri harus dibangun oleh landasan-landasan yang kuat, antara lain hukum dan pasukan yang baik; bisa angkatan perang sendiri, pasukan bayaran, atau pasukan bantuan, atau gabungan dari berbagai pasukan-pasukan tersebut. Kalu raja mengandalkan pertahanannya pada tentara bayaran, ketengangan dan keamanan tak pernah akan dicapainya, karena mereka sukar untuk dipersatukan, haus akan kekuasaan, tidak disiplin, dan tidak setia. Machiavelli ingin mengutarakan betapa menyedihkan kalau orang menggunakan pasukan bayaran, tetapi meskipun demikian haruslah pasukan itu dipimpin oleh seorang raja sebagai panglima perangnya.

Pasukan Bantuan, Pasukan Gabungan , dan Pasukan Rakyat

Kalau orang meminta negara tetangga untuk mebantu dan mempertahankan negara dengan pasukannya, pasukan itu disebut pasukan bantuan dan pasukan ini sama tidak bergunanya seperti tentara bayaran. Karena itu, barang siapa tidak menginginkan suatu kemenangan militer baiklah kalau meminta bantuan dari pasukan semacam ini, karena pasukan ini jauh lebih berbahaya daripada pasukan bayaran. Pasukan bantuan sungguh fatal. Mereka merupakan pasukan terpadu, taat sepenuhnya pada perintah. Sebaliknya pasukan bayaran membutuhkan waktu lebih banyak dan peluang merugikan Anda. Karena itu, raja yang bijaksana selau menghindari pasukan bantuan dan menggunakan pasukan tentaranya sendiri. Mereka lebih suka kalah perang dengan pasukannya sendiri daripada menang dengan bantuan orang lain, karena yakin tidak ada kemenagan sejati dapat dicapai dengan pasukan asing. Pasukan sendiri adalah pasukan yang terdiri dari rakyat atau warga negara atau orang-orang yang dikuasainya.

Kewajiban Raja terhadap Angkatan Perang

Raja hendaknya tidak mempunyai sasaran ataupun kesibukan lain, kecuali mempelajari perang, organisasi dan disiplinnya, karena itulah satu-satunya seni yang dibutuhkan seorang pemimpin. Sebaliknya, orang menyadari bahwa kalau raja-raja lebih mementingkan kemewahan hidup daripada senjata, negara akan hancur. Melalaikan seni perang merupakan cara untuk menghancurkan negara, sedangkan trampil dalam seni perang merupakan cara untuk mempertahankan negara. Seorang raja yang bijaksana harus memperhatikan ini. Ia tidak boleh santai pada masa damai, sebab kalau keberuntungan berubah, ia sudah siap untuk mengatasi kesulitan itu.

Hal-hal yang Dapat Menyebabkan Orang, Khususnya Para Raja, Terpuji atau Terkutuk

Kini tinggallah kita memikirkan bagaimana seorang raja harus bersikap terhadap bawahan dan sahabat-sahabatnya. Saya tahu orang akan setuju bahwa akan terpuji bila dalam diri seorang raja terdapat semua sikap yang dipandang baik. Tetapi karena semua sikap itu tidak dapat dimiliki dan dipenuhi, mengingat kodrat manusia, maka seorang raja harus cukup bijaksana untuk menghindari skandal sehubungan dengan keburukan-keburukan prilaku seperi sombong, santai, bobrok moralnya, suka menipu, keras kepala, dsb yang akan menghancurkan negara. Namun ia tidak boleh takut sedikitpun menghadapi tuduhan melakukan kejahatan, kalau kejahatan itu perlu dilakukan demi keselamatan negara.

Kemurahan Hati dan Penghematan

Jika Anda ingin memperoleh nama baik karena kemurahan hati, Anda harus secara mencolok bertindak boros. Raja yang bertindak demikian akan segera menghabiskan hartanya. Akhirnya ia dengan terpaksa menarik pajak yang berat dan melakukan segala cara hanya supaya dapat meperoleh uang. Kalau ia menyadari hal ini dan mencoba menelusuri jalan yang benar, ia segera akan dicap sebagai seorang yang kikir. Karena itu raja tidak perlu bertindak murah hati untuk membuat dirinya tersohor, kecuali ia mau mempertaruhkan dirinya.Jika ia bijaksana, ia tidak akan berkeberatan dianggap sebagai orang yang sebetulnya murah hati, karena menyadari bahwa dengan menghemat pendapatan yang ada, ia dapat mempertahankan diri dari penyerbu/musuh, dan ia dapat melakukan perlawanan tanpa membebani rakyat.

Sikap Kejam dan Penuh Belas Kasih; dan Apakah Lebih Baik Dicintai daripada Ditakuti, atau Sebaliknya

Dari sifat yang saya sebutkan di atas, saya utarakan bahwa seorang raja tentu ingin dihormati karena sikap penuh belas kasih daripada bersikap kejam. Namun ia harus bersikap waspada supaya ia tidak menggunakan secara salah sikap penuh belas kasihnya. Karena itu, seorang raja tidak perlu khawatir terhadap kecaman yang ditimbulkan karena kekejamannya selama ia mempersatukan dan menjadikan rakyat setia. Untuk itu, sebaiknya raja dicintai atau ditakuti. Tetapi karena sulit untuk mempertemukannya, jauh lebih baik ditakuti daripada dicintai Jika tidak dapat memperoleh keduanya, Anda harus berusaha untuk menghindari diri dibenci.

Bagaimana Raja Harus Setia Memegang Janji

Para raja yang telah berhasil melakukan hal-hal yang besar adalah mereka yang menganggap mudah atas janji-janji mereka. Mereka yang tahu bagaimana memperdayakan orang dengan kelihaiannya dan akhirnya menang terhadap mereka yang memegang teguh prinsip-prinsip kejujuran. Ada dua cara berjuang yaitu melalui hukum (merupakan cara yang wajar bagi manusia) atau melalui kekerasan (cara bagi binatang). Seorang raja harus tahu bagaimana menggunakan dengan baik cara-cara manusia dan binatang. Hal ini dimaksudkan raja tidak boleh menyimpang dari yang baik, jika itu mungkin, ia harus mengetahui bagaimana bertindak jahat, jika perlu.

Bagaimana Menghindari Aib dan Kebencian

Raja harus menghindari hal-hal yang akan membuatnya dibenci atau direndahkan, dan kalau ia berhasil, ia sudah melakukan kewajibannya dengan baik, dan tidak akan mengalami bahaya, meskipun ia melakukan kejahatan-kejahatan lainnya. Ada hal yang harus ditahuti oleh raja, subversi dari dalam di antara para bawahannya dan serangan dari luar oleh kekuatan asing. Mengenai yang pertama, perlu diingat bahwa orang yang dibenci karena perbuatan baik atau perbuatan jahat, sehingga seorang raja yang ingin mempertahankan pemerintahannya kerap kali terpaksa untuk tidak bertindak baik, karena perbuatan baik merupakan musuh Anda. Untuk masalah yang kedua ini, pertahanannya terletak pada persenjataan lengkap dan sekutu yang baik.

Apakah Benteng Perlindungan dan Banyak Hal Lain yang Kerap Kali Dibangun Raja Berguna atau Merugikan

Dalam usaha mempertahankan wilayah kekuasaan, para raja biasanya membangun benteng, yang berfungsi untuk menumpas mereka yang merencanakan pemberontan melawan raja, dan sebagai tempat perlindungan yang aman terhadap serangan mendadak. Namun demikian benteng yang terbaik yang perlu dibangun adalah untuk menghindari jangan sampai dibenci rakyat. Kalau  pun raja membangun benteng, tetapi rakyat benci kepadanya, benteng tidak akan menyelamatkan raja, dan saya mengecam raja yang mengandalkan benteng-bentengnya, tetapi tidak peduli bahwa dirinya dibenci oleh rakyatnya.

Bagaimana Seorang Raja Harus Bertindak untuk Tetap Disegani Rakyat

Tak ada hal yang lebih baik mendatangkan pujian bagi seorang raja daripada menunjukkan kemampuan pribadi dan keahliannya dalam berperang dan memimpin pasukan. Seorang raja jangan pernah masuk persekutuan yang agresif dengan seseorang yang lebih kuat daripada dirinya sendiri, kecuali kalau terpaksa, karena jika Anda menang, Anda akan menjadi tawanan sekutu Anda. Seorang raja harus menunjukkan penghargaannya terhadap bakat, secara aktif mendorong orang-orang berbakat, dan memberi penghargaan kepada seniman terkemuka. Dengan demikian ia harus mendorong rakyat melakukan tugasnya dengan tenang.

Para Menteri Raja

Kesan pertama kali mengenai raja dan kebijaksanaannya ialah kalau orang melihat orang-orang yang ada disekelilingnya. Kalau mereka cakap dan setia, raja akan selalu dipandang bijaksana, tetapi sebaliknya, raja akan mudah dikecam karena kesalahan yang dilakukan oleh para menteri yang dipilihnya. Untuk itu para menteri yang baik adalah yang tidak memikirkan dirinya sendiri.

Para Penjilat Harus Disingkirkan

Suatu masalah yang penting di sini adalah jika raja tidak cukup bijaksana atau kalau raja tidak memilih para menterinya dengan baik. Yang dimaksudkan di sini adalah para penjilat, yang memenuhi istana, orang yang suka mengursi diri sendiri dan senag menutupi dirinya sendiri. Karena itu, seorang raja yang pintar akan menggunakan jalan tengah, memilih orang-orang bijaksana untuk mengurusi pemerintahan dengan baik.

Mengapa Raja-raja Italia Kehilangan Negara Mereka

Kalau kita tengok raja-raja Italia, seperti Raja Napels, Pangeran Milan, dsb, yang telah kehilangan negaranya pada zaman kita ini, kita akan melihat bahwa mereka semua memiliki kelemahan yang sama dalam hal pengaturan angkatan perang mereka. Untuk itu satu-satunya pertahanan yang baik, pasti, dan langgeng adalah pertahanan yang didasarkan atas tindakan dan kesatriaan Anda sendiri.

Sejauhmana Keberuntungan Menguasai Hidup Manusia dan Bagaimana Melawan Keberuntungan Tersebut

Saya bukannya tidak sadar bahwa banyak orang dahulu dan sekarang berpandangan bahwa peristiwa-peristiwa dikendalikan oleh nasib mujur dan oleh Tuhan sedemikian rupa sehingga kebijaksanaan manusia tidak dapat mengubahnya. Karena itu, mereka menyimpulkan bahwa tidak ada gunanya bekerja keras, tetapi orang harus menyerah pada kekuasaan nasib. Namun saya berpendapat bahwa benar nasib mujur menguasai separuh dari perbuatan-perbuatan kita, tetapi separuh tindakan lainnya dibiarkan untuk kita atur sendiri.

Saran untuk Membebaskan Italia dari Bangsa Barbar

Dalam situasi dewasa ini untuk memilih raja Italia yang baru, mungkinkah bagi seorang yaag bijaksana dan cakap untuk memperkenalkan sistem baru yang akan mendatangkan kemakmuran bagi Italia yang telah tercabik-cabik. Untuk itu keberanian angkatan perang Italia yang sudah padam harus dibangun dengan organisasi yang baru dengan dilandasi itikad baik dan berjiwa besar. Karena itu, kalau mengikuti jejak orang-orang besar yang menyelamatkan negara mereka, pertama-tama sangat penting menghimpun pasukan sendiri. Karena tidak ada pasukan yang lebih setia, lebih sejati, dan lebih baik daripada pasukan sendiri. Hal-hal semacam ini kalau diperkenalkan akan mendatangkan keagungan dan kehormatan bagi seorang raja baru.

ANALISIS

Berdasarkan isi bacaan yang telah penulis kaji mengenai buku Machiavelli mengenai Sang Penguasa, dan ditambah dengan referensi-referansi lainnya yang mencoba membahas karyanya ini, terlihat tak ada tokoh filsafat politik yang menjadi sasaran penilaian yang beragam dan kontradiktif dibanding Machiavelli, negarawan Florentine yang berubah menjadi penulis. Ada yang menyebut Machiavelli ini sebagai God Father[1], sementara pada titik ekstrim, ia dicela sebagai guru par excellence penipuan dan pengkhianatan politik, sebagai inkarnasi dari kekuatan licik dan brutal dalam dunia politik, dan sebagai penggagas totalitarianisme modern.[2] Hal ini sepadan dengan Diane Collinson yang menganggap Machiavelli secara populer dianggap pengatur siasat yang jahat dan beriku-liku. Karyanya, The Prince, adalah untuk menjilat keluarga Medici, penguasa Florentine yang kuat, yang berperan menjatuhkan. The Prince yang ditulis Machiavelli merupakan rangkaian praskripsi untuk penataan negara dengan sukses melalui upaya untuk mendapatkan kekuasaan. Ia meyakini bahwa kekuasaan itu baik dan harus dicari serta dinikmati bersamaan dengan kemasyuran, reputasi dan kehormatan.[3] Machiavelli sangat kasar dalam menerapkan strategi-strategi yang bisa dipakai oleh penguasa. Kekejaman bisa dilakukan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Penguasa tidak harus memakai keimanannya ketika melakukan hal itu karena akan menghancurkan kepentingannya, dan dia tidak harus belajar menjadi baik. Ia tidak perlu khawatir jika dibenci karena kekejamannya, selama ia membuat rakyat bersatu dan tunduk. Penguasa perlu melakukan tindakan yang bijaksana, bahkan tindakan licik dalam mengejar kekuasaan. Machiavelli juga bersiteguh bahwa generalitas rakyat itu sederhana dan mudah ditipu.

Jadi dalam hubungan dengan ikatan janji, kalau perlu tidak perlu mengikatkan pada janji itu. Juga sikap belas kasih, jujur, kemanusiaan, semuanya bergantung pada keperluan. Hanya saja, Machiavelli mengingatkan, orang harus yakin bahwa penguasa mempunyai sifat-sifat itu, sungguhpun sebenarnya tidak. Machiavelli sepertinya menyuruh orang mengelabui atau menipu orang lain. Tapi sebenarnya maksud Machiavelli semuanya itu adalah untuk kebesaran negara Itaia.[4]

Untuk itu, secara tidak langsung, The prince, mendukung monarki daripada republik dengan menyatakan bahwa kondisi Italia dibuat republik tidak bisa terwujud. Hal ini senada dengan pendapat Antonio Gramsci[5] dengan mengatakan sang penguasa sebenarnya dikembangkan dari pengalaman Spanyol, Perancis, dan Inggris selama proses unifikasi yang panjang, sehingga di Italia melibatkan kekuatan-kekuatan besar tersebut.

Sementara itu Henry J Schmandt, mengatakan bahwa karena Machiavelli memisahkan etika dari politik dan mengeluarkan persoalan dari masalah publik, secara teoretis ia ikut meluruskan jalan bagi negara absolut dan totalitarian yang sama sekali mengabaikan hak-hak asasi manusia.[6] Inti dari pandangan Henry J Schmandt ini terlihat Machiavelli sebagai seorang pemikir yang tidak  mengindahkan nilai-nilai moral. Penguasa yang disanjung umpamanya adalah orang yang sanggup memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dan kemashyuran, lepas dari soal cara-cara yang dipergunakan. Bahkan pemikir Italia ini sering juga dikemukakan sebagai seorang yang menganjurkan untuk mengesampingkan nilai-nilai moral tadi untuk dapat mempertahankan kemegahan dan kekuasaan. Ditambahkan bahwa untuk suksesnya seseorang, kalau memang diperlukan, maka gejala seperti penipuan dibenarkan. Begitu pula dalam hal nilai-nilai agama, menurut Machiavelli, kalau perlu diperlihatkan, ini sungguhpun tidak merupakan keyakinan. Demikian pula nilai-nilai lain, dapat dipergunakan secara pura-pura saja.[7]

Dari berbagai kritikan dan tuduhan yang mencap Machiavelli seperti di atas, sebenarnya bukan tanpa alasan Machiavelli berpikiran demikian. Ia memang mengemukakan hal-hal itu, tetapi itu dalam pengertian tertentu, yaitu mengenai kepangeran, bentuk negara yang korup, yang tidak mungkin naik lagi kecuali dengan kemauan, ketabahan dan ketekunan serta kelihaian seorang pemimpin. Dalam pikiran Machiavelli, rakyat yang korup tidak dapat memerintah dirinya sendiri, ia harus dipimpin, kalau perlu dengan cara-cara tersebut di atas tadi.

Machiavelli pun mengemukakan bahwa dalam republik kebebasan itu terpelihara, tetapi dalam hubungannya dengan hal ini, ia mngemukakan bahwa bila tidak terdapat kesadaran pada rakyat itu sendiri, maka diperlukan tangan kuat tadi. Machiavelli pun mengemukakan bahwa ketenangan dan kedamaian dapat dicapai dengan dua cara, yaitu hukum dan kekerasan jika hukum dirasakan tidak cukup untuk mencapai kedamaian.

Oleh bangsa-bangsa Barat Machiavelli diangap sebagai pelopor dalam pemikiran politik modern. Disatu pihak Machiavelli menunjukkan pertumbuhan akan nasionalisme, yaitu nasionalisme Italia, tetapi di pihak lain pemikirannya mengarah pada imperialisme. Hal ini dapat dilihat dari tokoh dikdator seperti Adolf Hitler dan Bennitto Mussolini yang mencoba mempraktikan gagasannya. Namun Machiavelli sendiri mungkin tidak merasa tidak suka dan ngeri dengan beberapa tindakan yang dilakukan oleh orang-orang sesudahnya termasuk kedua orang itu, yang mengaku dibimbing oleh prinsip-prinsipnya.Tetapi jika kita perhatikan, Machiavelli adalah orang yang tulus dan jujur yang mana kehidupan pribadinya secara moral tanpa cacat.

Komentar yang tidak terlalu sinis diungkap pula oleh editor dalam catatan pendahuluan di Saturday Review, dengan mengatakan bahwa politisi hidup dalam dunia setengah kebenaran, kompleksitas, dan ketidakmakmuran bukan karena ia adalah pembohong atau penipu tetapi karena itulah cara dia menemukan dunia.[8]

Machiaveli setuju dengan hal itu, karena menunjukkan masalah yang ingin ditekankan. Jika manusia ingin meningkatkan ketaatan social, ia tidak boleh menyalahkan dirinya pada realitas perilaku manusia. Hanya jika manusia sepenuhnya memahami fungsi proses social, politik dalam konteks ruang dan waktu, ia bisa berharap memerangi kejahatan yang ada dan membawa masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik.

Machiavelli seringkali disebut sebagai bapak “politik kekuasaan”. Kekuasaan adalah bagi mereka yang mempunyai keterampilan untuk meraihnya dan kemampuan untuk mempertahankannya. Pengalaman traumatis dengan politik pada masanya seperti yang telah dikemukakan pada bagian pertama (riwayat singkat Machiavelli), jelas membutakan Machiavelli akan kenyatakan bahwa misteri kekuasaan bukanlah persoalan yang sepenuhnya bersifat politik, karena alasan bahwa nafsu akan kekuasaan tidak semuanya ada pada nilai- nilai manusia. Olah karenanya, segala sesuatu yang kondusif untuk mencapai, mempertahankan, dan meluaskan kekuasaan politik bisa dibenarkan sekalipun hal itu jelas merupakan kejahatan dilihat dari sudut pandang moralitas dan agama.

KESIMPULAN

Bila dikaji lebih mendalam isi dari karya The Prince, tidaklah dapat dikatakan bahwa seluruh isi nasihatnya menggambarkan Machiavelli sebagai pengatur siasat yang jahat, penjilat, penuh kekejaman, amoral dan penuh tipuan dalam mengejar kekuasaan. Atau dari hasil bahasan banyak orang yang mencap tentang Machiavelli berisi the end justifies the means atau tujuan menghalalkan cara, yang dipandang orang, bahwa hal itu tidak boleh melanggar moralitas dan agama. Menurut Machiavelli, tidak jadi soal sepanjang untuk mencapai tujuan (kekuasaan). Bagi Machiavelli, keberhasilan seseorang dalam mencapai tujuan, itulah orang yang sukses sehingga perlu cara-cara, bagaimanapun caranya, meskipun bertentangan dengan moralitas.

Berdasarkan kajian tersebut, jelas bahwa tidak sekonyong-konyong orang melakukan sesuatu tanpa sebab, tetapi harus berdasarkan apa yang menjadi dasar orang itu berbuat. Sebagai contoh Machiavelli mengatakan boleh membunuh semua lawan, sepanjang dikhawatirkan mereka akan melawan atau menghancurkan kekuasaan politiknya. Apapun boleh dilakukan untuk memperkuat dan memperluas kekuasaannya. Sekarang saja (dalam dunia hukum) orang diperkenankan untuk membunuh jika keselamatan jiwanya terancam. Lihat kasus aparat penegak hukum (police). Untuk itu, jika Machiavelli dianggap kejam, jahat, tidak berprikemanusiaan, berarti tidak sepadan dengan kehidupan atau realita sekarang. Hanya Machiavelli itu tidak terlalu “ kuat” untuk menyatakan bahwa dalam melanggengkan kekuasaan perlu dengan membunuh. Inilah pokok persoalannya.

[1] Mussolini menganggap pemikir Florentine ini sebagai God Father spiritual dan intelektual sehingga perlu mengkaji karya-karyanya dengan seksama. Mengenai hal ini lihat Schmandt, Henry J. Filsafat Politik Kajian Historis dai Zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 268.

[2] Schmandt, Henry J, Ibid,hlm. 247

[3] Lihat Collinson, Diane. Lima Puluh Filosof Dunia yang Menggerakkan. Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada, 2000, hlm. 61-63

[4] Noer, Deliar. Pemikiran Politik Negeri Barat, Bandung:Mizan, 1998, hlm. 89.

[5] Lihat Gramsci, Antonio. Sejarah dan Budaya, Surabaya; Pustaka Promethea, 2000, hlm. 286

[6] Schmandt, Henry J, Op.Cit., hlm. 248

[7] Noer, Deliar, Op.Cit., hlm88-89.

[8] Cary, Joyce,  olitical and Personal Morality,” The Saturday Reviewi, 31 desember 1955 (Mengenai hal  ini penulis kutif dari Schmandt, Hanry J, Op.Cit, hlm.268)

Comments are closed.