REVITALISASI PENDIDIKAN IPS DAN ILMU SOSIAL UNTUK PEMBANGUNAN BANGSA

 

 

HAMID HASAN[1]

(UPI)

 

PENDAHULUAN

Pendidikan IPS dan Ilmu Sosial  (IS) selalu mendapatkan sorotan tajam sebagai mata pelajaran atau kumpulan mata pelajaran yang membebani peserta didik. Melalui pendidikan IPS/IS, peserta didik dijejali dengan berbagai definisi, fakta, nama akhli dan berbagai pendapat dari para akhli. Para peserta didik mengenal banyak pengertian mengenai konsep, teori, dan fakta yang dikenal dalam dunia ilmu sosial. Pendidikan IPS/IS menjadi corong pendidikan bagi mereka yang mungkin terpaksa atau tidak memiliki pilihan lain kecuali belajar IPS. Di jenjang pendidikan dasar (SD/M.Ib dan SMP/M.Ts) setiap peserta pendidik tidak mungkin mengelak dari kewajiban IPS. Di SMK/MAK demikian pula karena mereka harus belajar IPS sedangkan di SMA/MA, peserta didik ditentukan oleh sekolah apakah masuk ke program IPS atau program lainnya. Jika nilai mereka tidak memenuhi persyaratan ke program IPA maka mereka dijalurkan ke program IPS selain mereka yang memang memenuhi persyaratan untuk program IPS.

Keluhan mengenai pendidikan IPS/IS terekam dengan baik baik melalui berbagai penelitian. Keluhan seperti membosankan, tidak menantang berfikir, menambah beban belajar, tidak ada manfaatnya, hanya untuk mereka yang kurang cerdas, hanya untuk mereka yang kuat dalam menghafal, materi pelajaran tidak dapat digunakan atau berkenaan dengan kehidupan sehari-hari. Keluhan lain mengenai IPS/IS adalah materi pelajaran yang dianggap merupakan pengulangan dari materi pelajaran di SD/M.Ib dan SMP/M.Ts., buku teks yang penuh dengan fakta dan terlalu kering, dan proses pembelajaran yang monoton dimana peserta didik lebih banyak mendengar dan mencatat. Asesmen hasil belajar lebih mengutamakan penguasaan fakta dan hampir dapat dikatakan tidak pernah menguji kemampuan berfikir peserta didik baik dalam analisis, sintesis, dan evaluasi maupun dalam kemampuan aplikasi. Hampir semua aspek pendidikan IPS dan IS tidak memberikan gambaran yang positif. Rekaman keluhan ini telah berjalan panjang, lebih dari 20 tahun tetapi perubahan dalam pendidikan IPS dan IS tidak mampu mengurangi keluhan tersebut.

Ketika peserta didik SMA/MA lulus dan melanjutkan studi mereka harus bersaing dengan tamatan SMA/MA yang lulus dari program IPA dan Bahasa. Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) tidak memberikan penghargaan terhadap mereka yang secara khusus belajar dalam program IPS, IPA atau pun Bahasa. Persyaratan penerimaan mahasiswa baru PTN menyatakan bahwa mereka boleh memilih program studi apa pun di perguruan tinggi tanpa mengkaitkan dengan program studi yang diikuti di SMA/MA. Persyaratan yang diutamakan adalah mereka mendapatkan jumlah skor tinggi (total score) atau di atas “cutting score” untuk bias diterima di program di perguruan tinggi. Bahkan perguruan tinggi tidak mempedulikan apakah seseorang yang masuk ke program ekonomi mendapatkan skor tinggi dalam materi ujian yang berkenaan dengan ekonomi. Mereka yang memiliki skor tinggi untuk materi ujian ekonomi diperlkaukan sama dengan mereka yang mendapat skor rendah dalam materi ekonomi asalkan skor keseluruhan tinggi atau melewati batas lulus (cutting score). Hal yang sama terjadi bagi calon mahasiswa program studi lain.

Kenyataan yang lebih parah adalah banyak peserta didik dari program IPA yang dinyatakan lulus dan diterima dalam program studi IS di perguruan tinggi. Kemampuan hafal peserta didik program IPA lebih baik dari peserta didik program IPS/IS karena soal-soal dalam tes UMPTN juga banyak menuntut kemampuan daya hafal peserta didik. Kemampuan hafal, yang selalu diperlukan dalam kenyataan hidup sehari-hari di bidang mana pun, mereka yang mengikuti program IS di SMA/MA tidak lebih baik dibandingkan mereka yang mengikuti program IPA di SMA mengenai materu ujian UMPTN yang nota bene adalah materi ajar di program IS di SMA.

Keluhan-keluhan di atas menuntut adanya perbaikan pada pendidikan IPS/IS dalam berbagai komponen pendidikan. Kurikulum IPS/IS, proses pembelajaran IPS/IS, asesmen hasil belajar IPS/IS, dan sumber belajar IPS/IS. Berbagai ketentuan mengenai kurikulum, pembelajaran, dan asesmen telah dikeluarkan pemerintah dan banyak diantaranya sangat baik untuk digunakan dalam perbaikan pendidikan IPS/IS walau pun banyak pula diantaranya yang harus dipertimbangkan kembali karena tidak sesuai untuk penyempurnaan pendidikan IPS/IS.

FILOSOFI  PENDIDIKAN IPS/IS

Filosofi pendidikan menempati posisi penting dalam pengembangan kurikulum dan demikian pula terhadap pengembangan kurikulum IPS/IS. Tanner dan Tanner (1980) mengemukkan pendapat mengenai posisi filosofi pendidikan dalam pengembangan kurikulum sebagai ”both a source and an influence for educational objectives and curriculum development (Tanner and Tanner, 1980:103). Pendapat serupa dikemukakan oleh Schubert (1986:116) ketika ia mengatakan:

Philosophy lies at the heart of educational endeavor. This is perhaps more evident in curriculum domain than in any other, for curriculum is a response to the question of how to live a good life. . . . John dewey (1916) supported this emphasis when he suggested that education is the testing ground of philosophy itself.(schubert,1986:116)

Peran penting filosofi ini menyebabkan Oliva (1997) mengemukakan bahwa para pengembang kurikulum harus sadar betul filosofi yang dianut dan konsekuensi dari filosofi tersebut. Dalam bukunya yang berjudul “developing Curriculum” Oliva (1997: 190) menulis:

The curriculum committee should be cognizant of the major principles of the leading schools of philosophy, particularly essentialism and progressivism. They should know  where they stand as individuals and as a group in the philosophical spectrum. They may discover that they have adopted, as have perhaps a majority of educators, an ecclectic approach to philosophy, choosing the best from several philosophies.

Filosofi yang digunakan para pengembang kurikulum di Indonesia terbatas pada essensialisme dan perenialisme. Disadari atau tidak disadari filosofi ini terus menerus digunakan dalam setiap perubahan kurikulum sehingga dapat dikatakan bahwa proses pengembangan kurikulum selalu menghasilkan kurikulum yang sama. Perbedaan hanya terjadi dalam cara pengemasan konten kurikulum dan proses pembelajaran.

Pandangan filosofi esensialisme menekankan kurikulum sebagai media pendidikan untuk ”cultivation of the intellect , academic excellence”. Pandangan yang mirip dianut oleh filosofi perenialisme yang menekankan pada ”cultivations of rational powers” dan ”academic excellence”. Pandangan filosofi menempatkan pendidikan IPS/IS sebagai pendidikan untuk pengembangan intelektual dalam pengertian lama. Pengertian intelektual di sini adalah intelektual yang diistilahkan dengan ”logical-mathemathical intelligence” dan paling jauh kepada  ”linguistic intelligence” yang dikelompokkan Gardner sebagai ”cannonical intelligence” (Gardner, 2006:32-33). Sementara itu kelompok yang dinamakan ”noncanonical intelligence” seperti ”musical intelligence”, ”spatial intelligence”, ”bodily-kinesthetic intelligence”, naturalist intelligence”, ”personal intelligence” yang terdiri atas ”interpersonal intelligence” dan ”intrapersonal intelligence”.

Manusia memiliki berbagai kemampuan dan dimensi intelektual yang dikemukakan Gardner (2006) tersebut menggambarkan dimensi kemampuan manusia dalam kehidupannya. Pada diri seseorang mungkin saja menonjol salah satu atau beberapa kemampuan sehingga di wilayah itulah dia menonjol dengan kemungkinan adanya perubahan dari satu ke dimensi intelektual lain dalam perjalanan hidupnya.  Tentu tugas kurikulum adalah mengembangkan berbagai dimensi intelektual itu dan tidak boleh terpaku hanya pada satu dimensi  saja. Demikian pula tugas suatu mata pelajaran dalam suatu kurikulum tidak boleh terbatas hanya pada satu dimensi intelektual walau pun tidak seluas lingkup kurikulum tetapi haruslah pada beberapa dan disesuaikan dengan karakteristik materi mata pelajaran tersebut.

Permasalahan lain yang berkenaan dengan filosofi esensialisme dan perenialisme adalah sifat ”nomothetic” ilmu yang bersifat universal dan menganggap lingkungan sekitar sebagai bagian dari universal. Akibatnya peserta didik IPS/IS belajar tentang sesuatu yang sudah dinyatakan sebagai suatu kebenaran menurut disiplin ilmu-ilmu sosial tetapi mereka tercabut dari lingkungan dan bahkan tidak mengenal lingkungannya sama sekali. Anak belajar tentang berbagai fenomena dan karakteristik geografis tetapi tidak mengenal lingkungan geografis sekitranya. Peserta didik belajar tentang teori produkdi, distribusi, konsumsi tetapi tidak mengenal kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi di sekitarnya. Peserta didik belajar tentang berbagai peristiwa sejarah (nasional) dengan berbagai tokoh yang terlibat didalamnya tetapi tidak mengenal peristiwa sejarah dan tokoh sejarah yang ada di wilayahnya. Pendidikan IPS/IS telah menjauhkan peserta didik dari lingkungannya dan ini sangat bertentangan dengan filosofi pendidikan bahwa pendidikan harus dimulai dari lingkungan sekitarnya dan dari apa yang sudah dikenal peserta didik. Bahkan kurikulum IPS/IS dengan kedua filosofi tersebut telah menyebabkan disiplin ilmu-ilmu sosial terpisah dari sumber/objek studi yang paling dekat yaitu masyarakat sekitar.

Pendidikan IPS/IS harus keluar dari kekakuan filosofis semacam itu. Pendidikan IPS/IS harus mampu menggunakan berbagai filosofi sehingga berbagai dimensi intelektual peserta didik dapat dikembangkan dengan baik, mendekatkan dirinya dengan masyarakat sekitarnya, dan menjadikan masyarakt sekitar sebagai objek studi yang langsung dapat diamati. Untuk itu filosofi yang digunakan dapat diperkaya dengan ”progressivism” dan ”social reconstructionism”. Pandangan yang bersifat ”ecclectic” untuk pengembangan kurikulum adalah sesuatu yang banyak digunakan orang dan sah karena kategori filosofi yang ada dalam buku teks adalah hasil dari kajian akademik berdasarkan hasil analisis dari kenyataan yang ada di lapangan. Kenyataan tersebut ”dibersihkan” ke dalam kategori tertentu berdasarkan ciri-ciri utama kategori. Dalam tingkat pelaksanaan kategori tadi dapat saja dilepaskan dan dengan demikian pelaksanaan empirik dalam pengembangan kurikulum selalu boleh dan sah menggunakan pandangan filosofis yang eklektik.

Sesuai dengan karakteristik materinya, materi pendidikan IPS/IS memiliki kemampuan mengembangkan beberapa dimensi intelektual Gardner. Dimensi ”lingusitic intelligence”, ”logical-mathematical intelligence”, ”spatial intelligence”, ”social intelligence” dan ”personal intelligence”. Materi yang terdapat pada disiplin dalam pendidikan IPS/IS seperti sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, psikologi, hukum, pendidikan (Hasan, 2000) memiliki kemampuan untuk mengembangkan dimensi intelektual yang dimaksudkan. Revitalisasi pendidikan IPS/IS menempatkan dirinya sebagai pendidikan yang memiliki tugas untuk mengembangkan dimensi inteligensi itu dan untuk itu harus berani mengubah filosofi yang dianut selama ini menjadi filosofi eklektik yang didalamnya terdapat pandangan essensialis, perenialis, eksperimentalisme,  dan rekonstruksi sosial. Jika kedua filosofi pertama berkenaan dengan kemampuan intelketual logika-matematika maka eksperimentalisme berkenaan dengan inteligensi sosial, warga yang demokratik dan rekonstruksi sosial membangun kecakapan dan kepedulian sosial serta menempatkan pendidikan IPS/IS tidak menjadi asing dengan lingkungan sekitarnya. Demikian pula dengan kemampuan pengembangan kemampuan diri sebagai anggota masyarakat.

 

KURIKULUM IPS/IS

Kebijakan mengenai kurikulum di Indonesia mengalami perubahan yang cukup mendasar. Jika pada masa sebelumnya, ketetapan mengenai suatu kurikulum sepenuhnya berada di tangan pemerintah pusat melalui Departemen Pendidikan Nasional pada saat sekarang pemerintah pusat  memberikan kelonggaran yang cukup berarti bagi setiap sekolah. Sesuai dengan ketetapan dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 maka wewenang menetapkan berbagai komponen kurikulum yang berlaku secara nasional adalah pemerintah pusat. Kewenangan tersebut meliputi kewenangan menetapkan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI). Sedangkan kewenangan mengembangkan kurikulum dan menetapkan kurikulum untuk sebuah satuan pendidikan ada ditangan setiap pimpinan satuan pendidikan tersebut (kepala sekolah) dan Komite Sekolah.

Permasalahan yang muncul dalam kurikulum IPS adalah pada SKL, posisi kurikulum, dan model kurikulum. SKL yang ditetapkan pemerintah dikembangkan dari pandangan pendidikan IPS/IS sebagai pendidikan disiplin ilmu yang menggunakan filosofi esensialis dan perenialis. Berdasarkan pendekatan ini maka kemampuan yang harus dimiliki peserta didik IPS/IS adalah kemampuan yang dipersyaratkan oleh disiplin ilmu (lihat lampiran). Kemampuan lain untuk hidup dalam masyarakat dan bermasyarakat seperti komunikasi, kepedulian sosial, kemampuan mengidentifikasi dan mengembangkan solusi penyelesaian masalah, kemampuan untuk hidup dalam masyarakat yang penuh dengan kemajuan teknologi, sikap kritis, rasa ingin tahu, dan semangat kebangsaan tidak menjadi kemampuan yang harus dimiliki peserta didik. Oleh karena itu jika pandangan filosofi kurikulum IPS/IS maka kemampuan-kemampuan ini haruslah dijeadikan kemampuan yang harus dimiliki peserta didik yang belajar IPS/IS.

Selain berorientasi pada pendidikan disiplin ilmu yang berdasarkan filosofi esensialis dan perenialis, pengembangan SKL bertentangan dengan prinsip pengembangan kompetensi untuk pendidikan. SKL adalah kompetensi yang harus dimiliki peserta didik dan inti dari kompetensi adalah ability to perform (Wolf, 1995; Debling, 1995; Kupper dan Palth, 1996). Untuk itu maka peserta didik harus memiliki kemampuan yang enabling him to accomplish tasks adequately, to find solutions and to realize them in work situations. Prinsip utama pengembangan kompetensi adalah bahwa harus ada kategori yang jelas mengenai status kompetensi yaitu kompetensi esensial dan kompetensi khusus. Kompetensi esensial ini menjadi wawasan pengembang SKL dan SI, sebagaimana dikemukakan Ferguson (2000:1) “when designing a course or a program using an outcomes-based curriculum framework, the educator/designer begins by envisioning what students need to be able to do in their lives and what part of that is the responsibility of the course or program”.  Kompetensi esensial adalah kompetensi utama yang harus dimiliki peserta didik dan dikembangkan melalui berbagai mata pelajaran. Kompetensi esensial menurut Quillen (2001) adalah  kompetensi yang “no one course is strictly responsible for any one competency”.  Kompetensi esensial harus dikembangkan oleh IPS/IS dan mata pelajaran lain.

Kemampuan esensial harus dimiliki setiap peserta didik yang menyelesaikan pendidikan dasar (Wajar 9 tahun). Seharusnya kompetensi tersebut dikembangkan berdasarkan analisis kehidupan bangsa masa kini dan arah kehidupan bangsa di masa mendatang. Kualitas kehidupan bangsa masa mendatang tersebut menghasilkan berbagai tuntutan kualitas yang harus dimiliki setiap warganegara dan masyarakat. Atas dasar itulah maka kemampuan esensial yang menjadi tugas kurikulum, termasuk pendidikan IPS/IS) diidentifikasi. Berdasarkan kajian literature dan pengamatan terhadap kehidupan sosial dan kebangsaan masa kini,  tampaknya kemampuan esensial yang diperlukan setiap warganegara dan bangsa Indonesia   antara lain: baca, tulis, berkomunikasi, kreatif, peduli sosial dan lingkungan, demokratis, semangat kebangsaan, kebiasaan membaca, berfikir kritis, taat hukum, rasa ingin tahu, keingin untuk selalu berkembang, beriman dan taqwa. Kemampuan-kemampuan ini seharusnya menjadi SKL esensial dan dikembangkan oleh setiap mata pelajaran yang terdapat pada kurikulum SD, SMP, SMA, dan SMK

Dari apa yang dipaparkan mengenai SKL tampak bahwa SKL seharusnya mencakup konten yang berupa konten substantif, ketrampilan, dan kepribadian. Konten substantif berkenaan dengan aspek materi pelajaran tradisional yang berupa fakta, konsep, teori, pendapat, dan sebagainya. Konten ini tetap penting tetapi seharusnya tidak hanya dikembangkan dari materi disiplin ilmu semata tetapi juga dari berbagai permasalahan yang ada dalam masyarakat di sekitarnya, nasional, regional, dan dunia. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat seperti sikap dan perbuatan merusak, tingkat toleransi yang rendah, tingkat taat hukum yang rendah, tingkat harga diri yang rendah, kemiskinan, mental menerabas, tingkat mubazir yang tinggi dan tingkat produktivitas yang rendah, dan sebagainya dapat dikemas dan dijadikan materi substantif. Peristiwa yang terjadi dalam dunia internasional, sedang berlangsung, belum menjadi materi tersedia dalam disiplin ilmu sudah dapat dijadikan konten kurikulum pendidikan IPS/IS. Dengan demikian maka materi pendidikan IPS/IS terdiri atas materi formal dari disiplin ilmu-ilmu sosial, materi yang tersedia di berbagai sumber (dokumen, artefak, fosil) di masyarakat, dan materi berupa peristiwa kehidupan manusia yang sedang berlangsung.

Materi ketrampilan baik ketrampilan berfikir mau pun ketrampilan motorik menjadi bagian yang sama pentingnya dengan materi substantif. Dalam konteks ini ketrampilan berfikir kognitif[2]  seharusnya menjadi materi ajar yang dikembangkan bersamaan dengan pemahaman mengenai aspek substantif. Materi kurikulum yang berkenaan dengan kebiasaan dan sikap dikemas dalam bentuk materi substantif sehingga peserta didik diminta untuk menghafal definisi demi definisi, pendapat demi pendapat mengenai materi tersebut. Padahal materi ini adalah materi penting yang akan membentuk kebiasaan-kebiasaan baru pada diri peserta didik dalam melihat suatu permasalahan, bersikap, dan bertindak. Oleh karena itu revitalisasi pendidikan IPS/IS tidak dapat melepaskan diri dari perubahan dalam materi pendidikan IPS/IS. Wawasan, sikap, dan cara bertindak yang dikembangkan dalam pendidikan IPS/IS adalah materi baru yang akan menghasilkan manusia baru dari peserta didik yang belajar IPS/IS.

Model kurikulum berkenaan dengan desain kurikulum sebagai dokumen. Sebagaimana dengan kompetensi dan konten kurikulum, kesalahan dalam model kurikulum ini bukan semata milik  pendidikan IPS/IS tetapi berkenaan dengan seluruh mata pelajaran. Persoalan ini muncul karena desain kurikulum yang digunakan adalah desain untuk “transfer of Knolwedge” dan desain itu tidak sesuai untuk pengembangan ketrampilan dan sikap. Ketrampilan dan sikap sebagai aspek penting dalam komponen kompetensi terabaikan dan tidak memiliki kesempatan untuk dikembangkan. Desain kurikulum memperlakukan kompetensi sebagai “mastery subject” yang dapat dikuasai melalui suatu pertemuan. Kompetensi dalam aspek ketrampilan dan sikap adalah “developmental” dan oleh karena itu maka dia tidak mungkin dikuasasi dalam “one short meeting”. Konsekuensi dari karakteristik materi ini maka desain kurikulum yang digunakan haruslah desain kurikulum berbasis kompetensi.

New Zealand Social Studies, Hongkong Life Skills Curriculum, Ontario Social Studies, New Jersey Social Studies adalah beberapa contoh dari desain kurikulum yang mengembangkan karakteristik kompetensi dengan baik dalam desain kurikulum. Kompetensi esensial terus menerus dikembangkan dalam proses pendidikan sehingga peserta didik menguasainya pada jenjang yang dipersyaratkan (essentials atau profieciency). Oleh karena pendidikan berkepentingan agar setiap peserta didik menguasai kemampuan yang dipersyaratkan maka kurikulum selalu memberi kesempatan kepada setiap peserta didik untuk menguasai pada tingkat yang dipersyaratkan[3].  Sayang memang keputusan mengenai desain kurikulum diserahkan kepada sekolah tanpa ada persiapan dan penjelasan mengenai keterkaitan antara karakteristik kompetensi dengan desain kurikulum.

Posisi mata pelajaran IPS untuk kurikulum tingkat SD dan SMP tidak ada masalah. Beban belajar yang dialokasikan dalam Standar Isi sudah cukup untuk mengembangkan pendidikan IPS. Sayangnya, tidak demikian halnya dengan pendidikan IS di SMA, dimana mata pelajaran Sejarah dan Geografi masing-masing diberikan alokasi waktu 1 (satu) SKS. Tentu saja berbagai alasan yang logis dapat diajukan untuk mengatakan bahwa alokasi waktu sebesar itu sangat tidak wajar apalagi ketika bangsa ini menghadapi berbagai masalah bangsa seperti bahaya disintegrasi bangsa, kehilangan berbagai pulau, dan hal yang berkenaan dengan semangat kebangsaan.

PEMBELAJARAN IPS/IS

Permasalahan pendidikan IPS/IS yang perlu diperhatikan untuk revitalisasi pendidikan IPS/IS adalah proses pembelajaran. Proses pembelajaran IPS/IS dianggap sangat membosankan karena peserta didik terpaku ketat di mejanya masing-masing mencatat, mendengar, menjawab pertanyaan guru atau pun berdiskusi. Lagipula, kompetensi yang diartikan sebagai “ability to perform” tidak menjiwai proses pembelajaran karena “perform” yang harus dilakukan peserta didik terbatas pada tiga kegiatan tadi. Proses pembelajaran IPS/IS tidak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan kemampuan yang seharusnya mereka kuasai.

Model pembelajaran duduk, dengar, mencatat, dan menjawab pertanyaan dan diskusi sesuai untuk karakteristik materi pelajaran yang bersifat ”mastery”. Model pembelajaran yang demikian memiliki potensi kuat untuk mengembangkan ingatan dan pemahaman. Sayangnya, materi pelajaran yang bersifat ”developmental” menghendaki proses pembelajaran yang lebih dari pengembangan ingatan dan pemahaman. Materi pelajaran yang bersifat ”developmental” seperti kemampuan berfikir, melakukan sesuatu berdasarkan prosedur tertentu,  pembentukan sikap dan kebiasaan menghendaki proses pembelajaran yang menuntut peserta didik untuk menggunakan apa yang sudah dipelajari dan difahami. Peserta didik harus secara berkelanjutan melatih dirinya dalam kemampuan berfikir, melakukan sesuatu berdasarkan prosedur tertentu, membangun sikap dan kebiasaan dalam bentuk pengalaman langsung (on hand experience). Tanya jawab dan diskusi dilakukan untuk menentukan cara dan proses yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang telah diidentifikasi. Pemahaman terhadap masalah, prosedur dan ketrampilan yang tepat perlu dipilih dari perbendaharaan yang ada pada diri peserta didik untuk digunakan dalam menyelesaikan masalah secara efektif dan efisien sehingga tercapai tingkat penguasaan proficiency dari kompetensi. Oleh karena itu, pengembangan proses pembelajaran IPS/IS harus dapat memberikan jaminan bahwa ketrampilan atau kompetensi yang tercantum dalam kurikulum telah dikuasai peserta didik pada jenjang profiency.

Untuk SD tingkat profieciency yang harus dimiliki peserta didik berbeda dalam kompleksitas dengan proficiency yang harus dikuasai peserta didik SMP atau SMA. Selain itu penentuan proses harus didasarkan pada kriteria berikut:

  • Dapat dilakukan peserta didik
  • Efisien
  • Efektif
  • Menyenangkan
  • Memperkaya pengalaman belajar peserta didik

Gambar berikut memperlihatkan proses pembelajaran yang mampu mengembangkan potensi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang diperlukan. Proses pembelajaran tersebut terdiri atas 4 langkah yaitu:

  • Pengumpulan Informasi
  • Pemahaman Informasi
  • Pengembangan skills/values
  • Pemantapan skills/values

Pengumpulan informasi merupakan kompetensi yang harus dikuasai peserta didik. Proses pembelajaran IPS/IS harus dapat mengembangkan kemampuan pengumpulan informasi karena kemampuan ini diperlukan sampai ke perguruan tinggi dan ketika seseorang ingin melanjutkan pendidikan sepanjang hayatnya. Kemampuan pengumpulan informasi berkenaan dengan pengetahuan tentang jenis informasi, sumber yang memiliki informasi yang dimaksudkan, cara mendapatkan sumber tersebut, cara menarik informasi dari sumber.  Dalam melatih peserta didik mengembangkan kemampuan ini guru IPS/IS dapat menggunakan berbagai metode mengajar yang dapat mengembangkan cara belajar peserta didik dalam berbagai kegiatan pengumpulan informasi.  Buku, nara sumber, artefak, fosil, dokumen, websites, dan sebagainya adalah berbagai sumber informasi yang perlu diketahui peserta didik baik dalam cara mendapatkannya mau pun dalam cara pengolahan sumber untuk mendapatkan informasi.

Pemantapan pemahaman terhadap informasi yang sudah dikumpulkan adalah sesuatu yang perlu untuk kegiatan berikutnya. Informasi yang diperoleh dapat berupa data, kata, konsep, teori, nilai, sikap, prosedur, hukum, kaedah, dan sebagainya. Pemahaman terhadap informasi ini haruslah mencapai tingkat penafsiran. Pemahaman pada tingkat ini akan memberikan dasar yang kuat bagi pengembangan ketrampialn/nilai. Pengembangan ketrampilan/nilai tanpa pemahaman yang baik terhadap informasi akan berdampak pada kesalahan-kesalahan. Sesuai dengan cara belajar peserta didik yang dirancang untuk kegiatan pemantapan pemahaman berbagai metode seperti tanya jawab dan diskusi dapat digunakan.

Kegiatan berikutnya adalah proses pengembangan kemampuan, nilai dan sikap. Melalui kegiatan ini peserta didik IPS/IS menguasai dasar-dasar kemampuan, nilai dan sikap. Proses pengembangan kemampuan dapat dilakukan di kelas dan di luar kelas. Guru dan peserta didik dapat mengidentifikasi permasalahan sosial yang terkait dengan kompetensi, nilai dan sikap yang akan dikembangkan. tersebut. Untuk tahap-tahap awal permasalahan tersebut dapat saja bersifat ”hypothetical”, selanjutnya berlatih dengan masalah-masalah sosial yang nyata dan hidup di masyarakat. Tak perlu dikemukakan bahwa tingkat kesulitan masalah haruslah disesuaikan dengan jenjang pendidikan yang sedang dilalui peserta didik.

Tahap berikutnya dalam proses adalah memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menerapkan kemampuan yang sudah dikuasai dalam berbagai situasi atau materi pelajaran yang baru. Melalui kesempatan yang beragam tersebut peserta didik menguasai ketrampilan tersebut sampai kepada tingkat profieciency, mengembangkan nilai dan sikap sampai kepada tingkat kebiasaan (habit). Tentu saja harus diakui bahwa proses ini adalah proses panjang dan berkelanjutan.

Suatu keputusan penting dalam pengembangan proses adalah penentuan metode yang akan digunakan guru. Selama ini metode mengajar ditentukan oleh tujuan yang akan dicapai. Model demikian mengandung kelemahan dasar yaitu kegiatan di kelas akan selalu didominasi guru. Guru menjadi pusat kegiatan dan peserta didik melakukan kegiatan turunan dari apa yang dilakukan guru. Model penentuan metode demikian harus diubah dan sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, kegiatan peserta didik adalah sesuatu yang utama dan menentukan metode mengajar.

Dengan model penentuan metode yang digambarkan di atas maka kegiatan peserta didik selalu menjadi kepedulian utama. Guru adalah orang yang selalu harus memfasilitasi proses pembelajaran peserta didik.

 

ASESMEN HASIL BELAJAR

Hasil belajar peserta didik kurikulum IPS adalah kompetensi. Kompetensi tersebut dapat berbentuk pengetahuan, sikap, ketrampilan, minat, dan kebiasaan (habit). Berbeda dengan asesmen yang dilakukan saat sekarang dimana peserta didik ”dibiarkan” tidak menguasai apa yang seharusnya menjadi hasil belajarnya maka dalam impelemntasi kurikulum IPS berbasis kompetensi pelaksanaan semacam itu sudah harus ditinggalkan. Dalam asesmen hasil belajar kurikulum IPS, guru harus mendapatkan informasi yang akurat tentang tingkat pencapaian peserta didik, melakukan perbaikan jika belum memenuhi persyaratan minimal, dan memiliki informasi yang akurat mengenai materi yang sulit dikuasai peserta didik. Perubahan orientasi dan pelaksanaan asesmen ini mutlak dilakukan dalam implementasi kurikulum IPS berbasis kompetensi.

Prinsip yang harus digunakan dalam asesmen hasil belajar adalah asesmen ditujukan untuk mengumpulkan informasi mengenai tingkat penguasaan kompetensi dan diarahkan untuk membantu peserta didik yang mengalami masalah belajar. Asesmen tidak boleh dijadikan alat untuk menghukum peserta didik. Asesmen adalah alat guru dan peserta didik untuk memperbaiki kesulitan belajar dan tingkat pencapaian kompetensi peserta didik.

Untuk itu dapat digunakan berbagai model asesmen hasil belajar yang mampu memberikan informasi hasil belajar tersebut seperti SOLO Taksonomy dan Performance assessment, dan port-folio assessment yang banyak menggunakan butir soal bentuk uraian. Untuk mendapatkan informasi mengenai pemahaman dan ingatan terhadap berbagai fakta penting dapat digunakan tes dengan bentuk soal objektif dan portfolio assessment.

DAFTAR BACAAN

Borries, Bodo von (2000). Methods and Aims of Teaching History in Europe: A Report on Youth and History, dalam Knowing Teaching & Learning History: National and International Perspectives (Eds. Stearns, P.N., Seixas,P., Wineburg,S.). New York: New York University Press.

California State Board of Education (2000).History-Social Science Content Standards for California Public Schools: Kindergarten through Grade Twelve. Sacramento: California Department of Education

Gardner, H. (2006). Changing Minds: the Art and Science of Changing Our Own and Other People’s Minds. Boston: Harvard Business School Press.

Hasan,S.H. (2003). Strategi Pembelajaran Sejarah Pada Era Otonomi Daerah Sebagai Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah

Hasan, S.H. (2007). Evaluasi Kurikulum. In Press

Hess, F.M. (1999). Bringing the Social Sciences Alive: 10 Simulations for History, Economics, Government, and Geography. Boston: Allyn and Bacon.

Hursh,D.W. dan E.W. Ross (2000). Democratic Social Education: Social Studies for Social Change. New York: Palmer Press.

Jakubowski,C. (2002). Teaching World History: Problems and Promises Faced by Young Teachers. World History Bulletin. XVIII, 2.

Kupper,H.A.E. dan Arnold A.W. van Wulfften Palthe (?), Competency-based curriculum development, Experiences in Agri Chain Management in the Netherlands and in China

Lindquist,T. (1995). Seeing the whole through social studies. London: Heinemann

Ministry of Education (?). Social Studies in the New Zealand Curriculum. Wellington: Learning Media.

North Carolina State Board of Education (2004). North Carolina Standard Course of Study. Available at http://www.ncpublicschools.org/curriculum/foreword

NCSS (1994). Curriculum standards for social studies: expectations of excellence. Washington,D.C.: NCSS

Nebraska, State Board of Education (1998). Nebraska Social Studies/History Standards: Grades K-12. [Online]. Tersedia: http://www.nde.state.ne.us/SS/SocSStnd.html. (25 Mei 2001).

New York State Department of Education (1996). Learning Standards for Social Studies. Albany: The State Department of Education

NIER (1999). An International Comparative Study of School Curriculum. Tokyo: National Institute for Educational Research.

North Carolina State Board of Education (2004). North Carolina Standard Course of Study. Available at http://www.ncpublicschools.org/curriculum/foreword

O’Donnell, S., et al.(2002). International Review of Curriculum and Assessment Frameworks. Comparative Tables and Factual Summaries-2002.  London: National Foundation for Educational Research

Oliva, P.F. (1997). Developing the Curriculum, 4th ed., New York: Longman

Koblin, D. (1996). Beyond the Textbook: teaching history using documents and primary sources. Portsmouth, NH: Heinemann.

Levstik,L.S. (2000). Articulating the Silences: Teachers’ and Adolescents’ Conceptions of Historical Significance, dalam Knowing Teaching and Learning History: National and International Perspectives, Knowing Teaching and Learning History: National and International Perspectives, ed. Stearns,P.N., P. Seixas, dan S. Wineburg.

Ministry of Education (?). Social Studies in the New Zealand Curriculum. Wellington: Learning Media.

Quillen,D.M. (2001). Challenges and Pitfalls of Developing and Applying a Competency-based Curriculum. Family Medicine, Oktober 2001.

RMIT (2002). Competency Based Curriculum. Available at http://www.rmit.edu.au, tanggal 9 Mei 2002.

 

 

 

DOKUMEN

 

PERMEN DIKNAS No. 22 dan 23 Tahun 2005

 

LAMPIRAN

 

Ilmu Pengetahuan Sosial SD/MI

  1. Memahami identitas diri dan keluarga, serta mewujudkan sikap saling menghormati dalam kemajemukan keluarga
  2. Mendeskripsikan kedudukan dan peran anggota dalam keluarga dan lingkungan tetangga, serta kerja sama di antara keduanya
  3. Memahami sejarah, kenampakan alam, dan keragaman suku bangsa di lingkungan kabupaten/kota dan provinsi
  4. Mengenal sumber daya alam, kegiatan ekonomi, dan kemajuan teknologi di lingkungan kabupaten/kota dan provinsi
  5. Menghargai berbagai peninggalan dan tokoh sejarah nasional, keragaman suku bangsa serta kegiatan ekonomi di Indonesia
  6. Menghargai peranan tokoh pejuang dalam mempersiapkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia
  7. Memahami perkembangan wilayah Indonesia, keadaan sosial negara di Asia Tenggara serta benua-benua
  8. Mengenal gejala (peristiwa) alam yang terjadi di Indonesia dan negara tetangga, serta dapat melakukan tindakan dalam menghadapi bencana alam
  9. Memahami peranan Indonesia di era global

 

Ilmu Pengetahuan Sosial SMP/MTs

  1. Mendeskripsikan keanekaragaman bentuk muka bumi, proses pembentukan, dan dampaknya terhadap kehidupan
  2. Memahami proses interaksi dan sosialisasi dalam pembentukan kepribadian manusia
  3. Membuat sketsa dan peta wilayah serta menggunakan peta, atlas, dan globe untuk mendapatkan informasi keruangan
  4. Mendeskripsikan gejala-gejala yang terjadi di geosfer dan dampaknya terhadap kehidupan
  5. Mendeskripsikan perkembangan masyarakat, kebudayaan, dan pemerintahan sejak Pra-Aksara, Hindu Budha, sampai masa Kolonial Eropa
  6. Mengidentifikasikan upaya penanggulangan permasalahan kependudukan dan lingkungan hidup dalam pembangunan berkelanjutan
  7. Memahami proses kebangkitan nasional, usaha persiapan kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan, dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia
  8. Mendeskripsikan perubahan sosial-budaya dan tipe-tipe perilaku masyarakat dalam menyikapi perubahan, serta mengidentifikasi berbagai penyakit sosial sebagai akibat penyimpangan sosial dalam masyarakat, dan upaya pencegahannya
  9. Mengidentifikasi region-region di permukaan bumi berkenaan dengan pembagian permukaan bumi atas benua dan samudera, keterkaitan unsur-unsur geografi dan penduduk, serta ciri-ciri negara maju dan berkembang
  10. Mendeskripsikan perkembangan lembaga internasional, kerja sama internasional dan peran Indonesia dalam kerja sama dan perdagangan  internasional, serta dampaknya terhadap perekonomian Indonesia
  11. Mendeskripsikan manusia sebagai makhluk sosial dan ekonomi serta mengidentifikasi tindakan ekonomi berdasarkan motif dan prinsip ekonomi dalam memenuhi kebutuhannya
  12. Mengungkapkan gagasan kreatif dalam tindakan ekonomi berupa kegiatan konsumsi, produksi, dan distribusi barang/jasa untuk mencapai kemandirian dan kesejahteraan

 

 

[1] Makalah Seminar Nasional Revitalisasi Pendidikan IPS, UPI, Bumi Siliwangi, 21 November 2007

[2] Dalam masyarakat dan di kalangan penjabat pengambil kebijakan pendidikan di tingkat nasional dan daerah sering terjadi salah pengertian mengenai ranah kognitif. Anggapan salah itu adalah seolah-olah ranah kognitif itu hanyalah berkenaan dengan hafalan (knowledge) padahal ranah kognitif terdiri atas knowledge and understanding dan intellectual skills. Intellectual skills terdiri atas kemampuan aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kesalahfahaman tersebut sayangnya berdampak kepada kebijakan sehingga Bloom sebagai salah satu pelopor pendidikan berdasarkan kompetensi dan melahirkan taksonomi tujuan pendidikan tidak digunakan dalam mengembangkan kompetensi sementara itu kategori yang digunakan untuk jenjang kompetensi seperti readiness, foundations, essentials, dan profiency (Arizona Social Studies) atau below basic, basic, profieciency dan advanced (Wyoming Social Studies) tidak juga digunakan. Sekolah dan guru dilepas dalam ketidakpastian dan tanpa ada patokan.

[3] Konsep ini berbeda dengan konsep UN dan UNTUS dimana peserta didik dipersaingkan dalam belajar dan kemudian ditentukan nasibnya pada waktu akan menyelesaikan pendidikan di suatu sekolah. Dalam konsep UN dan UNTUS pemerintah bertindak sebagai wasit dan eksekutor bukan sebagai penanggungjawab yang harus memberikan pelayanan pendidikan bermutu kepada setiap peserta didik. Pendidikan menginginkan dan mengusahakan agar semua potensi peserta didik mendapatkan kesempatan untuk dikembangkan dalam proses pendidikan yang memang sesuai untuk itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *