Perserikatan Guru Hindia Belanda (PGHB) Sebagai Wadah Organisasi Guru Bumi Putera Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda (1911-1933)

Oleh : Wawan Darmawan

Guru dalam artian formal pada masa Pemerintah Hindia Belanda dihasilkan dari sekolah yang bernama Kweekschool (Pendidikan Keguruan)[1]. Pendidikan Keguruan ini mulai diatur pada tahun 1871 setelah keluarnya Peraturan Pemerintah yang menyatakan, bahwa pengadaan sekolah dasar bumiputera harus didahului oleh pengadaaan tenaga  gurunya. Atas dasar peraturan  itulah Kweekschool diperbanyak.[2] Jenis sekolah itu mengalami pasang-surut. Karena adanya perubahan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan, maka beberapa sekolah guru ditutup dengan alasan penghematan keuangan negara. Kweekschool yang ditutup yaitu yang di Tapanuli pada tahun 1874, Magelang dan Tondano pada tahun 1885, Padang Sidenpuan (1891), Banjarmasin (1893), dan Makassar (1895).[3]

Hadirnya Kweekschool ternyata kurang diminati oleh golongan bangsawan, sehingga murid-murid Kweekschool kebanyakan dari keluarga priyayi rendah, pegawai rendah, para pedagang, keluarga mantri atau dari keluarga guru sendiri. Untuk itu dalam rangka memenuhi keinginan kaum bangsawan dalam mendapatkan pendidikan yang lebih baik dari Kweekschool, maka pada tahun 1878 pemerintah mendirikan Hoofdenschool[4] yang bertujuan mendidik calon-calon pegawai pemerintah.[5]

Kweekschool ditujukan  untuk memenuhi kebutuhan guru bumiputera bagi sekolah-sekolah yang ada pada waktu itu.[6] Lulusan Kweekschool diberi gaji yang disamakan dengan gaji seorang asisten wedana sebesar f. 50,- hingga f. 150,- per bulan.[7] Lulusan Kweekschool mendapat gelar resmi “manteri guru” yang memberikan mereka kedudukan yang nyata di kalangan pegawai pemerintah lainnya.  Mereka berhak untuk menggunakan payung, tombak, tikar, dan kotak sirih menurut ketentuan pemerintah. Mereka juga mendapat biaya menggaji empat pembantu untuk membawa keempat lambang kehormatan itu. Tanda-tanda kehormatan itu membangkitkan rasa hormat, termasuk murid-muridnya sendiri, khususnya anak-anak kaum ningrat.[8]

Adanya rangsangan gaji sebesar itu dan tanda-tanad kehormatan, tetap saja jabatan guru pada perkembangan berikutnya kurang diminati, khususnya oleh para bangsawan.[9] Menurut Akira Nagazumi, ketika kecenderungan pribadi terhadap pekerjaan di kalangan pemerintahan pribumi sangat berbeda dan banyak mengalami perubahan, sementara kedudukan priyayi secara menyeluruh kadang-kadang tidak menentu, maka kedudukan sosial guru pribumi mengalami perubahan yang luar biasa.[10] Waktu gaji guru tidak kurang dari gaji wedana ¾ pada akhir abad ke-19¾ ternyata wedana pun ingin menjadi guru. Tetapi kemudian daya tarik jabatan guru mengalami penurunan luar biasa, dibandingkan dengan jabatan-jabatan pemerintahan lainnya, karena itulah di antara semua priyayi dari lingkungan pemerintahan, (gaji) guru berada ditingkat paling rendah.[11]

Jabatan guru yang kurang diminati sebenarnya dapat dilihat dari kedudukan atau status sosial guru-guru bumiputera pada awal abad ke-20. Waktu itu struktur sosial kolonial didasarkan pada perbedaan ras. Masyarakat Eropa (Belanda) menempati urutan paling atas, sementara pribumi menempati urutan yang paling bawah. Dalam masyarakat pribumi yang sudah menempati urutan paling bawah, ternyata kedudukan seseorang masih juga dibedakan. Menurut Sartono Kartodirdjo, kedudukan seseorang pada awal abad ke-20 dapat dilihat dari aspek keturunan, pekerjaan, penghasilan, dan pendidikan.[12] Dihubungkan dengan guru, maka aspek-aspek itu dapat dipakai untuk menentukan kedudukan sosialnya. Misalnya dari aspek keturunan, mayoritas guru-guru bumiputera berasal dari keluarga biasa, seperti petani, pedagang, mantri, pegawai rendah, dan dari keluarga guru sendiri. Kalaupun ada dari keluarga priyayi, hanyalah priyayi rendahan.[13]

Dari segi penghasilan (gaji), Departement van Onderwijs en Eredienst (Departemen Pendidikan dan Agama) sebagai lembaga yang bertanggung jawab menangani gaji guru-guru bumiputera, membuat ketentuan bahwa penghasilan guru-guru berdasarkan atas ijazahnya. Adapun sekolah-sekolah guru yang ada pada awal abad ke-20 adalah Normaalschool,  yaitu sekolah guru dengan lama pendidikan 4 tahun dan menerima lulusan dari sekolah Vervolg atau Sekolah Kelas II, Hogere Kweekschool (HKS) yaitu sekolah guru dengan lama belajar 3 tahun,  Hollands Inlandsche Kweekschool (HIK) untuk menggantikan HKS dengan lama pendidikan 6 tahun, Hollands Chinese Kweekschool (HCK) yaitu sekolah guru Cina yang sederajat dengan HIK, dan Kursus Hoofdakte.[14]

Untuk lulusan Guru Sekolah Desa, gaji permulaan sebesar f. 7,50 per bulan. Pemerintah Hindia Belanda sendiri menetapkan penghasilan mereka minimal f. 15,- maksimal f. 20-25,- per bulan, hal itu disebabkan mereka bukanlah pegawai pemerintah. Untuk menutupi kekurangan gaji tersebut dapat diambil dari kas desa, tetapi jika kas tidak mampu membayar dengan uang, dapat diganti dengan tanah bengkok guru desa, yaitu berupa tanah sawah atau tanah garapan dengan luas tertentu.[15]

Bagi guru-guru bantu Sekolah Kelas Dua yang merupakan lulusan Kursus Guru Bantu selama dua tahun, mendapat gaji sekitar f. 20,- sampai f.30,- per bulan. Normaalschool yang melahirkan guru sekolah kelas dua mendapat gaji sekitar f. 30,- sampai f. 45,- per bulan.[16]  Sementara itu guru-guru lulusan Kweekschool yang biasanya ditempatkan sebagai Kepala Sekolah Kelas Dua, Sekolah Kelas Satu atau guru Sekolah Kelas Satu, menerima gaji sekitar f. 75,- sampai f. 150,- per bulan. Dibandingkan dengan guru-guru Sekolah Desa, Guru Bantu Kelas Dua dan Normaalschool, lulusan Kweekschool lebih dihargai oleh pemerintah. Hal itu wajar karena kecakapan dan pendidikannya lebih tinggi ditambah dengan kemampuan dalam bahasa Belanda.

Pendapatan gaji untuk jenis guru lainnya, seperti tamatan Hogere Kweekschool (HKS) atau Hollands Inlands Kweekschool (HIK) adalah sebesar f. 70,- sampai f. 250,- per bulan, Europese Kweekschool f. 125,- per bulan, dan tamatan Hoofdacte sebesar f. 130,- per bulan.[17]

Berdasarkan pendapatan atau gaji yang diterima oleh guru-guru bumiputera dan guru-guru yang berkebangsaan Eropa, terlihat gaji guru-guru bumiputera jauh di bawah gaji guru-guru Eropa. Seorang guru kebangsaan Eropa dapat menerima gaji di atas f. 100,- per bulan, sementara gaji yang diterima seorang guru bumiputera lulusan Kweekschool adalah f. 75,- per bulan.[18]

Perbedaan gaji tidak hanya antara guru-guru bumiputera dan guru-guru berkebangsaan Eropa, tetapi juga di antara guru-guru bumiputera  terdapat  perbedaan. Sejak tahun 1878, lulusan Kweekschool menerima gaji di atas f. 75,- sampai 150,- per bulan. Guru-guru bantu Sekolah Kelas Dua mendapat gaji sekitar f. 20,- sampai f. 30,- per bulan. Jika disesuaikan dengan kenaikkan harga-harga barang kebutuhan hidup, gaji tersebut tidak mencukupi kebutuhan hidup.[19] Keadaan itu dijadikan dasar untuk menuntut kenaikkan gaji. Pada tahun 1914 pemerintah menaikkan gaji guru-guru bantu dan gaji guru Sekolah Kelas Dua sebesar f. 5,-, tetapi kenaikkan tersebut belum cukup memuaskan mereka.[20]

Adanya perbedaan gaji dari masing-masing lulusan sekolah yang ada pada waktu itu, membuat guru-guru bumiputera berusaha untuk memperjuangkan nasibnya. Dwidjosewojo[21] sebagai anggota Pengurus Besar Budi Utomo mulai memikirkan wadah perjuangan para guru dengan membentuk Perserikatan Guru Hindia Belanda (PGHB) pada akhir tahun 1911.[22] PGHB yang anggotanya terdiri dari Guru Bantu, Guru Desa, Kepala Sekolah, dan Penilik Sekolah mendapatkan badan hukum dari Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 18 Desember 1912.

Pada kongres pertamanya di kota Magelang tanggal 12 Pebruari 1912, terbentuklah kepengurusan besar PGHB.[23] Bersama dengan kongres tersebut dibentuklah perusahaan asuransi jiwa nasional yang pertama, Onderlinge Levensverzekering Maatschappij P.G.H.B., disingkat O.L. Mij. PGHB yang kemudian hari menjadi Asuransi Jiwa Bumipoetra (AJB Bumipoetra) 1912[24]   sebagai usaha memperjuangkan nasib anggotanya yang terdiri dari berbagai pangkat dan latar belakang pendidikan yang berbeda.

Gagasan Dwidjosewojo untuk mendirikan perusahaan asuransi jiwa telah membuktikan bahwa ia adalah tokoh yang cakap dan berwawasan jauh ke depan. Pada saat Budi Utomo masih bergerak dibidang pendidikan dan kebudayaan, Dwidjosewojo telah melompat ke depan untuk mencoba mengembangkan bidang usaha yang berwawasan sosial ekonomi, bahkan sebelum Sarekat Dagang Islam lahir.[25]

Langkah-langkah yang ditempuh oleh PGHB membentuk O.L. Mij. PGHB itu lebih banyak didorong oleh cita-cita luhur demi kebaikan sesama kaum bumiputera, khususnya para guru yang tergabung dalam PGHB, dan tidak disadari bahwa mereka itu telah memiliki suatu bidang usaha yang kelak berkembang pesat.[26] Pemerintah Hindia Belanda sendiri memberikan subsidi kepada PGHB untuk O.L. Mij. PGHB sebesar f. 300,- sebulan.[27] Dengan diterimanya subsidi sebesar itu sebulan, keadaan O.L. Mij. PGHB menjadi lebih baik.

Perusahaan Asuransi Boemipoetra yang langsung di bawah pengurusan PGHB dengan tujuan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan guru sebagai anggota pada akhirnya lepas dari PGHB. Mengenai hal ini penulis belum menemukan data apa yang menyebabkan perusahaan Asuransi Boemipoetra lepas dari organisasi guru (PGHB). Untuk itu tidak mudah bagi PGHB untuk memperjuangkan nasib anggotanya yang pada waktu itu memiliki latar belakang pendidikan, pangkat, dan status yang berbeda hanya dengan asuransi jiwa. Kondisi sosial dan politik pada waktu itu mempersulit juga terciptanya persatuan di antara guru. Tujuh tahun kemudian setelah pendiriannya (1919), PGHB pecah[28] dengan bermunculan organisasi-organisasi guru berdasarkan latar belakang pendidikan, pangkat atau tingkat sekolah yang berbeda. Organisasi-organisasi guru yang lahir itu antara lain Kweekschool Bond (KSB), Perserikatan Guru Desa (PGD),  Perkumpulan Normaalschool (PNS), School Opziener’s Bond (SOB), Vaak Onderwijszer’s Bond (VOB), Perserikatan Guru Ambacht School (PGAS), Hogere Kweekschool Bond (HKSB), Nederlands Indische Onderwijzers Genootschap (NIOG), Christelijke Onderwijzer’s Vereeniging (COV), Onderwijzer’s Vak Organisatie (OVO), Katholieke Onderwijzer’s Bond (KOB), dan Chineesche Onderwijzer’s Bond (COB).[29] Perpecahan ini sangat buruk akibatnya bagi guru, antara lain martabat guru menjadi turun dan mereka tidak kompak lagi dalam memperjuangkan statusnya.[30]

Sebagai usaha untuk memperjuangkan nasib anggotanya, PGHB pada tahun 1930-an  mencoba menggabungkan diri pada Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN). PVPN merupakan perpusatan serikat sekerja pegawai negeri yang sejak pendiriannya berada di luar pengaruh partai-partai politik dan PVPN sendiri tidak mempunyai tujuan politik.[31] Masuknya PGHB menjadi anggota PVPN diharapkan dapat memperjuangkan nasib guru. Beberapa usaha PVPN itu antara lain pada bulan Desember 1931 mengadakan rapat disertai oleh perkumpulan politik Budi Utomo, Pasundan, Sarekat Sumatra, Sarekat Ambon, Kaum Betawi, dan Jong Celebes, untuk memprotes rancangan pemerintah yang hendak mengadakan penghematan besar-besaran di lapangan pengajaran, yang berakibat tidak saja guru-guru banyak kehilangan pekerjaan tetapi juga menghambat kemajuan rakyat.[32]

Perkembangan berikutnya PGHB berganti nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) pada tahun 1933 sebagai akibat dikeluarkannya peraturan pemerintah mengenai sarekat sekerja pegawai negeri.[33] Pada kongresnya ke-23 di Surabaya tanggal 2-6 Januari 1934, PGI yang telah mempunyai 20.000 anggota membicarakan kedudukan para guru berhubungan dengan krisis dan penghematan gaji pegawai negeri.

Perjuangan PGI itu tidak seluruhnya berjalan mulus, Persatuan Guru Bantu (PGB) pada bulan Juli 1934 mengundurkan diri dari PGI karena dianggap kurang tegas dalam mempertahankan kepentingan golongan Guru Bantu. PGB menyalahkan sikap PGI dengan diberlakukannya peraturan gaji baru oleh pemerintah yang sangat menjatuhkan kedudukan dan gajinya. Meskipun PGB  mengundurkna diri, perkumpulan guru-guru lainnya tetap bersatu dalam PGI, antara lain PGAS, VOB, Oud Kweekscholieren Bond (OKSB), PNS  dan HKSB.[34]

Kongres PGI ke-25 tanggal 25-29 Nopember 1936 di Madiun, isinya menentang maksud pemerintah untuk memindahkan urusan pengajaran dari tangan pemerintah pusat ke tangan pemerintah daerah, berhubung kurang perlengkapan dan terbatasnya keuangan pemerintah daerah, dan dikhawatirkan dapat berakibat pada kemuduran pengajaran.[35] Di dalam Kongres PGI ke-26 yang diadakan pada bulan Nopember 1937 di Bandung bertepatan dengan peringatan dua puluh lima tahun berdirinya PGI, dirumuskan supaya diadakan wajib belajar. Selanjutnya di dalam Kongres PGI tahun 1938 yang diselenggarakan di Malang, diputuskan antara lain perlunya perbaikan gaji para guru dan menuntut agar pendidikan dan pengajaran yang diserahkan ke daerah harus didahului dengan perbaikan keuangan daerah.[36]

Demikianlah perkembangan organisasi guru pada zaman kolonial yang berhubungan dengan kehidupan politik bangsa Indonesia. A.K. Pringgodigdo telah memasukan organisasi yang tergabung dalam PGHB dan PGI pada Pergerakan Serikat Sekerja sebagai bagian dari Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.

[1] Kweekschool  pertama yang didirikan di Hindia Belanda adalah yang diselenggarakan oleh Zending di Ambon pada tahun 1834. Sekolah tersebut berlangsung sampai 30 tahun (1866) dan dapat memenuhi kebutuhan guru bumiputera bagi sekolah-sekolah yang ada pada waktu itu. Selanjutnya sekolah tersebut didirikan di Surakarta (1852), Bukittinggi (Fort de Kock) (1858), Tapanuli (1864), dan Bandung (1866). Mengenai perkembangan Kweekschool lihat, I.Djumhur dan H. Danasuparta. Sejarah Pendidikan. Bandung: CV. Ilmu, 1976, hal. 131; Sumarsono Mestoko. Pendidikan di Indonesia, Dari Jaman ke Jaman. Jakarta:Depdikbud, 1979, hal. 53

[2] Setelah keluarnya Peraturan Pemerintah pada tahun 1871, beberapa Kweekschool didirikan di Tondano pada tahun 1873, Ambon (1874), Magelang , Probolinggo, dan Banjarmasin (1875), Makassar (1876), dan Padang Sidempuan (1879). I.J. Brugmans. Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlands-Indie. Groningen: J.B. Wolters. 1938, hal. 142; lihat juga Sumarsono Mestoko, op.cit., hal. 54

[3] Penutupan itu disebabkan juga oleh keinginan pemerintah dalam menghemat biaya. Ibid., hal. 54

[4] Sekolah ini menurut bahasa sehari-hari disebut “sekolah raja atau sekolah menak”. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Melayu dan Belanda. Setelah mengalami percobaan dan perubahan pada tahun 1900, sekolah ini diberi nama OSVIA ( Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren = Sekolah untuk Pendidikan Pegawai Bumiputera) yang mengkhususkan pada pendidikan Pangreh Praja dan Jaksa. Lama pendidikanya lima tahun. Pada tahun 1927 OSVIA direorganisir menjadi MOSVIA (Middelbaar Opleidingschool voor Indische Ambtenaren) dengan lama pendidikannya tiga tahun. I. Djumhur dan H. Danasuparta, op.cit., hal. 133-34,  Sumarsono Mestoko, op.cit., hal 52, 73. Lihat juga Soegarda Poerbakawatja. Pendidikan Dalam Alam Kemerdekaan Indonesia. Jakarta:Gunung Agung, 1970, hal. 24

[5] Lihat I.J. Brugman, op.cit., hal. 175

[6] Lulusan sekolah ini biasanya ditempatkan sebagai Kepala Sekolah Kelas Dua, Sekolah Kelas Satu atau guru sekolah kelas satu dan bagi lulusan ini terbuka kesempatan untuk meraih akta tingkat menengah, yakni suatu kualifikasi untuk memberikan pengajaran di sekolah tingkat menengah bumiputera. P.J. Gerke, “Pengadaan Personil”, dalam H. Baudet dan I.J. Brugmans. Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan. Terj. Amir Sutaarga. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1987, hal. 199

[7] Savitri Prastiti Scherer. Keselarasan dan Kejanggalan. Jakarta:Sinar Harapan, 1985, hal. 48

[8] S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, Bandung: Jemmars, 1987, hal. 40

[9] Darsiti Soeratman.”Politik Pendidikan Belanda dan Masyarakat Djawa Pada Akhir Abad 19,” makalah disampaikan pada Seminar Sejarah Nasional II. Yogyakarta, 1970.

[10] Akira Nagazumi. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. (terjemahan KITLV). Jakarta:Grafiti, 1989, hal. 32

[11] Retnodhoemilah (Jogyakarta) 1901 Thn. 7 No. 31 sebagaimana dikutif dalam Akira Nagazumi., op.cit., hal. 32

[12] Sartono Kartodirdjo. “Struktur Sosial dari Masyarakat Tradisional dan Kolonial”, Lembaran Sejarah, Universitas Gadjah Mada, 1969, hal. 41-43

[13] Darsiti Soeratman, op.cit., hal. 8

[14] Yang dapat mengikuti kursus Hoofdacte adalah tamatan HKS atau HIK dengan lama belajar 2 tahun. Pemilik ijazah Hoofdacte adalah calon kepala (Hogere Inlandsche School (HIS). Hoofdacte ini ada dua macam, yaitu Europese Hoofdacte (Eur.HA) dan Indische Hoofdacte (Ind. HA) yang perbedaannya terletak pada bahasa Belanda dan ilmu mendidik. I. Djumhur dan Danasaputra, op.cit., hal. 140-141. Lihat Sumarsono Mestoko, op.cit., hal. 72

[15] Depdikbud. Pendidikan di Indonesia 1900-1942. (Disadur dari S.L. van der wal. Het Onderwijsbeleid in Nederlands-Indie 1900-1942). Jakarta, hal 72, 105

[16] Mengenai gaji ini dapat dilihat dari Dwijdja Oetomo (Surat Kabar Yogyakarta). “Keloeh Kesah Bangsa Goeroe-goeroe”, 25 April 1914. Dan sebagai bahan bandingan lihat PB. PGRI, PGRI Dari Masa ke Masa. Jakarta:YPLP-PGRI Pusat, 1984, hal. 14 mencatat gaji lulusan Normaalschool sebesar f. 22,50,- per bulan

[17] PB. PGRI, op.citi., hal 14-15

[18] P.J. Gerke, op.cit., hal. 210-213

[19] Dwidja Oetomo, 10 Desember 1914

[20] Darmo Kondo, 10 Oktober 1914

[21] Dwidjosewojo adalah seorang guru lulusan Kweekschool Probolinggo tahun 1886. Karirnya dimulai pada tahun 1886 sebagai guru bantu Sekolah Dasar di kota Ngawi, Jawa Timur. Juni 1887 diangkat guru Sekolah Kelas Satu di kota Ponorogo kemudian Maret 1891 dimutasikan sebagai guru bantu di Sekolah Kelas Satu Sri Menganti, Yogyakarta. Pada tahun 1897 dipindahkan ke Purwokwerto dan dipromosikan menjadi Kepala Sekolah Kelas Satu di kota yang sama. Dalam tahun 1909, ia ditugasi menjabat guru bahasa Jawa di Kweekschool Yogyakarta. Dan dari sekolah inilah ia mengembangkan dirinya menjadi salah satu tokoh terkemuka di Budi Utomo. Lihat, D. Sutamto, AAI-J. Dwidjosewojo 1867-1943 Tokoh Pergerakan Nasional Pendiri Bumiputera 1912. Jakarta:Bumiputera, 1992, hal. 22

[22] Ibid., hal. 22-23 , sebagaimana mengutif pada Soebangsih. Gedenkboek Boedi Oetomo, 1908- 20 Mei 1918; Uitgave:Tijdschrif Nederland-Indie Oud en Nieuw. Amsterdam 1918, hal. 23 antara lain menyebutkan “Hij had  een groot aandeel in de tot stand koming van het neutraal onderwijs, in de vorming van de Perserikatan Guru Hindia Belanda, in de totstandkoming van studiefonds enz. Er is bijkans niets, waarin de heer Dwidjosewojo geen aandeel had” (Ia mempunyai peran yang besar dalam mendirikan sekolah-sekolah swasta, dalam pembentukan Perserikatan Guru Hindia Belanda, dalam mengadakan dana beasiswa, dll. Bahkan hampir tidak ada hal yang ia tidak berperan di dalamnya). Lihat juga Akira Nagazumi, op.cit., hal 153-154

[23] Susunan Pengurus Besar PGHB hasil kongres di Magelang:

Ketua                : Mas Karto Hadi Soebroto, Guru bahasa Melayu pada MOSVIA,

Magelang

Sekretaris         : Mas Ngabehi Dwidjosewojo, Guru Kweekschool Yogyakarta

Bendahara       : Mas Adiwidjojo, Guru Sekolah Kelas Satu Magelang

[24] Gagasan mendirikan perusahaan asuransi jiwa itu diperoleh dari NILLMIJ (Nederlansch Indische Levensverzekering en Lijfrente Maatschappij), sebuah perusahaan asuransi jiwa Belanda yang didirikan di Indonesia pada tahun 1859. Mulai awal tahun 1910, Dwidjosewojo menerima kiriman laporan tahunan dari direksi NILLMIJ yang rupanya sangat menarik minat dan mempelajarinya lebih lanjut sehingga terwujudlah perusahaan asuransi jiwa untuk bumiputera. Lihat Risalah Rapat Umum Anggauta O.L. Mij Boemi Poetra, tanggal 12-13 Februari 1941, hal 3-4 sebagaimana dikutif oleh D. Sutamto. AAI-J, op.cit., hal 62

[25] Ibid., hal 67

[26] Setelah O.L. Mij. PGHB berubah menjadi O.L. Mij Boemi Poetera, dilaporkan bahwa pada tahun 1915 ada sebanyak 65 orang agen yang tersebar di seluruh Jawa yang sebagian besar dipegang oleh guru-guru atau jabatan yang berkaitan dengan pendidikan. Ibid., hal 76

[27] Surat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, No. 8 tanggal 15 November 1913, Arsip Nasinal

[28] Menurut PB. PGRI, op.cit., hal. 16, PGHB pecah dalam pengertian masing-masing anggota tetap berjuang sesuai dengan program kerjanya, terutama dalam memperjuangkan gaji guru.

[29] Hadi Supeno. Potret Guru. Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1995, hal. 64

[30] M. Rusli Yunus, et.al., Perjalanan PGRI (1945-2003) Menyongsong Kongres XIX PGRI di Semarang, 8-12 Juli 2003. Jakarta:PB. PGRI, 2003, hal. 4

[31] Tujuan PVPN adalah memperjuangkan perbaikan kedudukan para pegawai negeri sipil, menentang hal-hal yang merugikan, serta bertindak mengatur terhadap aksi anggotanya (organisasi) masing-masing. PVPN hanya berhadapan dengan satu  majikan umum yaitu pemerintah yang tidak bermusuhan terhadap PVPN karena badan ini tidak “berpolitik”, dalam arti tidak mengusik tentang penjajahan. A.K. Pringgodigdo. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta:Dian Rakyat, 1984, hal. 157-158

[32] Ibid, hal 158

[33] Peraturan ini memuat bahwa pegawai negeri tidak boleh menjadi anggota sesuatu serikat sekerja, jika di dalam pengurusnya tidak ada paling sedikit satu pegawai negeri. Dan anggota pengurus pegawai negeri ini sebelum menerima jabatannya sebagai pengurus serikat sekerja, harus menerangkan, bahwa ia juga sebagai anggota pengurus serikat sekerja itu akan selalu memperingati dan mempertahankan kepentingan pemerintahan jajahan dan ia akan menentang propaganda dan aksi yang dapat merugikan tata tertib dan suasana-baik di kalangan pegawai negeri (keterangan-setia pada pemerintah).  Ibid., hal. 159

[34] Ibid., hal 160

[35] Masalah ini kita alami sampai dewasa ini dan tetap merupakan masalah yang rumit berkenaan dengan desentralisasi dan otonomi daerah. Pemerintah daerah ingin agar urusan pendidikan kepada daerah seperti yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 1951, namun demikian otonomi tersebut tidak disertai dengan dana yang dibutuhkan dan tetap dipegang oleh pemerintah pusat. Lihat H.A.R. Tilaar, 50 Tahun Pembangunan Pendidikan Nasional, 1945-1995, Suatu Analisis Kebijakan, Jakarta: Grasindo, 1995, hal 16

[36] Ibid., hal. 16. Lihat juga A.K. Pringgodigdo, op.cit., hal 160-161

Comments are closed.