PENDIDIKAN SEJARAH DALAM RANGKA PENGEMBANGAN MEMORI KOLEKTIF DAN JATIDIRI BANGSA

(Tribute untuk Prof Sartono Kartodirdjo

 

HAMID HASAN

(Universitas Pendidikan Indonesia)

PENDAHULUAN

Dalam dunia ilmu sejarah nama Prof. Dr Sartono Kartodirdja adalah nama yang tidak mungkin dilupakan sejarawan dan pendidik sejarah, baik di Indonesia mau pun di luar negeri. Dedikasinya yang tinggi dan dalam waktu yang sangat panjang telah menghasilkan banyak sejawaran di negara ini. Pandangan beliau mengenai cara menafsirkan peristiwa sejarah di tanah air masih merupakan sesuatu yang masih terus dikembangkan pada saat sekarang. Banyak murid-murid beliau yang masih terus melakukan berbagai penyempurnaan terhadap  pandangan ”indonesia sentris” walaupun ada juga yang terus membahas pandangan itu dari sisi yang lain.  Pandangan ini diikuti oleh pnedekatan ”multi disciplinary approach” dalam menafsirkan peristiwa sejarah.

Cara pandang ”indonesia sentris” mengenai peristiwa sejarah yang terjadi di wilayah nusantara bukan saja merupakan suatu pandangan yang sinkron dengan pembangunan kesadaran sejarah bangsa tetapi juga merupakan tantangan bagi pendidikan sejarah. Sebagaimana yang sering dikemukakan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo (1997), salah satu fungsi belajar sejarah untuk mengenal siapa diri kita sebagai bangsa. Bangsa Indonesia yang memperoklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945 bukan pewaris Hindia Belanda atau pun Pemerintahan Pendudukan Jepang. Bangsa Indonesia dilahirkan oleh para pemimpin bangsa yang mengembangkan kepemimpinan dan pengakuan diri mereka atas dasar sesuatu yang baru dan belum dikenal masyarakat nusantara sebelumnya. Para pemimpin bangsa tersebut bukan berasal dari organisasi politik tradisional (kerajaan) yang telah ada di nusantara. Mereka adalah pemimpin yang mendapatkan pengakuan sebagai pemimpin bangsa atas dasar organisasi baru yaitu organisasi politik, sosial, budaya bahkan keagamaan yang menyebar dan berkembang di wilayah nusantara, yang sejak tahun 1928 dideklarasikan sebagai bangsa dan tanah air Indonesia oleh para pemimpin organisasi-organisasi baru ini.

Sangat sulit menggambarkan kekuatan apa yang menyebabkan hampir seluruh orang yang berdiam di wilayah nusantara menerima status baru sebagai anggota suatu bangsa yang belum ada secara politik sebelumnya. Tekad para pemuda yang dinyatakan dalam sumpah mereka adalah tekad kelompok kecil orang yang terdidik di negeri nusantara yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan penjajahan Hindia Belanda. Mereka bukan golongan yang mewakili kekuasaan tradisional, yaitu kerajaan-kerajaan di Nusantara, tetapi masyarakat menerima kehadiran mereka dan menerima kepemimpinan mereka untuk bangsa baru ini. Pengakuan tersebut melewati batas-batas wilayah kekuasaan tradisional, suku, dan agama.

Untuk mengenal siapa diri bangsa ini perlu mengenal masa lampau bangsa ini. Pengalaman masa lampau itu menjadi suatu milik bersama dan menjadi ingatan bersama (collective memory). Masa lampau itu terdiri dari berbagai pristiwa sejarah di berbagai tempat di wilayah nusantara dan dalam rentangan waktu yang cukup panjang. Untuk unsur waktu ini tampaknya disepakati dimulai sejak awal adanya kehidupan manusia yang di wilayah ini. Buku Sejarah Nasional Indonesia tahun 1975 yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional dapat dijadikan pegangan sebagai kesepakatan mengenai awal sejarah bangsa ini walau pun keterkaitan antara manusia purba tersebut dengan manusia Indonesia masa kini masih memerlukan kajian yang panjang dan mendalam.

Ingatan bersama (collective memory) terbentuk dengan dua cara. Pertama adalah apabila orang-orang tersebut mengalami peristiwa sejarah yang sama. Mereka menjadi pelaku dari suatu peristiwa walau pun pengalaman itu sendiri tidak seluruhnya sama. Perbedaan pengalaman terjadi karena posisi yang bersangkutan dalam suatu peristiwa sejarah,  awal dan akhir keterlibatan yang bersangkutan dalam peristiwa sejarah tersebut, dan jarak waktu antara peristiwa sejarah dengan masa ketika ingatan itu dikemukakan dan dirasakan. Lagipula, pengalaman tersebut akan sangat terbatas mengingat jumlah peristiwa, wilayah dimana peristiwa itu terjadi, dan waktu dari berbagai peristiwa tersebut. Bangsa ini terbentuk dari berbagai peristiwa yang terjadi di wilayah negara ini dan dalam waktu yang panjang sehingga adalah suatu kemustahilan jika memori kolektif bangsa terbentuk dari pengalaman langsung dalam peristiwa sejarah.

Cara kedua adalah dengan mempelajari peristiwa-peristiwa tersebut melalui cerita sejarah. Cerita sejarah tersebut direkonstruksi oleh sejarawan peneliti berdasarkan fakta yang dapat dikumpulkan dari sumber sejarah yang tersedia, dan berdasarkan cara pandang sejarawan. Cara pandang ini memang merupakan unsur subjektivitas sejarawan dan sangat menentukan hasil rekonstruksi, bahkan bukan tidak mungkin terkadang menentukan pula fakta yang dikumpulkan. Oleh karenanya, suatu peristiwa sejarah yang ditulis oleh seorang sejarawan memiliki perbedaan-perbedaan dengan cerita sejarah yang ditulis oleh sejarawan lainnya. Perbedaan tersebut mungkin saja bersifat melebar dan memperkaya dengan alur cerita yang sama. Perbedaan tersebut dapat pula bersifat mendasar sehingga menghasilkan dua cerita sejarah yang berbeda.

Cerita sejarah ini mengalami berbagai penulisan ulang untuk kepentingan pembacanya. Ketika pembacanya adalah penguji, sejarawan atau kalangan terdidik cerita sejarah yang telah dihasilkan dari rekonstruksi sejarawan tadi mungkin tidak mengalami perubahan sama sekali. Hasil yang demikian masih tertulis dalam format karya ilmiah seperti disertasi, tesis, dan skripsi dengan tingkat abstraksi dan rincian yang sesuai dengan jenjang gelar yang akan diperoleh.  Ketika pembacanya adalah masyarakat akademik dalam suatu forum seminar atau pembaca suatu jurnal ilmiah maka penulisan kembali adalah suatu keharusan. Ketika pembacanya adalah masyarakat umum maka format disertasi, tesis, dan makalah tidak dapat digunakan sehingga terjadi penulisan kembali yang disesuaikan dengan format buku umum dan tingkat keterbacaan masyarakat. Penyesuaian terhadap tingkat keterbacaan masyarakat menghendaki adanya penyesuaian dalam tingkat abstraksi dan rincian peristiwa. Ketika cerita sejarah tersebut ditulis dalam bentuk buku pelajaran sejarah bagi peserta didik di tingkat SD, SMP, atau SMA maka penulisan kembali diharuskan, disesuaikan dengan tujuan pendidikan sejarah, jenjang kemampuan intelektual peserta didik, dan bahkan keterdekatan ruang (geografis) peserta didik dengan peristiwa suatu atau berbagai peristiwa sejarah.

Cerita sejarah untuk kepentingan pendidikan adalah medium utama pendidikan sejarah dalam membangun dan mengembangkan memori kolektif bangsa. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, fungsi edukatif pendidikan sejarah adalah saringan pertama yang digunakan dalam cara melihat suatu peristiwa sejarah. Terkadang fungsi ini menjadi sangat dominan sehingga mengalahkan pandangan akademik yang digunakan sejarawan atau sekelompok sejarawan. Dalam konteks pendidikan sejarah maka pandangan yang dikenal dengan nama ”indonesia sentris” menjadi sangat menonjol dan bahkan untuk kelas wajib belajar menjadi satu-satunya cara pandang.

Cara pandang ”indonesia sentris” ini pula yang seharusnya digunakan untuk menyeleksi peristiwa sejarah  yang harus dipelajari seluruh peserta didik di seluruh persada tanah air. Dalam konteks pemilihan ini harus diakui bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan para pengembang pendidikan sejarah. Melalui cara pandang ”indonesia sentris” maka peristiwa-peristiwa penting di setiap wilayah Indonesia yang mempunyai kontribusi penting dalam membangun kehidupan kebangsaan yang sehat harus dijadikan materi pendidikan sejarah. Permasalahan memang muncul diantaranya menentukan aspek wilayah peristiwa sejarah (desa, kecamatan, kabupaten, propinsi), teknik untuk menilai kontribusi suatu peristiwa terhadap kehidupan bernegara dan berbangsa, dan ketersediaan sumber dalam bentuk cerita sejarah. Dengan pendekatan baru yaitu perluasan tema sejarah maka permasalahan menjadi bertambah yaitu proporsi antara tema politik dengan tema lainnya.

Memang harus diakui bahwa untuk materi sejarah lokal permasalahan tersebut tidak dapat dikatakan menjadi lebih mudah. Meski pun demikian persoalan penentuan kontribusi suatu peristiwa terhadap kehidupan masyarakat di wilayah tersebut dan kehidupan kebangsaan tetap merupakan masalah besar. Suatu peristiwa sejarah lokal yang dianggap berkontribusi ”negatif” seperti pemberontakan terhadap pemerintah nasional tidak berarti harus tidak digunakan sebagai materi pendidikan sejarah. Ketika peristiwa itu merupakan peristiwa penting bagi masyarakat di wilayah tersebut maka peristiwa tersebut dapat saja dipilih sebagai materi pendidikan sejarah. Proses pembelajaran untuk peristiwa yang demikian harus diperlakukan sedemikian rupa sehingga dampak ”negatif” itu dapat dilihat sebagai sesuatu yang memang diperlukan pada situasi dimana peristiwa tersebut terjadi.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa pandangan Prof. Dr Sartono Kartodirdjo mengenai ”indonesia sentris” masih memerlukan pekerjaan yang banyak dalam pengembangan pendidikan sejarah. Kemajemukan budaya bangsa Indonesia dan sejarah kelahiran bangsa Indonesia modern memerlukan pandangan ”indonesia sentris” dalam pendidikan sejarah.. Pandangan yang demikian yang memiliki potensi paling besar dalam membangun memori kolektif bangsa. Pada gilirannya memori kolektif bangsa akan memberikan dasar yang kuat dalam mengenal diri bangsa dan mengembangkan kehidupan bangsa yang positif dan produktif.

 

MEMORI KOLEKTIF DAN IDENTITAS BANGSA

Memori kolektif adalah ingatan yang dihayati dan dimiliki bersama oleh suatu kelompok sosial atau bangsa mengenai suatu peristiwa sejarah di wilayah dimana kelompok sosial atau bangsa tersebut bertempat tinggal. Mereka memiliki memori bersama itu karena mereka adalah pelaku peristiwa sejarah tersebut atau karena mereka memiliki ikatan darah, budaya, etnik, politik dengan pelaku sejarah sehingga pelaku sejarah tadi diidentifikasikan sebagai leluhur kelompok sosial tersebut. Mungkin juga pemilik memori kolektif adalah suatu kelompok orang atau bangsa  yang secara politis dinyatakan sebagai pewaris dari para pelaku sejarah terlepas dari ada tidaknya keterkaitan secara budaya, sosial etnis,  agama, dan sebagainya. Pelaku sejarah dianggap leluhur dari masyarakat atau bangsa yang hidup di suatu kesatuan wilayah yang sama atau di suatu kesatuan wilayah yang dibentuk sebagai suatu kesatuan dengan wilayah pelaku sejarah. Siapa pun mereka suatu hal yang penting adalah para pelaku itu dianggap memiliki ikatan dengan kelompok yang memiliki memori.  Apa yang dilakukan para pelaku sejarah tersebut diwariskan menjadi suatu ikatan pengalaman sejarah yang dihayati bersama  (surrogate experience) oleh keturunan atau yang dianggap keturuanan pemilik memori tersebut. Dengan perkataan lain terjadi proses identifikasi diri dari pewaris terhadap pelaku dan peristiwa sejarah.

Suatu kenyataan yang tak dapat disangkal adalah bangsa modern dimana bangsa Indonesia termasuk di dalamnya, terdiri atas berbagai kelompok masyarakat dengan berbagai pengalaman sejarah yang berbeda. Bangsa Indonesia terbentuk dari berbagai kelompok budaya dan etnis dengan latar belakang sejarah yang berbeda. Mereka mewarisi memori kelompok yang sama melalui cerita yang diwariskan atau pun dilembagakan sebagai cerita kelompok tersebut.  Masyarakat  terdiri atas keluarga-keluarga dan setiap keluarga memiliki pula sejarah mereka masing-masing. Perjalanan sejarah keluarga ini menjadi memori bersama anggota keluarga tersebut. Oleh karena itu suatu memori kolektif suatu bangsa terdiri atas berbagai lingkaran memori masyarakat dan di lingkaran paling kecil adalah memori kolektif sebagai keluarga.

Dalam tulisannya yang berjudul  “Making Historical Sense”, Wineburg (2000:310) mengemukakan tentang lingkaran memori seseorang sebagai berikut:

Each of us grows up in a home with a distinct history and a distinct perspective  on the meaning of larger historical events. Our parents’ histories shape our historical consciousness, as do the stories of the ethnic, racial, and religious groups that number us as a member. We attend churches, clubs, and neighborhood associations that further mold both our collective and our individual historical sense.

Dari kutipan tersebut jelas bahwa proses identifikasi diri dimulai dari sejarah keluarga dan bertambah luas dengan sejarah masyarakatnya. Kemudian diperluas dengan sejarah bangsa dan sejarah ummat manusia. Tentu saja harus dikemukakan di sini bahwa perluasan identifikasi diri itu disebabkan adanya proses pengembangan memori kolektif pada diri seseorang. Hal yang juga harus diingat adalah bahwa proses perluasan memori kolektif dari memori kolektif keluarga sampai ke memori kolektif bangsa tidak bersifat sekuensial. Bisa saja proses tersebut terjadi pada saat yang bersamaan tetapi mungkin pula memori kolektif sebagai masyarakat berkembang setelah memori sebagai bangsa terbentuk. Waktu yang digunakan untuk mewariskan memori kolektif itu kepada seseorang menentukan proses pembentukan dan pengembangan memori tersebut. Dalam situasi yang ekstrim dapat terjadi suatu keadaan dimana seseorang tidak memiliki memori kolektif sebagai suatu keluarga ketika sejarah keluarga itu tidak diceritakan kepada generasi penerusnya. Memori kolektif sebagai bangsa mungkin saja tidak terbentuk apabila generasi muda bangsa itu berada dalam siatuasi yang sangat ekstrim sehingga mereka tidak pernah belajar tentang sejarah bangsanya. Dalam konteks tersebut maka proses identifikasi dirinya dengan para pelaku sejarah (orang tua, masyarakat, bangsanya) menjadi terputus.

Pendidikan sejarah adalah wahana yang memberikan kesempatan kepada generasi muda untuk melakukan proses identifikasi diri sebagai anggota bangsa ini. Oleh karena itu untuk pendidikan wajib 9 tahun haruslah ditentukan materi yang minimal dan proses pendidikan sejarah yang efektif dalam mengembangkan memori kolektif dirinya sebagai anggota bangsa ini. Kegagalan dalam proses ini akan menimbulkan ketegangan-ketegangan antara anggota bangsa satu dengan lainnya, antara satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya dan memiliki potensi disintegrasi bangsa.

Proses identifikasi ini sangat penting dan menentukan berapa besar derajat pemilikan memori kolektif yang dilakukan. Semakin efektif proses identifikasi ini semakin tinggi pula derajat identifikasi yang dicapai. Semakin tinggi derajat identifikasi yang dimiliki maka derajat kepemilikan suatu peristiwa sejarah sebagai bagian dari memori bersama seorang sebagai anggota bangsa makin tinggi pula. Oleh karena itu Sartono Kartodirdjo (1997:118) mengatakan  pentingnya identitas sebagai bangsa untuk menjawab “siapa diriku”. Cartwright (1999:44) juga mengatakan bahwa “our personal identity is the most important thing we possess.” Lebih lanjut, Cartwright menyatakan bahwa identitas pribadi atau kelompok tersebut “defines who and what we are. The way we feel about ourselves, the way we express ourselves and the way other people see us are all vital elements in the composition of our individual personality”.  Atas dasar pentingnya proses identifikasi diri maka pemilihan peristiwa sejarah untuk dipelajari peserta didik Wajib Belajar 9 Tahun harus lebih cermat dan penuh pertimbangan pedagogis.,

Pemaknaan dan pewarisan nilai dari peristiwa sejarah yang terjadi di suatu wilayah Indonesia harus juga menjadi warisan  peserta didik sebagai anggota bangsa. Pemaknaan dan pewarisan nilai itu menjadi bagian dari kognitif dirinya untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai suatu nilai-nilai yang diapresiasi dan dimasukkan menjadi warisan. Pemahaman yang baik terhadap suatu peristiwa sejarah akan menghasilkan secara akumulatif memori kolektif bangsa yang baik pula. Semakin baik kualitas memori kolektif bangsa yang dimiliki seseorang dari pelajaran sejarah semakin baik pula apresiasi terhadap peristiwa tersebut. Pada gilirannya, apresiasi yang baik menjadi landasan yang baik bagi identifikasi dirinya.  Artinya,  proses identifikasi harus terjadi melalui proses pengembangan  pemahaman, penghayatan dan apresiasi terhadap peristiwa sejarah untuk kemudian menjadi memori kolektif bangsa yang menjadi miliki dirinya.  Memori kolektif itu yang kemudian dikembangkan menjadi dasar bagi identifikasi dirinya sebagai anggota bangsa dan pemahaman terhadap jati diri bangsa.

Dengan demikian proses identifikasi merupakan proses lanjut dan bahkan dapat dikatakan sebagai bagian utama dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui pendidikan sejarah. Selain mengembangkan kemampuan-kemampuan dalam ranah kognitif, arah pendidikan sejarah harus menjadikan pengembangan kepribadian melalui proses identifikasi dirinya sebagai anggota bangsa dan pemahaman jati diri bangsa sebagai tujuan yang penting. Pendidikan sejarah bagi peserta didik Wajar 9 Tahun adalah pendidikan dasar dan pada jenjang inilah keberhasilan pendidikan sejarah dalam mengembangkan kepribadian peserta didik harus diukur dalam keberhasilan mengembangkan memori kolektif, proses identifikasi diri sebagai anggota bangsa, dan pemahaman yang positif terhadap jati diri bangsa. Jika ada penduduk usia 7-15 tahun tidak mengikuti pendidikan sejarah maka ini merupakan kerugian besar bagi bangsa.

Suatu kenyataan yang tak dapat dielakkan adalah bahwa proses pembentukan memori kolektif bangsa dan proses identifikasi diri dan jatidiri bangsa terbentuk melalui cerita sejarah yang didengar, dibaca atau dipelajari. Mendengar, membaca atau mempelajari tersebut dapat dilakukan seseorang secara individual dan di luar konteks pendidikan formal tetapi kegiatan mendengar, membaca, dan mempelajari cerita sejarah yang lebih sistematis terjadi melalui proses pendidikan sejarah. Proses pendidikan sejarah di lembaga persekolahan mengharuskan peserta didik untuk mendengar, membaca dan mempelajari berbagai peristiwa terlepas dari rasa suka atau tidak.  Peserta didik mendengar cerita sejarah dari gurunya, membaca dan mempelajari cerita sejarah dari buku teks, buku referensi, koran, majalah, jurnal atau sumber lainnya. Peserta didik untuk jenjang persekolahan membaca dan mempelajari cerita sejarah terutama dari buku teks sedangkan sumber lainnya dilakukan dalam frekuensi yang rendah atau bahkan tidak sama sekali. Oleh karena itu peran buku teks dalam membentuk proses pengembangan memori kolektif bangsa, proses identifikasi diri sebagai anggota bangsa dan proses pemahaman jati diri bangsa sangat memegang peran penting. Sayangnya, buku teks yang dipenuhi oleh fakta sejarah dan miskin nilai tidak memberikan landasan yang maksimal bagi proses pembentukan yang telah dibicarakan.

 

SEJARAH RESMI DAN MEMORI KOLEKTIF

Secara universal, pendidikan sejarah di jenjang pendidikan dasar dan menengah selalu ditentukan dan didasarkan pada tafsiran resmi pemerintah (official history).  Dalam sejarah resmi itu pemerintah tidak saja menentukan visi dan tafsiran tentang suatu peristiwa sejarah tetapi juga  menentukan peristiwa sejarah apa yang harus masuk dalam kurikulum. Tentu saja keputusan itu tidak dapat dilepaskan dari masukan yang diterima dari para sejarawan, akhli pendidikan, kepentingan politik pemerintah dalam mempersiapkan generasi muda bangsanya. Semakin penting pendidikan tersebut dalam mempersiapkan generasi muda maka semakin besar peran dari keputusan pemerintah tersebut. Contoh yang paling mencolok adalah ketika pemerintah Jepang menghapus peristiwa pendudukan Jepang di Korea dari kurikulum dan buku sejarah untuk sekolah. Di Indonesia adalah perdebatan apakah gerakan yang dinamakan G.30.S/PKI antara sejumlah para sejarawan akademis dengan pemerintah.  Di Inggeris ketika pemerintah menentukan bahwa materi Sejarah Dunia adalah sejarah bangsa Inggeris di Asia, Eropa, Australia, dan Amerika.

Perbedaan cerita sejarah yang dihasilkan antara tafsiran resmi dengan tafsiran akademik tentu saja terjadi. Disamping itu terjadi pula tafsiran lain yang dihadapi peserta didik dan bahkan masyarakat luas yaitu tafsiran yang dilakukan oleh media massa dan setiap keluarga. Oleh karena itu peserta didik dan masyarakat selalu berhadapan dengan berbagai versi cerita sejarah atau “alternative history”. Mereka membaca buku teks resmi pemerintah, membaca tulisan sejarawan, dan membaca tulisan yang mungkin dari pelaku atau wartawan di berbagai media massa. Hal ini bukanlah sesuatu yang  aneh dalam suatu masyarakat yang demokratis dan multikultural. Mengenai hal ini Levstik (2000:284) menulis:

In a multicultural democracy such as the United States, alternative histories also develop, but they are more overtly disseminated through family and cultural and religious associations as well as through such public channels as museums and print and visual media. Because of potential disparity between the version of history encountered in these contexts and that disseminated in schools – a site where some form of overarching national history is explicitly introduced – students in multicultural societies may be faced with reconciling the widely varied accounts of the past. In Hollinger’s view, such nation should aspire to a history “‘thick’ enough to sustain collective action yet ‘thin’ enough to provide room for the cultures of a variety of decent groups’”.

Dalam konteks yang demikian tantangan yang harus dihadapi pendidikan sejarah dalam mempersiapkan generasi muda bangsa semakin tinggi. Artinya, pendidikan sejarah di sekolah harus dapat memberikan “kekuatan”  yang cukup kuat kepada peserta didik Wajar 9 Tahun untuk mengembangkan memori kolektif yang mendasar untuk menjadi dasar bagi pengembangan kepribadian dirinya sebagai anggota bangsa. Termasuk dalam pengertian ini adalah pemahaman terhadap peristiwa sejarah yang terjadi di suatu lokal yang menjadi kebijakan kurikulum sehingga pemahaman terhadap sejarah lokal bersifat melengkapi dan memperkaya pemahaman terhadap sejarah nasional dan jati diri bangsa.

Karakteristik yang harus diperhatikan dalam pendidikan sejarah nasional Indonesia yang panjang tersebut adalah peristiwa-peristiwa sejarah ditandai oleh proses konflik antara dua atau lebih fihak. Sejak masa kekuasaan kerajaan yang bersifat Hindu, Buddha, Islam,  sampai pada masa kekuasaan penjajahan Portugis, Belanda, Inggeris, Jepang dan setelah kemerdekaan peristiwa sejarah secara konsisten menggambarkan konflik-konflik tersebut. Ada konflik yang bersifat internal suatu kerajaan tetapi ada pula konflik yang terjadi antar kerajaan. Konflik semacam ini terjadi pula ketika bangsa Indonesia berhasil memerdekaan dirinya dari penjajahan dan mendirikan negara Republik Indonesia. Perbedaan pandangan politik, ekonomi, dan aturan main antara satu wilayah dengan pemerintah pusat, antara satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya telah menimbulkan konflik-konflik internal tersebut.

Konflik lain yang terjadi dalam perjalanan sejarah Indonesia adalah konflik ekternal. Konflik ini terjadi antara kerajaan-kerajaan pada masa kerajaan-kerajaan Hindu, Buddha dan Islam, antara para penguasa kerajaan dan pemimpin masyarakat di wilayah Nusantara dengan fihak penjajah, dan antara pemerintah Republik Indonesia dengan fihak barat yang masih berkeinginan mempertahankan kekuasaan Belanda di Indonesia dan antara negara Indonesia dengan negara tetangga.

Sayangnya, tafsiran terhadap konflik yang sering bersifat hitam putih dan penuh dengan rasa dendam. Pemerintahan penjajahan (Belanda, Inggeris, Jepang) selalu digambarkan dalam sisi buruknya sebagai penyebab kesengsaraan rakyat. Tidak ada kebaikan yang pernah dilakukan oleh pemerintah penjajahan terhadap bangsa Indonesia. Peristiwa Tanam Paksa digambarkan sebagai penderitaan rakyat Indonesia yang sangat dahsyat sementara keuntungan bagi Indonesia dalam posisi ekonomi saat sekarang dengan adanya tanaman baru seperti kina, teh, kopi, dan sebagainya tidak pernah dikemukakan. Demikian pula dengan keuntungan adanya pengenalan terhadap kegiatan bisnis bersifat perusahaan besar yang diperkenalkan melalui perkebunan swasta seperti perkebunan teh.  Keuntungan penjajahan dalam melahirkan semangat kesatuan dan persatuan sehingga menimbulkan keinginan bersatu sebagai bangsa tidak juga dikemukakan dengan baik.

Di masa kemerdekaan, ketika terjadi konflik antara daerah dengan pemerintah pusat maka tafsiran semacam itu dilanjutkan. Daerah adalah bagian yang serba salah sedangkan pusat adalah yang serba benar sehingga pusat memiliki segala legalitas untuk menegakkan kekuasaannya terhadap daerah termasuk menggunakan berbagai cara. Pembenaran terhadap apa yang dilakukan pemerintah pusat menyebabkan sisi-sisi positif dan kebenaran dari gerakan daerah dalam penentangan terhadap pemerintah pusat tidak ditonjolkan atau bahkan ada kecenderungan untuk diabaikan seperti halnya dengan sisi-sisi negatif dari pemerintah pusat dalam setiap tindakannya terhadap pemerintah daerah yang tak pernah diungkapkan.

Cerita sejarah nasional Indonesia dalam tafsiran resmi selalu pula diwarnai oleh gambaran hitam putih dan penuh kebencian terhadap masa lalu. Pemerintahan penjajahan adalah pemerintahan yang penuh dengan kesalahan dan pemerintahan Republik Indonesia penuh dengan kebenaran. Ketika sejarah negara Republik Indonesia berkembang dan muncul Republik Indonesia Serikat (RIS) umurnya sangat singkat dan buku teks belum sempat ditulis kembali dengan visi pemerintah yang baru sehingga tidak diketahui bagaimana pandangan pemerintah RIS terhadap pemerintah RI yang lahir sebelumnya. Setelah RIS bubar dan pemerintah kembali ke negara kesatuan Republik Indonesia, keberadaan pemerintah RIS merupakan suatu masa gelap. Pemerintah Republik Indonesia dengan sistem pemerintahan parlementer menjadi suatu gambaran keberhasilan dalam kehidupan ketatanegaraan republik yang masih muda tersebut. Ketika keluar dekrit dan Indonesia kembali ke Undang-Undang dasar 45  dan terlebih-lebih pada waktu pemerintahan di masa demokrasi terpimpin (MANIPOL-USDEK), pemerintahan parlementer liberal dianggap sebagai suatu kesalahan dan penyimpangan dari keinginan bangsa Indonesia.

Pada masa Orde Baru maka pemerintahan lama yang diberi label Orde Lama berada pada sisi hitam dari penafsiran dan pemerintah yang menggantikannya (Orde Baru) berada pada sisi putih. Segala kesalahan pemerintah Orde Lama dijadikan tema sajian utama dan rasa kebencian terhadap pemerintahan Orde Lama dikembangkan. Keterkaitan yang erat antara pemerintahan Orde Lama dengan komunis menjadikan kebencian itu menjadi lebih besar dan warna hitamnya semakin kental. Pada masa kini dimana reformasi bergulir dan menjadi warna kuat dan dominan dalam gerakan masyarakat dan pemerintah, suasana kebencian terhadap Orde Baru muncul dan bukan tidak mungkin akan menjadi tema utama dalam cerita sejarah yang disajikan.

Upaya menghitamkan masa lalu diperkuat oleh tindakan beberapa pelaku sejarah masa lalu itu pula. Para pemimpin yang terlibat dalam pemerintahan penjajahan Belanda dan Jepang berupaya membersihkan diri dan mengatakan pula bahwa apa yang telah terjadi itu merupakan suatu lembaran sejarah yang harus dimusuhi. Para pemimpin Orde Lama banyak yang mencoba mencela apa yang telah dilakukan pemerintahan Orde Lama dimana yang bersangkutan turut di dalamnya. Kenyataan yang sama terjadi pula ketika pemerintahan Orde Baru ditumbangkan dan Indonesia memasuki masa reformasi. Sikap seperti ini mendorong penulisan buku teks yang memang belum mampu mengembangkan suatu sikap bahwa semua peristiwa itu bagian dari kehidupan bangsa ini dan menjadi bagian dari kehidupan kita saat sekarang. Bagaimana sikap kita dalam mewarisi peristiwa tersebut dan bagaimana dalam menjadikan peristiwa tadi sebagai suatu kebersamaan.

Tafsiran yang menghitam-putihkan dan menghujat masa lampau seperti yang dikemukakan di atas dinamakan oleh Jenkins (1994:71) sejarah “as a field of force”. Lebih lanjut ia mengatakan:

A series of ways of organising the past by and for the interested parties which always comes from somewhere and for some purpose and which, in their direction, would carry you with them. This field is a ‘field of force’ because in it these directions are contested (have to be fought for). It is a field that variously includes and excludes, which centres and marginalises views of the past in ways and in degree that refract the powers of those forwarding them.

Gambaran hitam putih dan pertentangan yang diarahkan kepada proses pembencian masa lampau tentu saja tidak menguntungkan terutama jika dilihat dari kepentingan untuk membangunan suatu  jatidiri bangsa. Konflik masa kini dengan masa lalu harus dapat diartikan sebagai dinamika bangsa ini dalam upaya mencari bentuk kehidupan kebangsaan yang ada pada masa kini. Oleh karena itu konflik bukan menjadi jati diri bangsa tetapi perjalanan dalam menenmukan jati diri bangsa.  Belajar dari masa lalu tidak berarti membenci masa lalu dan menempatkan masa lalu sebagai sumber segala kesalahan yang dialami dan dihadapi masa kini.  Masa lalu adalah bagian dari masa kini dan belajar dari masa lalu berarti memperbaiki tindakan masa lalu yang tidak sesuai untuk masa kini dengan tindakan yang lebih sesuai. Tindakan masa lalu itu mungkin saja sesuai untuk situasi dan kondisi kehidupan masa itu seperti halnya tindakan masa kini yang sekarang ini dirasakan sesuai tetapi mungkin tidak bagi masa yang akan datang. Jawaban terhadap tantangan dan kondisi masa lalu tidak dapat dihakimi untuk menjawab tantangan dan kondisi masa kini.

Untuk kepentingan pendidikan dalam membangun jatidiri bangsa cerita sejarah haruslah tidak kering dari nilai-nilai. Penyajian cerita sejarah yang hanya dipenuhi oleh deretan fakta semata dan mengabaikan unsur nilai akan mempersulit proses identifikasi diri dan jatidiri bangsa. Setiap peristiwa sejarah memiliki nilai-nilai. Konflik dalam peristiwa sejarah baik internal mau pun eksternal, seperti halnya kejadian lain dalam peristiwa sejarah, selalu syarat dengan nilai karena ia berhubungan dengan kehidupan manusia. Memisahkan nilai-nilai dari penafsiran dan analisis tidak akan memberikan gambaran yang menyeluruh dan utuh tentang peristiwa tersebut dan akan menyulitkan proses identifikasi. Fakta hanya berkenaan dengan wilayah kognitif seseorang sedangkan nilai akan menyentuh wilayah afektif dimana proses identifikasi mendasarkan dirinya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa tanpa nilai  proses pengembangan memori kolektif bangsa akan terhambat dan demikian pula halnya dengan proses identifikasi jatidiri bangsa.

Permasalahan lain adalah penyajian peristiwa sejarah yang lepas antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Setiap peristiwa sejarah dikaji secara lepas dan menimbulkan kesan bahwa peristiwa itu adalah sesuatu yang tidak terkait dengan peristiwa sejarah lain yang terjadi dalam unit waktu yang sama apalagi dalam unit waktu yang berbeda. Unsur ruang tidak dijadikan pengikat dalam memaknai berbagai peristiwa sejarah tersebut. Wilayah nusantara seharusnya dijadikan “unit of analysis” sehingga menampakkan adanya keterkaitan antar peristiwa. Melalui ”unit of analysis” nusantara peserta didik diajak untuk melihat bahwa peristiwa yang terjadi di suatu wilayah yang dekat dengan dirinya memiliki suatu keterkaitan kuat dengan peristiwa lain yang terjadi di wilayah yang lebih jauh dari dirinya dalam wilayah negara Republik Indonesia. Dengan cara ini maka pendidikan sejarah mampu meperlihatkan bahwa peristiwa sejarah di suatu wilayah dengan peristiwa sejarah di wilayah lain membentuk suatu kesatuan peristiwa yang lebih besar.  Penggunaan  wilayah  nusantara sebagai ”unit of analysis” akan lebih memberikan kesempatan yang besar dalam membangun suatu memori kolektif yang lebih baik dan kemampuan mengidentifikasi jatidiri bangsa yang lebih baik pula.

 

KURIKULUM PENDIDIKAN SEJARAH, MEMORI KOLEKTIF, DAN JATIDIRI BANGSA

Secara konseptual dan operasional pendidikan sejarah dikembangkan dalam bentuk kurikulum pendidikan sejarah. Kurikulum sejarah merupakan suatu konsep atau konstrak yang merencanakan pendidikan sejarah  bagi sekelompok penduduk usia tertentu yang mengikuti jenjang pendidikan tertentu. Tujuan dari lembaga pendidikan pada jenjang pendidikan tertentu menentukan konsep pendidikan sejarah yang harus dikembangkan bagi peserta didik lembaga pendidikan tersebut. Oleh karena itu kurikulum pendidikan sejarah menggambarkan manusia dengan kualitas apa yang akan dihasilkan pendidikan sejarah, materi apa yang harus dikaji dan dari sumber mana yang dapat memberikan kualitas yang diinginkan, bagaimana cara belajar yang maksimal untuk mencapai kualitas yang diinginkan,  dan bagaimana serta melalui alat apa yang digunakan untuk mengetahui bahwa peserta didik telah memiliki kualitas yang diinginkan. Dalam kegiatan yang lebih teknis maka keempat pertanyaan tersebut diterjemahkan dalam bentuk tujuan, materi/pokok bahasan, cara belajar peserta didik, dan asesmen hasil belajar baik dalam bentuk rencana tertulis mau pun dalam bentuk suatu kegiatan pembelajaran (implementasi). Untuk itu kemudian dilakukan evaluasi kurikulum untuk mengetahui keberhasilan/kegagalan kurikulum dalam mencapai tujuannya.

Tujuan pendidikan sejarah tentu saja harus sesuai dengan tujuan suatu satuan pendidikan atau jenjang pendidikan. Tujuan untuk pendidikan sejarah di SD dan SMP harus berbeda dari tujuan pendidikan sejarah di SMA/SMK. Pendidikan SD dan SMP adalah pendidikan minimal yang harus dinikmati seluruh anak bangsa sedangkan pendidikan di SMA/SMK bukanlah pendidikan untuk seluruh anak bangsa karena kebijakan pendidikan pemerintah belum memasukkan pendidikan di kedua unit pendidikan ini sebagai Wajib Belajar. Artinya, tujuan pendidikan sejarah yang paling mendasar untuk mengembangkan kualitas minimal memori kolektif yang harus dimiliki dan kesadaran akan jati diri bangsa. Ketidak mampuan pendidikan sejarah mengembangkan memori kolektif bangsa akan berakibat pada kemampuan mengenal jatidiri bangsa dan mengembangkan jatidiri bangsa. Kegagalan tersebut dapat menyebabkan kerugian besar bangsa dalam berbagai bidang kehidupan kebangsaan dan bahkan dapat merupakan ancaman bagi eksistensi bangsa.

Tujuan pendidikan sejarah yang harus menjadi tujuan kurikulum pendidikan sejarah pada jenjang ini adalah mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memahami berbagai peristiwa sejarah di tanah air secara kritis dan cerdas, menjadikannya sebagai bagian dari memori dalam dirinya sebagai warisan bangsanya, dan menggunakan pemahaman tersebut untuk mengenal dan mengembangkan jati diri bangsa ke arah kehidupan kebangsaan yang positif. Pengembangan kehidupan kebangsaan yang positif hanya dapat dikembangkan jika peserta didik memiliki kemampuan mengolah apa yang terjadi dalam berbagai peristiwa masa lalu menjadi suatu memori yang positif dan sikap produktif terhadap jatidiri bangsa. Kurikulum pendidikan sejarah harus mengembangkan tujuan tersebut dalam kualitas yang dinamakan kompetensi yang harus dimiliki peserta didik.

Untuk mengembangkan memori kolektif bangsa yang positif dan sikap produktif terhadap jati diri bangsa, kurikulum pendidikan sejarah harus memiliki materi kurikulum (pokok bahasan) yang menggambarkan kehidupan kebangsaan di masa lalu. Pemilihan materi ini menjadi sangat kritikal karena kesalahan dalam pemilihan materi dapat berdampak negatif terhadap pengembangan memori kolektif bangsa dan jatidiri bangsa. Peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi di berbagai daerah harus mendapat tempat dalam kurikulum baik sebagai materi pendidikan yang bersifat nasional mau pun yang bersifat muatan lokal. Kepentingan pendidikan sejarah untuk membangun memori kolektif dan jati diri bangsa harus lebih diutamakan sebagai kriteria pemilihan materi dibandingkan kriteria keilmuan disiplin sejarah mengenai suatu peristiwa. Secara ideal, peristiwa sejarah yang dipilih haruslah mewakili berbagai peristiwa sejarah yang terjadi di berbagai wilayah nusantara. Dominasi peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi di suatu wilayah nusantara tidak memberikan dampak positif. Fokus pada peristiwa-peristiwa nasional setelah Indonesia berdiri sebagai suatu negara dan bangsa tentu merupakan suatu  kewajaran, terlepas di wilayah mana peristiwa itu terjadi.

Memang suatu kenyataan yang harus diakui bahwa materi pendidikan sejarah pada saat sekarang masih didominasi oleh berbagai peristiwa yang terjadi di pulau Jawa dan masih banyak peristiwa sejarah di berbagai wilayah lain yang tidak diungkapkan sebagai materi pendidikan sejarah dalam membangun memori kolektif.  Kenyataan tersebut sempat menarik perhatian sejarawan terkenal Taufik Abdullah (1995:33) dan mengatakan bahwa cerita sejarah yang disajikan kebanyakan bercerita mengenai kejadian di pulau Jawa dan dengan visi Jawa pula. Visi Jawa tersebut disebabkan oleh “unit of analysis” terbatas pada pandangan Jawa padahal setiap peristiwa sejarah yang disajikan dalam buku teks seharusnya memiliki visi nasional karena “unit of analysis”nya seharusnya Indonesia.   Dalam kalimat yang ditulisnya, Taufik Abdullah mengatakan:

Berbagai “sejarah”, entah hari jadi kota, kesatuan bersenjata, organisasi keagamaan atau pendidikan, dan sebagainya dan tentu saja, berbagai penerbitan sejarah lokal, telah memungkinkan kita untuk berbicara sejarah semua daerah di tanah air. Dari sudut akumulasi pengetahuan yang sudah terkumpul, apalagi bagi penulisan sejarah Indonesia yang cenderung “Jawa sentris”, karena ketiadaan atau kekurangan sumber atau pengetahuan awal, kini telah kehilangan sebagian besar validitasnya.

Kenyataan tersebut tentu saja menjadi tantangan besar bagi sejarawan dan pendidik sejarah. Sejarawan harus meneliti lebih banyak lagi berbagai peristiwa yang terjadi di banyak wilayah di Indonesia dan mempublikasikan hasil studi tersebut sehingga dapat digunakan dalam pendidikan sejarah.

Hal seperti ini tentu saja tidak menguntungkan dalam pengembangan memori kolektif sebagai suatu bangsa bagi peserta didik dan mengganggu upaya memperkokoh integritas bangsa. Peserta didik akan bereaksi secara emosional apabila wilayah geografis dimana dia tinggal menjadi wilayah yang menjadi objek dari kejayaan kekuasaan wilayah lain. Pemikiran bahwa wilayah yang didudukinya adalah wilayah yang “dikorbankan” untuk kepentingan nasional (baru) tidak pula akan menghasilkan suatu memori kolektif yang positif sebagai suatu bangsa atau pun suatu integrasi nasional yang kokoh. Perasaan bahwa wilayahnya adalah daerah yang seharusnya berdiri sendiri akan menjadi semakin kuat ketika terjadi perubahan politik yang diperkirakan dapat memberikan kesempatan bagi wilayah tersebut.

Materi kurikulum dengan ”coverage” yang telah dikemuakan dengan dukungan sumber belajar yang baik adalah suatu keharusan. Meski pun, demikian materi tersebut adalah sesuatu yang ”ininertia”, tidak memiliki kemampuan dan sangat tergantung dari orang yang menggunakannya. Membaca suatu peristiwa sejarah oleh dua orang atau lebih maka dampaknya bagi yang bersangkutan tidaklah sama. Oleh karena itu  membaca peristiwa sejarah haruslah menghasilkan apa yang dinamakan oleh Waterworth (2000:19) sebagai upaya untuk “menampung atau memperluas apresiasi peserta didik terhadap peristiwa sejarah yang dipelajarinya”. Pemaknaan seperti yang dikemukakan Waterworth terjadi dalam suatu proses pembelajaran. Proses pembelajaran sejarah harus memberi kesempatan kepada setiap peserta didik untuk memahami, memberikan apresiasi, mengembangkan nilai-nilai dari sejarah menjadi nilai dirinya, dan menggunakan pengetahuan dan nilai sejarah untuk mengembangkan kehidupan kebangsaan bangsanya.

Proses pembelajaran dalam pendidikan sejarah tidak boleh memutuskan peristiwa yang terjadi di masa lampau itu sebagai sesuatu yang tidak terkait apalagi tidak bermanfaat bagi kehidupan masa kini. Peristiwa masa lampau adalah peristiwa yang menyebabkan terjadinya kehidupan masa kini sebagaimana yang dialami peserta didik. Mempelajari masa lalu haruslah memberikan kesempatan apresiasi terhadap peristiwa itu dan mampu menggunakan apa yang telah dipelajari untuk mengenal kehidupan masa kini dan mengembangkan kehidupan masa depan. Konsep sejarah yaitu kesinambungan dan perubahan  harus menjadi suatu landasan bagi proses pendidikan sejarah.

Komponen kurikulum yang tak kalah penting dari komponen yang sudah dibicarakan di atas adalah asesmen hasil belajar. Secara mendasar asesmen hasil belajar dikembangkan untuk mengetahui tingkat penguasaan kualitas yang telah dirumuskan dalam tujuan. Keberhasilan peserta didik ditentukan oleh tingkat pencapaian kualitas tersebut dan asesmen hasil belajar harus mampu memberikan informasi yang valid tentang pencapai tersebut. Apabila ada peserta didik yang belum mencapai kualitas yang diinginkan maka asesmen hasil belajar harus mampu menunjukkan apa yang belum dikuasai tersebut. Adalah tugas guru untuk kemudian melakukan tindak lanjut agar peserta didik yang bersangkutan mampu menguasai kualitas yang diharapkan. Asesmen hasil belajar tidak boleh menjadi algojo yang menjegal peserta didik yang belum menguasai kualitas tersebut dengan berbagai predikat: tidak lulus, tidak naik kelas, atau predikat lainnya.

 

 

PENUTUP

Visi ”indonesia sentris” merupakan landasan yang kuat untuk mengembangkan memori kolektif bangsa dan kemampuan mengenal jati diri bangsa melalui pendidikan sejarah.  Visi tersebut diperlukan dalam mengembangkan kurikulum pendidikan sejarah terutama dalam merumuskan tujuan pendidikan sejarah, pemilihan materi atau pokok bahasan, memahami peristiwa sejarah yang dipelajari, dan asesmen hasil belajar pendidikan sejarah.

Visi ”indonesia sentris” yang dikembangkan untuk memahami berbagai peristiwa yang terjadi di wilayah nusantara dan Indonesia masih memerlukan banyak pekerjaan. Para sejarawan dan akhli pendidik sejarah masih perlu mengembangkan visi tersebut dalam kurikulum pendidikan sejarah di Indonesia.

 

DAFTAR BACAAN

Jakubowski,C.T.(2002). Teaching World History: Problems and Promises Faced by Young Teachers. World History Bulletin. XVIII, 2.

Borries, Bodo von (2000). Methods and Aims of Teaching History in Europe: A Report on Youth and History, dalam Knowing Teaching & Learning History: National and International Perspectives (Eds. Stearns, P.N., Seixas,P., Wineburg,S.). New York: New York University Press.

California State Board of Education (2000).History-Social Science Content Standards for California Public Schools: Kindergarten through Grade Twelve. Sacramento: California Department of Education

Hasan,S.H. (2003). Strategi Pembelajaran Sejarah Pada Era Otonomi Daerah Sebagai Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah

Hess, F.M. (1999). Bringing the Social Sciences Alive: 10 Simulations for History, Economics, Government, and Geography. Boston: Allyn and Bacon.

Hursh,D.W. dan E.W. Ross (2000). Democratic Social Education: Social Studies for Social Change. New York: Palmer Press.

Jakubowski,C. (2002). Teaching World History: Problems and Promises Faced by Young Teachers. World History Bulletin. XVIII, 2.

Lindquist,T. (1995). Seeing the whole through social studies. London: Heinemann

NCSS (1994). Curriculum standards for social studies: expectations of excellence. Washington,D.C.: NCSS

Nebraska, State Board of Education (1998). Nebraska Social Studies/History Standards: Grades K-12. [Online]. Tersedia: http://www.nde.state.ne.us/SS/SocSStnd.html. (25 Mei 2001).

New York State Department of Education (1996). Learning Standards for Social Studies. Albany: The State Department of Education

NIER (1999). An International Comparative Study of School Curriculum. Tokyo: National Institute for Educational Research.

North Carolina State Board of Education (2004). North Carolina Standard Course of Study. Available at http://www.ncpublicschools.org/curriculum/foreword

O’Donnell, S., et al.(2002). International Review of Curriculum and Assessment Frameworks. Comparative Tables and Factual Summaries-2002.  London: National Foundation for Educational Research

Koblin, D. (1996). Beyond the Textbook: teaching history using documents and primary sources. Portsmouth, NH: Heinemann.

Levstik,L.S. (2000). Articulating the Silences: Teachers’ and Adolescents’ Conceptions of Historical Significance, dalam Knowing Teaching and Learning History: National and International Perspectives, Knowing Teaching and Learning History: National and International Perspectives, ed. Stearns,P.N., P. Seixas, dan S. Wineburg.

Ministry of Education (?). Social Studies in the New Zealand Curriculum. Wellington: Learning Media.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *