MODEL PEMBELAJARAN IPS TERBADU BERBASIS TIK

 

Dr. Agus Mulyana, Mhum

Universitas Pendidikan Indonesia

 

Pengantar

Kegiatan pembelajaran pada dasarnya merupakan kegiatan yang menunjukkan interaksi antara siswa dan guru. Interaksi yang dibangun dalam kegiatan ini adalah interaksi yang bersifat dua arah dan menempatkan siswa bukan sebagai objek belajar tetapi sebagai subjek belajar. Kedudukan siswa sebagai subjek belajar berarti siswa merupakan individu yang aktif, bukan yang pasif, yang hanya menerima apa yang diberikan oleh guru. Dalam model pembelajaran ini siswa dituntut untuk banyak melakukan aktivitas sesuai dengan tema yang dikembangkan dalam materi pembelajaran. Siswa dituntut untuk menemukan konsep-konsep penting yang dikembangkan dalam tema materi pembelajaran atau melakukan inquiri. Guru hanya berperan sebagai fasilitator untuk mengantarkan siswa hingga menemukan konsep-konsep tersebut.

Proses inquiri yang dilakukan oleh siswa harus didukung oleh media dan sumber belajar yang digunakan oleh guru. Media dan sumber belajar tidak hanya terpaku pada buku teks yang dijadikan pegangan oleh guru. Apabila hal ini dilakukan informasi materi pembelajaran sangat terbatas. Sumber materi yang terbatas, akan sulit untuk mengembangkan tema. Hal yang ideal adalah media dan sumber belajar harus memberikan kemudahan bagi siswa dalam memperoleh materi yang nantinya dapat dikembangkan dalam tema pembelajaran. Salah satu media dan sumber materi yang bisa dikembangkan adalah melalui teknologi informasi dan komunikasi (TIK).

Karakteristik dan Tujuan IPS

IPS merupakan salah satu mata pelajaran di SMP. Dalam kurikulum tahun 2006 atau biasa disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, bidang studi IPS untuk SMP disebut dengan istilah IPS Terpadu. Konsep IPS kalau kita merujuk kepada apa yang dilakukan di negara-negara lain seperti Amerika, Australia, Canada dan negara-negara lainnya yaitu Social Studies. Di Amerika (USA) Social Studies didefinisikan oleh National Concil for Social Studies (NCSS) sebagai ”kajian terintegrasi antara ilmu-ilmu sosial dan humaniora dalam rangka mengembangkan kompetensi warganegara yang baik.  Di dalam program sekolah, Studi Sosial diberikan secara terkoordinir, sebagai studi yang sistematik berbasis pada disiplin ilmu-ilmu antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama, sosiologi, dan juga consep-konsep   terkait dari humaniora, matematika dan ilmu-ilmu alam” (Savage & Amstrong. 1996: 9  dan Elis, 1998: 2).

Berdasarkan definisi tersebut menyatakan bahwa IPS merupakan satu kajian dari berbagai disiplin ilmu, yang tidak hanya ilmu-ilmu sosial, akan tetapi juga ilmu-ilmu lainnya yang berkenaan dengan kehidupan manusia. Hal yang dikaji adalah tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Tema yang dikaji, adalah fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat baik masa lalu, masa sekarang, dan kecenderungannya di masa-masa mendatang.  Fenomena yang sedang terjadi (current events) merupakan sumber materi IPS yang sangat menarik, dan sangat penting untuk dibahas.  Tujuan utama dari pembelajaran IPS ini adalah untuk melatih para siswa menjadi warganegara yang mampu mengambil keputusan secara demokratis dan rasional yang dapat diterima oleh semua golongan yang ada di dalam masyarakat.

Kalau kita perhatikan pendapat dari NCSS, sesungguhnya IPS tersebut sudah menunjukkan keterpaduan, karena yang ditonjolkan dalam materi pembelajaran adalah tema. Tema tersebut kemudian dikaji dari berbagai disiplin ilmu. Sementara ini, implementasi pembelajaran IPS di sekolah masih terpisah-pisah dengan disiplin ilmu, misalkan mengajarkan sejarah, ekonomi, geografi, sosiologi, dan sebagainya. Implementasi pendekatan tematis, misalnya materi tentang kehidupan masyarakat perkotaan. Dalam masyarakat kota terjadi urbanisasi. Urbanisasi bisa dilihat dari aspek sejarah, ekonomi, geografi, sosiologi, budaya, kemanusiaan, dan sebagainya. Dengan pendekatan ini maka disiplin ilmu tidak menonjol sebagai materi, tetapi hanya alat untuk mengkaji.

Terdapat beberapa definisi lain tentang IPS. Richard E. Gross, dkk (1978 : 3) menyatakan bahwa IPS adalah dasar pendidikan sosial, dalam mempersiapkan fungsi warga negara dengan bekal pengetahuan, keterampilan dan sikap yang memungkinkan masing-masing warga negara tersebut dapat tumbuh secara personal antara yang satu dengan yang lainnya secara baik, dan dalam berkontribusi pada kebudayaan yang akan datang. Muriel Crosby menyatakan bahwa IPS diidentifikasi sebagai studi yang memperhatikan pada bagaimana orang membangun kehidupan yang lebih baik bagi dirinya dan anggota keluarganya, bagaimana orang memecahkan masalah-masalah, bagaimana orang hidup bersama, bagaimana orang mengubah dan diubah oleh lingkungannya (Leonard S. Kenworthy, 1981 : 7).

Berdasarkan definisi tersebut dapat diartikan pertama bahwa IPS merupakan mata pelajaran yang berkaitan dengan kehidupan individu baik sebagai warga negara maupun masyarakat. Individu yang diharapkan dalam IPS adalah individu yang saling berinteraksi antara yang satu dengan yang lainnya. Interaksi yang diharapkan adalah interaksi yang bisa membangun kehidupan yang lebih baik. Sebab secara sosiologis dan politis, apabila individu-individu tersebut memiliki yang baik, secara otomatis menunjukkan sebagai warga negara yang baik. Interaksi individu bukan hanya dengan sesama manusia, akan tetapi interaksi juga dilakukan dengan lingkungan baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Dalam berinteraksi tersebut memungkinkan terjadinya masalah-masalah yang berdampak pada kehidupan manusia baik masalah yang berupa fenomena sosial maupun fenomena alam. Fenomena sosial, misalnya masalah urbanisasi yang berakibat terjadinya kepadatan penduduk di perkotaan. Fenomena alam, misalnya banjir yang dapat membawa pada krisis kemanusiaan.

Kedua, IPS menuntut adanya pengetahuan, keterampilan dan sikap. Untuk menjadi warga negara yang baik, IPS memberikan bekal pengetahuan yang biasanya lebih menekankan pada aspek kognitif. Misalnya pengetahuan tentang apa yang menjadi penyebab terjadinya urbanisasi, apa yang menyebabkan terjadinya banjir, bagaimana cara-cara memghindari banjir, dan sebagainya. Keterampilan dan sikap lebih banyak menuntut terhadap apa yang dapat ditunjukkan oleh siswa dalam bentuk kinerja. Keterampilan dalam IPS memiliki arti yang lebih luas yang biasa disebut dengan keterampilan sosial. Keterampilan-keterampilan ini lebih banyak ditunjukkan dengan sikap ketika berinteraksi dengan individu-individu lain.Misalnya apakah individu menunjukkan sikap peduli ketika melihat tetangganya terkenan banjir, dan sebagainya.

IPS sebagai sebuah kajian memiliki kepentingan bagi pendidikan. Bruce Joyce (Leonard S. Kenworthy, 1981 : 7) menyatakan ada tiga katagori dalam pendidikan yang merupakan karakteristik tujuan IPS yaitu :

  1. Pendidikan kemanusiaan.
  2. Pendidikan kewarganegaraan.
  3. Pendidikan intelektual.

Pendidikan kemanusiaan memiliki arti bahwa IPS harus membantu anak memahami pengalamannya dan menemukan arti atau makna dalam kehidupannya. Dalam  tujuan pertama ini terkandung unsur pendidikan nilai. Guru dapat menyajikan materi IPS dalam tujuan ini misalkan dalam materi krisis kemanusiaan yang disebabkan oleh terjadinya fenomena alam banjir. Banjir dapat menimbulkan korban. Bagaimana sikap yang harus dilakukan terhadap korban banjir. Pada tema ini bisa membicarakan hubungan antara fenomena sosial dan fenomena alam. Siswa dituntut memiliki sikap empati terhadap masalah kemanusiaan.

Pendidikan kewarganegaraan mengandung arti bahwa siswa harus dipersiapkan untuk berpartisipasi secara efektif dalam dinamika kehidupan masyarakat. Siswa memiliki kesadaran untuk meningkatkan prestasinya sebagai bentuk tanggung jawab warga negara yang  setia pada negara. Pendidikan nilai dalam tujuan ini lebih ditekankan pada kewarganegaraan. Materi yang disajikan lebih banyak tema yang berkaitan dengan kehidupan sebagai warga negara. Misalnya tema tentang etika berkendaraan di jalan raya. Bagaimana seorang warga negara yang baik menggunakan kendaraan, mentaati rambu-rambu lalu lintas, tidak ngebut di jalanan yang mengganggu ketentraman, dan sebagainya.

Pendidikan intelektual mengandung arti bahwa anak membutuhkan untuk memperoleh ide-ide yang analitis dan alat-alat untuk memecahkan masalah yang dikembangkan dari konsep-konsep ilmu sosial. Dalam memecahkan masalah anak akan dihadapkan pada upaya mengambil keputusan sendiri. Dengan peningkatan kematangan, anak harus belajar untuk menjawab pertanyaan dengan benar dan menguji ide-ide kritis dalam situasi sosial. Dalam pembelajaran ini, siswa diminta untuk berpikir kritis dalam mengkaji tema-tema yang diangkat dalam kehidupan nyata. Siswa diminta diminta untuk memberikan analisis dengan konsep-konsep ilmu sosial atau ilmu lainnya terhadap fakta yang terjadi. Misalkan terjadinya pengangguran, bagaimana pengangguran dilihat dari aspek sejarah, ekonomi, geografi, sosiologi dan yang lainnya. Berdasarkan hasil analisis tersebut kemudian siswa diminta untuk mengambil keputusan bagaimana cara menanggulangi agar tidak terjadi pengangguran dan bagaimana menanggulangi dampak negatif dari pengangguran.

Jack R. Fraenkel  (1980 :  8-11) membagi tujuan IPS dalam empat katagori yaitu :

  1. Pengetahuan
  2. Keterampilan
  3. Sikap
  4. Nilai

Pengetahuan adalah kemahiran dan pemahaman terhadap sejumlah informasi dan ide-ide. Tujuan pengetahuan ini membantu siswa untuk belajar lebih banyak tentang dirinya dan fisiknya dan dunia sosial. Dalam praktek pembelajaran pengetahuan dapat berupa kegiatan siswa yang dikenalkan dengan konsep-konsep yang ada dalam ilmu-ilmu sosial  misalnya demokrasi, relasi, kronologis, urbanisasi, migrasi, dan sebagainya.

Keterampilan adalah pengembangan kemampuan-kemampuan tertentu sehingga digunakan pengetahuan yang diperolehnya. Beberapa keterampilan yang ada dalam IPS adalah :

  1. Keterampilan berpikir yaitu kemampuan mendeskripsikan, mendefinisikan, mengklasifikasi, membuat hipotesis, membuat generalisasi, memprediksi, membandingkan dan mengkontraskan, dan melahirkan ide-ide baru.
  2. Keterampilan akademik yaitu kemampuan membaca, menelaah, menulis, berbicara, mendengarkan, membaca dan meninterpretasi peta, membuat garis besar, membuat grafik dan membuat catatan.
  3. Keterampilan penelitian yaitu mendefinisikan masalah, merumuskan suatu hipotesis, menemukan dan mengambil data yang berhubungan dengan masalah, menganalisis data, mengevaluasi hipotesis dan menarik kesimpulan, menerima, menolak atau memodifikasi hipotesis dengan tepat.
  4. Keterampilan sosial yaitu kemampuan bekerjasama, memberikan kontribusi dalam tugas dan diskusi kelompok, mengerti tanda-tanda non-verbal yang disampaikan oleh orang lain, merespon dalam cara-cara menolong masalah yang lain, memberikan pengnuatan terhadap kelebihan orang lain, dan mempertunjukkan kepemimpinan yang tepat.

Sikap adalah kemahiran, mengembangkan dan menerima keyakinan-keyakinan, interes, pandangan-pandangan, dan kecendrungan  tertentu.  Sedangkan nilai adalah kemahiran memegang sejumlah komitmen yang mendalam, mendukung ketika sesuatu dianggap penting dengan tindakan yang tepat.

TIK dalam IPS

Memasuki awal abad ke-21 telah terjadi perkembangan tekonologi informasi dan komunikasi (TIK) yang begitu pesat. Tekonologi ini telah banyak mengubah cara-cara hidup manusia di bumi. Hal terpenting dengan perkembangan teknologi informasi adalah semakin cepatnya akses informasi dalam berbagai kehidupan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi begitu mudah dengan cepat diterima di wilayah lain. Hal ini telah menembus sekat-sekat batas geografis secara fisik.

Penggunaan TIK dalam pendidikan di Indonesia sangatlah penting. Terdapat beberapa alasan pentingnya penggunaan TIK, (Hansiswany Kamarga, 2008 : 475 – 502) yaitu pertama bahwa pendidikan merupakan wahana bagi pengembangan sumber daya manusia. Pengembangan sumber daya manusia yang berkwalitas sangat membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai. Kedua peningkatan industri memerlukan perbaikan sumber daya manusia. Untuk mencapai sumber daya manusia yang handal dibutuhkan sistem pendidikan yang baik. Agar sistem pendidikan menjadi berkwalitas, maka dibutuhkan sarana dan prasarana yang sangat mendukung. Ketiga, pengembangan sistem pendidikan yang berbasis tekonologi informasi akan mempercepat perluasan kesempatan memperoleh pendidikan di samping juga perbaikan kualitas pendidikan, keempat, Indonesia memiliki kondisi geografis beragam, yakni dari daerah perkotaan sampai dengan daerah terpencil yang dipisahkan oleh berbagai selat dan laut, tampaknya harus serius memikirkan pengembangan pendidikan dengan modus berbasis teknologi informasi, sebab pengembangan sistem pendidikan yang demikian sangat membantu memperluas dan memperbaiki pendidikan di Indonesia.

Teknologi Informasi adalah bagian teknologi dari suatu sistem informasi. Dalam beberapa sudut pandang, sistem informasi sering dihubungkan langsung dengan teknologi informasi.Tugas-tugas yang dapat ditangani teknologi informasi :

  • Teknologi informasi dapat memproses data mentah menjadi informasi yang berguna,
  • Teknologi informasi dapat memproses kembali suatu informasi dan dipergunakan sebagai data dalam pemrosesan selanjutnya,
  • Teknologi informasi dapat mengemas informasi dalam bentuk baru agar supaya lebih mudah dimengerti, lebih menarik, atau lebih bermanfaat.

Dalam implementasi pembelajaran TIK dapat berfungsi sebagai media dan sumber belajar. Hal yang dapat diperoleh dari TIK adalah informasi. Dalam proses pembelajaran informasi dapat dijadikan sebagai sumber materi pembelajaran. TIK dalam konteks pendidikan dapat berupa alat fisik misalnya komputer, handphone, televisi, dan sebagainya, TIK dapat pula berupa perangkat lunak yakni program-program yang dapat dijadikan sumber belajar. Implikasi dari penggunaan TIK akan sangat berpengaruh terhadap metode pembelajaran yang digunakan.

Dalam proses pembelajaran media merupakan salah satu bagian penting untuk mencapai tujuan pembelajaran. Media memiliki fungsi yaitu :

  1. Sebagai unsur pencapaian tujuan, bukan semata-mata sbg alat bantu/ alat pelengkap, melainkan bersama-sama dengan bahan pelajaran dan metode berperan dalam proses KBM agar tujuan pembelajaran tercapai    sesuai dengan yang telah dirumuskan.
  2. Sebagai pengembang kemampuan, terutama alat-alat media yang dapat dimanipulasi/ dirakit/ dimodifikasi atau disengaja direncanakan untuk   meningkatkan kemampuan/ keterampilan tertentu (mengamati, menafsirkan,  merakit alat, mengukur, memilih alat yang tepat, dsb).
  3. Sebagai katalisator dalam proses pemahaman bahan kajian/ pelajaran, misalnya melalui alat  yang diperagakan, dipraktekkan,  atau pengalaman langsung.
  4. Sebagai pembawa informasi, antara lain gambar, radio, televisi, foto, film, slide, video, animasi,     model, software.

Sebagai alat dalam pembelajaran media juga berfungsi :

  1. Melampaui batas ruang kelas

Dalam paradigma yang baru pembelajaran tidak hanya dilakukan di kelas, akan tetapi pembelajaran dapat pula dilakukan di luar  kelas. Penggunaan media TIK dapat memungkinkan siswa belajar di luar ruang kelas misalkan menggunakan internet siswa dapat melakukan dimana saja. Internet dapat digunakan untuk mencari sumber-sumber materi baik dala bentuk teks, audio, visual dan bentuk lainnya.

  1. Memungkinkan interaksi langsung

Interaksi antara guru dan siswa tidak hanya sebatas di kelas yang terkadang hanya dibatasi oleh ruang dan waktu. Dengan TIK memungkinkan siswa berinteraksi langsung dengan guru secara individual. Bahkan interaksi langsung tidak hanya sebatas siswa dengan guru, akan tetapi siswa dengan sumber-sumber belajar lainnya. Misalnya siswa dapat berinteraksi langsung dengan guru dan sumber belajar lainnya dengan menggunakan telepon, handphone, chatting di internet, downlod bahan-bahan materi, melihat peristiwa secara langsung yang ada dalam media audio visual, dan sebagainya.

  1. Memungkinkan keseragaman pengamatan

Belajar yang baik adalah adanya proses penemuan (inquiri) siswa terhadap sumber-sumber belajar. Pembelajaran yang berlangsung di kelas, pengamatan yang dilakukan oleh siswa akan dibatasi oleh ruang dan waktu. Pengamatan dapat dilakukan dengan media audio dan visual secara bersama-sama antar siswa. Misalnya siswa dapat mengamati gambar dan film tentang kehidupan masyarakat yang ada di TV dan internet.

  1. Membangkitkan minat baru

Minat yang tumbuh dalam diri siswa, sangat ditentukan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor penting adalah bagaimana guru menerapkan metode pembelajaran yang digunakan. Kemampuan guru dalam menerapkan metode sangat berpengaruh pada minat siswa terhadap pelajaran yang disampaikan di kelas. Hal yang dapat menarik minat siswa dalam pelaksanaan pembelajaran guru adalah penggunaan media. Apabila guru melakukan pembelajaran yang bersifat monoton, tidak menggunakan media akan mengurangi minat belajar siswa, bahkan akan membuat siswa bosan sehingga tidak tertarik terhadap materi pembelajaran yang diberikan oleh guru. Media dapat mempermudah bagi siswa dalam memahami materi pelajaran.

  1. Mengatasi keterbatasan pengalaman belajar

Pengalaman belajar adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Apabila guru melakukan pembelajaran tidak menggunakan media maka pengalaman belajar siswa sangat terbatas yaitu siswa hanya mendengarkan dan membaca, tidak ada kegiatan yang yang berbentuk kinerja. Media pembelajaran akan memungkinkan pengalaman belajar menjadi kaya, tidak sebatas aktivitas di kelas saja. Penggunaan media TIK dapat memunculkan beberapa pengalaman belajar yang bersifat kinerja seperti mengamati, menganalisis, menemukan data, mengolah data, menyimpulkan temuan data, melakukan aktivitas, dan sebagainya.

  1. Memberikan pengalaman menyeluruh

Pengunaan media TIK dapat memberikan pengalaman menyeluruh. Pengalaman belajar yang berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan dapat ditampilkan dalam satu kegiatan yang terintegrasi. Misalnya dalam pelaksanaan pembelajaran IPS guru mendiskusikan tentang urbanisasi di kota. Dalam kegiatan tersebut guru menayangkan film tentang kehidupan masyarakat perkotaan. Guru dapat menanyakan pada siswa mengapa urbanisasi, bagaimana mencegah terjadinya urbanisasi, bagaimana menanggulangi dampak negatif urbanisasi bagi masyarakat perkotaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab oleh pengalaman belajar siswa yang bersifat menyeluruh. Mulai dari siswa harus memiliki pengetahuan tentang urbanisasi, sikap apa yang harus dilakukan dalam menanggulangi urbanisasi, hingga keterampilan-keterampilan yang harus dilakukan dalam kehidupan masyarakat yang urban.

Perubahan Paradigma Pembelajaran

Pembelajaran telah mengalami perkembangan dari teori yang behavioristik ke konstruktif. Ada beberapa perbedaan penting dalam perubahan tersebut, yakni pertama definisi. Dalam pandangan behaviorisme mendefinsikan bahwa pembelajaran terjadi ketika perilaku atau perubahan perilaku diperoleh sebagai hasil dari jawaban individual terhadap stimulus (rangsangan). Konstruktivisme mendefinisikan bahwa pembelajaran adalah suatu proses di mana individu-individu mengkonstruksi ide-ide atau konsep-konsep baru berdasarkan atas pengetahuan dan atau pengalaman yang telah ada sebenarnya. Kedua prinsip-prinsip, menurut behaviorisme pengaruh lingkungan eksternal memberi sumbangan terhadap pembentukan perilaku individual. Lingkungan tampil sebagai penyebab yang mengubah tingkah laku. Apakah perilaku terjadi lagi tergantung pada akibat-akibat yang menyusul. Sedangkan menurut konstruktivisme bahwa individu-individu mengkonstruksi pengetahuan dengan bekerja untuk memecahkan masalah-masalah realistis, biasanya dengan kerjasama dengan yang lain. Pembelajaran adalah suatu perubahan makna yang dikonstruksi dari pengalaman. Tafsiran pengalaman individual atas pengalaman vs. representasi objektif (perspektif proses informasi (Helius Sjamsuddin, 2008 : 269).

Perubahan paradigma pembelajaran tersebut lebih menekankan pada individu sebagai subjek belajar, pada pandangan behaviorisme lebih menekankan bahwa proses belajar terjadi pada individu apabila ada rangsangan. Pandangan ini seolah-olah memberi kesan bahwa individu bagaikan sebuah tabula rasa yang kosong, kemudian diisi ketika belajar melalui rangsangan. Belajar lebih kepada transfer of knowledge.  Belajar sebagai aktivitas individu terjadi disebabkan oleh adanya faktor eksternal. Sedangkan dalam pandangan konstruktivisme lebih menekanlan behwa belajar merupakan aktivitas internal individu. Individu bukanlah bagai tabula rasa yang kosong, tetapi ia sebelumnya telah memiliki pengetahuan dan pengalaman. Belajar adalah suatu proses mengkonstruksi berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimilikinya. Informasi yang diterima dikonstruksi dalam kognisi individu. Dengan demikian pembelajaran merupakan proses perubahan makna, belajar bukan hanya sekedar transfer of knowledge. Belajar dalam pandangan konstruktivisme haruslah bermakna.

Ada tiga persyaratan belajar bermakna (Nana Syaodih Sukmadinata, 1997 : 136) yaitu :

  1. Materi yang dipelajari harus dapat dihubungkan dengan struktur kognitif secara beraturan karena adanya kesamaan isi.
  2. Siswa harus memiliki konsep yang sesuai dengan materi yang akan dipelajarinya.
  3. Siswa harus mempunyai kesamaan atau motif untuk menghubungkan konsep tersebut dengan struktur kognitifnya.

Makna merupakan isi dari struktur kognitif, yang terjadi karena materi memiliki yang memiliki kebermaknaan potensial disatukan dengan struktur kognitif. Proses penyatuan tersebut berbeda-beda dan dapat diletakkan dalam suatu hierarki dari yang bersifat rpresensional sampai dengan belajar tingkat tinggi, perbuatan belajar kreatif.

Penggunaan TIK memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perubahan paradigma belajar. Perubahan-perubahan terjadi baik pada aspek keruangan, waktu, pelaku, media, materi, aktivitas belajar dan lain-lain. Terjadi pergeseran tentang pengertian belajar. Menurut Rosenberg (2001), dengan berkembangnya penggunaan  TIK ada lima pergeseran dalam proses pembelajaran yaitu: (1) dari pelatihan ke penampilan, (2) dari ruang kelas ke di mana dan kapan saja, (3) dari kertas ke “on line” atau saluran, (4) fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja, (5) dari waktu siklus ke waktu nyata. Komunikasi sebagai media pendidikan  dilakukan dengan menggunakan media-media komunikasi seperti telepon, komputer, internet, e-mail, dsb. Interaksi antara guru dan siswa tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi juga dilakukan dengan menggunakan media-media tersebut. Guru dapat memberikan layanan tanpa harus berhadapan langsung dengan siswa. Demikian pula siswa dapat memperoleh informasi dalam lingkup yang luas dari berbagai sumber melalui cyber space atau ruang maya dengan menggunakan komputer atau internet. Hal yang paling mutakhir adalah berkembangnya apa yang disebut “cyber teaching” atau pengajaran maya, yaitu proses pengajaran yang dilakukan dengan menggunakan internet. Istilah lain yang makin poluper saat ini ialah e-learning yaitu satu model pembelajaran dengan menggunakan media teknologi komunikasi dan informasi khususnya internet. Menurut Rosenberg (2001; 28), e-learning merupakan satu penggunaan teknologi internet dalam penyampaian pembelajaran dalam jangkauan luas yang belandaskan tiga kriteria yaitu: (1) e-learning merupakan jaringan dengan kemampuan untuk memperbaharui, menyimpan, mendistribusi dan membagi materi ajar atau informasi, (2) pengiriman sampai ke pengguna terakhir melalui komputer dengan menggunakan teknologi internet yang standar, (3) memfokuskan pada pandangan yang paling luas tentang pembelajaran di balik paradigma pembelajaran tradisional.  Saat ini e-learning telah berkembang dalam  berbagai model pembelajaran yang berbasis TIK seperti:  CBT (Computer Based Training), CBI (Computer Based Instruction), Distance Learning, Distance Education, CLE (Cybernetic Learning Environment), Desktop Videoconferencing, ILS (Integrated Learning Syatem), LCC (Learner-Cemterted Classroom), Teleconferencing, WBT (Web-Based Training), dsb.

Sebagaimana telah dikemukakan oleh pandangan konstruktivistik menjelaskan bahwa dalam proses belajar terjadi kegiatan proses mengolah informasi. Secara psikologis terdapat perbedaan individu dalam mengolah informasi. Ada siswa yang merasa mudah memproses informasi yang berbentuk visual, sementara siswa lainnya merasa mudah bila ada suara, dan ada pula sebagian siswa yang merasa mudah apabila sumber informasi disajikan dalam bentuk teks (Anderson, 1981). Pada dasarnya, pembelajaran diselenggarakan dengan harapan agar siswa mampu menangkap/menerima, memproses, menyimpan, serta mengeluarkan informasi yang telah diolahnya. Gardner (1983) mengemukakan bahwa kemampuan memproses informasi itu dalam bentuk tujuh kecerdasan, yaitu (1) logis-matematis, (2) spasial, (3) linguistik, (4) kinestetik-keperagaan, (5) musik, (6) interpersonal, dan (7) intrapersonal.

Media TIK merupakan media yang dapat mengakomodir persyaratan-persyaratan tersebut, misalnya komputer. Komputer mampu menyajikan informasi yang dapat berbentuk video, audio, teks, grafik dan animasi (simulasi). Dengan demikian penggunaan media TIK amat lah penting dalam pembelajaran IPS.

 

Berfikir Kritis Dan Pemecahan Masalah

Salah satu bentuk pembelajaran yang bermakna adalah model pembelajaran berfikir kritis dan pemecahan masalah. Model pembelajaran ini merupakan pendekatan pembelajaran inquri yaitu proses mencari dan menemukan. Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa ciri penting dari perubahan paradigma belajar adalah adanya aktivitas siswa yang melakukan pencarian dan penemuan. Pencarian dan penemuan dapat dilakukan oleh siswa dalam bentuk konstruksi pengetahuan dan pengalamannya. Konstruksi pengetahuan dan pengalaman yang dilakukan oleh siswa harus didukung oleh media yang mampu membantu siswa dalam memproses informasi yang diperolehnya. Media yang dapat digunakan adalah teknologi informasi. Dengan cara seperti ini maka belajar akan menjadi bermakna.

Ada lima langkah yang dilakukan oleh siswa dalam mengembangkan model pembelajaran berfikir kritis dan pemecahan masalah (William W. Joyce, 1979 : 114) yaitu :

  1. Mengenal dan mengidentifikasi masalah
  2. Mengembangkan hipotesis
  3. Mengumpulkan data
  4. Menganalisis data
  5. Menarik kesimpulan yang bersifat tentatif dan menguji kembali hipotesis.

Model berfikir kritis dan pemecahan masalah merupakan model pembelajaran yang dapat diterapkan pada IPS Terpadu. Penerapan pembelajaran ini penting dilaksanakan, karena masalah yang diangkat dalam pembelajaran dapat berangkat dari tema. Masalah yang diangkat dalam tema pembelajaran adalah sesuatu yang berangkat pengetahuan dan pengalaman yang langsung dirasakan oleh siswa. Cara yang dilakukan dalam mengenal dan mengidentifikasi masalah kepada siswa yaitu dapat ditugaskan untuk mencari isu-isu kritis yang ada dalam kehidupan nyata. Untuk mencari isu-isu kritis tersebut, guru dapat menugaskan kepada siswa dengan menonton televisi, mendengarkan dari radio, mencari melalui internet, dan media lainnya. Dalam pembelajaran IPS di SMP guru dapat mengambil contoh materi di Kelas 8 Semester 1 dengan Standar Kompetensi yaitu Memahami permasalahan sosial berkaitan dengan  pertumbuhan jumlah penduduk. Kompetensi dasar yang diambil misalnya Mendeskripsikan permasalahan lingkungan hidup dan upaya penanggulangannya dalam pembangunan berkelanjutan. Isu kritis yang dapat dikembangkan berdasarkan SK dan KD tersebut yaitu masalah banjir. Banjir merupakan masalah yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan memiliki hubungan kehidupan penduduk. Siswa diminta untuk menjelaskan mengapa banjir merupakan masalah ¿ masalah-masalah apa saja yang berhubungan langsung dengan kehidupan penduduk yang berkaitan dengan banjir ¿ siswa diminta untuk mengidentifikasi masalah-masalah tersebut.

Setelah siswa mengidentifikasi masalah, langkah berikutnya adalah mengembangkan hipótesis. Secara teoretis hipótesis adalah jawaban sementara terhadap masalah. Hipótesis dikembangkan biasanya berdasarkan data yang diperoleh. Data tersebut dapat berupa hasil pengalaman dan pengamatan siswa terhadap masalah yang ia identifikasi. Mengembangkan hipótesis merupakan berpikir yang bersifat konsep, ada proses konstruksi pengetahuan dan pengalaman yang ada pada siswa dengan kenyataan yang ia terima.  Hipótesis yang baik harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat rasional. Beberapa hipótesis yang dapat dirumuskan berkaitan dengan banjir misalnya pertama terjadinya banjir memiliki hubungan yang erat dengan gaya hidup masyarakat, kedua, ada hubungan yang signikan antara terjadinya banjir terjadinya banjir dengan kepadatan penduduk, ketiga ada hubungan yang signifikan antara penyebab banjir dengan perilaku masyarakat terhadap lingkungan hidup.

Hipótesis-hipotesis tersebut perlu dibuktikan dan diuji kebenarannya. Untuk menguji hipótesis maka langkah berikutnya yang harus dilakukan hádala pengumpulan data. TIK dapat dijadikan sebagai sumber untuk mencari data. Data yang dicari harus lah data yang berkenaan dengan tema pembahasan, misalnya masalah banjir.   Jenis data yang dikumpulkan dapat berupa dokumen tertulis, data lisan melalui wawancara, pengamatan langsung pada kehidupan nyata. Berbagai jenis sumber data dapat diperoleh melalui penggunaan TIK, misalnya dokumen tertulis dapat dicari melalui Internet. Misalnya data tentang jumlah penduduk, peta wilayah yang menunjukkan daerah rawan banjir, dan data lainnya. Data lisan dapat pula dicari melalui televisi wawancara yang dilakukan oleh media elektronik terhadap masyarakat yang terkena musibah banjir. Sedangkan data mengenai pengamatan langsung terhadap perilaku masyarakat yang terkena banjir dapat dilihat melalui televisi dan Internet khusus pada website yang menampilkan gambar.

Setelah data dikumpulkan maka langkah berikutnya adalah menganalisis data. Ada beberapa keterampilan yang harus dilakukan dalam menganalisis data yaitu :

  1. Mengevaluasi sumber-sumber informasi.
  2. Membedakan antara falta dan opini.
  3. Membedakan antara sumber primer dan sumber sekunder
  4. membedakan antara fakta dan pernyataan
  5. Mengidentifikasi informasi yang relevan dan tidak relevan.

Analisis data pada dasarnya kegiatan melakukan seleksi, menguji akurasi data, dan memilah-milah mana data yang berkaitan dengan tema pembahasan materi. Hasil nalisis data ini akan menguji terhadap hipótesis. Misalkan betulkah karena penduduk yang padat dapat menyebabkan banjir ¿. Untuk menguji hipótesis ini, siswa dapat mencari daerah yang padat penduduknya dan daerah yang tidak padat penduduknya kemudian melakukan perbandingan genoma banjir yang terjadi di kedua daerah tersebut. Bisa saja hipótesis tersebut ditolak, ternyata berdasarkan data yang ditemukan daerah banjir tidak banyak terjadi daerah yang padat penduduknya, bahkan banjir sering terjadi di daerah yang kurang padat penduduknya. Banjir banyak terjadi disebabkan oleh perilaku tak bersahabat manusia terhadap alam. Misalnya tidak memelihara kebersihan sungai, membuang sampah sembarangan, melakukan penebangan pon yang tidak terkendali sehingga bukit menjadi gersang, dan sebagainya. Sumber-sumber informasi tersebut dapat dicari melalui sumber TIK.

 

Kesimpulan

Konsep IPS pada dasarnya merupakan statu konsep keterpaduan, sebab IPS hakekatnya merupakan kajian yang diambil dari berbagai disiplin ilmu yang bertujuan agar siswa dapat menjadi warga negara yang baik dan memiliki tanggung jawab dan dapat memiliki kemampuan untuk mengambil keuputusan bagi dirinya. Implikasi dari sebuah kajian, maka pendekatan materi yang tepat dalam pembelajaran IPS hádala dengan mengembangkan tema. Tema tersebut kemudian dikaji dengan berbagai disiplin ilmu yang relevan.

Pengembangan pembelajaran IPS Terpadu yang berbasis TIK sangatlah televan. Hal ini dikarenakan, untuk mengembangakan tema dalam pembelajaran IPS membutuh media dan sumber relajar yang kaya. Penggunaan TIK dapat memperkaya sumber informasi dari tema yang dikembangkan dalam pembelajaran.Berbagai bentuk informasi dapat diperoleh melalui penggunaan TIK baik informasi yang bersifat tertulis atau dokumen, sumber lisan, dan hasil kinerja yang nampak yang dapat dilihat melalui visualisasi yang dilakukan melalui media TIK. Penggunaan TIK secara lebih jauh akan mengubah beberapa paradigma dalam pembelajaran IPS Terpadu, baik berupa materi, metode pembelajaran, aktivitas relajar, dan sebagainya.

 

DAFTAR PUSTAKA

Elis, Arthur (1998), Teaching & Learning Social Studies, 6th Edition USA:  Allyn & Bacon

Hansiswany Kamarga,”Pembentukan Sikap dan PerilakuBerbasis Teknologi Informasi Melalui Pembelajaran Blended dan E-Learning”, dalam Nana Supriatna & Erlina Wiyanarti, (2008), Sejarah dalam Keragaman Penghormatan Kepada Prof. Helius Sjamsuddin, Ph.D.,MA, Bandung : Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, hlm. 475-502.

Helius Sjamsuddin,”Pembelajaran Sejarah : Refleksi & Prospek”, dalam Agus Mulyana & Dadang Supardan, Ed. (2008), Sejarah Sebuah Penilaian Refleksi 70 Tahun Prof.Dr. H. Asmawi zainul, M.Ed, Bandung : Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS Universitas Pendidikan Indonesia, hlm. 265-275.

Muhsinatun Siasah Masruri, (2008), “Model Penilaian Hasil Belajar IPS”, makalah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta

Nana Syaodih Sukmadinata, (1997), Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung : Remaja Rosdakarya.

Fraenkel, Jack, (1980), Helping Students Think Value Strategies for Teaching Social Studies, New Jersey : Prentice-Hall.

Richard E. Gross, et.al., (1978), Social Studies For Our Times, New York : John Wiley & Sons.

Kenworthy, Leonard, (1981), Social Studies For The Eighties, Canada : John Wiley & Sons.

Savage & Amstrong (1996), EfectiveTeaching in Elementary Social Studies, USA: Prentice Hall.

William W. Joyce & Janet E. Alleman-Brooks, (1979), Teaching Social Studies in the Elemantary and Middle Schools, New York : Holt, Rinehart and Winston.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *