METODOLOGI PENGAJARAN SEJARAH (Pengertian, Penentuan, dan Proses)

HAMID HASAN

Maret 1999

 

PENDAHULUAN

Pengertian metode mengajar sering diartikan sebagai kegiatan guru dalam upaya mencapai tujuan pelajaran. Pengertian ini dianut sedemikian lama di kalangan para akhli pendidikan dan para pendidik. Model-model perencanaan pengajaran dan literatur mengenai teknologi pendidikan sering menunjukkan pengertian tersebut. Oleh karena itu berbagai model seperti PPSI mau pun revisinya menunjukkan penerapan dari pengertian yang dimaksudkan. Model yang digunakan untuk GBPP kurikulum 75 dan 84 membuktikan penerapan dari pengertian tersebut. Dalam model yang demikian maka kolom metode dinyatakan secara eksplisit untuk mempelajari materi/pokok bahasan dalam upaya mencapai tujuan. Dengan model ini maka tindakan guru menjadi sangat menentukan dan kegiatan murid terjadi sebagai akibat dari apa yang dilakukan guru.

 

Pengertian metode yang demikian tentu saja mengandung berbagai keunggulan, antara lain guru mudah dalam membuat perencanaan, guru hanya perlu berfikir dan mempersiapkan apa yang harus dilakukannya. Apa dan bagaimana siswa belajar di kelas dalam upaya mempelajari materi dan mencapai tujuan tidak perlu dinyatakan secara eksplisit dalam rencana pelajaran atau pun satuan pelajaran. Secara alamiah siswa bereaksi terhadap apa yang dilakukan guru. Dalam model yang demikian jelas tidak dapat dikatakan bahwa siswa adalah subjek dalam proses interaksi di kelas. Sebaliknya adalah benar, siswa bukan menjadi kepedulian utama bahkan dapat dikatakan bahwa kedudukan materi pelajaran jauh lebih penting dari kedudukan siswa. Guru lebih berfikir tentang bagaimana materi pelajaran dapat diberikan/diselesaikan dan bukan pada masalah apakah siswa mampu memiliki kualitas yang dinyatakan dalam tujuan. Kepala sekolah dan pengawas pun lebih mempedulikan penyelesaian pengajaran pokok bahasan yang tercantum dalam kurikulum.

 

Permasalahan yang muncul dari pengertian metode mengajar yang dikemukakan di atas adalah adanya suatu ketidaksesuaian antara pokok pikiran mengenai proses pendidikan dengan model yang dikembangkan. Kurikulum yang berlaku sejak 1975 menempatkan siswa dalam posisi yang aktif dalam belajar dan guru adalah orang yang membantu proses belajar tersebut dengan berbagai pendekatan, metode, dan teknik mengajar yang dimilikinya. Artinya, pengertian metode mengajar dan model PPSI, satuan pelajaran, dan rencana pelajaran yang dikemukakan di atas bertentangan dengan ide pokok kurikulum tentang proses belajar. Dengan perkataan lain terjadi suatu “contradictio in terminis” antara ide pokok kurikulum dengan prosedur pengembangan kurikulum.

 

Tampaknya, tanpa dinyatakan secara eksplisit guru mengalami kesulitan untuk menjembatani perbedaan yang terjadi antara ide pokok kurikulum dengan model pengembangannya. Akibat kesulitan tersebut maka terjadi proses penyelesaian yang dianggap paling mudah dan tidak menimbulkan banyak pertanyaan yaitu melupakan perbedaan konseptual yang ada. Konsekuensinya, guru lebih mudah mencantumkan metode mengajar yang akan dilakukannya dan merencanakan apa yang akan dilakukan siswa sebagai akibat dari metode mengajar yang digunakan guru. Secara singkat dapat dikatakan bahwa perubahan kurikulum tidak membawa perubahan dalam implementasinya atau dalam realita di kelas.

 

Kenyataan seperti yang dikemukakan di atas terjadi juga dalam implementasi kurikulum IPS dan Sejarah. Dalam implementasi kurikulum sejarah tahun 1994 pun kenyataan ini masih terjadi. Rumusan Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) yang dirumuskan guru,  rencana pelajaran dan satuan pelajaran didominasi oleh pengertian metode mengajar yang demikian. Guru tidak diberi alternatif dan tidak juga dibekali dengan visi serta ketrampilan untuk mengembangkan pengertian metode mengajar yang lebih sesuai dengan ide pokok kurikulum. Oleh karena itu, selama visi guru belum berubah, ketrampilan yang berkaitan dengan pengertian metode mengajar yang sesuai dengan ide pokok kurikulum belum dikembangkan menjadi ketrampilan profesional baru guru, sistem bantuan profesional terhadap guru yang bersesuaian dengan pengertian metode mengajar yang lebih sesuai dengan kurikulum belum dikembangkan, guru tidak akan mengubah praktek implementasi kurikulum yang dilakukan selama ini.

 

Pengertian metode mengajar yang lebih sesuai dengan ide pokok kurikulum haruslah pula menempatkan siswa sebagai subjek dalam belajar dan menggunakan metode serta ketrampilan mengajar untuk memungkinkan proses belajar siswa menjadi suatu kenyataan. Oleh karena itu pengertian baru mengenai metode mengajar bukan lagi kegiatan guru dalam upaya mencapai tujuan yang telah  dirumuskan. Tujuan yang dirumuskan adalah perubahan dalam kualitas diri siswa yang diharapkan. Dengan demikian adalah wajar jika yang akan mencapai kualitas tersebut adalah siswa dan guru mengerahkan kemampuan profesionalnya untuk memungkinkan pencapaian tersebut.

 

Pengertian metode mengajar yang dianut dalam makalah ini adalah kegiatan yang dilakukan guru dalam membantu kegiatan belajar siswa untuk mencapai tujuan. Dengan pengertian ini maka metode mengajar guru ditentukan oleh kegiatan belajar siswa. Kegiatan belajar siswa adalah kegiatan belajar yang harus dilakukan siswa dalam mempelajari materi pelajaran sehingga siswa dapat memiliki kualitas yang dinyatakan/ dirumuskan dalam tujuan pembelajaran.  Dalam pengertian ini maka posisi metode mengajar merupakan variabel yang terikat oleh bentuk kegiatan belajar siswa dan untuk itu memang tugas guru menentukan cara siswa belajar terlebih dahulu sebelum metode mengajar ditetapkan.

 

FAKTOR PENENTU METODE MENGAJAR

Dalam model yang banyak digunakan, metode mengajar ditentukan setelah tujuan khusus (TIK dan sekarang TPK) ditentukan. Dalam model ini keterkaitan antara metode mengajar dengan tujuan menjadi sangat kuat. Metode mengajar adalah cara guru untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Dalam model lainnya, metode mengajar ditetapkan setelah penetapan mengenai evaluasi atau materi pelajaran sehingga keterkaitan antara tujuan khusus dengan metode mengajar tidaklah langsung seperti pada model pertama.

Keunggulan model itu adalah guru segera dapat menentukan metode mengajar apa yang digunakan. Sayangnya, keunggulan tersebut tidak mampu menutup kelemahannya. Kelemahan yang paling mendasar adalah tidak terjadi kesinambungan logis antara tujuan dengan metode mengajar. Tujuan menunjukkan kualitas yang diharapkan akan dimiliki siswa jika proses belajar berjalan sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena itu kepedulian utama dari suatu tujuan adalah siswa sedangkan kepedulian utama dari metode mengajar adalah apa yang harus dilakukan guru. Oleh karena itu ada suatu mata rantai yang hilang antara apa yang diharapkan dari siswa dengan apa yang akan dilakukan guru.

 

Model yang diajukan dalam tulisan ini berupaya untuk mengisis mata rantai yang hilang tersebut dengan dasar pemikiran bahwa tujuan menentukan kualitas yang diharapkan menjadi milik siswa dan dengan demikian maka pelaku utama adalah siswa. Dengan perkataan lain tujuan khusus menentukan bagaimana caranya siswa belajar untuk mencapai kualitas tersebut. Dengan landasan berfikir demikian maka tujuan khusus pembelajaran tidaklah langsung menentukan metode mengajar.

 

Selanjutnya, guru adalah pelaku yang memiliki kewenangan dan kemampuan untuk merelisasikan kegiatan belajar siswa dalam upaya mencapai tujuan. Tugas guru adalah membuat rancangan dan melaksanakan rancangan tersebut sebagai orang yang mendapat wewenang profesional untuk menentukan kualitas yang harus dimiliki siswa, cara mencapai kualitas tersebut, cara membantu siswa melakukan kegiatan belajar untuk mencapai kualitas, dan menentukan status siswa dalam mencapai kualitas yang diinginkan. Dengan posisinya sebagai otorita untuk membantu siswa maka metode yang ditentukan dan digunakan guru haruslah berkenaan dengan upaya/kegiatan siswa memiliki kualitas yang dimaksudkan.

 

Untuk dapat menentukan metode yang dapat membantu siswa dalam belajar maka guru harus mengetahui dan mempertimbangkan berbagai faktor yang berpengaruh terhadap belajar siswa. Sebelum menentukan metode mengajar guru harus mempertimbangkan pengaruh materi pelajaran, sumber materi, dan kemampuan siswa terhadap proses belajar. Artinya, berbagai permasalahan yang mungkin timbul dalam kegiatan belajar siswa harus diidentifikasi. Atas dasar pertimbangan itulah maka guru kemudian menentukan cara membantu siswa dalam belajar dengan mempertimbangkan keunggulan dan kelemahan suatu metode, bentuk dukungan yang dapat diberikannya terhadap kegiatan belajar siswa, dan kemampuan guru melaksanakan prosedur dan teknik yang diperlukan suatu metode mengajar.

 

Diagram tersebut menunjukkan bahwa cara siswa belajarlah yang menentukan metode mengajar guru. Cara belajar yang dimaksudkan adalah cara siswa belajar secara berkelompok (kelas) untuk mencapai kualitas yang dinyatakan dalam tujuan. Cara belajar siswa ini ditentukan oleh guru berdasarkan pengetahuan guru tentang kemampuan, ciri khas, dan kepribadian siswa. Bagi guru yang sudah lama mengenal siswa di kelasnya guru tersebut dapat saja menentukan kemampuan, ciri khas dan kepribadian siswa dapat ditentukan berdasarkan “professional judgement” guru. Bagi guru yang baru mengenal siswa di kelasnya, pendapat guru lain yang mengenal siswanya dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan karakteristik siswanya. Cara lain yang dapat dilakukan guru yang belum mengenal betul siswanya adalah dengan melakukan wawancara atau pun menyebarkan kuesioner.

 

Berdasarkan pertimbangan guru mengenai cara belajar siswa itu maka guru dapat menentukan bentuk, jenis, dan pendekatan bantuan yang diperlukan guru. Dengan keputusan tentang bentuk, jenis, dan pendekatan bantuan tersebut guru menentukan metode mengajar yang akan digunakan.   Oleh karena itu guru sejarah harus mampu menentukan  cara siswa belajar materi sejarah dalam upaya memiliki kualitas yang  dinyatakan dalam tujuan sebelum guru sejarah menentukan metode mengajar sejarah yang akan digunakan.

 

 

Sumber belajar

Faktor lain yang turut menentukan cara siswa belajar adalah faktor di luar diri siswa (faktor eksternal siswa). Termasuk dalam faktor eksternal ini ialah ketersediaan sumber belajar dan materi pelajaran. Ketersediaan sumber belajar bersifat majemuk: sumber yang dimiliki siswa, yang dimiliki dan dikembangkan guru/sekolah, dan yang tersedia di lingkungan sekolah (masyarakat). Sumber tersebut merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap cara belajar siswa: siswa yang tidak memiliki sumber belajar (dalam hal ini terutama buku teks) memiliki cara belajar yang berbeda dari mereka yang memiliki buku tersebut.[1] Di kelas yang sebagian terbesar siswanya tidak memiliki buku, yang lama dan dinyatakan tidak sesuai dengan kurikulum sekali pun, tentu saja cara belajar siswanya berbeda dari kelas di mana siswanya memiliki buku pelajaran (baru dan yang lama). Demikian pula dengan sekolah di mana tersedia perpustakaan sekolah yang cukup untuk pelajaran sejarah dengan sekolah yang tidak memiliki perpustakaan yang baik atau bahkan yang tidak memiliki perpustakaan sama sekali.

 

Sekolah yang memiliki lingkungan yang kaya dengan peninggalan sejarah akan memberi tuntutan dan tantangan yang berbeda terhadap siswa di sekolah yang miskin dari peninggalan sejarah. Sekolah yang kaya dengan lingkungan peninggalan sejarah dapat memanfaatkan lingkungan tersebut dalam proses belajar siswanya sedangkan sekolah yang miskin dari lingkungan peninggalan sejarah tidak memiliki keuntungan tersebut dan memiliki cara belajar yang lain[2]. Dalam konteks yang demikian maka cara belajar yang dikembangkan guru menghendaki guru menerapkan metode mengajar yang berbeda pula.

 

Materi Pelajaran Sejarah

Materi pelajaran sejarah adalah faktor lain yang berpengaruh terhadap cara belajar siswa. Secara kategorial, materi sejarah dapat dikelompokkan atas fakta sejarah, konsep, teori, penafsiran, proses, cara berfikir sejarah, nilai, dan cerita sejarah. Cara belajar yang harus dilakukan siswa terhadap fakta sejarah berbeda dengan cara belajar konsep, teori, penafsiran, proses dan sebagainya. Materi tertentu sejarah seperti cara berfikir, nilai dan proses memerlukan kesinambungan belajar yang lebih dibandingkan fakta. Fakta sejarah dapat dipelajari dengan hafalan dan pemahaman tetapi tidak demikian halnya dengan materi yang bersifat proses atau penafsiran.  Berdasarkan apa yang akan dilakukan siswa dalam mempelajari materi tersebut maka guru sejarah menetapkan metode yang sesuai.

Ketrampilan Proses

Ketrampilan proses adalah faktor di luar diri siswa yang memberikan pengaruh dalam cara belajar siswa. Sebagai salah satu ciri kurikulum (diperkenalkan sejak kurikulum 1984), ketrampilan proses merupakan aspek inovatif yang diharapkan dapat meningkatkan mutu hasil belajar siswa. Pendidikan dan pengajaran sejarah baik di SLTP mau pun  SMTA harus pula memperhatikan hal ini dan mempengaruhi keputusan guru mengenai metode yang digunakan dalam proses mengajar sejarah.

 

Ketrampilan poses berkenaan dengan kemampuan prosesual dalam sejarah. Kemampuan yang hendak dikembangkan dalam ketrampilan proses adalah kemampuan merumuskan masalah, mengumpulkan informasi, mengolah informasi, menarik kesimpulan, menuliskan laporan, mengkomunikasikan informasi, merencanakan penelitian. Dalam hal pendidikan sejarah kemampuan yang dikembangkan dalam ketrampilan proses ini berkenaan dengan kemampuan siswa dalam:

  • merumuskan pertanyaan sejarah
  • mengumpulkan sumber-sumber sejarah
  • melakukan kritik terhadap sumber sejarah
  • menarik informasi dari sumber sejarah
  • menetapkan keterkaitan antara fakta sejarah
  • menafsirkan dan menuliskan cerita sejarah

 

 

Merumuskan pertanyaan sejarah mengandung kegiatan belajar dimana siswa harus melatih dirinya dalam merumuskan pertanyaan berkenaan dengan suatu peristiwa sejarah. Misalnya, berkenaan dengan peristiwa Supersemar dan berkembangnya berita akhir-akhir ini maka dapat diajukan pertanyaan sejarah seperti “apa benar Supersemar dikeluarkan Presiden Soekarno karena tekanan militer?”, “apa benar pendapat yang mengatakan bahwa Supersemar merupakan coup d’ etats tidak berdarah?”, “apa ada hubungan antara peristiwa di Istana Negara dengan diterbitkannya Supersemar?”, “apa isi Supersemar yang sebenarnya?”, dan sebagainya. Banyak pertanyaan lain yang dapat dikembangkan dari setiap peristiwa sejarah dan kemampuan siswa dalam mengembangkan pertanyaan itu dapat dimulai dari bimbingan guru dan hingga akhirnya siswa dapat merumuskan pertanyaan mereka sendiri.

 

Proses belajar yang harus dilakukan siswa dalam merumuskan pertanyaan dengan bimbingan guru tentu saja berbeda dari proses belajar di mana siswa harus merumuskan sendiri pertanyaan sejarah. Proses belajar merumuskan pertanyaan sejarah dengan bimbingan guru akan diwarnai oleh kegiatan siswa bersama di kelas. Dalam situasi belajar yang demikian siswa harus mendapatkan dorongan yang kuat agar mau merumuskan pertanyaan (yang mungkin saja mereka enggan melakukannya karena berbagai alasan) dan jika pun mereka mau mungkin diperlukan waktu yang lama. Menghadapi kenyataan belajar yang demikian maka guru harus banyak menggunakan metode yang dapat membangkitkan keberanian siswa untuk berbuat “salah” dalam merumuskan pertanyaan, memotivasi siswa untuk mau berfikir sehingga ada sesuatu yang dipermasalahkannya, dan sabar dalam memberi kesempatan dan menunggu siswa merumuskan pertanyaan.

 

Proses belajar di mana siswa telah mampu, mau, dan “berani” merumuskan pertanyaan sejarah sendiri memerlukan metode mengajar yang berbeda. Guru mungkin saja tidak perlu lagi menunggu terlalu lama karena siswa segera merespon dengan mengemukakan pertanyaan sejarah yang dimaksud. Guru mungkin tidak perlu mencurahkan perhatian dan teknik mengajar yang rumit untuk memotivasi siswa agar mau merumuskan pertanyaan atau membantu siswa memperbaiki pertanyaan yang diajukan. Guru juga mungkin tidak perlu menunggu terlalu lama agar siswa mau merumuskan pertanyaan. Dalam konteks belajar yang demikian, guru sejarah harus menggunakan metode mengajar yang berbeda dari situasi belajar yang pertama.

 

Kondisi belajar yang berbeda terjadi pula untuk setiap kemampuan lainnya. Setiap kemampuan tersebut dikembangkan dari situasi di mana siswa memerlukan bantuan guru yang banyak sampai pada situasi di mana mereka sudah mampu melakukannya sendiri. Dengan demikian guru tidak dapat pula menggunakan metode yang sama untuk situasi belajar yang berbeda; guru haruslah menggunakan metode mengajar yang berbeda untuk situasi belajar yang berbeda.

 

 

Perbedaan terjadi tidak saja dalam menguasai suatu kemampuan. Perbedaan terjadi juga antara belajar suatu kemampuan dengan kemampuan lainnya. Jadi, perbedaan situasi belajar terjadi secara internal dalam suatu kemampuan mau pun secara external antara satu kemampuan dengan kemampuan lainnya. Dengan perkataan lain perbedaan situasi belajar terjadi baik secara horizontal (dalam belajar suatu kemampuan) mau pun secara vertikal (antara satu kemampuan dengan kemampuan lainnya). Berdasarkan perbedaan-perbedaan tersebut maka harus pula terjadi perbedaan dalam metode mengajar yang digunakan guru. Artinya, variasi dalam metode mengajar akan terjadi dengan sendirinya sebagai konsekuensi dari perbedaan proses belajar (yang juga terjadi sebagai konsekuensi dari perbedaan kemampuan yang harus dikuasai atau pun perbedaan dari kemampuan awal yang dimiliki siswa).

 

FASE DALAM BELAJAR SEJARAH

Proses belajar sejarah dan pelajaran lainnya dapat dikelompokkan dalam empat fase utama. Keempat fase tersebut adalah:

  • pengumpulan dan pemahaman informasi/ketrampilan/nilai
  • pemantapan pemahaman informasi/ketrampilan/nilai
  • penerapan/pemanfaatan informasi/ketrampilan/nilai
  • penilaian

 

 

Pengumpulan dan pemahaman informasi/ketrampilan/nilai berkenaan dengan upaya siswa mencari informasi tentang suatu peristiwa sejarah, suatu ketrampilan, suatu nilai. Informasi tersebut dapat berupa sumber sejarah yang digunakan, fakta sejarah, konsep sejarah, tafsiran sejarah, bias sejarawan, latar belakng sejarawan, dan sebagainya. Informasi itu dapat juga berkenaan dengan ketrampilan tertentu seperti kritik sumber, hukum kausalita, cara menarik informasi dari sumber, cara berfikir kronologis, cara berfikir analitis, dan sebagainya. Informasi itu dapat pula berkaitan dengan nilai yang berkenaan dengan suatu peristiwa sejarah seperti kepahlawanan, kepemimpinan, kerja keras, nasionalisma, dan sebagainya.

 

Upaya mendapatkan informasi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain membaca, mendengarkan ceramah guru/ nara sumber, mengamati suatu benda/peninggalan sejarah, melihat film/video, dan sebagainya. Kegiatan belajar ini dapat dilakukan di kelas tetapi dapat juga terjadi di luar kelas (di rumah atau di suatu lokasi dimana terdapat objek sejarah). Pada saat sekarang kegiatan siswa mencari informasi/ ketrampilan/nilai ini diwarnai secara dominan oleh ceramah guru di kelas. Jika guru sejarah ingin mengembangkan kemampuan siswa dalam mencari informasi maka seharusnya guru sejarah memberikan kesempatan yang lebih banyak bagi siswa membaca, mengamati, mendengar, atau pun melakukan kegiatan lain di luar kelas (terutama di rumah). [3] Dengan cara ini maka metode mengajar yang digunakan guru berbeda.

 

Dalam kegiatan belajar pengumpulan informasi ini maka siswa dapat melakukannya secara individual tetapi dapat juga dilakukan secara bersamaan dalam kelompok. Kondisi yang ada pada diri siswa di suatu kelas tentu saja diketahui dengan baik oleh guru dan berdasarkan pengetahuan itu guru dapat menentukan bentuk kegiatan belajar mana yang dianggap lebih sesuai. Kerja secara individual memberikan keuntungan bagi siswa untuk mampu bekerja secara mandiri tetapi memiliki kemungkinan negatif yaitu kemampuan siswa dalam kerjasama dan berkomunikasi dengan teman sekelas agak kurang.  Bekerja kelompok di luar sekolah memberikan kesempatan kepada siswa untuk lebih mampu berkomunikasi dan bekerja sama dengan teman-temannya tetapi dapat menjadi penghambat bagi siswa dalam mengembangkan kemandiriannya. Oleh karena itu kedua pendekatan itu dapat digunakan secara bergilir sehingga kelemahan masing-masing pendekatan dapat diatasi oleh pendekatan lainnya.

 

Kegiatan belajar untuk pemantapan pemahaman mengenai informasi/ketrampilan/nilai dapat dilakukan di kelas. Dengan demikian maka bahan apersepsi yang digunakan bukan lagi hanya bahan belajar yang dibicarakan pada minggu sebelumnya tetapi yang lebih utama adalah bahan belajar minggu itu yang sudah dibaca/diamati siswa di rumah sebelum proses belajar di kelas. Meski pun demikian bahan yang digunakan guru dalam mempersiapkan siswanya tetap bersifat apersepsi dan bukan advance organizer. Proses belajar berikutnya adalah pemantapan pemahaman terhadap apa yang sudah dipelajari, pengembangan ketrampilan yang dipelajari dari sumber informasi melalui latihan-latihan di kelas, dan pengembangan sikap yang positif terhadap nilai yang ingin dikembangkan pada diri siswa. Berbagai kegiatan dapat dilakukan siswa dalam upaya memantapkan pemahamannya terhadap informasi, ketrampilan, atau pun mengembangkan nilai sejarah pada dirinya. Diskusi kelas, diskusi kelompok, ceramah siswa, melakukan perbandingan, melakukan demonstrasi, sosio-drama, role-playing, dan sebagainya dapat dilakukan siswa dalam upaya pemantapan ini.  Dalam kondisi yang demikian maka metode mengajar yang harus digunakan guru sejarah pun dalam berbagai situasi belajar itu pun harus pula berbeda.

 

Kegiatan pemantapan ini memang harus dilakukan di kelas. Siswa dapat saja bekerja secara individual tetapi dapat pula bekerja secara berkelompok dan bekerja dalam kelompok penuh kelas. Model yang sekarang banyak dianjurkan adalah model bekerja kelompok yang disebut dengan istilah “cooperative learning” atau “ cooperative group”. Cara belajar yang demikian berbeda dari cara belajar yang bersifat individual atau pun dalam bentuk kelas penuh. Untuk mengaktifkan siswa bekerja dalam bentuk yang ditentukan dan dirancang guru maka guru harus pula menetapkan metode yang sesuai dan efektif dalam menggalakkan siswa belajar.  Guru sejarah harus dapat mengenal perbedaan- perbedaan kecil antara proses belajar yang satu dengan yang lain dan menetapkan metode serta teknik mengajar yang sesuai.

 

Kegiatan belajar untuk penerapan/pemanfaatan informasi/ketrampilan/nilai dapat dilatihkan di kelas dan dilanjutkan di luar kelas tetapi dapat juga sepenuhnya dilakukan di luar kelas (dalam bentuk pekerjaan/tugas rumah). Untuk tahap awal sangat dianjurkan agar dilakukan pelatihan di kelas dan ketika siswa dianggap guru sudah mampu melakukannya maka kegiatan itu dapat sepenuhnya dilakukan di luar kelas. Penerapan/pemanfaatan tersebut dapat dilakukan terhadap buku/koran/klipping yang dibaca, foto yang diamati, benda (peninggalan) sejarah, atau kejadian yang dilaporkan koran atau teramati di masyarakat. Berbagai kegiatan belajar dapat dilakukan siswa seperti melakukan kritik terhadap suatu sumber sejarah (termasuk buku pelajaran), membuat klipping dan menuliskan cerita sejarah berdasarkan klipping tersebut, menuliskan suatu cerita sejarah tentang apa yang terjadi di masyarakat berdasarkan informasi yang dimiliki, ketrampilan yang dikuasai, dan sikap yang dimiliki.

 

Penilaian bukan merupakan suatu fase kegiatan belajar yang bersifat konsekutif seperti tiga kegiatan yang dibicarakan terdahulu. Penilian merupakan suatu kegiatan guru yang melingkupi ketiga kegiatan yang dibahas tersebut. Meski pun demikian, penilaian dilakukan terhadap proses dan juga terhadap hasil belajar. Model-model penilaian yang sekarang dikenal dengan nama “alternative assessment”, “portfolio”, “non-test” dapat digunakan bersamaan dengan model standar yang mengutamakan tes.

 

 

 

 

[1] Memiliki dan membaca buku sebagai sumber untuk siswa dalam belajar sejarah adalah penting. Siswa yang memiliki buku pelajaran sejarah karangan siapa pun dan diperuntukkan bagi kurikulum apa pun. Membaca buku pelajaran yang sudah dianggap tidak sesuai dengan kurikulum yang berlaku jauh lebih baik dibandingkan tidak membaca sama sekali. Lagipula, materi yang dikemukakan dalam buku pelajaran tersebut belum tentu “outdated” dan jika “outdated” sekali pun maka ia akan menjadi bahan yang berguna untuk didiskusikan dan mengembangkan kemampuan prosesual sejarah/kemampuan berfikir kritis dalam sejarah. Konsekuensi dari situasi ini adalah siswa memiliki cara belajar yang berbeda dibandingkan kelas yang memiliki semua buku pelajaran yang dinyatakan sesuai dengan kurikulum dan tentu saja guru harus menerapkan metode mengajar yang berbeda.

[2] Sejarah berkaitan dengan kegiatan manusia dalam kelompok di masa lampau. Oleh karena itu setiap kelompok masyarakat/sosial pasti memiliki sejarahnya masing-masing dan dengan demikian pasti memiliki berbagai peninggalan (dokumen, fosil, artefak) yang dapat digunakan sebagai sumber dalam materi pelajaran sejarah.

[3] Upaya mengembangkan proses mencari informasi yang harus dilakukan siswa di luar kelas memiliki keuntungan lain yaitu guru tidak perlu kekurangan waktu dalam menyelesaikan tugas kurikulumnya. Kegiatan di kelas diarahkan pada pemantapan penguasaan informasi atau kegiatan belajar lainnya. Keuntungan lainnya adalah proses pencarian informasi yang dilakukan dengan membaca di rumah akan terbentuk kebiasaan membaca pada diri siswa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *