Memahami Pengembangan Kurikulum Sejarah Pada Masa Orde Baru

Oleh : Umasih

PENDAHULUAN

Jatuhnya  Orde Lama dan lahirnya Orde Baru yang bertekad untuk menjalankan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen berpengaruh pada kebijakan pendidikan nasional. Pemrintah juga menyadari bahwa tujuan pendidikan nasionalpun harus disesuaikan sesuai dengan spirit Orde Baru.  Tujuan pendidikan tidak lagi untuk melahirkan warga Negara sosialis, tetapi membentuk  manusia yang Pancasilais sejati. Hal itu penting, karena Pancasila sangat diperlukan untuk merubah sikap mental masyarakat yang sudah terpengaruh indoktrinasi Manipol/Usdek. Pemurnian Pancasila dianggap sebagai jaminan tegaknya Orde Baru.

Namun kebijakan yang berkaitan langsung dengan penyempurnaan kurikulum belum banyak berubah.  Kurikulum yang berlaku adalah kurikulum 1968.  Demikian pula pelajaran Sejarah Nasional Indonesia masih bersifat Indonesia sentris meninggalkan yang regio centris dan sejarah yang serba berpusat pada bangsa asing atau geno centris.

GAGASAN AWAL PERUBAHAN KURIKULUM

Pada awal masa pemerintahan Orde Baru, ada kesadaran untuk mengganti kurikulum 1968, kurikulum yang  sebenarnya lebih bersifat penertiban yakni dengan cara membuang ciri-ciri Rencana Pelajaran 1964 yang diwarnai Pendidikan Orde Lama, dengan kurikulum yang baru sesuai dengan aspirasi kehidupan Orde Baru. Untuk merealisasikan keinginan itu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengumpulkan 100 pakar pendidikan di Cipayung pada tanggal 28 – 30 April 1969 untuk mengidentifikasi masalah-masalah pendidikan nasional.[1]

Konferensi Cipayung telah berhasil mengidentifikasi masalah-masalah pendidikan dalam enam kategori:

  1. Pendidikan Luar Sekolah
  2. Kurikulum Sekolah Dasar
  3. Kurikulum Sekolah Menengah
  4. Kurikulum Pendidikan Tinggi
  5. Pembiayaan Pendidikan
  6. Sarana Pendidikan

Hasil lain dari Konferensi Cipayung yang terkenal adalah lahirnya Proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP) pada tanggal 1 Mei 1969 yang bertugas menyusun strategi pendidikan nasional. Hasil kerja PPNP inilah yang menjadi salah satu dasar pertimbangan apa yang harus dilakukan oleh Badan Pengembangan Pendidikan (BPP, sekarang Balitbang Pendidikan Nasional).

Pada sisi lain, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mashuri, mengeluarkan basic memorandum yang menggariskan kebijaksanaan dan strategi pendidikan yang dianggap relevan dengan kebutuhan siswa, masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat itu. Dalam basic memorandum itu antara lain dinyatakan perlunya menyusun strategi pendidikan nasional, perencanaan yang mencakup penataan kembali sistem pendidikan, pelaksanaan pendidikan serta penyesuaian terhadap kondisi dan situasi yang mungkin berubah-ubah menurut tempat dan waktu.[2]

Melalui basic memorandum, Menteri Mashuri telah memperkenalkan dunia pendidikan Indonesia pada tiga dimensi tujuan, yaitu nilai dan sikap, kecerdasan dan pengetahuan, serta keterampilan. Taksonomi yang telah intensif diperkenalkan dan dikembangkan oleh Benyamin Bloom, kini telah menjadi bagian dari kekayaan istilah dalam pendidikan Indonesia dan secara operasional telah dijadikan kerangka tahun 1972.[3]

Sebagai langkah pertama ke arah penyusunan kurikulum, Badan Pengembangan Pendidikan bekerja sama dengan American Institute of Research (AIR) yang disponsori UNESCO menyelenggarakan pelatihan di Bandung pada awal tahun 1971. pelatihan penggunaan sistem dalam perencanaan pendidikan ini berhasil mengidentifikasi tujuan lembaga-lembaga pendidikan dan tujuan kurikuler. Hasil pelatihan ini merupakan titik awal usaha penyusunan kurikulum peralihan yang diuji cobakan pada sekolah-sekolah Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP).

Lembaga Pengembangan Kurikulum (kini Pusat Kurikulum) selanjutnya mengadakan lokakarya di Bandung pada tanggal 12-14 Agustus 1971untuk mencari kerangka kerja dan mekanisme perubahan kurikulum.  Lokakarya yang diketuai oleh Dr. Soepardjo Adikusumo ini menghasilkan beberapa keputusan, antara lain :[4]

  1. Perencanaan dan strategi pembaharuan kurikulum
  2. Proses dan mekanisme pembaharuan kurikulum
  3. Mekanisme pembaharuan kurikulum secara metodologis teknis.
  4. Variabel-variabel kurikulum.

Ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat oleh Sjarif  Thayeb, upaya untuk mengubah kurikulum disampaikan kembali pada acara lokakarya perestuan Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) untuk Kurikulum PPSP tanggal 14 Februari 1974.7 Berbeda dengan proses pengembangan kurikulum sebelumnya, C.E. Beeby menjelaskan bahwa ada taktik-taktik baru yang digunakan dalam penyusunan kurikulum baru (1975), misalnya; dalam penyusunan kurikulum ini dibentuk suatu team ahli, langsung dengan bantuan konsultan di bidang metodologi, yang menyiapkan  konsep sementara tentang tujuan tiap tingkat dan jenis sekolah. Sasaran dan saran-saran tentang isi yang jelas dari kurikulum ditarik dari sana, dipelajari kembali dan diperbaiki oleh suatu kelompok kerja yang terdiri atas tenaga-tenaga paling senior, termasuk para Direktur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, perwakilan dari propinsi dan para rektor.[5]

Hal tersebut juga dikemukakan oleh R. Ibrahim yang menyatakan, bahwa pembentukan tim penyusun kurikulum ini secara rinci adalah; Tim Pengarah yang bertugas mengarahkan penyusunan kurikulum yang sesuai dengan garis kebijakan pemerintah dan memberikan petunjuk-petunjuk teknis dalam menyusun kurikulum. Mereka terdiri dari unsur-unsur Direktor Jenderal Pendidikan Kurikulum dan Sarana Pendidikan (Puskur) yang diketahui oleh Kapuskur. 9 Berbeda dengan pengelompokkan tim penyusunan kurikulum seperti yang ditulis oleh Anwar Jasin untuk kurikulum SD, yang membagi dalam tiga kelompok (tim), pengarah, pengembang dan sanctioning.10 Untuk kurikulum sekolah menengah tidak ada tim pengembang, mereka adalah anggota tim pengarah. Tim pengarah ini beranggotakan para ahli bidang pelajaran terdiri dari : kepala kantor urusan pembinaan SMP/SMA, para guru SMP/SMA yang terpilih, para ahli IKIP, tenaga ahli dari Departemen Agama. Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah dan Olah Raga serta Dirjen Kebudayaan. Panitia pengarah menempuh proses kerja melalui tahap pengembangan dan tahap perestuan (sanctioning). Pada tahap perestuan, hasil kerja tim diajukan pada sidang lokakarya yang diikuti para kepala perwakilan, para rektor universitas dan institut, para direktur dari lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dan Badan Pengembangan Pendidikan.

Langkah berikutnya khususnya untuk jenjang SMA, Pusat Kurikulum menyiapkan pola umum kurikulum yang menyangkut susunan atau sistimatika kurikulum SMA secara keseluruhan dalam bentuk kerangka yang mencakup dasar dan tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, struktur program bidang studi yang diajarkan dan jumlah jam per bidang studi/minggu/ kelas. Selain itu dirinci pula tujuan kurikuler dan tujuan instruksional tiap bidang studi, pokok bahasan dan sub pokok bahasan untuk tiap tujuan instruksional, urutan penyajian menurut catur wulan serta petunjuk-petunjuk praktis bagi guru dalam rnenggunakan dan mengelola kurikulum termasuk pedoman khusus. Pada tahap penentuan bidang studi dan materi inilah seringkali mendapat pesanan, titipan dari lembaga-lembaga atau instansi pemerintah lainnya, misal materi keluarga berencana, lingkungan hidup dan sebagainya.[6]

Berdasarkan acuan yang telah ditetapkan, anggota tim pengembang memulai kegiatannya dengan terlebih dahulu menyamakan visi, dasar filosofi serta teori-teori yang akan dikembangkan dalam penyusunan kurikulum termasuk kurikulum  sejarah. Perbedaan pandangan serta perdebatan dalam diskusi panjang seringkali terjadi dan biasanya diambil keputusan berdasarkan konsensus sebagai jalan akhir untuk menyelesaikan persoalan.[7] Dengan demikian ketika terjadi perdebatan penentuan materi sejarah yang akan diberikan kepada siswa – ada yang menghendaki agar materi pelajaran disesuaikan saja dengan buku paket yang sudah ada –  oleh tim diputuskan acuan utama adalah tujuan bukan materi dan tetap pada rencana semula yang ingin merubah kurikulum ini berbeda dengan sebelumnya,[8] sebab bila mengacu pada buku paket tidak ada bedanya dengan Rencana Pelajaran 1968 atau sebelumnya.

Hasil terakhir konsep kerangka tujuan, struktur dan materi kurikulum diajukan kepada menteri melalui pimpinan teras (seketaris jenderal, para direktur jenderal dan ketua balitbang) setelah diolah bersama oleh para perwakilan dan direktur.[9]

KURIKULUM SEJARAH TAHUN 1975

Kurikulum 1975 diyakini pengembangnya sebagai suatu perubahan yang fundamental. Hal itu disebabkan bukan saja terjadi perubahan posisi mata pelajaran sejarah, tetapi yang lebih mendasar model pengembangan yang digunakan. Menurut Said Hamid Hasan dan Soediarto, pengembangan kurikulum 1975 merupakan tonggak pertama penerapan model teknologi pendidikan di Indonesia. Kurikulum dirancang berdasarkan asumsi bahwa pendidikan adalah suatu proses yang mengikuti alur berpikir yang teknologis, artinya bahwa dalam proses pendidikan itu antara komponen guru, siswa, kurikulum dan sarana harus saling mendukung. Dalam model ini keterkaitan antara satu komponen pendidikan dengan komponen lainnya juga harus tergambar jelas. Demikian pula hubungan antara tujuan satu dengan tujuan lainnya atau antara tujuan, materi, proses dan evaluasi.[10]

Model pengembangan demikian, maka orientasi pengajaran bukan lagi pada materi melainkan pada tujuan. Berarti tujuan menjadi acuan dalam mengembangkan komponen-komponen kurikulum yang lainnya. Tujuan-tujuan itu sendiri pada hakikatnya merupakan penjabaran dari tujuan pendidikan nasional yang telah digariskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara. Tanpa memahami arti tujuan yang telah ditetapkan baik tujuan pendidikan nasional maupun tujuan institusional akan memungkinkan terjadinya ketidaksesuaian antara pembelajaran yang direncanakan dengan tujuan yang dicapai.

Berdasarkan pada pemikiran tersebut kurikulum 1975 disusun dan dikembangkan. Tujuan kurikuler pendidikan sejarah SMA ditetapkan sebagai berikut:

  1. Siswa memiliki pengetahuan lanjutan tentang hubungan perkembangan Sejarah Nasional sehingga dapat menghargai perjuangan daerah lain.
  2. Siswa memiliki pengetahuan lanjutan tentang Sejarah Indonesia dalam hubungannya dengan negara tetangga, sehingga dapat melihat kedudukan Indonesia dalam kehidupan antar bangsa.
  3. Siswa mengetahui, menyadari, dan menghargai keanekaragaman kebudayaan daerah dalam rangka kesatuan kebudayaan Indonesia.
  4. Siswa memahami dan menghargai kerjasama Indonesia dengan negara-negara tetangga dan negara-negara lainnya dalam bidang sosial dan kebudayaan,untuk dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.[11]

Keempat tujuan tersebut lebih berorientasi kepada pembentukan wawasan keilmuan, meskipun apabila mengkaji tujuan yang pertama masih memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan rasa kebangsaan dengan cara menghargai perjuangan daerah lain. Permasalahannya adalah ketika tujuan kurikuler tersebut dijabarkan dalam rumusan tujuan instruksional umum, seperti; 1) siswa mengetahui kecenderungan pokok yang terdapat pada tiap kurun zaman sejarah, 2) siswa memahami bahwa bagian-bagian tertentu dari sejarah dunia mempunyai hubungan yang erat dengan perkembangan sejarah Indonesia,[12] ada kesan mengenai pengetahuan keilmuan semakin kuat, meskipun masih dalam tingkat yang dangkal. Tingkat pengetahuan keilmuan itu terbatas pada tingkat penguasaan fakta, peristiwa, atau kronolgi peristiwa yang dalam istilah taksonomi Bloom dari Cl (pengetahuan dan C2 (pemahaman). Kemampuan berfikir tinggi yang seharusnya dapat dikembangkan keilmuan sejarah tidak tampak sama sekali, dan siswa tidak diajak untuk memaksimalkan kemampuan intelektualnya melalui pendidikan sejarah.  Menurut Siswoyo, karena sejarah juga diberikan pada siswa SMA Jurusan IPA, harusnya tujuan itu perlu ditumbuhkan untuk jurusan itu, misal siswa mengetahui, menyadari, menghayati perkembangan teknologi sehingga dapat memikirkan peningkatannya masa depan demi kesejahteraan bangsa,[13]

Perubahan mendasar lain yang terjadi pada kurikulum 1975, yang membedakannya dari kurikulum sebelumnya adalah mulai diperkenalkannya konsep maju berkelanjutan. Adalah suatu konsep yang mempunyai asumsi bahwa tidak semua anak mempunyai kecepatan belajar yang sama. Kalau anak yang cepat dan yang lambat diberikan suatu model belajar yang semua sama, akibatnya yang rugi dua-duanya. Agar supaya anak yang lambat belajar bisa belajar sampai mengerti diberi remedial dan yang cepat belajar diberi pengayaan.[14]  Ide pembelajaran seperti di atas memang cukup ideal, masalahnya adalah apakah guru-guru kita mampu dan mau melaksanakan itu. Tidak semua guru Indonesia memiliki waktu cukup untuk memperhatikan secara intensif pada kemajuan belajar siswa terlebih secara individual.

Dengan pemberlakuan kurikulum 1975 di sekolah-sekolah Indonesia, maka diperkenalkan tentang Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI) yang dikembangkan melalui model satuan pelajaran. Sistem instruksional menunjukkan pengertian pengajaran sebagai suatu sistem yaitu satu kesatuan yang terdiri dari sejumlah komponen dan secara fungsional berkaitan satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan yang dinginkan. Tujuan di sini harus jelas, spesifik, dapat diukur dan diramuskan dalam bentuk kemampuan atau tingkah laku siswa. Dengan tujuan yang jelas akan mudah menyusun alat evaluasi, materi pelajaran, akan mudah pula memilih metode yang relevan serta menyusun strategi  pembelajaran yang sistematis.[15]

Sebagai konsekwensi pendekatan yang berorientasi pada tujuan, setiap guru diajak menjadi perencana kegiatan belajar-mengajar di samping sebagai pengelola dan pelaku dalam kegiatan ini. Setiap guru harus dapat menyusun rencana pelajaran dengan baik dalam satuan-satuan pelajaran terkecil menurut satuan konsep atau pokok masalah yang dapat diselesaikan siswa dalam waktu paling sedikit dua jam pelajaran. Dengan pendekatan ini pula guru dituntut bekerja keras dan selalu berusaha memilih jenis dan cara belajar yang paling efisien dan efektif bagi tercapainya tujuan pendidikan.

KURIKULUM SEJARAH TAHUN 1984

Daniel Tanner mengutip pendapat Ralph W. Taylor menyatakan, bahwa untuk mendapatkan hasil pendidikan yang efektif diperlukan kurikulum yang selalu disesuaikan atau disempurnakan.[16] Dengan demikian sudah wajar jika kurikulum itu sewaktu-waktu diperbaiki sebab kurikulum bukanlah perangkat yang statis, melainkan instrumen dinamis yang perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Tanda-tanda adanya kemungkinan perubahan kurikulum 1975 sudah disampaikan oleh Prof. Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum (Kapuskur) BP3K Dep. P dan K yang disampaikan dalam kata sambutannya membuka lokakarya pembinaan SMP Terbuka di Ungaran tanggal 4 April 1982. Pada waktu itu Kapuskur mengatakan bahwa dalam tahun ini kurikulum 1975 akan dievaluasi dan kemungkinan akan mengalami perubahan.[17] Yang diharapkan masyarakat tentunya perubahan yang tidak menimbulkan kegoncangan dan kegelisahan, dan Sejarah Indonesia menjadi sentral dalam perubahan kurikulum itu. Berbeda dengan pernyataan tersebut,  J. Drost mengungkapkan bahwa dari sekian masalah yang perlu direvisi berkaitan dengan kurikulum  yang paling mendesak adalah kedwiartian tujuan SMA. Jadi harus ditetapkan ulang SMA tujuannya untuk mempersiapkan ke perguruan tinggi atau sekolah kejuruan. Sifat ambigu kurikulum itu sama seperti memaksa orang menunggangi dua kuda sekaligus. Ini berarti kedua kuda itu harus dipelihara, maksudnya ada alokasi waktu untuk bagian akademik maupun untuk bagian keterampilan.[18]

Begitu pula kebijakan nasional dalam bidang pendidikan yang tertuang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara  tahun 1983 mengarahkan untuk mengadakan perbaikan tentang kurikulum. Mendikbud Nugroho pada acara kunjungannya ke Kupang Nusa Tenggara Timur tanggal 18-19 April 1983 yang dihadiri pejabat kanwil, para pelaksana pendidikan termasuk guru-guru SMTP/SMTA menegaskan, bahwa penyempurnaan dan peninjauan kurikulum setiap 5 tahun adalah hal yang biasa mengingat perkembangan dan perubahan. Saat itu secara khusus Menteri menyampaikan atas petunjuk Presiden, Pendidikan Sejarah Nasional harus diberikan di semua tingkat pendidikan dari TK sampai dengan SMTA, dan bidang studi Sejarah Nasional harus dipisahkan dari IPS.[19]

Berdasarkan hasil evaluasi kurikulum serta adanya gagasan-gagasan baru tersebut, kurikulum yang diberlakukan mulai tahun ajaran 1984/1985 mulai disiapkan. Pusat Kurikulum menyiapkan tim sebagai berikut:[20]

  1. Tim Pengarah; bertugas menyiapkan serta mengarahkan kebijakan-kebijakan umum berkaitan dengan penyempurnaan kurikulum yang sedang berlaku. Secara umum yang akan dikembangkan itu sama seperti kurikulum sebelumnya, hanya ada penyempurnaan sedikit, misal perubahan program, perubahan strategi pembelajaran dan penggunaan sistem kredit. Anggota tim terdiri dari staf inti Puskur yang diketuai oleh Kapuskur, yang pada tahap pengembangan kurikulum 1984 lebih banyak menyerahkan tugasnya kepada Benny Karyadi.
  2. Tim Pengembang Bidang Studi, bertugas menyusun program pengajaran bagi bidang studi yang menjadi tanggung jawab sesuai dengan keahlian masing-masing.

Hasil kerja tim pengarah dan tim pengembang bidang studi ini dievaluasi dalam kegiatan sanctioning dengan mengundang para ahli dari luar termasuk perwakilan guru-guru, tujuannya ingin mendapatkan semacam justifikasi pemberlakuan kurikulum secara nasional. Dari hasil kerja tim itu kemudian dibawa ke dalam rapat kerja Balitbang dan Dirjen Dikdasmen untuk selanjutnya mendapat persetujuan menteri. Melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0209/U/1984, kurikulum SMA secara resmi diberlakukan. Salah satu ciri kurikulum 1984 ini adalah adanya keluwesan dalam program kurikulum, seperti :

  1. Program kurikulum 1984 SMA dilakukan melalui kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler baik dalam program inti maupun program khusus (pilihan).
  2. Kegiatan intrakurikuler dilakukan di sekolah yang penjatahan waktunya telah ditentukan dalam struktur program.
  3. Kegiatan kokurikuler dilakukan di sekolah di luar jam pelajaran biasa secara teratur dan hasilnya ikut menentukan dalam pemberian nilai bagi para siswa untuk setiap mata pelajaran.
  4. Kegiatan ekstrakurikuler dilakukan di luar jam pelajaran biasa dalam waktu tertentu dan diberi nilai tersendiri

Ciri lain dari kurikulum 1984 ini adalah menerapkan sistem kredit. Satu kredit diartikan satu jam pelajaran atau 45 menit tatap muka ditambah setengah jam pelajaran pekerjaan rumah per minggu per semester. Jika satu kredit sama dengan 45 menit ditambah setengah jam pelajaran per minggu, maka untuk beberapa mata pelajaran akan ada pekerjaan rumah dua setengah sampai tiga jam setiap malam. Cita-cita yang sungguh luar biasa, realistiskah itu ? Menurut J. Drost, sistem kredit akan berhasil jika dapat menghidupkan kembali pekerjaan rumah (PR) yang sejati. artinya tugas itu diperiksa dan dikembalikan sehingga siswa tahu apa yang betul dan apa yang salah, cara seperti itu akan melekat dalam ingatan siswa Permasalahannya adalah guru umumnya mengajar dalam jumlah kelas yang banyak, apakah ada waktu untuk memeriksa ratusan pekerjaan rumah siswa setiap malam. Selain itu para orang tua juga harus mendukung pelaksanaan sistem admimstrasi kurikulum yang mempergunakan sistem kredit yang sekaligus dikaitkan dengan   sistem penilaian siswa agar berjalan dengan baik dan benar.

Sistem ini pada dasarnya mempunyai banyak keuntungan, antara lain dapat meningkatkan kualitas setiap mata pelajaran dan dapat melayani peserta didik yang mempunyai minat bakat dan kemampuan berbeda-beda. Hal tersebut dapat dilaksanakan jika tenaga kependidikan yang memiliki kemampuan mengelola yang cukup tinggi serta didukung oleh sarana dan prasarana pendidikan yang memadai misalnya komputer. Dengan komputerisasi itu kita dapat mengikuti kemajuan belajar siswa. Salah satu ciri kurikulum yang menggunakan sistem kredit penuh adalah lebih banyak mata pelajaran yang dapat dipilih ketimbang mata pelajaran yang harus diambil siswa[21]

Materi kurikulum 1984 pada dasarnya tidak banyak berbeda dengan materi kurikulum 1975, yang berbeda adalah organisasi pelaksanaannya. Perubahan yang diadakan lebih mengarah pada penyederhanaan materi setiap mata pelajaran, sehingga tercakup materi – materi yang penting saja. Ini antara lain yang mendasari mengapa kurikulum 1984 disebut kurikulum 75 yang disempurnakan.

Khusus untuk menentukan posisi mata pelajaran sejarah pada kurikulum 1984 ini, kendali Mendikbud Nugroho Notosusanto kelihatan cukup besar, mulai dari penentuan status mata pelajaran dalam kurikulum, jumlah jam per minggu maupun materi yang harus dikembangkan. Bahkan boleh dikatakan menjelang Sidang Umum MPR terutama dalam membahas akan ditetapkannya Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1983, Nugroho punya andil besar dalam penyusunan rancangan pendidikan dengan berhasilnya  PSPB menjadi keputusan formal.[22] Nugroho juga mengusulkan agar Sejarah diberikan dalam jumlah jam yang banyak. Akan tetapi setelah melalui diskusi panjang dan tawar menawar, akhirnya sejarah hanya diberikan selama 4 jam per minggu dalam satu semester atau 2 jam per minggu dalam satu tahun.

Perbedaan pandangan antara Mendikbud Nugroho dengan Kabalitbang, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar mengenai penentuan posisi mata pelajaran sejarah dan pengajaran sejarah yang afektif, masuknya PSPB menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri dalam kurikulum persekolahan, serta polemik berkepanjangan dalam menentukan materi PSPB secara tidak langsung berakibat pada tidak tuntasnya penyusunan GBPP Sejarah SMA sampai dengan kurikulum baru itu, kurikulum 1984, disosialisasikan. Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Sejarah untuk SMA tidak ada.[23]

Memang sungguh ironis, kurikulum yang diberlakukan mulai tahun ajaran 1984/1985 tanpa GBPP, yang akan menjadi salah satu acuan guru-guru sejarah dalam melaksanakan tugasnya. Sebenarnya pada tanggal 1 Februari 1984, Kabalitbang, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar berhasil merampungkan petunjuk pelaksanaan materi pengajaran mata pelajaran sejarah kelas I semester 1 dengan jumlah jam 4 per minggu, karena awalnya mata pelajaran sejarah hanya akan diberikan pada kelas I saja dan sifatnya sementara sambil menunggu GBPP.[24]

Untuk mengatasi kekosongan GBPP sejarah SMA itu, guru-guru sejarah yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sejarah SMA DKI Jakarta mengambil inisiatif menyusun GBPP sendiri yang merujuk pada kurikulum sebelumnya. Dalam salah satu pertemuan wakil-wakil guru IPS-Sejarah di Malang, GBPP yang berhasil disusun MGMP DKI Jakarta itu kemudian menjadi acuan sebagai GBPP nasional, tetapi tidak menutup kemungkinan wilayah menyusun sendiri.[25] Masalahnya adalah bila GBPP model MGMP ini dikaji, materi yang disajikan tidak berbeda dengan kurikulum 1975 dan tujuan kurikulum 1975 digunakan secara penuh dalam kurikulum 1984. Unsur-unsur baru yang dianggap penting seperti pendidikan politik, wawasan nusantara, kebudayaan Amerika, perkembangan agama Kristen, perkembangan Islam di Timur Tengah dan kebangkitan bangsa-bangsa di Asia Afrika tidak ada. Selain itu materi yang disajikan cenderung tumpang tindih dengan materi pelajaran PSPSB meskipun penekanannya berbeda. Sejarah lebih menitikberatkan pada aspek kognitif dan PSPB aspek afektif. Hal itu tidak sesuai lagi dengan keputusan Mendikbud yang menyatakan bahwa mata pelajaran sejarah mencakup baik sejarah dunia maupun sejarah nasional Indonesia yang materinya tidak tercakup dalam pendidikan sejarah perjuangan bangsa.[26]

Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, proses pembelajaran kurikulum 1984 dilaksanakan dengan Iebih banyak mengacu kepada bagaimana seseorang belajar selain pada apa yang dipelajari. Keterampilan untuk mampu mengelola perolehannya disebut   pendekatan   Keterampilan    proses.  Proses    pembelajaran    ini   harus mencerminkan komunikasi dua arah, jadi tidak semata-mata merupakan pemberian informasi searah tanpa mengembangkan kemampuan mental, fisik, dan penampilan diri. Selain proses pembelajaran harus dapat mengembangkan cara belajar untuk mendapatkan, mengelola, menggunakan, menemukan dan mengkomunikasikan hasil belajarnya. Penyajian materi pelajaran terutama yang berhubungan dengan konsep-konsep pokok, harus mengikutsertakan siswa secara aktif (CBSA) baik secara perorangan   maupun   kelompok.   Di   sinilah   siswa   diberi   kesempatan   untuk mempelajari materi serta menemukan sendiri bagaimana mendapatkan sesuatu pengetahuan, mengembangkan rasa ingin tahu, mempelajari peristiwa yang dapat membangun gagasan/ide baru serta mampu mengkomunikasikannya dalam bahasa lisan, tulisan, gambar, maupun penampilan diri.

Dalam kurikulum 1984 juga dikenal konsep belajar tuntas. Ketuntasan belajar dapat dilihat secara perorangan maupun kelompok. Secara kelompok siswa dinyatakan tuntas belajar jika sekurang-kurangnya 85 % dari mereka telah memenuhi kriteria. Secara perorangan, siswa dinyatakan tuntas belajar jika telah menguasai minimal 75 % dari materi setiap satuan bahasan yang diketahui melalui tes formatif, dan 60 % dari nilai ideal rapor yang diperoleh melalui perhitungan hasil tes sumatif dan kokurikuler.[27] Dengan demikian jika siswa belum memenuhi persyaratan belajar tersebut, maka akan diberi kesempatan untuk perbaikan secara perorangan. Sedangkan bagi siswa yang sudah memenuhi kriteria akan diberi pengayaan.

KURIKULUM SEJARAH TAHUN 1994

Upaya untuk menyempuraakan kurikulum 1984 dengan kurikulum baru sudah lama dipersiapkan. Rancangan kurikulum itu sudah lama dimulai sejak Mendikbud Prof. Dr. Fuad Hassan, tepatnya sesudah lahirnya undang-undang No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam kaitannya dengan kurikulum, pada pasal 37 dinyatakan :

Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuainnya dengan lingkungannya, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.[28]

Sejak adanya rencana menyusun kurikulum baru yang berlandaskan UUSP No. 2 Tahun 1989 ini, muncul kekhawatiran dari berbagai kalangan guru yang akan merasa kehilangan pengabdiannya mengajar PSPB, meskipun guru sejarah tidak otomatis ngajar PSPB, dan yang merasa khawatir akan lunturnya patriotisme dan nasionalisme generasi muda.

Atas dasar kebijakan tersebut, Mendikbud, Prof. Dr. Fuad Hassan membentuk Tim Kerja Pengembangan Kurikulum untuk semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan, yang bertugas melaksanakan penelitian secara menyeluruh terhadap kurikulum yang berlaku, serta mengembangkan kurikulum 1994. Tim Pengembang melalui Pusat Kurikulum (Puskur) kemudian mengundang para pakar dari berbagai bidang kajian baik dari Universitas maupun IKIP yang dianggap dapat mewakili, yang kemudian disebut sebagai kelompok kerja. Untuk kelompok kerja mata pelajaran sejarah semula ada Prof. Dr. Taufik Abdullah, tetapi mengundurkan diri karena kosep kurikulum belum siap dan menolak hadir kembali pada pertemuan-pertemuan berikutnya.

Selanjutnya kelompok kerja mengadakan work shop dengan menyampaikan pemikiran-pemikiran, pandangan-pandangan dalam pertemuan yang diadakan baik di Jakarta, Surabaya, Bogor (Puncak), Yogyakarta dan Bandung.51 Berbeda dengan penyusunan kurikulum sebelumnya, kurikulum baru disiapkan dalam jangka waktu lebih kurang empat tahun, karena menurut tim pengembang tidak ingin mengulang kelemahan-kelemahan kurikulum lalu yang ditemukan setelah selesai kurikulum dan dioperasionalisasikan. Meskipun dalam perjalanan pengembangan kurikulum sejarah dan IPS ada perbedaan visi yang cukup serius antara Kapuskur dan salah seorang anggota tim ketika memberi alasan bahwa sebenarnya kurikulum sejarah dan IPS itu sendiri belum baik betul, tetapi ada perasaan tidak etis kalau mementahkan kembali hasil kerja orang lain.  Konsep kurikulum sejarah tahun 1994 memang betul-betul belum matang, harusnya dikaji kembali dan ada verifikasi yang dilakukan secara terus menerus sampai minimal dapat dianggap cukup memadai. Dengan waktu yang cukup lama bila dibandingkan dengan sebelumnya memungkinkan bagi tim ini untuk mendapat masukan lebih banyak antara lain dari perwakilan guru-guru, sekaligus untuk melihat tingkat keterbacaannya, sehingga dapat menghasilkan kurikulum yang lebih baik.

Konsep dasar yang digunakan untuk mengembangkan kurikulum baru ini adalah esensialisme dan progressif. Bagaimana pengajaran sejarah dapat diajarkan secara rasional pada siswa sebagai alat pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.[29] Tentu saja pelajaran sejarah dapat dikemas sedemikian rupa, sehingga menjadi alat pendidikan yang strategis, dengan paradigma pemikiran teoretik, visi, strategi dan pendekatan yang sesuai agar sejarah sebagai alat pendidikan berhasil guna.

Pada kurikulum 1994 juga  berusaha merombak pendekatan pengajaran sejarah konvensional yang lebih berorientasi pada Sejarah Politik ke Sejarah Sosial. Bagaimana pendekatan konsep Sejarah Sosial itu diwujudkan dalam matra-matra pengajaran sejarah, bagaimana materi-materi sejarah itu harus dikemas dalam kerangka pendekatan yang historical sosial history[30]. Visi Sejarah Indonesia harus ditempatkan dalam konteks sejarah regional dan internasional, baik dari internal dan eksternal bangsa Indonesia itu sendiri.

Di sini para pengembang ingin memperkenalkan pendekatan baru yang berbeda dengan kurikulum sebelumnya, meskipun secara eksplisit tidak dinyatakan baik dalam lampiran keputusan Mendikbud No. 061/U/1993 maupun dalam buku petunjuk pelaksanaan. Pendekatan baru yang dikembangkan dalam kurikulum sejarah tahun 1994 adalah model pendekatan kurikulum . Perbedaan yang mencolok dengan kurikulum sebelumnya adalah, dalam model kurikulum keterhubungan itu dinyatakan sebagai sesuatu yang one to one relationship, artinya satu tujuan dapat dicapai oleh banyak materi kurikulum/pokok bahasan.[31] Artinya penguasaan materi sama pentingnya dengan pencapaian tujuan yang mengembangkan keterampilan dan sikap. Pencapaian tujuan tidak hanya terbatas pada kajian pokok bahasan yang telah ditetapkan secara linier, tetapi dapat dikuasai melalui kajian dari berbagai pokok bahasan.

Dalam Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) dicantumkan tujuan dan pokok bahasan. Berbeda dengan GBPP sebelumnya, GBPP kurikulum 1994 tidak mengenal komponen metode (meskipun Dalam pedoman guru ada). Hal itu disebabkan kurikulum 1994 mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap aktivitas siswa, bukan lagi aktivitas guru. Kurikulum memberi arah untuk siswa belajar dan guru mengembangkan proses belajar.

Tujuan kurikuler Sejarah Nasional dan Sejarah Umum adalah untuk menanamkan pemahaman tentang adanya perkembangan masyarakat masa lampau hingga masa kini, menumbuhkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air serta bangga sebagai warga bangsa Indonesia, dan memperluas wawasan hubungan masyarakat antar bangsa di dunia.

Selanjutnya dari tujuan kurikuler tersebut dikembangkan dalam tujuan instruksional, untuk kelas II misalnya dalam GBPP Sejarah tertulis sebagai berikut:

  1. Siswa memahami perubahan – perubahan baru di Eropa, Amerika, Asia, dan Afrika dari abad ke-16 sampai dengan Perang Dunia II yang berpengaruh bagi perkembangan di Indonesia.
  2. Siswa memahami dan menghargai perjuangan Pergerakan Nasional    untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.
  3. Siswa   memahami   dan   menghargai   perjuangan   untuk   memproklamirkan kemerdekaan dan menegakkan kedaulatan Indonesia.[32]

Untuk mencapai tiga tujuan tersebut, terdapat minimal 4 kegiatan dan pokok bahasan yang harus direalisasikan di lapangan, satu di antaranya :

2.1  Perkembangan paham baru di Eropa dan Amerika sampai dengan Perang Dunia II dan pergerakan nasional di Asia dan    Afrika serta pengaruhnya terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Membahas masuknya faham – faham baru dari Eropa dan Amerika (nasionalisme, liberalisme, sosialisme, dan demokrasi) serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan nasionalisme di Asia dan Afrika.

o   Menguraikan pertumbuhan dan perkembangan nasionalisme di Asia dan Afrika (Jepang, Cina, India, Turki. Mesir, dan lain-lain) serta pengaruhnya terhadap perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia

Pengembangan kemampuan kognitif tinggi seperti membahas, menyimpulkan, meramalkan, atau menelaah banyak digunakan. Kata-kata tersebut cerminan tuntutan adanya aktivitas intelektual yang tinggi pada diri siswa. Melalui kata-kata yang demikian nampaknya para pengembang mengangkat tujuan pendidikan sejarah ke jenjang yang tinggi dan sesuai dan karaktenstik disiplin ilmu sejarah itu sendiri.

KESIMPULAN

Pengembangan kurikulum sejarah pada masa Orde Baru meskipun mngacu pada landasan filosofi pendidikan, tetapi pada periode tertentu penuh dengan nuansa kehidupan politik masyarakat dan bangsa Indonesia.  Harus dipahami bahwa setiap keputusan politik pasti akan berdampak pula pada kebijakan pendidikan demikian pula pada pengembangan kurikulum.

Dalam periode Orde Baru dimana sikap represif pemerintah nampak begitu kuat ketika dihadapkan pada situasi yang “membahayakan Pancasila”, pemerintah segera membuat satu keputusan bagaimana agar masyarakat dan bangsa Indonesia terutama generasi mudanya agar tetap pada koridor kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila. Salah satu solusi yang kemudian diberikan di sekolah dan menjadi mata pelajaran wajib adalah dengan adanya Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa.

Ketika masyarakat bereaksi mempertanyakan tentang keberadaan PSPB, yang seringkali materinya tumpang tindih dengan Sejarah Nasional, pemerintah mengevaluasi kebijakan itu dan akhirnya PSPB pun dihilangkan kembali dalam kurikulum tahun 1994. Pengembangan kurikulum sejarah pada tahun 1994 itu kemudian menggunakan pendekatan yang berbeda dengan sebelumnya.  Guru diajak untuk mengembangkan kreativitasnya dan siswa mulai diajak untuk berfikir pada tingkat tinggi serta aktif terlibat dalam pembelajaran.

[1] Anwar Yasin. Perubahan Kurikulum Sekolah Dasar Sejak Proklamasi Kemerdekaan. (Jakarta : Balai Pustaka, 1997),  h.141

[2] Ibid, hlm. 82. Lihat pula dalam Suradi Hp. (ed). Sejarah Pemikiran Pendidikan dan Kebudayaan. (Jakarta : Proyek IDSN, 1986), hh. 164-169.  Salah satu pokok pikiran yang dikembangkan lebih lanjut adalah  Sekolah Pembangunan  dijadikan pilot project untuk kurikulum yang sedang dikembangkan.

[3] Soedijarto. Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu. (Jakarta : Balai Pustaka, 1993), hlm. 24

[4] Rangkuman hasil workshop tentang kerangka kerja dan mekanisme pembaharuan kurikulum 12 – 14 Agustus 1971.

[5] C.E. Beeby. Assesment of Indonesian Education: A Guise in Planning, diterjemahkan oleh BP3K dan Yayasan Ilmu-ilmu Sosial dalam Pendidikan di Indonesia : Penilaian dan Perencanaan (Jakarta : LP3ES, 1981), hlm. 167.  Untuk yang disebutkan terakhir biasanya Rektor menugaskan kepada dosen yang dianggap kompeten pada bidangnya.

[6] Hasil wawancara dengan Drs. Mukhsin Lubis, MA., pada tanggal 16 Maret 1999 di Kampus B IKIP Jakarta.

[7] Hasil wawancara dengan Dr. Anwar Jasin, M. Ed., tanggal 23 Maret 1999 di Komp. P dan K Cipete Jakarta Selatan.

[8] Hasil wawancara dengan Dr. Yusmar Basri tanggal 21 Juli 1999 di Pusjarah ABRI Jakarta, Yusmar Basri. termasuk yang menyusulkan agar materi sejarah disesuaikan dengan buku paket yang sudah ada.

[9] Kurikulum Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMA) 1975, Buku I Ketentuan-Ketenruan Pokok, hlm. 13.

[10] Said Hamid Hasan, ” Kurikulum Sejarah 1994 : Pengertian, Landasan Pemikiran dan Konsekuensi”, makalah, disampaikan dalam Seminar Jurusan Pendidikan Sejarah IKIP Bandung, tanggal 23 September 1994. hlm. 4. Keterkaitan antar komponen juga dikemukakan oleh Prof. Dr. Soedijarto MA, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta.

[11] Lihat pada dokumen kurikulum 1975,  Buku II Garis-garis Besar Program Pengajran (GBPP) bidang Studi lPS,  hlm. 42-49.

[12] Ibid.

[13] S.W. Siswoyo, “Kurikulum dan Penulisan Buku Sejarah”,  Kompas, tanggal 24 September 1982. Usul Siswoyo tersebut baru terealisir pada kurikulum 1994.

[14] Pembelajaran remedial dan pengayaan menjadi sesuatu yang harus dilaksanakan kembali sejalan dengan pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.

[15] Bagaimana keterkaitan antar komponen dapat dilihat  pada lampiran Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Rl No. 008-E/U/1975 tanggal 2 Mei 1975 tentang Pembakuan Kurikulum SMA, hlm. 23.

[16] D. Tanner. Curriculum  Development. (New York : Mc. Millan, 1980), hlm. 672

[17] G. Moedjanto, “Pengajaran Sejarah Nasional di Sekolah Menengah”, Kompas , tanggal 7 Agustus 1982

[18] J. Dorst. S.J., “Kurikulum 1982?”. Kompas, tanggal 15 April 1982.

[19] Laporan Kunjungan Kerja Mendikbud RI, Nugroho Notosusanto ke Kupang Nusa Tenggara Timur 18-19 April 1983, hlm. 2.

[20] Hasil wawancara dengan Drs. Mukhsin Lubis, M.Sc., pada tanggal 16 Maret 1999 di Komp. B. IKIP Jakarta dan Prof. Dr. Conny R. Semiawan pada tanggal 30 November 1999 di Ruang Konsorsium Pendidikan Daksinapati Jakarta.

[21] Benny Karyadi, “Kurikulum Sekolah Menengah Umum” daiam Konvensi Nasional Pendidikan Nasional II: Kurikulum untuk Abad Ke-21, (Jakarta : Grasindo, 1999), hlm. 65.

[22] Hasil Wawancara dengan Prof Dr. Lexy Moleong, pada tanggal 30 Mei 2000 di Gedung Program Pascasarjana UNJ

[23] Lihat ringkasan Laporan Kanwil Depdikbud DKI Jakarta mengenai pemahaman guru tentang GBPP kurikulum yang disampaikan pada Seminar Sejarah Politik Pendidikan yang diselenggarakan oleh HIMA Pend. Sejarah IKIP Jakarta tahun 1996. Menurut tim pengembangnya, sebenarnya konsep itu sudah ada masih di atas meja kerja Nugroho sampai beliau meninggal  Kapuskur sendiri, Prof. Dr. Conny R Semiawan, tidak mengetahui lebih banyak akan hal itu, karena untuk tiap bidang studi menjadi tanggung jawab tim pengembang.

[24] Petunjuk Pelaksanaan Materi Pengajaran Sejarah, (Jakarta : Depdikbud RI, 1984), hlm, i – ii.

[25] Hasil wawancara dengan Drs. Triyono (Ketua MGMP Sejarah SMA DKI Jakarta) pada tanggal 14 Oktober 1999 dan Dr. Siskandar 22 Mei 2000 di Puskur Jakarta

[26] Hasil Wawancara dengan Prof. Dr. Conny R. Semiawan pada tanggal 30 November 1999 di Ruang Konsorsium Pendidikan Daksinapati Jakarta.

[27] Baca Petunjuk Peiaksanaan dan Pengelolaan Kurikulum 1984 SMA, hlm. 15a – 16.

[28] Lembaran Negara No. 6 1989, hlm. 13-14.

[29] Hasil Wawancara dengan Prof. Dr. Said Hamid Hasan, pada tanggal 13 Juli 1999 di Bumi Siliwangi Rektorat IKIP Bandung.

[30] Hasil wawancara dengan Prof. Djoko Suryo, Ph.D., pada tanggal 20 September 1999 di Aryaduta Jakarta.

[31] S. Hamid Hasan, “Kurikulum Sejarah 1994 : Pengertian, Landasan Pemikiran, dan Konsekuensi)” makalah disajikan dalam Seminar Jurusan Pendidikan Sejarah, 23 September 1994 di FPIPS IKIP Bandung

[32] Lihat pada Lampiran III Keputusan Mendikbud No. 061/U/1993, hlm.6

Comments are closed.