Feminisme dalam Kajian Sejarah Intelektual

Feminisme dalam Kajian Sejarah Intelektual

Wildan Insan Fauzi

Feminisme telah banyak mempengaruhi arah dan fokus ilmu-ilmu sosial di aawal abad 20. Di sosiologi, kajiannya menjadi lebih sensitif terhadap isu-isu gender dan melahirkankan feminist social theory (Abercrombie, Hill, Turner, 2010:  202). Feminisme bukan hanya aliran pemikiran dan kajian terhadap perempuan namun juga sebuah gerakan sosial yang memperjuangkan hak-hak perempuan (Lubis, 2016: 122). Sejarahpun ikut terkena imbas gerakan feminis. Gerakan feminisme mempengaruhi tema-tema baru kajian sejarah dalam aspek mengangkat peran perempuan dalam arus sejarah, perkembangan posisi perempuan dalam struktur sosial budaya masyarakat, dan sejarah intelektual pemikiran feminisme itu sendiri. Dalam perjalanan sejarahnya, feminisme berkembang menjadi beberapa aliran seperti feminism liberal, radikal, marxis, eksistensialis,  postmdernisme, dan faeminisme multikultural dan global (Lubis, 2016: 103).

Dalam kajian sejarah intelektual, gerakan ini dibahas pemikiran-pemikirannya, siapa yang mengembangkan pemikiran, bagaimana pemikiran itu berkembang dan berpengaruh ditengah masyarakat. Sejarah intelektual membahas ”feminisme” sebagai gerakan emansipasi wanita dari subordinasi pria yang tidak sekedar mempertanyakan ketidaksetaraan wanita dengan pria, melainkan suatu gerakan struktur ideologis yang tertanam dalam-dalam yang membuat kaum wanita selalu tidak diuntungkan oleh kaum pria (Lechte, 2001: 247). Feminisme melihat perempuan diperlemah posisinya secara sistematis dalam masyarakat modern (Abercrombie, Hill, Turner, 2010:  202). Kritik kepada patriartki menjadi tema sentral dalam kajian feminisme. Wanita memang tidak ingin diidentikkan dengan pria, tetapi berusaha untuk mengembangkan  bahasa, hukum, dan mitologi yang baru dan khas bersifat feminin (Lechte, 2001: 247)

Tulisan-tulisan mengenai pemikiran feminisme dapat dilacak lebih awal dari karya Christine de Pizan (1354-1430) seorang wanita Prancis yang menulis The Book of the Cities of Ladies (1405); Luce Irigaray yang dikenal karyanya Speculum of the Other Woman (1974), This Sex Which is Not One (1988), Culture of Difference (1990); Michele Le Doeuff yang dikenal karyanya The Philospical Imaginary (1980) dan Hipparchia’s Choice (1989); Carole Pateman dikenal melalui karyanya Participation and Democratic Theory (1970),  The Sexual Contract serta The Disorder of Women: Democracy, Feminism, and Political Theory tahun 1989 (Lechte, 2001: 248-267). Beberapa tokoh wanita Perancis, baik yang memiliki reputasi nasional maupun internasional, selain Jeanne d’Arc, nama-nama Marie Antoinette, Marie de Médicis, Madame de Staël dan beberapa tokoh lainnya dikenal secara luas sebagai tokoh wanita dalam konteks historis Perancis klasik (Mathiex, 1996). Pada perkembangan selanjutnya, hanya Jeanne d’Arc yang tetap dikenal sebagai simbol kekuatan kaum hawa ini. Bahkan pada zaman Kekaisaran Pertama (Premier Empire) atau masa Napoléon Bonaparte, ia menjadi simbol politis yang diperhitungkan.

Pemikiran feminisme terus berkembang dan memberikan perspektif baru dalam kajian kajian sejarah dimulai dari feminisme klasik Mary Wollstonecraft dan Virginia Woolf, sampai feminisme generasi kedua seperti Simone de Beavoir, Luce Irigary, Kate Milet, dan Carole Pateman (Lechte, 2001: 242-266; Humm, 2000: 354; Supardan, 2008). Akhyar Yusuf Lubis (2016: 96-102) membagi gerakan feminisme kedalam tiga gelombang, yaitu gelombang pertama (1830an-1920an), gelombang kedua (1920an-1970an), dan gelombang ketiga.

Generasi pertama telah berhasil memperbaiki posisi perempuan dalam hak-hak memilih, posisi ditempat kerja, dan pernikahan dan pada awal abad 20 berjuang untuk kesetaraan politik dan hukum (Abercrombie, Hill, Turner, 2010:  202; Lubis, 2016: 98). Para tokoh feminis memperjuangkan akses perempuan pada dunia pendidikan dan mencoba memahami faktor-faktor yang menimbulkan ketidakadilan dan keterindasan pada perempuan (Lubis, 2016: 98).

Gelombang kedua muncul pada awal 1960-an yang memperlihatkan arus perjuangan menuju kesetaraan hak dan kesempatan. Para tokoh feminis bergairah mempertanyakan representasi perempuan dan segenap sesuatu yang feminis (Lubis, 2016: 96). Feminisme mengarah pada pencarian teori-teori baru yang didasari pengalaman perempuan sendiri. Fokus gelombang kedua feminisme adalah akses perempuan ke lapangan pekerjaan, hak pendidikan, egalitarianisme, dan berusaha menciptakan dunia yang terfeminsikan (Lubis, 2016: 99). Teori kritis yang menilai ilmu pengetahuan tidak pernah lepas dari kepentingan menimbulkan arah baru kajian-kajian feminisme terutama di gelombang ketiga.

Gelombang ketiga ditandai dengan bersinggungannya teori feminisme dengan pemikiran kritis kontemporer seperti postmodernisme, postkolonial, multikulturalisme dll (Lubis, 2016: 96). Periode 1960-an, feminisme dipengaruhi oleh marxisme, psikoanalisis, dan anrkisme. Gerakan di AS dan Inggris mengarah pada hak sipil kulit hitam yang bertautan dengan tema antikolonialisme, antiimperialisme, militerisme, rasisme, dan isu-isu ekologis. Pikiran Derrida, Foucault, dan Lacan memunculkan arah baru kajian Feminisme yang ditandai dengan munculnya konsep politik perbedaaan, anti-esensialisme, politik identitas dsb. Perkembangan 1980an memperlihatkan munculya krtitik pada feminsime kontemporer yang mucul dalam pikiran C. Gilligan, Hooks, Weedon, Chondorow, Riley (Abercrombie, Hill, Turner, 2010:  204). Mereka khawatir kajian postmodernisme mencairkan kritik feminis pada patriarki.

Pada tahun 1960/1970an mulai bermunculkan kursus-kursus dan pusat kajian perempuan di AS dan beberapa negara eropa sehingga kajian akademik tentang perempuan berkembang namun ada tanggapan sinis yang melihat kajiannya kurang memenuhi syarat ilmiah (Lubis, 2016: 94). Di Perancis, kajiannya lebih mengarah pada cara tubuh perempuan direpresentasikan atau ditekan dalam tulisan laki-laki (Abercrombie, Hill, Turner, 2010:  204). Hal tersebut menjadi perhatian Feminis AS, Judith Butler. Butler adalah seorang pemikir feminisme yang menekankan konstruksi budaya dalam gender (Burke, 2015, hlm. 75). Butler (1990) pernah menyebutkan bahwa tubuh hanya hidup dalam batasan-batasan produktif dari skema regulasi tertentu; sangat digenderkan dan maskulin. Butler berpendapat bukan perkara mudah untuk menentang kekuatan performativitas yang sangat maskulin, bahwa laki-laki harus tampil gagah dan tidak boleh berpola tingkah seperti perempuan dan lain sebagainya. Gender yang dipahami masyarakat didasari dan dibatasi pada pemahaman mengenai seks/jenis kelamin biologis (Butler, 1990). Pemikiran Butler mendapat kritikan luar biasa dari Nussbaum karena didasarkan “cara berpikir” feminisme yang dibangun Butler tidak mendorong wanita untuk melepaskan diri dari masalah dunia nyata – seperti gaji yang lebih rendah atau pelecehan seksual – dan lebih berfokus ke pengembangan intelektual dan teori abstrak (Nussbaum, 1999).

Humm (2000) mencatat perkembangan teori-teori feminisme yang awalnya bersifat mengulas diskriminasi dan ketimpangan sosial antara pria dan wanita di berbagai bidang sosial-budaya, seperti; sejarah, filsafat, antropologi, politik, ekonomi dan seni. Pada perkembangan berikutnya, kajian yang menonjol membahas tema-tema reproduksi, representasi, dan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin serta munculnya konsep-konsep baru seperti seksisme dan esensialisme yang dimaksudkan untuk menggugat diskriminasi sosial terhadap ilmu pengetahuan yang berkembang (Humm, 2000: 354). Periode 1980-an dan 1990an, kajian feminisme terarah pada kaitan feminisme dan ilmu pengetahuan. Analisis poststruktural dan posmodernisme membuat feminis mengkritik pikiran-pikiran feminsime itu sendiri. Kritik yang paling banyak muncul berkiatan dengan dominannya pikiran fminsime dari sduut pandangan wanita kelas menengah Eropa barat dan Amerika Utara dan kajian feminisme yang terlalu universalitik (Abercrombie, Hill, Turner, 2010:  202).

Comments are closed.