Eksplanasi Sejarah

Penjelasan sejarah (Historical explanation) adalah usaha membuat unit sejarah sejarah dapat dimengerti dengan cerdas (Kuntowijoyo, 2008: 1). Hakikat suatu keterangan historis selalu terdapat dalam kaitan antara dua deskripsi mengenai keadaan-keadaan masa silam (Ankersmit, 1987: 122). Konsep ”penjelasan” digunakan March Bloch untuk menganalisis hubungan kausal antara gejala sejarah (Kuntowijoyo, 2008: 2). Ada enam Kaidah yang digunakan dalam penjelasan sejarah, yaitu regularity (keajegan, keteraturan, konsisten), generalisasi (memakai inferensi/kesimpulan statistik dan metode statistik), pembagian waktu dalam sejarah (jangka panjang/waktu geografis, siklus jangka pendek/waktu sosial, dan peristiwa), penjelasan dalam sejarah naratif, sejarah deskriptif, atau sejarah yang bercerita, dan penjelasan yang bersifat multi-interepable tergantung pada perspektif sejarawa.n

Penjelasan sejarah menurut Kuntowijoyo (2008), mencakup tiga hal yaitu:

  1. Hermeneutucs dan verstehen, menafsir dan mengerti,
  2. Penjelasan tentang waktu yang memanjang
  3. Penjelasan tentang peristiwa tunggal;

Menurut Wood Gray, (1956: 9), untuk menyusun suatu cerita dan eksplanasi sejarah setidaknya ada enam langkah penelitian:

  1. Memilih satu topik yang sesuai;
  2. Mengusut semua evidensi (bukti) yang relevan dengan topik;
  3. Membuat catatan tentang itu, apa saja yang dianggap penting dan relevan dengan topik yang ditemukan ketika penelitian sedang berlangsung (misalnya dengan menggunakan system cards);
  4. Mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah dikumpulkan (kritik sumber);
  5. Menyusun hasil-hasil penelitian (catatan fakta-fakta) ke dalam suatu pola yang benar dan berarti yaitu sistematika tertentu yang telah disiapkan sebelumnya;
  6. Menyajikan dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dan mengkomunikasikannya kepada para pembaca sehingga dapat dimengerti sejelas mungkin.

Sejarah bukanlah karya yang sudah selesai namun selalu berproses dalam kehidupan masyarakat suatu bangsa dan sejarah senantiasa ditulis oleh setiap generasi dalam bentuk yang berbeda (Priyadi, 2015: 1). Penulisan sejarah oleh sejarawan dihadapkan pada pilihan pilihan partikuralistik- individualistik- mikroskopik atau generalistik-holistik-makroskoptik. Ankersmit (1987: 123-124) menguraikan tiga visi dalam penjelasan sejarah, yaitu CLM, heurmeneutika, dan narativisme. Cavering law model (CLM) berpendapat bahwa keterangan histosis baru dapat diterima jika didukung oleh salah satu atau beberapa hukum umum sementara hermeneutika menilai bahwa peneliti sejarah menerangkan masa silam dengan menghayati atau menempatkan diri dalam batin para pelaku sejarah. Sementara narativisme menerangkan masa silam dengan menyusunnya dalam suatu struktur atau dengan mengembangkan model penafsiran. Munculnya berbagai model penafsiran tersebut disebabkan karena ketidakpuasan sejarawan untuk menerangkan sejarah model lama dan berusaha menggali metodologi yang paling tepat (Zuhdi, 2008: 9).

 

Partikuralistik- Individualistik dan Generalistik- Holistik

Beberapa sejarawan percaya bahwa mereka harus berfokus pada hal yang partikularistik, unik, dan mengenai perubahan sejarah menjadi bagian dari keputusan indovdual dan kadang merupakan konsekuensi yang tak terduga (Zuhdi, 2008: 9). Penelitian sosio-historis sering menggunakan sifat-sifat ideografis-partikular (Ankersmith, 1987: 252). Sejarah berhubungan dengan peristiwa yang terjadi sekali dan unik, terikat dengan konteks ruang dan waktu (ideografik) sementara ilmu sosial berusaha mencari hukum-hukum umum, terjadi berulang, lepas dari ruang dan waktu (nomotetik) (Tohir dan Sahidin, 2019: 169). Namun, perkembangan penulisan sejarah memperlihatkan karakteristik yang memiliki kontinum ekstrem dari ideografis partikularistik sampai nomotetis generalistik (Supardan, 2008).

Sejarah bercorak generalitik-holistik-makroskoptik muncul dari usaha-usaha saling mendekatnya (rapproachment) antara sejarah dan ilmu-ilmu sosial. Sejarah tidak mentabukan penggunaan konsep-konsep yang umum digunakan dalam beberapa ilmu sosial jika dianggap relevan, selama penggunaan itu untuk kepentingan analisis sehingga menambah kejelasan dalam eksplanasi dan interpretasi sejarah (Sjamsuddin, 2007: 198). Generalisasi dalam sejarah memiliki makna silogisme dan covering law yang didasarkan asumsi kausalitas sejarah sama saja dengan kausalita imu alam, tunduk pada hukum-hukum yang umum (general law) (Kuntowijoyo, 2008: 97-98).

Perubahan paradigma ini beranggapan bahwa dapat diingkari tanpa bantuan kerangka konseptual dari ilmu-ilmu sosial, gejala politik, ekonomi, psikologi, budaya, geografi, sukar dianalisis dan dipahami proses-prosesnya. Studi sejarah tidak terbatas pada pengkajian hal-hal informatif tentang apa, siapa, kapan, di mana, dan bagaimana, tetapi juga ingin melacak pelbagai struktur masyarakat, pola kelakuan, kecenderungan proses dalam pelbagai bidang, dan lain-laian. Kesemuanya itu menuntut adanya alat analitis yang tajam dan mampu mengekstrapolasikan fakta, unsur, pola, dan sebagainya (Supardan, 2008).

Kartodirdjo (1992: 120) mengemukakan sebab-sebab rapprochement atau proses saling mendekatnya antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

  1. sejarah deskriptif-naratif sudah tidak memuaskan lagi untuk menjelaskan pelbagai masalah atau gejala yang serba kompleks. Oleh karena obyek yang demikian memuat pelbagai aspek atau dimensi permasalahan, maka konsekuensi logis ialah pendekatan yang mampu mengungkapkannya.
  2. pendekatan multidimensional atau social scientific adalah yang paling tepat untuk dipergunakan sebagai cara menggarap permasalahan atau gejala tersebut dia atas.
  3. ilmu-ilmu sosial telah mengalami perkembangan pesat, sehingga dapat menyediakan teori dan konsep yang merupakan alat analitis yang relevan  sekali untuk keperluan analitis historis.

Bagi sebagian sejarawan, sejarah menitikbertakan pada keunikan, pada perbedaan-perbedaan antarmasyarakat dan perubahan dimasing masing masyarakat dan tidak mencari generalisasi sehingga kedua pendekatan (generalistik dan partikularistik) kadang-kadang dianggap kontradiktif (Burke, 2015: 2-3). Burke (2015: 27) melihat dua pendekatan tersebut sebanarnya bisa dipadukan karena tanpa kombinasi sejarah dan teori sosial kita tidak mungkin memahami masa lalu dan masa kini meskipun ada juga sejarawan yang menggunakan teori hanya sebagai alat untuk mengidentifikasi masalah bukan mencari jawaban.

Wallerstein menawarkan sebuah pendekatan jangka panjang yang membuatnya tidak jatuh dalam satu kutub ekstrem dari tarik-ulur antara ideosinkratik (ideografis) dengan nomotetik. Dia mengakui kebenaran dari teori-teori ralitivistik yang sering digagas kelompok posmodernisme maupun pandangan-pandangan positivistik yang menuntut pada hukum-hukum obyektif dan universal. Meskipun distingsi epistemologis antara dua kubu itu sedang sengit terjadi, dia menganjurkan untuk semakin meningkatkan dialog antara dua kubu tersebut (Wallerstein 1997: 22).

Kajian sejarah yang awalnya mengkaji keunikan suatu peristiwa, pada akhirnya malah menemukan pola jika mendialogkan berbagai temuan tersebut (Burke, 2015). Contohnya misalnya mengenai perkembangan identitas suatu etnik atau bangsa, dan kelompok sosial. Konsep identitas menjadi bahan kajian Carneiro dan Cunha pada 1986, mereka mengkaji dinamika identitas budak Afrika Barat yang dibawa ke Brasil, Ketika dimerdekakan dan pulang lagi ke Afrika (Lagos), mereka malah disebut sebagai orang Brasil oleh masyarakat lokal (Burke, 2015: 84). Diaspora dan pembentukan identitas Bangsa Boer di Afrika dikaji mendalam oleh Soeratman (2012). Perubahan bagaimana etnis Tionghoa di Indonesia merepresentasikan identitas budayanya dalam dunia Pendidikan dikaji oleh Wiririatmadja (2003). Gerakan bandul politik identitas etnnis Tionghoa dipandang berubah dari etnisitas ke nasionalitas, dan dari nasionalitas ke etnisitas kembali (Wiriaatmadja, 2003: 2016).

Korbert Ellias mengkaji para bangsawan hooligan (pengacau) masa restoasi Inggris dan Hunggaria pada abad pertengahan. Mereka cemas mendefinisikan identitas kebangsawanan karena tuntutan “standar” dan pembedaan dengan kebangsawanan lain. Hal tersebut membuat mereka membangun identitas dengan mengkaitkan bahwa mereka keturunan bangsa Hun yang barbar (Burke, 2015: 226). Studi Schama mengenai pembentukan identitas Belanda abad 17 yang ditunjukan dan perilaku metokok, kultus Batavia Kuno, hingga mitos Israel Kuno (Burke, 2015: 271). Hal tersebut semakin memperkuat tesis Hall tetang identitas budaya berkaitan dengan bagaimana identitas kelompok berkaitan dengan ketegangan antara memposisikan dan diposisikan.

 

Makroskopik dan Mikroskopik

Penulisan sejarah yang makroskoptik contohnya adalah model total history. Total History merupakan usaha yang antara lain dilakukan oleh Fernand Braudel (1972), yang mencoba melihat dunia sebagai suatu kesatuan yang utuh. Geohistory Braudel mempelajari masalah-masalah yang lebih statis dalam interaksi antara lansekap dan populasi manusia serta mahluk hidup lainnya (Cronon, 1990; Wrosten, 1988). Gaya penulisan Braundel diikuti oleh Antony Reid yang menulis Asia Tenggara sebagai suatu kesatuan ruang bukan bagian-bagian yang dipisahkan nation state.

Pada tahun 1950-an, sejarah yang banyak mengakji sejarah sosial berkonsentrasi pada analisa kecenerungan umum dan mengamati kehidupan sosial dari lantai 12, namun  berganti haluan pada 1970-an dari pemakaian teleskop (Makroskopik) ke pemggunaan mikroskop (Burke, 2015: 56). Perubahan ke arah sejarah mikro berkaitan erat dengan ditemukannya karya-karya antropologi sosial oleh para sejarawan (Burke, 2015: 58)

Pada 1970-an sebagaimana mereka tolak metode-metode kuantitatif dan klaim ilmiah dari ilmu sosial. Dalam ilmu sejarah penolakan terhadap karya generasi sebelumnya itu dibarengi oleh munculnya pendekatan-pendekatan baru terhadap masa silam, khususnya yang diringkas dalam empat slogan dan empat bahasa:”subaltern history (maksudnya sejarah dari bawah), microstoria, Alltagsgeschichte, dan history de Immaginaire (Burke, 2000: 442). subaltern history atau ‘sejarah dari bawah’; memiliki makna dasar bahwa sejarah tidak hanya menyoroti para tokoh besar, namun juga orang-orang kebanyakan di masa lalu. ”microstoria” atau ”sejarah mikro”, yang bisa didefinisikan sebagai usaha mempelajari masa lalu pada level komunitas kecil, baik itu berupa sebuah desa, keluarga, atau bahkan individu. Pentingnya sejarah bersifat mikto menurut Giovani Levi (Supardan, 2008), yang menegaskan bahwa reduksi skala justru telah menyingkap fakta, betapa aturan-aturan politik dan sosial acapkali tidak berfungsi dan betapa individu-individu bisa menciptakan  ruang untuk diri sendiri di tengah-tengah persilangan berbagai  institusi yang ada.

Pergeseran sejarah dari penelitian skala besar ke skala kecil menimbulkan banyak diskusi dan perdebatan juga. Sejarah mikro dituduh mengabaikan peran orang-orang penting dalam masyarakat dan klaim generalisasi yang tidak pas karena cakupan pengamatan yang kecil dan sederhana (Burke, 2015: 58). Bagi Burke, makro dan mikro memungkinkan sejarawan melihat sejarah dari sudut pandang yang berbeda karena sejarawan seperti Braudel (makro) cenderung menekankan pada determinisme sementara kebebasan idividual lebih terlihat pada kajian sejarah mikro (Burke, 2015: 60). Hal tersebut disampaikan juga oleh Priyadi (2015: 41), ketegangan terus menerus antara sejarah mikro (sejarah lokal) dan sejarah makro (sejarah nasional) harus terus ada agar keduanya bisa hidup dan saling mengisi sehingga kedua unit sejarah tersebut harus diperhatikan semuanya agar terjadi keseimbangan dalam penulisan sejarah. Sejarah lokal dapat didefinisikan sebagai kisah masa lampau masyarakat pada “daerah geografis” yang terbatas yang mempunyai keterkaitan dengan kelompok, township, county, village, ataupun sejenisnya sejenisnya. Objek kajian sejarah lokal adalah yang berkaitan dengan masyarakat dalam lokalitas tertentu yang meliputi sejarah, pertumbuhan, kemunduran, serta kejatuhannya (Abdullah, 2010).

 

Agen dan Struktur

Perdebatan mengenai agen dan struktur dan sejarah sudah banyak dibahas sejarawan. Dua kubu yang berkonflik yaitu kaum individualis yang memperkecil masyarakat menjadi indiviudal dan kaum holistis yang memandang tindakan spesifik sebagaimana tertanam dalam sebuah praktik sosial  (Burke, 2015: 190). Individualisme metodologis berkembang di Inggris sementara holistis berkembang di Perancis dan Jerman.

Penggunaan analisa struktur sudah banyak dijadikan analisa oleh para sejarawan. Terlebih pesatnya kajian di sosiologi antropologi ”memaksa” sejarawan untuk menggunakannya dalam kajian masa lalu. Namun, penganut aliran struktur seperti Braudel dan Marx dianggap memisahkan sejarah dan masyarakat, cenderung mnegkaji struktur yang statis dan mengabaikan perubahan,  ”bahkan” dinilai bukan sejarah serta menimbulkan perdebatan determinisme versus kebebasan (Burke, 2015; 204)

Geertz dalam mengkaji Struktur Masyarakat jawa melihat kebudayaan memiliki sifat interpretatif, sebuah konsep semiotik, dan sebagai sebuah “teks”. Bagi Geartz, kebudayaan bukanlah sebatas pola perilaku yang nampak. Karena kebudayaan merupakan sebuah teks maka ia perlu ditafsirkan agar tertangkap makna yang terkandung di dalamnya. Kebudayaan bagi Geertz adalah jaringan makna simbol yang perlu diuraikan dalam sebuah deskripsi mendalam (thick description).

Perhatian Geertz mengungkap adanya varian agama Jawa lebih kepada adanya kompleksitas masyarakat Jawa. The Religion of Java dan kemudian diterjemahkan oleh Aswab Mahasin dengan judul Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1983). Fokus kajian adalah tradisi keagamaan yang dipengaruhi oleh kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan ideologi politik yang dilakukan oleh masyarakat Mojokuto sebagai cerminan tradisi keagamaan masyarakat Jawa. Dan banyak contoh lainnya yang memperlihatkan kajian struktur.

Analisa struktur, nampak juga pada kajian Cribb (1991) mengenai revolusi Jakarta. Munculnya para “jago” atau “jawara” dalam revolusi di Jakarta disebabkan karena struktur di Batavia yang mengalami “kekosongan” tokoh lokal (Sultan, Pangeran, Bupati) karena yang ada adalah struktur birokrasi kolonial. Belanda menghancurkan struktur lokal tersebut saat menduduki Batavia abad 17. Kekosongan “hero” lockal itu akhirnya di isi para Jawara yang merepresenatasikan kegelisahan dan putus asanya warga pribumi karena penindasan kolonial.

Ada juga sejarawan yang focus pada “agency” dalam struktur. Misalnya dalam kajian revolusi Indonesia, Kahin (1995) melihat Tokoh nasionalis sekuler yang punya peran dalam revolusi, Anderson (1988) melihat para pemudalah yang punya peran, sementara Suryanegara (2017) melihat “Para santri”lah yang punya peran utama.

Mengawinkan agen dan struktur diusahakan melalui psikologi individual dan kolektif namun usaha tersebut tertunda karena keengganan sejarah untuk mengadopsi psiokologi (Burke, 2015: 205). Di Inggris, Anthony Giddens berusaha untuk mempertemukan agen dan struktur tersebut dengan kajian pada peran aktor-aktor sosial dalam proses “strukturasi” (Burke, 2015: 211). Metodologi strukturistik hendak menekankan lebih pada peran aktif adalah kelompok untuk mengubah struktur sosial (Zuhdi, 2008: 9). Tema sentral sejarah stukturistik adalah peran manusia sebagai agensi di dalam proses-proses penstrukturan sosial (Zuhdi, 2008: 13). Kajian mengenai stukturistik akan dibahas pada pertemuan lima kuliah Teori dan Metodologi Sejarah.

 

Referensi

Abdullah, T. (Ed.). (2010). Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Anderson, B. R. O. G. (1988). Revoloesi pemoeda: pendudukan Jepang dan perlawanan di Jawa 1944-1946. Pustaka Sinar Harapan.

Braudel, F. (1949) The Mediterranen and the Mediterranean World in the Age of Philip II, Edisi Kedua 1966; Terjemahan Bahasa Inggris, London, 1972-1973.

Burke, P. (2000). “Sejarah” dalam Kuper, Adam & Kuper (ed), Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar dkk,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 440-444.

Burke, P. (2015). Sejarah dan Teori Sosial (Edisi kedua). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Cribb, R. 1990. Gejolak Revolusi di Jakarta, 1945-1949: Pergulatan antara Otonomi dan Hegemoni. Terjemahan. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Cronon, W. (1990) “Placing Nature in History” Journal of American History, 76.

Geertz, C. (1983). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya.

Gray, W, et.al. (1964) Historian’s Hanbook. A Key to Study and Writing of History, Boston: Houghton Miffin Company.

Kahin, G. McT. (1995). Nationalisme dan Revolusi di Indonesia. Solo: UNS Press.

Kartodirdjo, S. (1993) Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT Gramedia.

Kuntowijoyo. (2008). Penjelasan Sejarah (Historical Explamation). Yogyakarta: Tiara Wacana

Priyadi, S. (2015). Historiografi Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak

Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Soeratman, D. (2012). Sejarah Afrika. Yogyakarta: Ombak.

Supardan, D. (2008). Pengantar Ilmu Sosial. Jakarta: Bumi Aksara

Suryanegara, A. M. (2017). Api Sejarah 1 (Vol. 1). Surya Dinasti.

Thohir, A. & Sahidin, A. (2019). Filsafat Sejarah: Profetik, Spekulatif, dan Kritis. Jakarta: PrenadaMedia Grup

Wallerstein, I. (1997). Lintas Batas Ilmu Sosial. Alih Bahasa: Oscar. Yogyakarta: LkiS.

Wiriaatmadja, R. (2003). Pendidikan Sejarah di Indonesia. Bandung: Historia utama Press

Zuhdi, S. (2008). Metodologi Stukturistik dalam Historiografi Indonesia: Sebuah Alternatif. Dalam Marhandono, Dj. (2008).  Titik Balik Historiografi Indonesia. Depok: Departemen Sejarah FIB UI bekerjasama dengan Penerbit Wedyatama Widya Sastra

Comments are closed.