Arti dan Fungsi Naskah Kuno Bagi Pengembangan Budaya dan Karakter Bangsa melalui Pengajaran Sejarah

Oleh : Ufi Saraswati

Abstrak

Bangsa Indonesia masih menyimpan naskah kuno dalam jumlah yang cukup banyak. Sebaran naskah kuno hampir terdapat pada semua wilayah kepulauan Indonesia, walaupun jumlah naskah kuno pada masing masing wilayah tersebut tidak sama jumlahnya. Naskah kuno juga dapat dinyatakan sebagai dokumen suatu bangsa, karena dokumen sendiri diantaranya diartikan sebagai suatu tulisan yang memuat informasi penting. Dewasa ini  pengajaran sejarah dengan memanfaatkan naskah kuno masih jarang dilakukan oleh para pengajar. Betapapun perlu upaya untuk memahami naskah-naskah kuno itu agar segala informasi tentang masa lampau sampai kepada generasi masa kini dan masa mendatang. Pengajaran sejarah yang bersandar pada sumber-sumber langka membawa tantangan tersendiri bagi pengajarnya. Di negeri ini, ilmu sejarah telah menjadi salah satu mata pelajaran wajib dalam kurikulum, sejak sekolah dasar, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah sudahkah pengajaran sejarah berjalan dengan baik? Pada kenyataannya, pengajaran sejarah di banyak sekolah tak lebih dari transfer ilmu guru ke murid di dalam kelas melalui komunikasi satu arah. Murid hanya menjadi obyek pasif yang mempunyai kewajiban menghafal catatan yang diberikan guru supaya bisa menjawab soal-soal yang akan diujikan.Metode pengajaran sejarah semacam ini telah menjadikan pelajaran sejarah membosankan. Agar pengajaran sejarah berhasil baik, metode yang digunakan harus bisa mengonstruk “ingatan historis” yang disertai dengan “ingatan emosional”. Kajian naskah kuno pada pengajaran sejarah bisa dikatakan sebagai salah satu metode yang dapat menimbulkan “ingatan emosional”. Setelah siswa diberikan fakta-fakta sejarah untuk mengonstruk “ingatan historis” dalam kelas, ingatan emosionalnya dapat tergali berkat kajian naskah kuno. Beberapa metode alternatif dalam kaitannya dengan modifikasi pengajaran sejarah perlu dikembangkan. Salah satu metode yang menurut saya bisa diterapkan adalah pemanfaatan naskah kuno untuk pengajaran Sejarah, khususnya bagi pengembangan Budaya dan Karakter Bangsa.

PENDAHULUAN

Sejarah suatu bangsa dapat ditelusuri dari kajian atau penelitian sumber data yang otentik. Sumber data bagi pengajaran sejarah bersumber pada sumber tertulis dan sumber tidak tertulis. Sumber tidak tertulis diantaranya bangunan atau reruntuhan pada suatu tempat yang tidak jarang meliputi kawasan yang cukup luas. Di Indonesia misalnya, dapat dijumpai wilayah peninggalan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur sebagai sumber tidak tertulis. Adapaun sumber tertulis diantaranya adalah Prasasti, Piagam, Dokumen, Tulisan pada batu nisan, dan Naskah terutama naskah kuno

Sumber tidak tertulis maupun sumber tertulis sebagai sumber data bagi pengajaran sejarah, seringkali memberikan informasi cukup penting. Informasi penting yang disampaikan diantaranya tentang kondisi Sosial Budaya masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Bila dilakukan perbandingan diantara sumber tertulis dan sumber tidak tertulis,  maka sumber tertulis lebih memadai untuk pengajaran sejarah dan kebudayaan. Lewat dokumen tertulis dapat dipelajari secara lebih nyata dan seksama cara berfikir bangsa yang menyusunnya.

Isi suatu naskah atau dokumen tertulis seringkali juga memberikan informasi aspek budaya bangsa dari masyarakat yang bersangkutan. Informasi yang dapat disampaikan dari naskah kuno meliputi bidang filsafat, kehidupan agama, kepercayaan, masalah-masalah teknis seperti pembangunan tempat tinggal, pengadaan tanah ladang, pengajaran berbagai jenis keahlian, dan ketrampilan, serta hal hal lain yang menyangkut keperluan kehidupan bangsa bersangkutan secara menyeluruh.

Pemerintah dewasa ini belum memberikan perhatian pada penyelamatan naskah kuno dari kerusakan. Ratusan naskah kuno yang sangat berharga dari sisi sumber sejarah diperkirakan masih banyak tersimpan di masyarakat dalam kondisi rusak. Tak dapat disangkal bahwa bahan bahan naskah kuno tersebut terbuat dari bahan yang mudah lapuk.  Di Inggris naskah-naskah kita terinventarisasi secara teliti dalam sebuah katalogus susunan M.C. Ricklefs dan P. Voorhoeve. Menurut katalogus tersebut, naskah kita sudah bermukim di Inggris sejak awal abad ke-17, bahkan mungkin sebelumnya.

Naskah-naskah itu teridentifikasi ditulis dalam berbagai bahasa daerah, seperti Aceh, Bali, Batak, Bugis, Jawa (kuno), Kalimantan, Lampung, Madura, Makasar, Melayu, Minangkabau, Nias, Rejang, Sangir, Sasak, Sunda (kuno), dan Sulawesi (di luar Bugis dan Makasar). Seluruh naskah yang ada di sana berjumlah lebih dari 1.200. Semuanya tersimpan rapi pada 20-an perpustakaan dan museum di beberapa kota di Inggris. Koleksi terbanyak berada di British Library dan School of Oriental and African Studies. Di kedua tempat itulah para arkeolog, sejarawan, dan filolog dari seluruh dunia, termasuk dari Indonesia, sering melakukan riset kepustakaan.

Menurut Annabel Teh Gallop, staf British Library, sewaktu berkunjung ke Jakarta pada 1990-an lalu, di tempatnya bekerja tersimpan berbagai macam hikayat, syair, primbon, surat, sampai bukti transaksi dagang dari masa abad ke-15. Bahan-bahan itu kerap dimanfaatkan pengajar Barat dan Indonesia. Menurut Annabel justru karena tersimpan rapi dan terawat baik, peranannya jauh lebih besar daripada Perpustakaan Nasional RI yang juga banyak mengoleksi naskah kuno.

Naskah kuno dari bangsa Indonesia banyak yang tersimpan di negeri Belanda. karena Belanda sebagai negara penjajah menaruh perhatian besar pada naskah kuno yang ditulis oleh orang Nusantara. Pemerintahan Belanda pada saat itu memanfaatkan naskah kuno untuk mengetahui adat istiadat, budaya maupun kebiasaan dari orang Indonesia, bahkan perjalanan historis dari bangsa Indonesia sebelum mereka datang pada abad 16. Naskah-naskah tersebut disimpan pada sejumlah perpustakaan dan museum, antara lain di Amsterdam, Leiden, Delft, dan Rotterdam. Berbeda dengan Inggris, naskah-naskah Indonesia di Belanda banyak yang tergolong “adikarya”, hal ini dapat dimaklumi karena Belanda jauh lebih lama menguasai negeri kita daripada Inggris.

Diantara naskah yang ada salah satunya yang amat terkenal adalah naskah Nagarakretagama. Naskah itu telah dikembalikan ke Indonesia pada 1970-an oleh Ratu Yuliana kepada Presiden Suhart, namun yang patut disayangkan isi naskah tersebut telah dikupas habis oleh sarjana-sarjana Belanda, jadinya, kita hanya menerima “ampas” yang hampir tidak berguna lagi. Diperkirakan hingga kini naskah Indonesia masih banyak bermukim di 30-an negara. Pengetahuan mereka tentang cara-cara merawat naskah kuno sudah begitu tinggi. Tindakan untuk tetap menjaga agar naskah kuno tidak semakin rusak, mereka menyalin naskah-naskah kuno tersebut ke dalam mikrofilm. Naskah-naskah kuno yang dilestarikan dengan cara demikian tentu saja membawa dampak positif bagi penggunanya, karena selain praktis dalam bentuk microfilm naskah kuno jadi lebih terjaga dari kerusakan.

Ironisnya, di negeri sendiri perawatan seperti itu sebelumnya tidak pernah dilakukan karena ketiadaan SDM, teknologi, dan dana. Berkat bantuan luar negerilah, sejumlah naskah kuno pernah dibuatkan mikrofilm. Naskah-naskah Jawa milik Kraton Yogyakarta, misalnya, ditangani oleh Dr. Jennifer Lindsay dari Australia. Sedangkan naskah-naskah lontar Bali dikomputerkan dengan sponsor perusahaan raksasa IBM. Pada 1989 Pemerintah Inggris pernah menghadiahkan Sri Sultan Hamengku Buwono X berupa ratusan mikrofilm semua naskah Jawa yang disimpan di Inggris. Ini karena sebagian naskah Jawa itu berasal dari wilayah Yogyakarta. Pada tahun 1991 Perpustakaan Nasional mendapat hadiah berupa mikrofilm rekaman naskah yang tertulis dalam berbagai bahasa daerah dari pemerintah Inggris, sebagai bentuk kepedulian mereka yang amat tinggi terhadap peninggalan budaya Indonesia. Tentulah sangat memalukan bila kiprah bangsa sendiri terhadap naskah-naskah kuno miliknya belum setinggi apresiasi mereka.

Arti dan fungsi Naskah

Naskah kuno atau dalam bahasa Inggris disebut manuscript dan dalam bahasa Belanda disebut handscript. Manuskrip adalah tulisan tangan asli yang berumur minimal 50 tahun dan punya arti penting bagi peradaban, sejarah, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Di Indonesia ada tiga jenis, yaitu 1. Manuskrip Islam, yaitu manuskrip berbahasa dan tulisan Arab, 2. Manuskrip Jawi yakni, naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi berbahasa Melayu, agar sesuai dengan aksen Melayu diberi beberapa tambahan vonim, dan 3. Manuskrip Pegon yakni, naskah yang ditulis dengan huruf Arab tapi menggunakan bahasa daerah seperti, bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Buton, Banjar, Aceh dan lainnya.

Sebagai peninggalan masa lampau, naskah kuno mampu memberi informasi mengenai berbagai aspek kehidupan masyarakat masa lampau seperti politik, ekonomi, sosial budaya, pengobatan tradisional, tabir gempa atau gejala alam, fisikologi manusia, dan sebagainya. Informasi awal terkait dengan hal ini dapat ditemukan dalam kandungan naskah untuk dipelajari oleh semua orang. Naskah-naskah itu penting, baik secara akademis maupun sosial budaya. Naskah tersebut merupakan identitas, kebanggaan dan warisan budaya yang berharga. Secara sosial budaya, naskah memuat nilai-nilai yang masih relevan dengan kehidupan sekarang, sehingga menjadi sebuah tanggung jawab telah berada di pundak kita untuk mengungkap ‘mutiara’ yang terkandung di dalamnya. Naskah kuno, di samping sebagai dokumentasi budaya juga bisa dijadikan objek pengajaran untuk mengambil nilai-nilai dan kandungan di dalamnya. Nilai-nilai tersebut sangat dibutuhkan dalam merelevansikan nilai kebaikan yang ada di masa lampau untuk diterapkan hari ini.

Definisi lain dari naskah dalam tulisan ini,  adalah karya tulis yang dibuat langsung oleh alat tulis dan tangan, tidak melalui alat tulis mekanik, seperti mesin tik, mesin cetak, komputer. Penulisan naskah dimaksud dilakukan pada masa lalu, tatkala alat tulis mekanik belum ada dan belum meluas penggunaannya. Di Tatar Sunda, termasuk wilayah Banten, naskah dibuat sejak masih hidupnya Kerajaan Sunda (akhir abad ke-7 hingga akhir abad ke-16) dan baru berakhir menjelang akhir abad ke-20.

Lahirnya naskah berhubungan erat dengan munculnya kecakapan tulis-baca di kalangan masyarakat. Kelahiran kecakapan tulis-baca bertalian erat dengan munculnya aksara sebagai lambang suara yang dikeluarkan oleh manusia. Suara manusia itu yang kemudian disebut bahasa (lisan) merupakan alat komunikasi sosial di antara sesama mereka. Di Tatar Sunda bukti keberadaan aksara untuk pertama kalinya dikenal melalui peninggalan prasasti, yaitu tulisan pada batu. Prasasti dimaksud diperkirakan berasal dari sekitar pertengahan abad ke-5, tatkala Kerajaan Tarumanagara masih tegak berdiri (akhir abad ke-4 hingga akhir abad ke-7). Prasasti tersebut yang berjumlah 7 buah ditulis dengan cara dipahat serta menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta.

Keberadaan Naskah kuno sebagai salah satu warisan kebudayaan, secara nyata memberikan bukti catatan tentang kebudayaan kita masa lalu. Naskah-naskah tersebut menjadi semacam potret jaman yang menjelaskan berbagai hal tentang masa itu, dengan demikian nilainya sangat penting dan strategis. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah konkret dalam upaya penyelamatan dan pelestarian naskah-naskah tersebut. Naskah menjadi salah satu dokumentasi budaya yang tidak hanya memuat nilai-nilai tradisi, namun naskah kuno adalah media untuk mengamati dan menelaah kebudayaan lain (termasuk kebudayaan kita).

Dalam beberapa manuskrip undang-undang Melayu Riau, seperti Undang-Undang Kedah, Undang-Undang Melaka, Undang-Undang Johor dan Undang-Undang Laut Melaka, banyak teks menjelaskan bagaimana tradisi kehidupan orang Melayu secara keseluruhan. Kumpulan naskah tersebut memberikan gambaran bagaimana wujud kehidupan masyarakat Melayu masa lalu, yang kemudian diberikan penilaian dan sebuah interpretasi. Seperti yang diungkapkan Jelani Harun, dalam “Kajian Naskah Undang-Undang Adat Melayu di London.” Pengajar asing dari London menerapkan undang-undang tersebut dalam kepentingan masyarakat London sendiri. Mereka menjadikan naskah undang-undang Melayu sebagai sarana untuk memahami adat dan budaya hidup orang Melayu. Sebagai pengajar yang berangkat dari naskah kuno, mereka pun melakukan komunikasi terhadap masyarakat pribumi asli (Melayu) berdasarkan data yang diperoleh dari naskah, dan dari hasil pengajaran yang dilakukan mereka membuahkan beberapa aturan yang dianggap baik dan ikut diterapkan dalam undang-undang mereka di London.

Sementara bagi negara tertentu, seperti Malaysia, mereka membeli naskah koleksi pribadi masyarakat Minangkabau untuk dikoleksi sendiri, agar bisa dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, seperti penafsiran identitas kebudayaan kita untuk diterapkan ke dalam kebudayaan mereka. Oleh karena itu, pemerintah Riau berupaya juga memanfaatkan naskah-naksah kuno untuk menelaah bagaimana kebudayaan mereka di masa lampau untuk disampaikan pada generasi mereka pada hari ini. Di samping itu, ulama dan cendekiawan Melayu masih menjadikan beberapa naskah sebagai tumpuan atau pedoman ilmunya. Bagi Riau, isi naskah memberikan pengaruh dewasa ini, seperti dalam bidang agama, bahasa, sastra, hukum, sejarah, adat, dan pendidikan. Bertolak dari hal tersebut, pemerintah Riau menggunakan naskah untuk membina dan menyatukan kembali nafas bahasa dan budaya Melayu di Asia Tenggara, khususnya wilayah Riau dan sekitarnya

Jenis Naskah Kuno atau Manuskrip di Indonesia

Naskah-naskah kuno di Indonesia kurang begitu dikenal oleh masyarakatnya sendiri, \sehingga cenderung tidak ada yang peduli terhadap warisan budaya masa lalu itu, padahal naskah-naskah kuno mengandung manfaat dan kearifan yang besar buat generasi sekarang. Di bawah ini diuraikan beberapa isi dari sejumlah naskah kuno koleksi Perpustakaan Nasional yang berasal dari berbagai daerah ini, antara lain yaitu:

  1. Naskah Riwayat Kota Pariaman (aksara Latin, bahasa Melayu, bahan kertas)
    Naskah ini ditulis di kota Pariaman oleh Baginda Said Zakaria. Naskah terdiri atas sepuluh bab, berisi tentang keadilan kota Pariaman, mata pencarian penduduk, upacara kelahiran, upacara perkawinan, upacara kematian, dan upacara mendirikan rumah. Selain itu ada uraian tentang keadaan dan bangunan masjid Batu Pasar Pariaman, riwayat hidup Syekh Muhammad Jamil al-Khalidi (seorang tokoh agama Islam di Pariaman) dan suasana pada saat bulan Ramadhan, termasuk 1 Syawal di kota Pariaman.
  2. Naskah Asal Raja-raja Sambas (aksara Arab dan Latin, bahasa Melayu, bahan kertas). Naskah ini berbentuk prosa. Isinya diawali kisah sejarah Raja Sapudak yang memerintah di kota lama secara turun-temurun. Dikisahkan, Raja Fangah dari Brunei pindah ke Sambas. Dia berputra lima orang dan masing-masing menjadi raja.
  3. Kronik Maluku (aksara Arab, bahasa Melayu, bahan kertas)
    Naskah ini berbentuk prosa. Isinya diawali dengan cerita keajaiban raja-raja Turki, China, Belanda, dan negeri-negeri lain, baru kemudian berisi kronik kepulauan Maluku.
  4. Babad Lombok (aksara Jawa, bahasa Jawa, bahan kertas)
    Naskah ini berbentuk macapat. Berisi sejarah Lombok yang dimulai dengan cerita nabi-nabi, sampai kekalahan Lombok oleh kerajaan Karangasem.
  5. Hikayat Aceh (aksara Arab, bahasa Arab dan Aceh, bahan kertas)
    Naskah ini berbentuk prosa. Berisi antara lain syair-syair pujian yang ditujukan kepada Nabi Muhammad. Selain itu juga berisi doa-doa.
  6. Naskah Bomakawya (aksara Bali, bahasa Bali, bahan lontar)
    Naskah ini berbentuk prosa dan berilustrasi. Berisi kisah perang yang dahsyat antara Kresna dan Boma.
  7. Sureq Baweng atau Surat Nuri (aksara Bugis, bahasa Bugis, bahan lontar)
    Naskah ini berbentuk prosa. Berisi perjalanan Sawerigading sewaktu mencari calon istri yang baik, dilengkapi cerita burung nuri yang mengandung nasehat, tata cara meminang seorang perempuan, dan sejumlah ajaran budi pekerti.
  8. Naskah Carita Parahyangan (aksara Sunda Kuno, bahasa Sunda Kuno, bahan lontar). Naskah ini berbentuk prosa, terdiri atas 45 lempir dan tiap lempir terdiri atas empat baris tulisan. Cerita dimulai dari kisah Sang Resi Guru turun-temurun sampai raja-raja di Jawa Barat.
  9. Naskah Sajarah Banten (aksara Arab, bahasa Jawa, bahan kertas)
    Naskah ini berbentuk macapat. Isinya tentang silsilah Nabi Muhammad serta keturunannya. Diceritakan juga riwayat Sunan Gunung Jati yang menurunkan sultan-sultan Banten.
  10. Pustaha Laklak (aksara Batak, bahasa Batak, bahan kulit kayu)
    Naskah ini berbentuk prosa, terdiri atas 38 halaman. Berisi kisah Tuan Saribu Raja yang mempunyai banyak anak dan cucu. Diuraikan juga cara membuat benteng kekuatan diri, ramalan baik dan buruk, dan sesajen yang perlu dibuat setiap hari.
  11. Naskah Japar Sidik (aksara Arab, bahasa Sunda, bahan kertas)
    Naskah ini berbentuk prosa. Berisi kata-kata mutiara berdasarkan ajaran agama Islam dan alam pikiran orang Sunda, seperti manfaat bermusyawarah, hari yang baik untuk berburu dan bepergian, perdagangan, keturunan, dan sifat-sifat terpuji.

Selain itu ada juga beberapa manuskrip atau naskah kuno yang berpengaruh di Nusantara, yaitu manuskrip Manuskrip Islam tertua di kepulauan Nusantara ditemukan di Terengganu, Malaysia. Manuskrip ini bernama Batu Bersurat yang dibuat tahun 1303 (abad 14). Tulisan ini menyatakan tentang penyebaran dan para pemeluk Islam pada saat itu. Manuskrip ini sudah diteliti oleh oleh ahli-ahli Sejarah dan Arkeolog Islam di Malaysia seperti Prof Naquib Alatas dan lainnya, semua menyimpulkan manuskrip ini sebagai yang tertua di Asia Tenggara.

Pada tahun 1310 (abad 14) juga ditemukan syair tentang keIslaman yang ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Jawi di Minya’ Tujoh, Aceh. Karenanya para pakar sepakat bahwa perkembangan karya ulama yang ditulis dengan huruf Jawi sudah berkembang pada Abad 14 pada massa Kekhalifahan Samudra Pasai dan Kekhalifahan Islam lain di Semenanjung Malaka.

Pada usai yang lebih muda pada abad 16–17 di Aceh juga terdapat cukup banyak penulis manuskrip misalnya, Hamzah Fansuri, yang dikenal sebagai tokoh Sufi ternama pada masanya. Kemudian ada Syekh Nuruddin ar-Raniri alias Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu ‘Ali ibnu Hasanji ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. Ia dikenal sebagai ulama yang juga bertugas menjadi Qadhi al-Malik al-Adil dan Mufti Muaddam di Kesultanan Aceh pada kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani abad 16. Salah satu karyanya yang terkenal berjudul ”Bustanul Salatin.” Syeikh Abdul Rauf al-Singkili yang juga ditetapkan sebagai Mufti dan Qadhi Malik al-Adil di Kesultanan Aceh selama periode empat orang ratu, juga banyak menulis naskah-naskah keIslaman.

Karya-karya mereka tidak hanya berkembang di Aceh, tapi juga berkembang seluruh Sumatera, Semenanjung Malaka sampai ke Thailand Selatan. Karya-karya mereka juga mempengaruhi pemikiran dan awal peradaban Islam di Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, Buton hingga Papua. Sehingga di daerah itu juga terdapat peninggalan karya ulama Aceh ini. Perkembangan selanjutnya, memunculkan karya keislaman di daerah lain seperti, Kitab Sabilal Muhtadin karya Syekh al Banjari di Banjarmasin. Di Palembang juga ada. Di Banten ada Syekh al Bantani yang juga menulis banyak manuskrip. Semua manuskrip ini menjadi rujukan umat dan penguasa saat itu. Di daerah lain juga ditemukan mansukrip seperti, Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Melayu, Hikayat Aceh, Hikayat Hasanuddin, Babat Tana Jawi, Babad Cirebon, Babat Banten, Carita Purwaka Caruban Nagari. Di Nusa Tenggara ditemukan Syair Kerajaan Bima, Bo’Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima. Dari Maluku ada Hikayat Hitu. Di Sulawesi ada Hikayat Goa, Hikayat Wajo dan lainnya.

Selanjutnya adalah manuskrip yang berhuruf Pegon. Umumnya ditemukan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Tatar Pasundan. Karya tertua berhuruf Pegon misalnya, karya Sunan Bonang atau Syekh al Barri yang berjudul Wukuf Sunan Bonang. Karya yang ditulis pada abad 16 ini menggunakan bahasa Jawa pertengahan bercampur dengan bahasa Arab. Manuskrip ini merupakan terjemahan sekaligus interpretasi dari Kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazzali. Manuskrip ini ditemukan di Tuban, Jawa Timur. Dalam karyanya, Sunan Bonang menulis, “Naskah ini dulu digunakan oleh para Waliallah dan para ulama, kemudian saya terjemahkan dan untuk para mitran (kawan-kawan) seperjuangan dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa.” Karya ini merupakan contoh bahwa pada abad 16, sebagai masa pertumbuhan kerajaan Islam di Nusantara, dalam waktu yang sama juga berkembang karya para ulama yang berperan besar dalam penyebaran Islam di Nusantara.

Keberadaan Naskah Kuno atau Manuskrip Dewasa Ini

Sebagian besar naskah naskah kuno yang terurai di atas, sebagian ada yang berada di Belanda, tepatnya di Universitas Leiden. Pada masa VOC dan penjajahan Belanda, mereka melakukan pengumpulan, kemudian melakukan pencurian dan penjarahan terhadap manuskrip-manuskrip Islam klasik untuk kepentingan mereka. Di antaranya, untuk melanggengkan penjajahan dan menghilangkan jejak peradaban Islam dari sumbernya aslinya di Timur Tengah. Umat Islam di Nusantara menjadi kehilangan sumber otentik perkembangan Islam dengan dirampasnya karya-karya para ulama,  Inilah yang menyebabkan penjajahan berlangsung hingga ratusan tahun.

Keberadaan Naskah kuno atau Manuskrip selain di negeri Belanda juga tersimpan di Perpustakaan Nasional. Manuskrip dengan huruf Jawi dan bahasa Melayu yang ada di Perpustakaan Nasional Jakarta hanya sekitar 1.000 naskah, sedangkan yang lainnya  menggunakan huruf Arab atau bahasa Arab dengan jumlah yang  lebih sedikit. Sementara di Belanda, manuskrip Islam asal Indonesia yang ditulis dengan bahasa Jawi mencapai lebih dari 5.000 naskah. Belum lagi manuskrip yang ditulis dengan huruf Pegon atau huruf Arab dan bahasa Arab, jumlahnya jauh lebih banyak.

Mengembalikan secara fisik sekarang ini gampang-gampang susah, karena terkait bentuk fisik yang sudah berumur ratusan tahun sehingga banyak bagian yang rawan rusak jika disentuh, walaupun Dewasa ini sudah ada Konvensi Internasional tentang benda-benda cagar budaya termasuk manuskrip dari suatu negara harus dikembalikan pada negara yang bersangkutan, caranya dengan melakukan perundingan bilateral antar negara yang bersangkutan. Contoh manuskrip yang sudah dikembalikan secara fisik ke Indonesia adalah Kitab Negara Kertagama. Kitab ini diambil Belanda pada saat perang Lombok. Contoh lain adalah Arca Pradnya Paramitha dari zaman Singasari yang paling bagus juga sudah dikembalikan. Pelana kuda Pangeran Diponegoro juga sudah dikembalikan ke tanah air oleh Belanda, termasuk satu peti cincin dan emas berlian dari Lombok juga sudah kembali. Jika pengembalian secara fisik riskan rusak, pemerintah bisa melakukan upaya dokumentasi dengan microfilm secara digital.

Perpustakaan Nasional sudah melakukan dokumentasi sebagian dengan merekam dalam microfilm. Saat terjadi tsunami di Aceh, juga banyak naskah-naskah asli Aceh yang hilang, karenanya, saat ini dilakukan upaya dokumentasi menggunakan microfilm digital terhadap naskah-naskah yang tersisa. Untungnya, di sebuah Pesantren di Kawasan Tanobe, NAD, masih tersimpan 2.000 lebih naskah klasik dari abad 13 sampai 19 karya ulama-ulama Aceh, dan Timur Tengah.  Untuk proses penyelamatan ini, seharusnya dilakukan oleh Pemda setempat. Jika tak sanggup bisa melakukan kerjasama dengan lembaga- universitas. Di Jawa Barat, sudah mulai dilakukan katalogus naskah-naskah klasik sejak zaman batu sampai abad 19 yang berbahasa Sunda atau bahasa lainnya yang ada di berbagai negara. Dikumpulkan, di katalogus, di buat microfilmnya dan bisa dipelajari kembali saat ini. Malaysia juga sudah membuatnya, demikian juga dengan Sulawesi Selatan. Harus ada gerakan penyelamatan manuskrip kuno, termasuk manuskrip Islam secara nasional.

Pemanfaatan Naskah Kuno Bagi Pengajaran dan Penulisan Sejarah

Pengajaran dalam bidang sejarah Indonesia yang menggunakan sumber-sumber (tertulis) yang tergolong langka tampaknya masih belum berkembang-terutama yang dilakukan oleh pengajar Indonesia. Boleh jadi, hal itu disebabkan antara lain oleh sifat langka yang melekat pada sumber pengajaran itu sendiri. Di sini, kelangkaan itu dipahami bukan saja jarang atau sukar diperoleh, tetapi juga unik, bahkan eksekutif. Jadi, sumber langka adalah sumber yang unik sekaligus sukar diperoleh koleksinya, dengan kata lain pada sumber langka melekat (inherent) kelangkaan. Juga menjadi jelas bahwa jangkauan peredaran sumber langka bersifat terbatas karena umumnya tidak digandakan secara masih melalui mesin cetak atau pun media transmisi lainnya.

Selain itu biasanya meskipun tidak selalu sumber langka menyangkut kurun masa yang sangat “tua” sehingga terentang jarak waktu yang jauh dengan masa hidup pengajarnya. Segera dapat diidentifikasi bahwa yang tergolong sumber langka adalah naskah-naskah kuno atau manuskrip yang ditulis tangan. Banyak ditemukan naskah-naskah itu berasosiasi dengan “masa klasik” kerajaan tempo dulu. Dalam khazanah (ilmu) sejarah, penggolongan sumber langka diperluas dengan memasukkan kronikel, catatan harian, dokumen keluarga, memoar, naskah kuno/dokumen resmi; juga sumber-sumber tidak tertulis seperti cuostoms, folklor, bahkan mishmash sihir dan mitos.

Tidak terbantahkan pula bila pengajaran sejarah yang bersandar pada sumber-sumber langka membawa tantangan tersendiri bagi pengajarnya. Dalam tulisan ini mencoba membahas sumber langka dan/atau kelangkaan sumber sebagai aspek masalah historiografis, khususnya dalam pengajaran sejarah. Pertanyaan pokoknya ialah apa implikasi sumber langka dan/atau kelangkaan sumber bagi pengajaran sejarah. Beberapa karya pengajaran yang disebut dalam tulisan ini sekadar sebagai ilustrasi pendukung untuk memeroleh gambaran situasinya secara lebih jelas.

Pada awal perkembangannya, penelitian dan pengajaran sejarah boleh dikata tidak bersifat ilmiah. Cara kerja para penulis sejarah masih terbatas pada usaha menemukan sumber sejarah berupa buku-buku kuno atau pun surat-surat resmi dan berbagai laporan. Dokumen-dokumen itu dibaca oleh pengajarnya untuk kemudian dikutip bagian-bagian yang sesuai dengan tema sejarah yang akan ditulis. Tidak ada usaha mengkaji sumber-sumber sejarah itu; temanya pun biasanya terbatas mengenai riwayat hidup orang-orang penting, kejayaan dan kejatuhan kerajaan, peperangan dan diplomasi antarkerajaan. Singkat kata, tema umum pengajaran sejarah pada masa-masa itu cenderung pada aspek politik dan militer.

Perubahan dalam cara-cara penulisan sejarah terjadi mulai abad ke-17. Suasana budaya yang berciri perkembangan ilmu pengetahuan alam serta sikap intelektual yang kritis muncul di kalangan penulis sejarah. Seorang sarjana Prancis, Jean Mabillon (1632-1707), dipandang sebagai peletak dasar ilmu sejarah yang disebut diplomatika, sesuai judul buku yang ditulisnya, De re Diplomatica (1681). Para sejarawan mulai menemukan berbagai cara untuk mengkaji dokumen atau sumber sejarah secara kritis sehingga dapat menghasilkan pengajaran sejarah yang mendekati kebenaran. Selain itu, sejarawan Leopold von Ranke (1795-1815), memperkenalkan prinsip seleksi kritis atas data sejarah untuk menetapkan fakta berdasarkan pedoman wie es eigentlich gewesen, sejarah sebagaimana sesungguhnya terjadi (Barnes, 1963).

Kini, secara umum, perkembangan metode ilmiah dalam ilmu sejarah boleh dikata makin berkembang. Hal itu tidak terlepas dari diterimanya sejarah sederajat dengan ilmu-ilmu lain dan menjadi bagian dari kurikulum perguruan tinggi di berbagai negara setidaknya sejak abad ke-19. Pada dasarnya, metode pengajaran sejarah menyangkut tiga hal penting. Pertama, mengenai cara-cara menemukan sumber sejarah, yang juga lazim disebut heuristik. Para pengajar sejarah masa kini boleh dikata “diuntungkan” oleh berdirinya lembaga/instansi pemerintah dan swasta yang berfungsi sebagai tempat menyimpan sumber sejarah, seperti perpustakaan nasional/daerah, kantor naskah kuno nasional/daerah, pusat-pusat pengajaran, dan sebagainya. Sistem untuk menemukan sumber sejarah juga sudah dirancang, ditunjang oleh tenaga staf yang berpengalaman atau terdidik secara profesional ditambah sistem teknologi informasi yang canggih. Meski pun demikian, proses menemukan sumber sejarah–apabila yang tergolong langka–tetap merupakan pekerjaan yang tidak mudah karena munculnya berbagai kendala.

Hal kedua, setelah sumber ditemukan, adalah mengkaji isi sumber itu. Seberapa jauh isi sumber itu bisa diterima sebagai keterangan yang dapat dipercaya. Untuk dapat mengorek keterangan yang terkandung dalam sumber diperlukan keahlian tersendiri, seperti diplomatika sebagaimana telah disebutkan; paleografi atau cara-cara memahami tulisan kuno; kronologi untuk mencocokkan penanggalan yang berlaku dulu dan sekarang; leksikografi atau cara menentukan arti istilah-istilah tempo dulu yang tidak lagi digunakan pada masa kini; numismastik berkaitan dengan cara menentukan nilai mata uang kuno; metrologi atau cara menentukan ukuran dan timbangan yang berlaku dalam zaman yang berbeda-beda; toponimi atau cara menentukan nama-nama tempat pada masa-masa lampau; dan sebagainya (Barnes, 1963).

Ketiga, berkaitan dengan penulisan hasil pengajaran atas sumber-sumber tersebut. Penulisan tidak saja membutuhkan keterampilan menulis dan penguasaan kaidah bahasa, tetapi juga menyangkut pemahaman atas terminologi serta teori-teori tertentu yang relevan dengan tema sejarah yang diteliti. Pada umumnya, para ahli sejarah berpendapat bahwa kemahiran pengajaran dan kemahiran penulisan hasil pengajaran merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

Dari uraian singkat tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek pertama dan kedua dalam metode sejarah berkaitan erat dengan sumber. Secara konvensional, sumber yang dimaksud adalah sumber primer lebih khusus lagi yang bersifat tertulis. Pandangan dasarnya ialah sumber primer merupakan bagian dari bukti tentang masa lampau yang menjadi bahan sumber kajian, yang menjadi tumpuan apakah suatu peristiwa, kejadian, atau pun gejala sejarah dapat direkonstruksi. Seiring dengan perjalanan waktu, sumber primer makin lama makin jauh dengan masa hidup pengajar di kemudian hari, sehingga pada suatu ketika akan mengandung sifat langka pada sumber itu. Akan halnya aspek ketiga dari metode tersebut berkaitan erat dengan perkembangan teori dan metodologi yang tidak akan dibicarakan dalam tulisan ini secara khusus.

Telah disebutkan bahwa pengajaran sejarah yang bersandar pada sumber-sumber langka akan membawa tantangan tersendiri bagi pengajarnya. Letak persoalannya ialah pada kenyataan bahwa kondisi fisik sumber-sumber tua tersebut umumnya sudah rapuh sehingga rawan untuk disentuh. Upaya memindahkan ke dalam bentuk lain (seluloida, disk) dapat membantu mengatasi kerentanan tetapi mungkin pula akan menimbulkan masalah baru, seperti ketergantungan pada alat baca, gagap teknologi, dan sebagainya. Setelah itu, kesulitan yang “sesungguhnya” akan muncul berkaitan dengan isi atau substansi, aksara dan bahasa yang mungkin tidak dikuasai sepenuhnya oleh pengajar. Persoalan bertambah rumit bila koleksi sumber langka tersebut tersimpan di tempat “tersembunyi” atau jauh dari domisili pengajar.

Tidak diragukan bahwa dalam sumber-sumber langka tersimpan berbagai keterangan masa lampau yang melimpah. Artinya, sumber yang langka tidak identik dengan kelangkaan kandungan informasi yang diperlukan dalam pengajaran sejarah. Pengajar awal sejarah Jawa, H.J. de Graaf misalnya, membuktikan bahwa “hanya” dengan mempelajari sumber-sumber tradisional seperti babad (tentu saja ditambah sumber-sumber lain), ia berhasil menampilkan aspek-aspek sejarah Jawa secara rinci. Sebagai orang Belanda, ia berguru kepada filolog Jawa R.M. Ngabehi Poerbatjaraka untuk “menaklukkan” berbagai kesulitan dalam menghadapi sumber-sumber tradisional, terutama dari segi bahasanya. Hasilnya, antara lain sejarah Mataram yang lengkap–dari muncul, berkembang, sampai runtuhnya kerajaan itu (lihat De regering van Panembahan Senapati Ingalaga (1954), De regering van Sultan Agung (1958) De regering van Sunan Mangku Rat I Tegal-Wangi, 2 jilid (1961, 1962), dan karya-karya lainnya.

Studi H.J. de Graaf tersebut dapat digolongkan sebagai tipikal sejarah konvensional yang menentukan pada peristiwa-peristiwa penting tingkat elite, sementara aspek sosial yang lebih luas tidak mendapatkan perhatian sewajarnya. Meskipun demikian, hasil jerih payah de Graaf sepanjang puluhan tahun itu dipandang sebagai landasan yang kokoh bagi studi ilmiah tentang sejarah Jawa dalam masa abad ke 16-18. Menurut sejarawan M.C. Ricklefs, yang pernah menjadi murid de Graaf, arti penting karya-karya gurunya itu terletak pada kepeloporannya untuk menyusun suatu dasar kisah sejarah serta menyediakan rujukan sumber-sumber bagi yang akan mengikuti jejaknya.

Di kemudian hari, Ricklefs sendiri menunjukkan keandalannya untuk melanjutkan upaya de Graaf dalam menyusun rekonstruksi sejarah Jawa berdasarkan sumber-sumber yang tergolong langka. Tiga karya utamanya (lihat Jogjakarta under Sultan Mangkubumi 1749-92 (1974), War, Culture and Economy in Java 1677-1726 (1993), dan The Seen and Unseen Worlds in Java 1726-1749 (1998) merupakan trilogi yang komprehensif untuk melihat perkembangan sejarah Jawa, khususnya di seputar lingkaran keraton, kurun abad ke17-18. Dalam studinya itu, Ricklefs mendemonstrasikan kepiawaiannya mengolah dan menganalisis sumber-sumber lokal secara intensif di samping jenis sumber-sumber lain tentunya. Agak berbeda dengan de Graaf yang lebih menekankan kajiannya pada aras elite dengan konsentrasi pada aspek politik dan militer, maka perhatian Ricklefs meluas pada aspek-aspek lainnya. Secara ringkas, studi Ricklefs melukiskan dinamika masyarakat Jawa sekitar keraton dan interaksinya dengan kekuatan asing (Barat) yang muncul kemudian. Interelasinya mencakup perang atau militer dan politik, ekonomi, budaya, sastra, serta agama. Aspek agama (Islam) bahkan ditunjukkan sebagai upaya orang Jawa untuk menemukan identitasnya di tengah himpitan kekuasaan asing yakni VOC.

Jejak Ricklefs diikuti oleh sarjana asing lainnya yang juga menggunakan sumber-sumber langka secara intensif dalam studinya, seperti Peter Carey, Ann Kumar, Vincent Houben, dan masih banyak lagi. Perhatian terhadap sejarah lama luar Jawa juga ditunjukkan antara lain oleh Denys Lombard Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636 (1986), dan Leonard Andaya (The Heritage of Arung Palaka (1981). Beberapa contoh kajian tersebut diambil secara acak dan masih dapat diperpanjang dengan memasukkan hasil-hasil karya sarjana non-sejarah seperti filolog dan sastra–misalnya Henri Chambert-Loir yang menyusun Kerajaan Bima (2004). Informasi tentang sumber langka juga diperkaya oleh jasa penyusun katalogus naskah-naskah kuno dan pengumpul dokumen naskah kuno.

Dari kalangan sarjana Indonesia, seperti telah disebutkan, masih jarang yang menggarap sumber-sumber langka sebagai bahan kajian sejarah. Di antara yang sedikit itu adalah Aminuddin Kasdi yang menulis disertasi Perlawanan Penguasa Madura atas Hegemoni Jawa (diterbitkan 2003). Sejumlah manuskrip yang belum diterbitkan dan yang sudah diterbitkan merupakan sumber penting dalam kajian ini. Meski pun studi Kasdi tersebut menyangkut masa akhir Mataram (abad ke-18) khususnya tentang hubungan pusat dan daerah, menjadi penting karena memiliki gaung dengan persoalan masa kini, yakni tentang otonomi daerah. Hal itu menunjukkan bahwa kelampauan bisa menemukan relevansinya dengan kekinian.

Inovasi dalam Pembelajaran dan Pengajaran Sejarah

Pembelajaran merupakan bagian yang sangat dominan dalam mewujudkan kualitas proses dan lulusan pendidikan. Pembelajaran sangat tergantung dari kemampuan guru dalam mengemas dan melaksanakan proses pembelajaran. Pembelajaran yang dilaksanakan dengan baik dan tepat akan memberikan kontribusi sangat dominan bagi siswa, sebaliknya pembelajaran yang dilaksanakan degan cara yang tidak baik akan menyebabkan potensi siswa sulit dikembangkan. Oleh karena itu, guru harus tahu dan mengerti mengapa inovasi pembelajaran dilakukan, khususnya dalam pembelajaran sejarah.

Kata “innovation” diartikan sebagai pembaharuan maupun penemuan. Namun, kata penemuan juga digunakan untuk menterjemahkan kata Invention dan Discovery. Ketiga kata ini sebenarnya memiliki arti yang berbeda, Discovery adalah penemuan sesuatu yang sebenarnya benda atau hal yang ditemukan sudah ada tetapi belum diketahui orang. Invention adalah penemuan sesuatu yang benar-benar baru yang berupa hasil kreasi manusia. Benda atau hal yang ditmukan benar-benar belum ada sebelumnya. Sedangkan inovasi diartikan sebagai suatu ide, barang, kejadian, metode yang dirasakan atau diamati oleh seseorang atau sekelompok orang dan sesuatu itu merupakan hal yang baru, baik hasil Invention maupun Discovery. Dari pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa inovasi pembelajaran adalah suatu hal yang baru dan dengan sengaja diadakan untuk meningkatkan kemampuan demi tercapai suatu tujuan pembelajaran. Inovasi pembelajaran diadakan untuk membantu guru dan siswa dalam menata dan mengorganisasi pembelajaran menuju tercapainya tujuan belajar.

Belajar merupakan aktivitas yag membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Manusia melakukan aktivitas belajar sepanjang hidupnya. Rangkaian proses belajar dilakukan dengan mengikuti pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Proses belajar dilakukan agar mendapatkan perubahan dalam diri pelakunya, baik pengetahuan, sikap, maupun ketrampilan. Perubahan itu sebagai akibat dari proses pengalaman yang alami maupun yang sengaja dirancang. Belajar itu tidak hanya dilakukan oleh pelajar, tapi dilakukan oleh setiap manusia agar dapat memecahkan masalah yang dialaimi dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ciri-ciri belajar adalah perubahan perilaku yang merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungan, serta perilaku tersebut bersifat permanen.

Proses pembelajaran tidak dapat dipisahkan dari proses dan hasil belajar. Pembelajaran mengacu pada segala kegiatan yang dirancang untuk mendukun proses belajar yang ditandai dengan adanya perubahan perilaku individu yang sesuai tujuan pembelajaran. Proses pembelajaran ini harus dengan sengaja diorganisasikan dengan baik agar dapat menumbuhkan proses belajar yang baik dan mencapai hasil belajar yang optimal. Oleh karena itu, jenis-jenis proses belajar dan hasil belajar menjadi pusat perhatian dari metode pembelajaran.

Pelajaran sejarah sampai saat ini masih menjadi mata pelajaran yang terkatagori nomer dua, bahkan nomer sekian dari beberapa mata pelajaran yang di sampaikan di sekolah sehingga guru apapun dasar pendidikannya, dan dengan pertimbangan sejarah adalah mata pelajaran hapalan dan mudah maka guru apapun dapat mengajarkannya.Ironi memang, di saat pemerintah mulai mencanangkan profesionalisme dalam pembelajaran dengan diluncurkannya sertifikasi guru, masih banyak ditemukan di sekolah guru yang memberikan materi sejarah tidak didasarkan pada pengajaran sejarah sebagaimana mestinya. Guru seringkali menunjukkan ketidakmampuannya sebagai guru sejarah dengan menciptakan inovasi model pembelajaran, ataupun menggunakan metode pembelajaran yang kreatif.

Ketidak mampuan guru sejarah untuk mengembangkan inovasi dalam metode pembelajaran sejarah, dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : 1. padatnya materi pelajaran sehingga memungkinkan untuk mengambil jalan pintas, berarti mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik, 2. guru tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk membelajarkan sejarah yang dapat menarik minat siswa, dan 3. guru cenderung menggunakan satu metode dalam membelajarkan keseluruhan materi, tanpa mempertimbangkan karakteristik dari setiap topik materi yang disampaikan. Disamping itu ada empat komponen yang saling berkait dan menjadi penyebab munculnya masalah dalam pengajaran sejarah, yaitu : 1. tenaga pengajar sejarah yang pada umumnya miskin wawasan kesejarahan karena ada semacam kemalasan intelektual untuk menggali sumber sejarah, baik berupa benda-benda, dokumen maupun literatur. Pengajar sejarah yang baik adalah mereka yang mampu merangsang dan mengembangkan daya imajinasi peserta didik sedemikian rupa, sehingga cerita sejarah yang disajikan menantang rasa ingin tahu; 2. buku-buku sejarah dan media pembelajaran sejarah yang masih terbatas, 3. peserta didik yang kurang memberikan respons positif terhadap pembelajaran sejarah, dan 4. metode pembelajaran sejarah pada umumnya kurang menantang daya intelektual peserta didik.

Pembenahan metode pembelajaran sejarah tidak sekadar menjadi pemicu minat belajar, tetapi juga sebagai salah satu instrument yang berperan memproses anak didik agar mendapat hasil belajar yang baik. Langkah awal untuk merevitalisasi metode pembelajaran adalah berusaha memahami bagaimana seharusnya mata pelajaran sejarah diajarkan. Setidaknya, ada lima unsur pembelajaran sejarah yang harus diimplementasikan: 1. Variatif : pembelajaran apapun yang dilakukan jika monoton pasti membuat siswa jenuh, bosan, dan akhirnya kurang berminat. Hal ini terjadi dalam pembelajaran sejarah, karena terkonsentrasi pada penerapan metode ceramah, sehingga kesan yang muncul adalah mata pelajaran sejarah identik dengan metode ceramah, bahkan sebagian besar guru sejarah berasumsi bahwa materi sejarah dapat dipindahkan secara utuh dari kepala guru ke kepala peserta didik dengan metode pembelajaran yang sama, 2. Penyajian dari fakta ke analisis: pembelajaran sejarah di berbagai sekolah ternyata lebih menekankan pada fakta sejarah dan hafalan fakta seperti pelaku, tahun kejadian, dan tempat kejadian. Idealnya, pembelajaran sejarah bukan sekadar transfer of knowledge tetapi juga transfer of value, bukan sekadar mengajarkan siswa menjadi cerdas tetapi juga berakhlak mulia, karena itu pengajaran sejarah bertujuan untuk mengembangkan keilmuan sekaligus berfungsi didaktis, bahwa maksud pengajaran sejarah adalah agar generasi muda yang berikut dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari pengalaman nenek moyangnya.

Menurut Mestika Zed siswa tidak cukup dijejali kesibukan kognitif menghafal pengetahuan lewat fakta-fakta yang sudah mati di masa lalu, sebagaimana banyak terjadi selama ini (Kompas, 13 Agustus 2005). Soedjatmoko (1976:15) menggariskan bahwa harus dibuang cara-cara mengajarkan sejarah yang hanya berhenti pada penyajian fakta sejarah, namun juga diarahkan pada pemahaman analisis pada fakta sejarah. Pandangan ini sangat penting diimplementasikan dalam pengajaran sejarah agar tidak terjadi apa yang dikhawatirkan oleh Winamo Surachmad (1978 9), yaitu siswa tidak berhasil tiba pada taraf kemampuan untuk melihat dan berpikir secara historis, tetapi pengetahuan sejarah mereka berhenti dan terbelenggu oleh sekumpulan data, fakta, dan nama-nama orang. Karena itu, pembelajaran sejarah tidak boleh berhenti pada tingkat fakta, tetapi harus sampai pada domain analisis, 3. Terbuka dan dialogis: praktek pembelajaran sejarah yang tertutup dan monoton berpotensi membawa siswa dalam suasana kelas yang kaku, sehingga memunculkan sikap kurang antusias. Oleh karena itu guru sejarah wajib mendesain pembelajaran yang bersifat terbuka dan dialogis. Keterbukaan dan dialogis mengharuskan guru sejarah untuk tidak menganggap dirinya sebagai satu-satunya sumber kebenaran di kelas, sebab paradigma teacher centered yang cenderung membuat suasana kelas menjadi tertutup dan tidak mampu menumbuhkan kreativitas siswa sudah harus ditinggalkan kemudian beralih ke student centered, 4. Divergen : sejalan dengan pembelajaran sejarah yang menekankan pada analisis dan dialogis, penerapan prinsip divergen sangat penting agar pembelajaran sejarah terhindar dari kecenderungan yang hanya menyampaikan fakta sejarah, artinya pembelajaran sejarah menghendaki pemecahan suatu masalah dengan memberi peluang kepada siswa untuk menganalisis dan melahirkan banyak gagasan, 5. Progresif : pembelajaran sejarah perlu didasarkan pada prinsip progresif. Pandangan baru dewsa ini tetang pendidikan sejarah haruslah  progresif dan berwawasan tegas ke masa depan. Apabila sejarah hendak berfungsi sebagai pendidikan, maka harus dapat memberikan solusi cerdas dan relevan dengan situasi sosial dewasa ini. Penekanan prinsip ini merupakan pengewejantahan mata pelajaran sejarah dengan watak tridimensional. Dalam penulisan ini pengembangan Inovasi ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran sejarah melalui optimalisasi penerapan proses historiografi dalam pembelajaran.

Menurut Paul L Dressel dan Dora Marcus (1982) mengajar bukan sekedar mengetahui dan menyalurkan pengetahuan, melainkan suatu usaha yang dimaksudkan untuk mengilhami dan membantu siswa untuk belajar. Guru tidak lagi menjadi pusat kegiatan yang menentukan setiap aktivitas siswa. Justru siswa lah yang menjadi pusat, mereka bebas berpikir dan bertindak (Hicks et.al, 1970). Ini tidak berarti guru kehilangan tanggung jawab, sebab guru berperan sebagai pengelola pengajaran (Nasution, 1995), sedangkan pendapat Eisner dalam (Craig, Mehrens, dan Clarizio, 1975) bahwa pembelajaran harus dilandasi dengan penciptaan lingkungan yang memungkinkan siswa untuk belajar.

Kualitas pembelajaran dapat dikaji dari beberapa aspek, diantaranya adalah aspek: proses, karakteristik guru, dan hasil belajar (Lucio dan McNeil, 1969). Semua aspek tersebut saling terkait dalam upaya pencapaian tujuan pembelajaran, sedangkan tujuan pembelajaran (pendidikan) mencakup tiga aspek, yaitu: kognitif, afektif, dan psikomotorik (Eggen, Kauchak, dan Harder, 1979). Tujuan kognitif berkaitan dengan usaha pengembangan intelektual siswa, afektif berhubungan dengan perkembangan sosial dan emosional, sedangkan psikomotorik berkenaan dengan perkembangan aspek ketrampilan siswa. Hal itu berarti pembelajaran dapat dikatakan berkualitas apabila mampu mengembangkan aspek-aspek tersebut pada diri siswa. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Dick dan Reiser (1989) bahwa pembelajaran yang berkualitas adalah pembelajaran yang memungkinkan siswa mendapatkan ketrampilan, pengetahuan, dan sikap yang telah ditetapkan.

Kauchak dan Eggen (1993) mensyaratkan suatu karakteristik yang harus dimiliki oleh guru yang berkualitas, yaitu: mempunyai pengharapan yang tinggi terhadap para siswanya, memberikan contoh perilaku yang diinginkan, mengajar dengan penuh semangat, dan mau mendengarkan siswanya; menggunakan bahasa yang tepat, penyajian materi yang logis dan berkesinambungan, penggunaan isyarat yang jelas, perhatian yang tepat, dan keselarasan antara lisan dan tindakan adalah penting dalam komunikasi yang efektif; guru mengajar tepat pada waktunya, mempersiapkan materi sebelumnya, dan mempunyai kebiasaan yang baik.

Pada umumnya guru kurang menyadari peranannya dalam membina pelajaran sejarah, hal ini tercermin dari seringnya pembelajaran di sekolah mendapat sorotan tajam dari masyarakat, karena ternyata pembelajaran sejarah diselenggarakan dengan cara-cara yang kurang memadai (Widja, 1989).

Dalam pembelajaran sejarah (Bank, 1985), (Sylvester, 1973), dan (Mays, 1974) sangat mengharapkan digunakannya sumber-sumber sejarah, termasuk naskah kuno dalam pengajaran di sekolah. Siswa harus berusaha menemukan bukti-bukti dari peristiwa masa lampau (sumber sejarah), mengolah atau mengadakan kritik terhadap sumber tersebut, menafsirkan, dan kemudian menyusunnya menjadi ceritera sejarah. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi di kelas, tetapi lebih berperan dalam banyak dimensi, sebagai seorang pembimbing aktivitas siswa. Tugas siswa seperti seorang sejarawan profesional, meskipun baru pada tingkat perkenalan, mereka dapat mengumpulkan, mengolah, menafsirkan, dan menyimpulkan sumber-sumber dengan berbagai macam cara. Naskah kuno sebagai sumber dapat digunakan sebagai alat maupun data dalam menganalisis fakta fakta sejarah tergantung dari bagaimana guru dan siswa memperlakukan naskah kuno sebagai sumber analisis dalam pengajaran sejarah. (Hamid Hasan, 1985). Metode atau teknik ini selanjutnya dinamakan proses historiografi atau penulisan sejarah, maka dengan demikian pemanfaatan naskah kuno bagi kajian analisa pada peristiwa sejarah yang dilakukan siswa bersama gurunya akan memberikan “keutuhan” pada penulisan sejarah sebagai suatu kisah dan fakta. Cara demikian juga diharapkan akan dapat lebih merangsang siswa dalam menganalisa peristiwa sejarah.

Penutup

Sejarah merupakan sesuatu yang memiliki nilai berharga bagi sebuah bangsa. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai sejarah karena sejarah mampu memberikan pembelajaran. Sejarah sebagai saksi atau bukti perjalanan dari sebuah bangsa tidak hanya menyuguhkan kenangan, tetapi juga sebagai sebuah pedoman hidup untuk masa kini dan masa yang akan datang. Sebagai suatu pedoman, tentunya sejarah bangsa adalah hasil penggalian kembali dari nilai nilai luhur yang telah dilakukan oleh bangsa yang bersangkutan. Oleh karena itu tidak jarang dari tulisan sejarah akan diperoleh nilai kearifan dari suatu bangsa, dan karakter bangsa secara sekaligus.

Menurut W.J.S. Poerwadarminta (1984: 445) karakter adalah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Jadi, secara singkat karakter bangsa adalah sifat atau karakter yang dimiliki oleh suatu bangsa. Sejarah menurut Dudung Abdurahman (2007: 13) diartikan sebagai kisah atau peristiwa masa lampau umat manusia. Dari pengertian tersebut secara jelas disebutkan bahwa sejarah berhubungan dengan segala sesuatu yang telah terjadi pada masa lampau.
Sedangkan media, menurut Romiszowski dalam Basuki Wibawa (2001: 12) diartikan sebagai pembawa pesan yang berasal dari suatu sumber pesan (yang dapat berupa orang atau benda) kepada penerima pesan. Berpijak dari pendapat tersebut, media pembelajaran dapat diartikan sebagai alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan di dalam suatu pembelajaran. Media pembelajaran ada bermacam-macam, misalnya, film, kaset, dvd, dan bahkan naskah kuno pun termasuk sebagai media pembelajaran.

Ketidakpedulian masyarakat terhadap sejarah bangsa harus segera diatasi mengingat arti pentingnya bagi kelangsungan hidup bangsa itu sendiri. Seperti yang disebutkan oleh Wang Gungwu dalam T. Ibrahim Alfian (1985: 3) bahwa sejarah memiliki beberapa kegunaan, yaitu 1. untuk melestarikan identitas kelompok dan memperkuat daya tahan kelompok itu guna kelangsungan hidup, 2. untuk mengambil pelajaran dan teladan dari contoh-contoh di masa lalu sehingga memberikan asas manfaat secara lebih khusus demi kelangsungan hidup, 3. sebagai sarana pemahaman mengenai makna hidup dan mati.

Penjelasan Wang Gungwu di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa memang sejarah tidak boleh dilupakan. Sejarah yang telah dilalui tidak hanya berhubungan dengan cerita saja, tetapi sejarah suatu bangsa pastilah diiringi dengan adanya dokumen-dokumen penting, termasuk naskah kuno. Naskah kuno dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminta diartikan sebagai simpanan surat-surat penting. Penyimpanan naskah kuno bukanlah tanpa tujuan, melainkan ada tujuan yang memang hendak dicapai terutama guna pembangunan karakter sebuah bangsa. Seperti kita ketahui bahwa karakter bangsa Indonesia saat ini sangat buruk dan hal ini bukan rahasia umum lagi. Kerusakan karakter ini dapat dibuktikan dengan adanya kasus korupsi yang merajalela, pejabat yang bisa dibeli, rasa persatuan berkurang, dan banyaknya konflik antarbangsa Indonesia akhir-akhir ini. Pembangunan karakter dinilai menjadi kunci utama untuk menyongsong kehidupan Indonesia dengan keadaan karakter yang lebih baik.

Pembangunan karakter ini salah satunya dapat dilakukan dengan mempelajari naskah kuno-naskah kuno yang merupakan bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Konteks hubungan antara kehidupan berbangsa dan bernegara dengan keberadaan naskah kuno menjadi semakin penting, karena naskah kuno sangat terkait dengan perjalanan sejarah bangsa. Lebih lanjut dapat dinyatakan bahwa naskah kuno merupakan sumber informasi yang dinilai akurat sehingga dapat dijadikan bukti otentik. Arti pentingnya naskah kuno menyangkut kandungan potensi informasi yang tersimpan, antara lain, yaitu 1. pengakuan memori kolektif melalui naskah kuno, 2. naskah kuno sebagai alat pengungkap behind the fact, dan 3. naskah kuno sebagai kajian studi. Dari penjelasan-penjelasan tersebut, dengan jelas kita mampu memahami dan mengetahui bahwa begitu pentingnya naskah kuno bagi kehidupan sebagai bagian dari sejarah bangsa dan merupakan bukti otentik. Naskah kuno bukanlah kertas-kertas yang usang. Namun, di balik itu semua ada pelajaran yang sangat penting dan berharga terutama untuk membangun karakter bangsa.

Seperti kita ketahui bahwa bangsa yang hebat adalah bangsa yang mampu menghargai sejarahnya. Penghargaan ini dapat diwujudkan dengan mempelajari salah satu bagian dari sejarah, yaitu naskah kuno. Di dalam pembentukan karakter, naskah kuno mempunyai andil yang sangat besar, misalnya, dengan mempelajari naskah kuno tersebut, masyarakat akan mengetahui bagaimana asal usul bangsanya dari cerita, kisah dan fakta yang disampaikan dari naskah kuno, hal ini sangat diperlukan untuk membangun karakter bangsa saat ini.

Mengingat arti pentingnya sejarah bagi kehidupan, maka sudah seharusnya sebagai bangsa Indonesia kita mempelajari dan memahaminya. Sejarah sebagai guru akan memberikan pelajaran-pelajaran yang berharga bagi keberlangsungan hidup bangsa ini. Belajar sejarah dapat dimulai dari mempelajari naskah kuno karena naskah kuno merupakan bagian utama dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Mempelajari naskah kuno sebagai upaya untuk membangun karakter bangsa Indonesia yang memang saat ini mulai terpuruk.

Melalui media naskah kuno diharapkan masyarakat Indonesia mampu belajar dari nilai nilai kehidupan yang terkandung dari naskah kuno. Naskah kuno biasanya menggunakan bahasa aksara atau keaksaraan yang menandakan keramah-tamahan, nilai-nilai kemanusiaan, yang merupakan simbol dari ekpresi diri, spiritual, prilaku, etnis, budaya dan seni serta menandakan jaman pembuatan oleh penulisnya, mencakup kehidupan yang luas seperti bidang filsafaf, keagamaan, keyakinan, usaha, tempat tinggal, serta keahlian, dan keterampilan lainnya.

Banyaknya naskah-naskah yang sudah merupakan salinan karena umurnya yang rentan, salinan juga merupakan salah satu cara untuk melestarikan naskah kuno. Dimasa sekarang naskah kuno bisa kita temui di perpustakaan nasional atau perpustakaan daerah setempat, bahkan sekarang banyaknya kolektor yang sengaja menyimpan sebagai barang koleksi semata. Keberadaan naskah yang tersebar di seluruh dunia memang menambah kekayaan naskah kita, tetapi hanya sedikit yang masih berupa naskah yang utuh (bagus) dan banyak sekali yang telah mengalami penyalinan. Penyalinan kembali memang merupakan salah satu cara untuk melestarikan keberadaan naskah yang terkesan jarang. Banyaknya naskah yang tidak diketahui keberadaannya membuat naskah tersebut tidak terawat bahkan rusak.

Fungsi naskah bagi masyarakat jaman sekarang pada umumnya hanyalah sebagai barang langkah yang disimpan seperti barang antik. Sebagian masyarakat kita tidak menyadari makna yang terkandung di dalam naskah. Menurut penulis keberadaan naskah kuno dapat dimanfaatkan bagi pengajaran sejarah, khususnya sebagai sumber analisa dari materi sejarah yang dipelajari bersama sama antara guru dan siswa di dalam kelas. Naskah kuno dapat dijadikan bahan kajian dan referensi untuk pengembangan ilmu sejarah.

DAFTAR PUSTAKA

Dudung Abdurahman. 2007. Metodologi Penelitian Sejarah. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Pt. Tiara Wacana.

  1. Ibrahim Alfian, dkk. 1984. Bunga Rampai Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta:LERES IAIN Sunan Kalijaga.

W.J.S. Poerwadarminta. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Bank, James A. 1985. Teaching Strategies for the Social Studies, New York: Longman, Inc.

Craig, Robert C., Mehrens, William A., dan Clarizio, Harvey F. 1975. Contemporary Educational Psychology. New York: John Wiley and Sons, Inc.

Dick, Walter, dan Reiser, Robert A. 1989. Planning Effective Instruction. Boston: Allyn and Bacon.

Gottschalk, Louis. 1981. Understanding History: A Primary of Historical Method (terj.) Nugroho Notosusanto, Jakarta: Uneversitas Indonesia Press.

Hamid Hasan. 1985. Pengajaran sejarah antara Harapan dan Kenyataan. Makalah. Seminar Sejarah Nasional di Yogyakarta.

Hopkins, David. 1993. A Teacher’s Guide to Classroom Research. Bristol: Open University Press.

Kasihani Kasbolah. 2001. Penelitian Tindakan Kelas, Malang: Universitas Negeri Malang.

Kauchak, Donald P. dan Eggen, Paul D.1993. Learning and Teaching, Research-Based Methods. Boston: Allyn and Bacon.

Nasution, S. 1995. Didaktik Asas-asas Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Sylvester, D. 1973. Teaching History. London: Grom Helm, Ltd.

Tilaar, H.A.R. 1993. “Dirregulasi Pendidikan Nasional dalam Rangka Implementasi UU No 2 Tahun 1989 pada Repelita VI’. Buletin LPMP, No. 4. Jakarta: LPMP – IKIP Jakarta.

Widya, I Gde. 1989. Pengantar Ilmu Sejarah dalam Perspektif Pendidikan. Semarang: Satya Wacana.

[1] Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan Sejarah, APPS di Bandung tanggal 18-20 Maret 2011

[2] Dosen Jurusan Sejarah FIS UNNES

Comments are closed.