ARAH DAN PERUBAHAN KURIKULUM DI INDONESIA: SUATU TINJAUAN HISTORIS

SAID HAMID HASAN[1]

 

 

PENDAHULUAN

Arah dan perkembangan kurikulum di Indonesia dalam makalah ini diartikan sebagai perkembangan kurikulum di Indonesia sejak adanya negara kebangsaan Indonesia yang diproklamasikan pada tahun 1945 dan tidak masa sebelumnya. Memang disadari bahwa arah dan perkembangan kurikulum pada masa kemerdekaan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan kurikulum pada masa sebelumnya dan bahkan harus diakui bahwa pengaruh tersebut masih berlangsung sampai saat sekarang. Meski pun demikian, kompleksitas permasalahan sangat tinggi antara kedua masa tersebut, terutama disebabkan oleh adanya perbedaan suasana politik dan kehidupan kenegaraan. Perbedaan  antara masa sebelum kemerdekaan dengan masa kemerdekaan sedemikian rupa sehingga memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat memisahkan kedua periode itu dengan jelas dan memfokuskan pembahasan pada periode yang dimulai sejak kemerdekaan.

Istilah kurikulum belum digunakan ketika bangsa ini menyatakan dirinya berdaulat atas wilayah yang dulunya dinamakan Hindia Belanda. Istilah yang digunakan adalah rencana pelajaran dan mata pelajaran sebagai terjemahan dari istilah dari bahasa Belanda leerplan dan leervak.  Hal itu sejalan dengan penggunaan istilah kurikulum yang baru masuk dalam literatur pendidikan pada abad 19 dan mulai mendapatkan tempat yang luas pada awal abad ke 20[2] (Tanner dan Tanner, 1980:4).

Istilah kurikulum mulai masuk kedalam dunia pendidikan Indonesia dari literatur kependidikan Amerika Serikat. Tokoh pendidikan Amerika seperti John Dewey (1916) dan Ralph Tyler (1942) dianggap sebagai pelopor penggunaan istilah kurikulum dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat.  Ketika tahun 50-an dan 60-an banyak akhli pendidikan Indonesia belajar di Amerika Serikat dan membaca buku-buku dari belahan dunia yang berbahasa Inggeris maka istilah kurikulum masuk menjadi istilah teknis dalam literatur dunia pendidikan Indonesia. Secara resmi, istilah kurikulum di Indonesia belum digunakan sampai ketika tahun 1968 ketika pemerintah mengumumkan adanya kurikulum 1968 antara untuk mengganti kurikulum yang berlaku sebelumnya.

Kurikulum adalah suatu kebijakan publik karena kurikulum yang dinyatakan berlaku berdampak kepada kehidupan sebagian terbesar  masyarakat, berdampak kepada pembiayaan (cost) yang dikeluarkan pemerintah dan masyarakat, berdampak kepada  kehidupan bangsa di masa mendatang, dan memiliki keterikatan dengan tata kehidupan masyarakat yang dilayani kurikulum. Oleh karena itu kurikulum tidak mungkin menjadi suatu keputusan/kebijakan apabila tidak mendapat dukungan politik (politically viable).  Aspek kurikulum yang paling banyak berkenaan dengan unsur politik adalah aspek ide kurikulum. Aspek ini menyatakan secara filosofis kualitas generasi muda bangsa yang akan dikembangkan melalui pengembangan potensi setiap individu yang mengalami proses pendidikan. Artinya, jika pendidikan untuk seluruh bangsa Indonesia adalah pendidikan dasar 9 tahun maka kualitas minimal yang harus dimiliki seluruh bangsa Indonesia harus mampu dikembangkan melalui kurikulum pendidikan dasar 9 tahun (kurikulum SD/M.I dan SMP/M.Ts). Kualitas manusia Indonesia (baru) yang dikembangkan oleh kurikulum pendidikan menengah dan pendidikan tinggi tidak menjadi kualitas minimal yang dipersyaratkan bagi bangsa Indonesia. Kualitas manusia Indonesia yang dikembangkan melalui kurikulum pendidikan menengah dan tinggi hanya diperuntukkan bagi sekelompok manusia Indonesia terpilih.

Kurikulum sebagai kebijakan publik itu dituangkan dalam bentuk dokumen, direalisasikan dalam bentuk proses pendidikan, dan dihasilkan dalam bentuk hasil belajar peserta didik. Dimensi dokumen dikembangkan sebagai landasan bagi pengembangan kurikulum dalam dimensi proses sedangkan dimensi hasil adalah bentuk kemampuan yang diharapkan dimiliki peserta didik dan menjadi kualitas dirinya. Oleh karena itu dalam tulisan ini kurikulum adalah suatu “educational ideas, a written plan where the ideas are documented, the experience the students have as teachers realize the document into reality, and the product or outcomes the students have as the direct result from the experience ( Hasan, 2008)

 

PERUBAHAN KURIKULUM 1950 – 2004[3]

Seperti telah dikemukakan di bagian atas, kurikulum di Indonesia mengalami perubahan mendasar pada tahun 1966 karena adanya perubahan kekuatan politik. Kurikulum sebelumnya yaitu kurikulum 1965 Kurikulum tersebut bersifat sementara dan pada dasanya hanya menghapuskan bagian-bagian yang berkenaan dengan ajaran komunisme. Adanya pengaruh politik terhadap kurikulum sangat jelas dan tak mungkin dipungkiri (Appel, 1979: 13; Waring, 1981: 20). Kurikulum adalah isi dan jantungnya pendidikan (Klein, 2000:54) dan oleh karena itu kekuatan yang mampu mempengaruhi kurikulum berarti mampu menguasai proses pendidikan dan hasil pendidikan. Kepedulian kekuatan politik dapat berupa kekuatan resmi yang dipegang oleh pemerintah (pusat, daerah) tetapi juga dapat berupa kekuatan politik yang riil di masyarakat dan secara langsung berpengaruh terhadap kurikulum sebagai suatu proses pendidikan.

Kekuatan politik dikembangkan menjadi kemauan politik. Kemauan politik tersebut dimiliki oleh sekelompok orang yang memiliki wewenang sebagai pengambil kebijakan di bidang kurikulum (presiden, menteri, BSNP, kepala sekolah/komite sekolah). Kemauan politik itu  dapat pula dimiliki oleh sejumlah orang yang berhasil mempengaruhi pengambil kebijakan dalam menentukan kurikulum. Sekelompok orang yang berhasil mempengaruhi pengambil kebijakan itu mungkin para politisi, pressure groups, akademisi, orang tua, atau komunitas di masyarakat umum

Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang dikeluarkan pada tahun 1946 oleh Menteri Mr Soewandi dapat dikatakan sebagai keputusan awal yang berkenaan dengan kurikulum. Tentu saja keputusan itu merupakan aspek ide kurikulum dan dinyatakan dalam istilah pedoman dasar-dasar pengajaran. Keputusan Menteri tersebut dimuat dalam Pewarta PPK nomor 2 tahun 1951 menetapkan pedoman dasar-dasar pengajaran haruslah mengandung hal-hal sebagai berikut:

  1. Perasaan bakti kepada Tuhan
  2. Perasaan tjinta kepada Alam
  3. Perasaan tjinta kepada Negara
  4. Perasaan tjinta dan hormat kepada Ibu dan Bapak
  5. Perasaan tjinta kepada Bangsa dan Kebudajaan
  6. Perasaan berhak dan wadjib ikut memadjukan Negaranja menurut pembawaan dan kekuatannja
  7. Kejakinan bahwa orang mendjadi sebagian jang tak terpisah dari keluarga dan masjarakat
  8. Kejakinan bahwa orang hidup dalam masyarakat harus tunduk pada tata tertib
  9. Kejakinan bahwa pada dasarnja manusia itu sama harganja, sebab itu berhubungan sesama anggauta masjarakat harus bersifat hormat-menghormati, berdasar atas rasa keadilan, dengan berpegang teguh atas harga diri sendiri
  10. Kejakinan bahwa Negara memerlukan warga negara jang radjin bekerdja, tahu pada wadjibnja, djudjur dalam pikiran dan tindakannja.

Pedoman ini memuat berbagai landasan pendidikan yang bahkan masih tetap aktual untuk masa sekarang walau pun dalam kenyataan kurikulum pada masa-masa akhir abad ke- 20 dan awal abad ke-21 banyak dasar-dasar pendidikan tersebut dilupakan. Perubahan yang semakin lama semakin memperkuat kedudukan filosofi pendidikan disiplin ilmu (esensialisme dan perenialisme) sebagai inti dari kurikulum, menyebabkan kurikulum makin meninggalkan dasar-dasar pendidikan yang tercantum dalam pedoman tahun 1946 tersebut. Hal ini memang sangat disayangkan karena pendidikan seharusnya berkenaan dengan memanusiakan manusia, membudayakan manusia, menjadikan manusia sebagai mahluk religious, sosial, ekonomi, politik, ilmu, seni, dan teknologi yang tercakup dalam dasar-dasar tersebut. Posisi ilmu dan teknologi yang pada benak pengambil keputusan sebagai satu-satunya penyelesaian untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia adalah keliru. Sayangnya, kekeliruan itu terus berlanjut sampai saat kini tanpa mempedulikan jenjang pendidikan, menyebabkan kurikulum semakin lama semakin bergeser kepada kepentingan ilmu dan meninggalkan kepentingan utamanya yaitu manusia.

Pada tahun 1950 Republik Indonesia menghasilkan undang-undang pertama tentang pendidikan yang kemudian digunakan oleh RIS dan setelah itu digunakan kembali oleh Republik Indonesia dengan nama UU nomor 12 tahun 1954. [4]Dalam Undang-Undang nomor 4 tahun 1950 dan dalam Undang-Undang nomor 12 tahun 1954 terdapat berbagai ketetapan mengenai kurikulum walau pun harus dikemukakan bahwa berbagai pikiran baik mengenai kurikulum yang dikemukakan anggota BP-KNIP tidak terumuskan secara eksplisit. Prinsip-prinsip pendidikan yang tercantum dalam pasal 5, 7 dan khusus mengenai pendidikan jasmani tercantum dalam pasal 9 sedangkan pasal 20 mengenai pendidikan agama dapat dianggap sebagai ide kurikulum. Pasal 5 menyebutkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang digunakan dalam interaksi belajar mengajar. Untuk Taman Kanak-Kanak dan SR kelas 1, 2, dan 3 boleh menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar.

Ketetapan dalam pasal 7 merupakan ketetapan mengenai tujuan lembaga pendidikan. Pasal 7 tersebut menyebutkan:

  1. Pendidikan dan pengadjaran taman kanak-kanak bermaksud menuntun tumbuhnja rochani dan djasmani kanak-kanak sebelum ia masuk sekolah rendah
  2. Pendidikan dan pengadjaran rendah bermaksud menuntun tumbuhnja rochani dan djasmani kanak-kanak memberikan kesempatan kepadanja guna mengembangkan bakat dan kesukaannja masing-masing, dan memberikan dasar-dasar pengetahuannja, ketjakapannja, dan ketangkasannja, baik lahir maupun bathin
  3. Pendidikan dan pengadjaran menengah (umum dan vak) bermaksud melandjutkan dan meluaskan pendidikan dan pengadjaran yang diberikan disekolah rendah untuk mengembangkan tjita-tjita hidup serta membimbing kesanggupan murid sebagai anggota masjarakat, mendidik tenaga-tenaga ahli dalam pelbagai lapangan chusus sesuai dengan bakat masing-masing dan kebutuhan masjarakat dan/atau mempersiapkannja bagi pendidikan dan pengadjaran tinggi.
  4. Pendidikan dan pengadjaran tinggi bermaksud memberi kesempatan kepada peladjar untuk mendjadi orang jang dapat memberi pimpinan didalam masjarakat dan jang memelihara kemadjuan ilmu dan kemadjuan hidup kemasyarakatan.
  5. Pendidikan dan pengadjaran luar biasa bermaksud memberi pendidikan dan pengadjaran kepada orang-orang jang dalam keadaan kekurangan baik djasmani maupun rochaninja supaja mereka dapat memiliki kehidupan lahir bathin jang lajak.

Sedangkan pasal 9 secara tegas mencantumkan mengenai pendidikan jasmani. Tertulis pada pasal ini ”pendidikan djasmani jang menudju kepada keselarasan antara tumbuhnja badan dan perkembangan djiwa dan merupakan suatu usaha untuk membuat bangsa Indonesia mendjadi bangsa jang sehat dan kuat lahir bathin, diberikan pada segala djenis sekolah”.  Selain pendidikan jasmani yang secara tegas menjadi mata pelajaran dalam kurikulum di setiap sekolah mata pelajaran lain yang dinyatakan secara tegas adalah pendidikan agama. Pasal 20 menyatakan ”dalam sekolah-sekolah Negeri diadakan peladjaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknja akan mengikuti peladjaran tersebut”.

Dalam pembahasan mengenai undang-undang ini selain terjadi perdebatan mengenai status pendidikan agama  beberapa anggota BP-KNIP menyebutkan pula mata pelajaran lain yang dianggap penting seperti Bahasa Indonesia, sejarah, dan pendidikan jasmani. Pemerintah yang diwakili oleh Menteri PPK S. Mangunsarkoro mengemukakan pentingnya mata pelajaran agama, sejarah dan pendidikan jasmani pada pertemuan tanggal 17 Oktober 1949. Pendapat Menteri PPK ini mendapat dukungan dari Prawoto Mangkusasmito, Mr. Mohd Dalijono, Mr. Kasman Singodimedjo, Lobo, Sugondo, Manai Sophiaan, Asrarudin, Zainal Abidin Achmad, dan Mr Sartono. Sementara itu Mr. Kasman Singodimedjo dan Sugondo secara khusus menyebutkan pentingnya mata pelajaran sejarah sebagai mata pelajaran yang harus diajarkan di sekolah. Selain sejarah,  Mr. Kasman Singodimedjo  menyebutkan mata pelajaran kesenian sebagai sesuatu yang penting.

Dalam pidatonya Mr. Kasman Singodimedjo mengatakan ”saya pun setudju dengan pemerintah jang telah mentjantumkan didalam rentjanja”:

  1. pengadjaran sedjarah jang menurut peristiwa-peristiwa dapat dibanggakan dan jang menundjukkan kedjajaan bangsa kita dan menimbulkan rasa kepertjajaan atas diri sendiri pemuda-pemuda kita;
  2. pengadjaran kesenian, baik seni suara maupun seni lainnja;
  3. pengadjaran bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar untuk menebalkan rasa persatuan nasional kita.

Rencana Pelajaran yang diberlakukan pada waktu itu adalah rencana pelajaran tahun 1947 dan dengan berlakunya Undang-Undang nomor 4 tahun 1950 maka diberlakukan Rencana Pelajaran 1947 itu tidak banyak berubah. Rencana Pelajaran SD memuat daftar mata pelajaran yang terdiri dari 16 mata pelajaran (Sumber: Balitbang). Suasana kebangsaan yang baru saja merdeka dan kesadaran akan pentingnya membangun rasa kebangsaan baru tampaknya menjadi faktor yang menyebabkan posisi mata pelajaran sejarah dianggap sangat penting. Selain ada mata pelajaran sejarah (Indonesia) di SD, di SMP dikenal ada mata pelajaran sejarah Indonesia dan mata pelajaran sejarah dunia. Di SMA pelajaran sejarah bertambah dengan mata pelajaran sejarah kebudayaan untuk mereka yang mengambil jurusan sastra dan budaya.

Pada masa pemerintahan Orde Lama, dengan berlakunya Manipol Usdek maka kurikulum harus diubah untuk memasukkan pikiran-pikiran yang ada pada Manipol Usdek. Hal tersebut secara tegas dinyatakan dalam Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan nomor 2 tahun 1961. Dengan instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan pada tahun 1961 tersebut maka dunia pendidikan Indonesia mengenal mata pelajaran baru yang dinamakan Civics untuk membentuk manusia Indonesia baru, manusia Indonesia yang sesuai dengan ajaran Manipol Usdek. Mata pelajaran ini kemudian menjadi mata pelajaran wajib di setiap jenjang pendidikan di Indonesia[5] Kebijakan ini kembali memperlihatkan bahwa kurikulum tidak dapat dilepaskan dari pengaruh politik.

Perubahan politik yang mendasar terjadi lagi di Indonesia yaitu pada tahun 1965. Ajaran Manipol serta ajaran komunis dilarang dan kurikulum sekolah harus bebas dari ajaran-ajaran tersebut. Untuk itu maka pemerintah menetapkan bahwa Pendidikan Pancasila merupakan pendidikan yang diarahkan untuk menangkal ajaran komunisme. Termasuk dalam Pendidikan Pancasila ini adalah Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Dalam TAP MPR Nomor IV/MPR/1978 Pendidikan Pancasila diarahkan untuk menumbuhkan jiwa, semangat dan nilai-nilai 1945. Berdasarkan TAP MPR Nomor II/MPR/1978 Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila sebagai “penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warganegara Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan kemasyarakatan, baik di Pusat mau pun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh.”  Pedoman yang secara singkat disebut dengan P-4 dan dinamakan pula Ekaprasetia Pancakarsa kemudian ditetapkan sebagai bagian dari Pendidikan Pancasila melalui TAP MPR Nomor II/MPR/1983 bersama-sama dengan Pendidikan Moral Pancasila.

Pada tahun 1983, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr Nugroho Notosusanto, mengeluarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 0461/U/1983 menetapkan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa sebagai mata pelajaran wajib dalam kurikulum. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini kemudian mendapat penguatan dalam TAP MPR Nomor II/MPR/1983 sebagai bagian dari Pendidikan Pancasila. Dengan demikian maka Pendidikan Pancasila memiliki komponen Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Kurikulum memiliki tugas berat karena pada kenyataannya materi kurikulum untuk P-4 dan PMP sukar dipisahkan sedangkan materi untuk PSPB memang banyak berkenaan dengan peristiwa sejarah dalam fungsi pendidikan kewarganegaraan. Tradisi pengajaran sejarah yang sudah berakar berfokus pada pendidikan sejarah untuk pengetahuan dan pemahaman sejarah menyebabkan guru mengalami kesulitan dalam mengembangkan proses pembelajaran PSPB. Tidak jarang guru mengajarkan PSPB dalam fungsi dan tujuan mata pelajaran sejarah yang sudah mereka kenal. Apalagi ada ketetapan bahwa PSPB tidak harus diajarkan oleh guru sejarah tetapi oleh guru mana pun sedangkan penguasaan materi sejarah mereka ini sangat lemah maka PSPB menghadapi masalah besar. Masalah besar tersebut adalah guru yang menguasai materi sejarah tidak memahami dan tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan materi itu ke tujuan kewarganegaraan sedangkan guru lain tidak menguasai materi dan tidak pula menguasai kemampuan menggunakan materi untuk mencapai tujuan PSPB.

Dalam bentuk mata pelajaran, PSPB baru diterapkan secara resmi di sekolah pada kurikulum 1984. Sebelumnya dalam kurikulum 1975 yang merupakan kurikulum modern pertama di dalam dunia pendidikan Indonesia karena dikembangkan menurut teori dan prinsip pengembangan kurikulum, PSPB belum menjadi mata pelajaran. Kurikulum 1975 dikembangkan berdasarkan suatu pendekatan baru yaitu pendekatan integratif. Oleh karena berbagai mata pelajaran yang semulanya berdiri sendiri diorganisasikan sedemikian rupa menjadi mata pelajaran dengan label baru. Biologi, Fisika, dan Kimia dikembangkan dalam suatu organisasi baru dengan label Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Mata pelajaran Sejarah, Geografi, Ekonomi, Sosiologi, dan Politik yang semulanya berdiri sendiri diorganisasikan sebagai mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Kelompok-kelompok mata pelajaran yang dulunya dikenal dengan nama Ilmu Ukur Bidang, Ilmu Ukur Ruang, Aljabar diorganisasikan dalam mata pelajaran Matematika.

Pendekatan baru yang digunakan dalam pengembangan Kurikulum 1975  berkenaan dengan orgnisasi konten kurikulum dan dengan pendekatan dalam proses pembelajaran tersebut merupakan penerapan model ”instructional technology”. Selain itu, Kurikulum 1975  memperkenalkan cara baru dalam menilai hasil belajar peserta didik yaitu melalui soal-soal yang menggunakan butir soal objektif. Pendekatan baru yang diperkenalkan dalam proses pembelajaran menempatkan peserta didik sebagai agen yang aktif dalam belajar. Dengan nama Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) maka peserta didik harus aktif mencari, menemukan, dan mengkomunikasikan hasil belajarnya dan bukan hanya menerima semua informasi dari guru.

Pendekatan CBSA ini adalah suatu inovasi kurikulum yang sangat menguntungkan. Pendekatan ini tidak saja menggunakan teori belajar konstruktivisme tetapi memberikan kesempatan kepada peserta didik mengembangkan ketrampilan yang dapat digunakan untuk belajar seumur hidup. Dengan kemampuan mencari sumber informasi, menemukan informasi didalamnya, mengolahnya, dan mengkomunikasikan hasilnya peserta didik dapat menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari setelah yang bersangkutan keluar dari sistem persekolahan. Sayangnya, pendekatan ini dapat dikatakan gagal dalam implementasinya. Sebagian kegagalan tersebut disebabkan kegagalan dalam menerapkan CBSA dalam desain konten kurikulum. Kemampuan yang harus dimiliki peserta didik untuk mampu menempatkan dirinya sebagai seorang yang aktif mencari, menemukan, dan mengkomunikasikan hasil belajarnya tidak dikemas dalam organisasi konten kurikulum yang sesuai. Organisasi konten kurikulum memperdulikan hanya konten substantif sehingga konten proses yang terdapat pada CBSA tidak diorganisasikan menurut kaedah konten proses.

Kelemahan Kurikulum 1975 yang kedua adalah kelemahan yang sangat umum terjadi dalam proses pengembangan kurikulum di Indonesia dan masih berlaku hingga hari ini yaitu lemahnya sosialisasi kurikulum. Setelah kurikulum selesai dikembangkan menjadi suatu dokumen, dicetak, dan didistribusikan ke sekolah[6] proses pengembangan kurikulum meloncat ke fase implementasi tanpa diikuti dengan proses sosialisasi yang seharusnya. Guru dianggap serba tahu dan serba mampu melaksanakan kurikulum yang penuh dengan inovasi tersebut. Kondisi implementasi seperti ini juga terlihat ketika kurikulum lainnya (1984, 1994) diperkenalkan.

Kelemahan ketiga adalah ketiadaan dana untuk implementasi. Pelaksanaan kurikulum baru dengan inovasi yang dibawanya memerlukan dana operasional yang terkadang tidak kecil. Pengamatan terhadap pelaksanaan kurikulum menunjukkan bahwa dana yang diperlukan sekolah tidak tersedia. Sekolah harus mencari sendiri dana yang diperlukan tersebut. Sebagai contoh, ketika peserta didik belajar IPA dan harus melakukan praktek di laboratorium, bahan praktek tidak tersedia atau tidak cukup, dana untuk praktikum tidak pula tersedia.

Sepuluh tahun kemudian Pemerintah menggantikan kurikulum 1975 dengan kurikulum 1984. Setelah ini kebijakan penggantian kurikulum setiap sepuluh tahun menjadi suatu tradisi. Perkembangan dalam kehidupan politik, sosial, budaya, ekonomi, keagamaan, seni, ilmu dan teknologi tidak lagi berpengaruh terhadap perubahan kurikulum. Kurikulum menjadi imun dan terus berjalan walau pun aspek-aspek yang menjadi dasar dari kurikulum tadi sudah jauh berbeda dari ketika kurikulum dikembangkan. Pemerintah memperlakukan kurikulum sebagai suatu seremoni politik untuk setiap sepuluh tahun sekali. Hal ini mungkin juga disebabkan oleh ”mapannya” politik pada masa itu. Faktor lain yang telah dikemukakan selain politik tidak mampu menyentuh perubahan kurikulum. Tujuan pembangunan Indonesia yang diarahkan kepada pembangunan masyarakat industri dari masyarakat agraris tidak berpengaruh terhadap kurikulum.

Kurikulum 1984 pada dasarnya tidak banyak mengubah posisi belajar peserta didik. Peserta didik harus memegang peran aktif dalam belajar terus dipertahankan dengan menggunakan pendekatan ketrampilan proses. Peserta didik harus melaksanakan pembelajaran melalui ketrampilan proses sehingga mereka memiliki kemampuan dalam mengembangkan masalah berdasarkan apa yang telah dibaca, diamati, dan dibahas. Kemudian mengembangkan proses belajar  aktif dalam memecahkan masalah yang telah dirumuskan tersebut. Sayangnya, kesalahan sama seperti yang dilakukan dengan model CBSA dan kurikulum 1975 diulangi lagi. Ketrampilan proses tidak dikembangkan dalam desain konten kurikulum sehingga konten kurikulum hanya mencantumkan hal-hal yang bersifat substantif seperti konsep, teori, peristiwa, dan sebagainya. Ketrampilan yang terdapat dalam Ketrampilan Proses dan CBSA tidak pernah dijadikan konten kurikulum dan dirajut bersama dengan materi substantif dalam suatu desain. Akibatnya, sama seperti nasib CBSA maka ketrampilan proses menjadi slogan dan tidak pernah menjadi ketrampilan nyata sebagai hasil belajar yang dimiliki peserta didik. Peserta didik tahu dan paham mengenai ketrampilan proses tetapi tidak mampu menggunakan ketrampilan proses dalam pembelajaran.

Kurikulum 1984 menggunakan organisasi konten yang sama dengan Kurikulum 1975 untuk kurikulum SD dan SMP tetapi memiliki perbedaan mendasar dari Kurikulum 1975 dalam organisasi konten kurikulum untuk SMA.  Kurikulum untuk SMA menggunakan pendekatan pengembangan kurikulum yang sangat esensialis[7] sehingga label mata pelajaran sama dengan label disiplin ilmu. Mata pelajaran sejarah, geografi, ekonomi, politik, sosiologi, kimia, fisika, biologi dicantumkan dalam kurikulum sebagaimana adanya. Pengajaran untuk setiap mata pelajaran ini pun bersifat “discrete” dan ditujukan untuk penguasaan disiplin ilmu. Pendekatan seperti ini dianggap sebagai pendekatan terbaik bagi peserta didik SMA karena mereka dipersiapkan untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi.

Pada tahun 1994, sesuai dengan tradisi sepuluh tahunan, Pemerintah meresmikan kurikulum baru. Kurikulum 1994 ini merupakan revisi terhadap kurikulum 1984 tetapi pada dasarnya keduanya tidak mmemiliki perbedaan yang prinsipiil. Orientasi pendidikan pada pengajaran disiplin ilmu menempatkan kurikulum sebagai instrumen untuk “transfer of knowledge”. Penyempurnaan terjadi pada materi pendidikan sejarah karena materi pendidikan sejarah yang tercantum dalam kurikulum SMU (nama baru SMA berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989) dianggap tidak lengkap. Kurikulum 1994 menyempurnakannya dengan berbagai tambahan terutama dalam pokok bahasan.

Perubahan lain yang terjadi adalah penghapusan mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan  Bangsa dalam kurikulum.  Konten kurikulum yang berkenaan dengan masalah sosial dan sejarah semakin berkurang sementara itu kurikulum konten yang berkenaan dengan IPA dan matematika semakin bertambah. Mata pelajaran sosiologi dan antropologi mendapat tempat yang disesuikan dengan filosofi esensialisme yaitu masing-masing berdiri sendiri sebagai mata pelajaran yang terpisah. Walau puna da mata pelajaran sosiologi di semua juurusan (IPS,IPA,Bahasa) kurikulum tidak mampu mempersiapkan generasi muda bangsa yang peka terhadap masalah sosial dan bangsa. Hádala suatu kenyataan bahwa kurikulum 1994, sesuai dengan pandangan esensialisme dan perenialisme, dan sebagaimana kurikulum sebelumnya (1975, 1984), Kurikulum 1994 memisahkan peserta didik dari masyarakatnya karena materi pelajaran yang diajarkan ádalah materi formal yang dikenal dalam disiplin ilmu dan sudah tersedia dalam buku-buku teks yang disetujui pemerintah.

Selain dari itu, permasalahan kurikulum 1994 baik dalam desain konten kurikulum mau pun dalam impelementasi masih sama dengan kurikulum sebelumnya. Kesalahan yang sama tersebut menyebabkan bangsa ini terjerumus pada permasalahan yang sama pula dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Desain konten kurikulum yang berdasarkan desain “transfer of knowledge” menghasilkan manusia penghafal definisi, humus, prosedur, kaedah, nilai, dan fakta. Nilai-nilai yang diajarkan dalam PPKN dihafalkan, ketrampilan yang dikembangkan dalam mata pelajaran lain dihafalkan sehingga kurikulum banyak memberikan makanan intelectual tingkat rendah. Kemampuan intelectual yang dikembangkan dalam taksonomi tujuan pendidikan oleh Bloom dkk. Digunakan sebatas pada menghafal sehingga kemampuan untuk memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi tidak menjadi milik peserta didik. Kepribadian yang ingin dibentuk oleh PPKN tidak berhasil dikembangkan sebagaimana halnya pendidikan agama yang gagal dalam membentuk manusia beragama.

Kurikulum 1994 adalah kurikulum nasional terakhir yang dikembangkan oleh Pemerintah Pusat dan dinyatakan berlaku secara nasional. Memang dimulai pada tahun 2000 Pemerintah Pusat sudah mengembangkan kurikulum baru untuk dinyatakan berlaku sebagai kurikulum 2004, sesuai dengan tradisi sepuluhtahunan. Kurikulum baru ini dikembangkan berdasarkan pendekatan kompetensi. Walau pun demikian, kurikulum 2004 menjadi permasalahan nasional yang krusial karena sebelum kurikulum ini diimplementasikan secara nasional perkembangan baru terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia.

Ketika Pemerintah Republik Indonesia menetapkan bentuk ketatanegaran baru melalui amandemen UUD 1945 dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 tentang Pemerintahan Daerah maka pendidikan tidak lagi menjadi wewenang mutlak Pemerintah (Pusat). Melalui konsep desentralisasi dan ootonomi yang diberikan kepada pemerintah daerah (provinsi, kabupaten dan kota) maka pendidikan menjadi urusan yang diserahkan kepada pemerintah daerah. Perkembangan baru ini diperkuat dengan diresmikannya Undang-Undang Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menetapkan bahwa pengembangan kurikulum adalah wewenang dan tanggungjawab pemerintah daerah. Pemerintah (pusat) berkewajiban mengembangkan standar isi yang menjadi pedoman bagi pengembangan kurikulum di daerah.

Pada tahun 2003 ketika UU tersebut dinyatakan berlaku maka pengembangan kurikulum sudah seharusnya dilakukan berdasarkan ketentuaan-ketentuan yang ditetapkan dalam UU nomor 20 tahun 2003 tersebut. Artinya, tidak ada lagi kurikulum nasional sebagaimana sebelumnya. Sejak tahun 2003 dunia pendidikan Indonesia telah membuka halaman baru dan kurikulum yang dilaksanakan di sekolah adalah kurikulum yang secara khusus dikembangkan untuk sekolah di wilayah kabupaten atau kota dimana sekolah itu berada. Perubahan kekuasaan politik, terutama dalam sistem kekuasaan pemerintahan telah menempatkan pengembangan kurikulum dalam dua tingkat yang saling terkait yaitu tingkat nasional berupakan stándar dan tingkat sekolah berupa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Memang terjadi loncatan wewenang yang tidak garis lupus dengan kekuasaan pemerintahan karena Pemerintah (pusat) langsung ke lapisan “grass-root” yaitu sekolah tetapi hal ini tidak dapat dipungkiri merupakan perubahan mendasar yang disebabkan oleh kekuasaan politik.

 

PENGEMBANGAN KURIKULUM 2004

Pada saat kini proses pengembangan kurikulum di Indonesia mengikuti kebijakan yang diundangkan dalam UU nomor 20 tahun 2003, PP nomor 19 tahun 2005 dan Permen nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006.  Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, berdasarkan ketetapan tersebut maka pada saat sekarang proses pengembangan kurikulum di Indonesia mengikuti dua langkah besar yaitu proses pengembangan yang dilakukan di Pemerintah Pusat dan pengembangan yang dilakukan di setiap satuan pendidikan. Arah baru ini diharapkan dapat menjawab kepentingan bangsa masa kini dan masa yang akan datang. Kurikulum diharapkan dapat mengakomodasi dua kepentingan  dengan baik, sinkron, dan tanpa konflik yaitu kepentingan nasional dan kepentingan daerah.

Kepentingan nasional diwakili oleh ketetapan mengenai kompetensi lulusan (SKL) dan standar Isi (SI) sedangkan kepentingan daerah diwakili oleh keterkaitan sekolah dengan lingkungan sekitarnya yaitu muatan lokal.[8]. Kedua kebijakan ini dinyatakan secara legal dalam dua peraturan menteri yaitu Permen Diknas nomor 22 tahun 2006 tentang SI dan Permen Diknas nomor 23 tahun 2006 tentang SKL. Secara konseptual keduanya masih merupakan materi yang dikembangkan dalam rancangan Kurikulum 2004 (KBK) dan mengandung berbagai masalah berkenaan dengan teori kompetensi. Selain itu, materi yang tercantum dalam SKL, Stándar Kompetensi (SK), dan Kompetensi Dasar (KD) masih mencerminkan kepentingan ilmu dan belum mencerminkan kepentingan bangsa dalam berbagai dimensi kehidupan kebangsaan dan masyarakat. Kebijakan mengenai muatan lokal  sangat mendasar untuk KTSP dibandingkan untuk kurikulum sebelumnya. Sayangnya, sebagaimana SI dan SKL, berbagai persoalan konseptual dan prosedural masih harus dibenahi antara lain pengertian materi muatan lokal, organisasi materi muatan lokal, dan prosedur pengembangan materi muatan lokal.

 

Pengembangan yang paling menjadi fokus perhatian adalah pengembangan tingkat sekolah. Pada tingkat ini sekolah tetap harus memperhatikan kebutuhan dan tantangan masyarakat yang dilayaninya, menterjemahkan tantangan tersebut dalam kemampuan yang harus dimiliki peserta didik. Pengembangan pada tingkat satuan ini menghasilkan apa yang disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Sesuai dengan ketetapan pada Permen nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut ini:

  1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya

Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.

  1. Beragam dan terpadu

Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antar substansi.

  1. c. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan,  teknologi, dan seni

Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

  1. Relevan dengan kebutuhan kehidupan

Pengembangan kurikulum dilakukan dengan   melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan  kemasyarakatan, dunia usaha dan  dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi,  keterampilan  berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.

  1. Menyeluruh dan berkesinambungan

Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.

  1. Belajar sepanjang hayat

Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.

  1. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah

Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Dari tujuh prinsip pengembangan KTSP tersebut maka prinsip pertama (a),  kedua (b), keempat (d), keenam (f), dan ketujuh (g) memberikan kesempatan kepada KTSP untuk membuka pendekatan baru dalam pengembangan kurikulum di Indonesia. Melalui keempat prinsip itu kurikulum tidak lagi hanya peduli dengan perkembangan ilmu dan teknologi tetapi juga sudah peduli dengan aspek kehidupan lain dari manusia. Oleh karena itu apabila prinsip-prinsip ini dapat diterapkan dengan baik dalam KTSP kelemahan yang terdapat pada SKL, SK, dan KD dapat diperbaiki.

Dalam konteks ini maka arah kebijakan kurikulum di masa mendatang haruslah memperhatikan penerapan prinsip-prinsip ini dengan benar dan evaluasi kurikulum tingkat KTSP harus memperhatikan fokus ini baik dalam pengembangan dimensi dokumen mau pun dalam pengembangan dimensi proses. Dokumen KTSP harus jelas mencantumkan ketrampilan yang diperlukan sehingga seorang peserta didik mampu mengembangkan dirinya di sekolah dan sesudah selesai dari pendidikan sekolah menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Selain itu materi yang dapat mengembangkan rasa ingin tahun, mengenal dan mengembangkan budaya dan adat istiadat setempat, kemampuan mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni merupakan kompetensi yang secara tegas dan jelas tercantum dalam dokumen kurikulum, dan diorganisasikan menurut prinsip kurikulum berbasis kompetensi.

Organisasi konten kurikulum yang mengikuti prinsip kompetensi akan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melatih berbagai ketrampilan tersebut melalui berbagai materi pelajaran substantif. Waktu yang digunakan akan lama dan tidak mungkin hanya dalam satu pertemuan, mungkin satu semester, satu tahun atau selama yang bersangkutan mengikuti pelajaran di satuan pendidikan tersebut. Keberulangan dalam proses pemantapan kemampuan diperlukan karena kemampuan, values, sikap yang terdapat dalam kompetensi bersifat ”developmental” .

 

 

DAFTAR BACAAN

Apple, M.W. (1979). Ideology and Curriculum. London: Routledge and Kegan Paul.

Depdiknas (1983). Hasil Rapat Kerja Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1983. Jakarta: Depdiknas

Gunawan, A.H. (1986). Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara

Hasan, S.H. (2006). Perkembangan Pendidikan Dasar dan Menengah, naskah untuk buku Indonesia dalam Arus Sejarah (dalam proses percetakan)

Hasan, S.H. (2007), Landasan dan Pengembangan Kurikulum. makalah disajikan di Pusat Kurikulum

Hasan, S.H. (2007). Evaluasi Kurikulum. Dalam proses percetakan

Hasan, S.H. (2008). Pedagogy, Curriculum, And  Ethnicity: Multicultural Curriculum in Indonesia. Makalah disajikan di UKM, Malaysia

Klein, M.F. (1992). Curriculum reform in the elementary school. Creating your own agenda. New York and London: Teacher College Columbia University

Simandjuntak, I.P. (1972). Perkembangan Pendidikan di Indonesia. Bandung: Angkasa

Sjamsuddin, H., Kosoh Sastradinata, Said Hamid Hasan (1993). Sejarah Pendidikan di Indonesia: Zaman Kemerdekaan (1945-1966). Jakarta: Manggala Bhakti

Soemanto, W. (1983). Landasan Historis Pendidikan Indonesia. Surabaya: Usaha Nasional

Tanner, D. dan L.N. Tanner (1980). Curriculum development. Theory into practice. New York: Macmillan Publishing House.

Tyler, R.W. (1949), Basic principles of curriculum and instruction. Chicago: University of Chicago Press.

Yamin, Muhd (1954). Dasar Pendidikan dan Pengadjaran.

Yunus, M. (1992). Sejarah Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya

Waring, M. (1981). Social pressure and curriculum development. A study of Nuffield Foundation Science Teaching Project. London: Methuen

DOKUMEN

  1. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengadjaran di Sekolah
  2. Undang-Undang Nomor 12 tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengadjaran Disekolah untuk Seluruh Indonesia
  3. Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
  4. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
  5. Kurikulum 1975
  6. Kurikulum 1984
  7. Kurikulum 1994
  8. Kurikulum 2004
  9. Permen Diknas nomor 22 tahun 2006
  10. Permen Diknas nomor 23 tahun 2006
  11. Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005
  12. TAP MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966
  13. TAP MPR Nomor IV/MPR/1973
  14. TAP MPR Nomor II/MPR/1978
  15. TAP MPR Nomor IV/MPR/1978
  16. TAP MPR Nomor II/MPR/1983
  17. TAP MPR Nomor II/MPR/1988

 

 

 

 

 

[1] Disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Sejarah, Balai Pertemuan UPI, 3 April 2008

[2] Sebelum istilah kurikulum digunakan istilah paedagogy atau pedagogiek adalah istilah umum yang digunakan  bersamaan dengan istilah didaktik.

[3] Bagian ini adalah editing dari tulisan yang disiapkan untuk buku Indonesia dalam Arus Sejarah (dalam proses penerbitan)

[4] UU ini dihasilkan oleh BP-KNIP dibawah pimpinan Mr Dasaat dan disyahkan oleh Presiden RI Mr Dasaat untuk diberlakukan di negara RI sebagai negara bagian RIS. Setelah itu presiden RIS, Ir Soekarno memberlakukan UU tersebut keseluruh wilayah RIS. Setelah RIS bubar dan kembali menjadi negara kesatuan RI maka UU itu dicatat di Lembar Negara sebagai UU nomor 12 tahun 1954.

[5] Mata pelajaran ini kemudian mengalami beberapa perubahan nama yaitu Kewarganegaraan, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. TAP MPR kemudian memperkuat posisi mata pelajaran ini dalam kurikulum persekolahan. Tentu saja dengan adanya TAP ini maka peraturan-peraturan di bawahnya harus sesuai dengan TAP MPR.

[6] Proses distribusi dokumen kurikulum itu sangat jelek. Adalah sesuatu yang tidak dapat dibantah bahwa guru tidak memiliki dokumen kurikulum kecuali hanya Garis-garis Besar Pedoman Pengajaran (GBPP) yang berkenaan dengan mata pelajaran yang menjadi tanggungjawabnya. Ide kurikulum yang tercantum dalam dokumen kurikulum lainnya (dokumen I) dan tak pernah tuntas disosialisasikan tak pernah diketahui apalagi difahami guru. Kemampuan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang dinamakan PPSI tidak pernah mencapai tingkat mastery yang seharusnya.

[7] Pandangan esensialis mensyaratkan agar setiap disiplin ilmu diajarkan dan diantumkan dalam kurikulum sebagaimana aslinya. Menggabungkan berbagai disiplin ilmu dalam suatu organisasi seperti IPA atau IPS adalah bertentangan dengan prinsip dasar pandangan esensialis.

[8] Kurikulum muatan lokal sudah diperkenalkan sejak Kurikulum 1984 dan dilanjutkan sampai kini. Kebijakan ini menjadi semakin penting dengan kebijakan mengenai KTSP karena kurikulum sekolah harus memasukkan unsur-unsur muatan lokal sebagai materi setiap mata pelajaran.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *